85 research outputs found

    Pesan dari Editor-in-Chief: Riset Psikologi Sosial yang Dibutuhkan Indonesia

    Get PDF
    Berangkat dari latar belakang bagaimana peranan psikologi sosial dalam penyelesaian masalah-masalah di masyarakat, pada bulan April 2019, Jurnal Psikologi Sosial (JPS) dan Ikatan Psikologi Sosial (IPS) menyelenggarakan dua diskusi dengan topik “Identifikasi Kebutuhan Riset Psikologi Sosial di Indonesia”. Pertanyaan yang diajukan: Riset psikologi sosial apa yang dibutuhkan oleh Indonesia? Untuk menjawab pertanyaan ini, diperlukan identifikasi kebutuhan riset psikologi sosial di Indonesia yang didasari identifikasi terhadap masalah sosial dan antisipasi kemungkinan-kemungkinan perubahan yang terjadi di masyarakat Indonesia. Tulisan ini memaparkan sebagian hasil dari dua diskusi itu tentang identifikasi kebutuhan riset psikologi sosial di Indonesia, mulai dari mengenali tuntutan yang ditujukan kepada Indonesia sebagai sebuah negara, mengenali kondisi aktual yang berlangsung, kemudian usulan riset psikologi sosial yang dibutuhkan Indonesia

    Catatan Editor: Mengembangkan penelitian tentang tingkah laku prososial dan altruisme

    Get PDF
    Selama masa pandemi COVID-19, tak jarang kita menyaksikan tampilnya karakteristik suka menolong pada manusia. Dalam komunitas luring mau-pun daring, berbagai aktivitas memberikan bantuan dan ajakan untuk memberikan bantuan ditam-pilkan, mulai dari memberikan donasi, membagi bahan-bahan makanan pokok, melibatkan diri dalam satuan tugas membantu para penderita COVID-19, hingga menjadi sukarelawan di rumah sakit. Ini menggugah para peneliti psikologi, termasuk ahli psikologi sosial, untuk mencari tahu lebih jauh mengenai gejala tingkah laku menolong, atau lebih luas lagi, tingkah laku prososial. Dalam beberapa diskusi muncul pertanyaan, “apakah perilaku prososial dapat dipertahankan atau berlanjut setelah pandemi COVID-19?” Penelitian mengenai tingkah laku proso-sial sudah cukup lama dilakukan dalam psikologi kepribadian dan sosial. Banyak peneliti sudah ber-usaha mengeksplorasi mengapa orang membantu orang lain dengan mengorbankan diri sendiri yang berguna untuk kepentingan masyarakat. Fenomena ini telah dijelaskan menggunakan berbagai kerang-ka disiplin ilmu termasuk psikologi, ekonomi, an-tropologi, biologi, dan filsafat. Proyek penelitian kepribadian skala besar yang paling awal yang dilakukan di Amerika Serikat adalah Studies in the Nature of Character oleh Hartshorne dan May pada 1928 yang diikuti oleh volume berikutnya pada tahun 1929 dan 1930. Hartshorne dan May (1928) berusaha untuk menentukan apakah kecenderung-an anak-anak untuk terlibat dalam perilaku proso-sial, seperti suka menolong, jujur, dan pengendali-an diri disebabkan oleh karakteristik pribadi yang bertahan atau merupakan hasil dari batasan dan tuntutan situasional tertentu. Studi itu melaporkan korelasi sederhana di berbagai ukuran perilaku prososial mereka dan menyimpulkan bahwa tin-dakan prososial sebagian besar ditentukan secara situasional (Hartshorne dan May, 1928). Ada banyak bantahan terhadap kesimpulan itu (di antaranya, Rushton, 1981). Namun, perspektif "situasionist" mendominasi penelitian tentang penyebab tindakan prososial setidaknya sampai tahun 1970-an. Di dekade 1970-an, biolog Edward O. Wilson memulai bidang baru, sosiobiologi, untuk mempelajari tingkah laku sosial hewan dan manusia (Wilson, 1975). Dalam bukunya itu, dikemukakan ada bukti bahwa tindakan sukarela yang menguntungkan orang lain berakar pada tingkah laku manusia dan hewan. Sejak itu, banyak studi dilakukan dan hasilnya diterbitkan dalam bentuk buku dan artikel yang intinya menyatakan bahwa tingkah laku membantu, bahkan menyelamatkan, adalah bawaan dari primata, lebah penolong, semut, anjing liar, dan spesies lainnya. Beberapa ahli psikologi perkembangan, juga ilmuwan sosial lainnya, mencermati dunia hewan dan menunjuk berbagai gejala di sana sebagai bukti bahwa tingkah laku prososial adalah fungsi biologis manusia yang telah terprogram dan bukan hanya tindakan yang dipupuk atau dipelajari. Pendekatan Wilson sejalan dengan pendekatan J.P. Rushton tentang altruisme dan tingkah laku prososial. Selama 40 tahun terakhir masa hidupnya, Rushton meneliti gejala itu. Ia mengubah pendekatan teoritisnya dari teori pembelajaran sosial menjadi teori sifat, lalu menjadi sosiobiologi. Pada akhirnya, ia menyatakan ada pengaruh fondasi genetik dari tingkah laku prososial dan altruisme (Rushton, 1980, 1989, 1991, 2004, 2009). Studinya tentang tingkah laku prososial anak kembar menggunakan kelompok usia yang berbeda dari sampel barat dan Asia memberi kesimpulan bahwa sekitar 50% variasi dalam tingkah laku prososial dapat diwariskan (Rushton dkk., 1986; Rushton & Bons, 2005). Rushton juga menyatakan bahwa altruisme adalah bagian dari faktor umum kepribadian, sebagai puncak dari hierarki kepribadian (Rushton, 1985, 1995; Rushton, Bons, & Hur, 2008; Rushton & Irwing, 2011). Dalam kenyataan sehari-hari, dapat disaksikan tingkah prososial memiliki banyak “wajah” dan bentuk. Dapat disaksikan juga bahwa setiap orang memiliki repertoar sendiri-sendiri dari tingkah laku prosial, serta menampilkannya dengan beragam cara yang khusus. Namun, semua itu dapat dikategorikan sebagai tingkah prososial, yaitu "tindakan sukarela yang dimaksudkan untuk membantu atau menguntungkan individu atau kelompok individu lain" (Eisenberg & Mussen 1989:3). Dari pengertian ini, dapat dipahami bahwa tindakan sosial lebih dikenali dari konsekuensi tindakan pelaku daripada motivasi di balik tindakan tersebut. Cakupan tingkah prososial luas, meliputi, di antaranya, tindakan berbagi, menghibur, menyelamatkan, dan membantu. Konteksnya juga beragam, di antaranya, konteks yang melibatkan keluarga, teman, rekan kerja, dan orang asing. Singkatnya, tingkah laku prososial adalah konstruksi yang luas dan multidimensi (Padilla-Walker & Carlo, 2014). Meskipun ada yang menyatakan bahwa perilaku prososial berbeda dengan altruisme, tetapi banyak yang memandang bahwa keduanya dapat disamakan. Perbedaan antara keduanya umumnya dalam hal aspek yang diberi penekanan. Perilaku prososial mengacu pada pola aktivitas, sedangkan altruisme adalah motivasi untuk membantu orang lain karena perhatian murni terhadap kebutuhan mereka daripada bagaimana tindakan itu akan menguntungkan diri sendiri. Terleepas dari aspek aktivitas dan motifnya, keduanya memiliki kesamaan ketika ditampilkan dalam bentuk tingkah laku. Altruisme dapat digolongkan sebagai tingkah laku prososial. Secara khusus, altruisme adalah tingkah laku prososial yang dimotivasi oleh keinginan membantu orang lain karena perhatian murni terhadap kebutuhan mereka. Dengan demikian, tingkah laku prososial dapat dipahami sebagai payung dari altruisme atau kategori tingkah laku yang mencakup altruisme. Belakangan ini studi mengenai tingkah laku prososial semakin banyak dilakukan. Kita bisa temukan di antaranya studi tentang altruisme (Farrelly 2019), kerja sama (Bhogal, 2019), heroisme (Margana dkk., 2019),  fairness (Bhogal dkk., 2016, 2017), dan trustworthiness (Ehlebracht dkk., 2018). Semakin banyaknya studi mengenai tingkah laku prososial mengindikasikan pentingnya pemahaman dan pengetahuan mengenai tingkah laku prososial, sekaligus menonjolnya fenomena itu sehingga penting untuk dieksplorasi secara empirik. Tingkah laku yang dapat digambarkan sebagai prososial termasuk kecenderungan simpati dan kekhawatiran terhadap orang lain dan bertindak dalam pendekatan untuk membantu atau menguntungkan orang yang berbeda. Ini terlihat dalam kehidupan sehari-hari, beberapa orang lebih prososial daripada yang lain. Anak-anak dan orang dewasa yang prososial memiliki kecenderungan untuk cenderung berperasaan terhadap orang lain. Tampaknya ada beberapa kesinambungan dalam tanggapan prososial sejak usia yang cukup dini. Di studi-studi lainnya, tingkah laku prososial dijelaskan dalam kaitannya dengan emosi dan well-being individu lain dan juga untuk diri sendiri. Beberapa studi menunjukkan bahwa tingkah laku prososial sebagian besar didasarkan pada keadaan dan situasi orang yang menampilkannya juga pengalaman masa lalunya. Ditemukan bahwa pengalaman juga menentukan perilaku prososial seseorang. Meski sudah banyak penelitian terhadap tingkah laku prososial dilakukan sejak Hartshorne dan rekan-rekannya meneliti gejala ini, masih banyak celah yang tersisa dalam pemahaman kita tentangnya. Kita ditantang untuk melakukan penelitian lebih jauh lagi mengenai prososialitas. Situasi dunia saat ini yang sangat membutuhkan sifat dan tingkah laku prososial menegaskan adanya keperluan pengetahuan lebih dalam tentang bagaimana sifat dan tingkah itu dapat dikembangkan dan lebih banyak muncul. Untuk itu, kita perlu memikirkan arah masa depan penelitian terhadap tingkah laku prososial dan faktor-faktornya. Mengingat sifatnya yang multidimensional, pemahaman mengenai tingkah laku prososial membutuhkan kajian yang lebih rinci dan menyeluruh. Diperlukan ide konseptual yang dapat menggerakkan karya ilmiah di bidang tingkah laku prososial secara substansial agar dapat memberikan arahan untuk jalan baru bagi penelitian masa depan terhadap tingkah laku prososial, beserta perkembangan dan faktor-faktornya. Dari sudut dan aspek mana saja tingkah laku prososial dapat diteliti di Indonesia? Penelitian mengenai faktor-faktor apa yang memprediksi perilaku prososial masih bisa dan perlu diperdalam. Hal itu dapat dilakukan dengan menggunakan model kecerdasan emosional atau dari sudut karakteristik tingkah laku prososial yang bersifat multidimensi. Penelitian juga dapat dilakukan dengan melihat pada aspek perkembangan, seperti mengeksplorasi kemurahan hati pada anak-anak, remaja, orang dewasa, dan lanjut usia. Terkait dengan pengenalan dan pengukuran tingkah laku prososial,  studi mengenai pengukuran gejala ini juga perlu dikembangkan, mencakup validitas dan adaptasi instrumen yang sudah ada, atau konstruksi alat ukur baru. Usaha-usaha komprehensif masih diperlukan untuk menemukan sifat psikometrik yang kuat dari alat ukur tingkah laku sosial dalam berbagai wajah dan bentuknya. Belakangan, pendekatan evolusioner untuk banyak digunakan memahami perilaku prososial. Hal ini juga perlu dikembangkan di Indonesia. Dalam ranah Psikologi Evolusioner, perdebatan masih berlangsung, sebagian besar berkaitan dengan usaha menemukan bukti bahwa tingkah laku prososial merupakan instrumen untuk adaptasi yang terkait dengan pemilihan pasangan, perkawinan, reproduksi, dan usaha mempertahankan spesies. Dukungan lebih lanjut bagi pendapat yang menyatakan bahwa faktor-faktor seperti daya tarik fisik mempengaruhi tingkah laku prososial dalam berbagai konteks masih diperlukan. Dari aspek fisiologis dan neurologis, ada pandangan mengenai pengaruh pemberian hadiah dan mendapatkan jasa baik dari orang lain terhadap konektivitas antarsaraf di otak. Hal ini memberi pemahaman baru mengenai hubungan sistem saraf dan tingkah laku prososial, juga memberi pemahaman mengenai dasar neurologis antara pemberi dan penerima dalam situasi saling menolong. Studi tentang bagaimana perilaku prososial memoderasi atau memediasi perilaku dalam kelompok dan antarkelompok, serta kaitannya dengan interaksi antara kelompok sosial yang berbeda dan kehidupan bersama yang damai juga masih perlu dilakukan. Sekali lagi, saat ini, kebutuhan studi mengenai tingkah laku prososial sangat tinggi. Dalam keseharian, tak jarang terdengar orang-orang menyatakan bahwa sepertinya saat ini kita hidup dalam masyarakat yang kurang memiliki tingkah laku prososial. Barangkali pernyataan semacam itu tidak sepenuhnya sesuai dengan kenyataan, tetapi itu mengindikasikan adanya kebutuhan yang tinggi akan tingkah laku prososial, atau dapat dikatakan juga, ada deprivasi tingkah laku prososial. Jika kita menerima pandangan Rushton dkk. (2008), bahwa sifat prososial dan altruisme adalah bagian dari faktor umum kepribadian yang merupakan puncak dari hierarki kepribadian, maka mengembangkan sifat dan tingkah laku prosial, terutama altruisme, merupakan upaya mengembangkan kualitas kemanusiaan yang lebih baik. Tingkah laku prososial dan altruisme yang didasari oleh empati sangat vital untuk berfungsinya masyarakat dan menghasilkan perubahan-perubahan positif yang memajukan kehidupan manusia. Psikologi sosial sebagai ilmu yang mempelajari tingkah laku dan proses mental dalam konteks sosial, punya potensi untuk membantu, melakukan penelitian yang hasilnya dapat digunakan untuk meningkatkan perilaku baik, menggugah, dan memperbanyak tampilnya tingkah laku prososial dan altruisme. Hasil-hasil penelitian psikologi sosial atas fenomena ini nantinya diharapkan dapat digunakan untuk memfasilitasi dan meningkatkan interaksi sosial yang positif, meningkatkan mutu hubungan sosial dan budaya yang mengedepankan kerja sama untuk kesejahteraan bersama. Salah satu harapan terdekat yang ingin dijaga: setelah berhasil melewati pandemi covid-19, tingkah laku prososial dan altruisme bertahan, bahkan meningkat

    Pesan dari Editor

    Get PDF
    Pesan dari Edito

    Pesan dari Editor-in-Chief: Tantangan Psikologi Siber

    Get PDF
    Penelitian psikologi tentang tingkah laku di dunia siber (cyber), termasuk di situs jejaring sosial (seperti Facebook dan Instagram yang popularitas-nya sangat tinggi), masih sedikit—apalagi di Indonesia. Begitu pun penelitian terkait fenomena tersebut di bidang psikologi sosial juga masih kurang. Padahal, banyak isu penting yang perlu dikaji di dunia siber, seperti bagaimana tingkah laku orang berubah di dunia daring (online), mengapa orang bertingkah laku berbeda ketika berada di dunia maya, mengapa mereka bertingkah laku seperti yang mereka tampilkan di internet dan media sosial, perilaku jual-beli daring, kecanduan di dunia maya, keadaan orang menghadapi risiko pengungkapan intim secara daring, hubungan intim dan persahabatan daring, hubungan antara individu dan institusi, bagaimana orang membina jejaring di dunia maya, kejahatan siber, sikap dan kecenderungan lainnya dalam menjaga data dan kerahasiaan pribadi serta antisipasi terhadap bocornya rahasia pribadi, juga pengawasan pemerintah yang semakin mengikis kepercayaan akan integritas dan privasi komunikasi daring. Dunia siber, atau dunia maya, mengacu pada lingkungan daring tempat banyak individu terlibat dalam interaksi sosial dan memiliki kemampuan untuk saling menggugah dan mempengaruhi. Belakangan himpunan kajian fenomena itu disebut Psikologi Siber (cyberpsychology), yang didefinisikan sebagai studi tentang pikiran manusia dan tingkah lakunya dalam konteks interaksi manusia serta komunikasi manusia dan mesin. Batas psikologi siber kini semakin meluas seiring dengan berkembangnya budaya komputer dan realitas virtual yang berlangsung di internet. Dewasa ini, internet digunakan secara luas di kehidupan masyarakat. Populasi manusia di dunia maya sangatlah besar. Pada 2020, diperkira-kan akan ada hampir 4,1 miliar pengguna internet. Artinya sejumlah orang menggunakan internet untuk berbagai kepentingan, seperti memecahkan masalah, menghasilkan uang, berinteraksi dengan orang lain, berpolitik, mencari hiburan, juga menyerang dan menjelekkan orang lain. Dunia siber menjadi ajang dan wahana aktivitas banyak sekali manusia. Dengan kondisi demikian, psikologi siber akan memainkan peran kunci dalam memahami tingkah laku dan tindakan orang-orang di ruang siber. Kini di banyak negara, bandwidth yang besar sudah dapat diakses oleh para pengguna internet, dengan rata-rata bandwidth lalu lintas 44,1 GB per bulan. Kondisi itu mendorong manusia untuk menciptakan dunia virtual yang sama sekali baru untuk bertingkah laku dan berinteraksi. Untuk dapat memahami dan menjelaskannya diperlukan banyak penelitian. Psikologi siber merupakan sub-bidang psikologi yang berkaitan dengan efek psikologis serta implikasi komputer dan teknologi daring seperti internet dan realitas virtual. Ruang lingkupnya mencakup juga tingkah laku di media sosial, kecanduan internet, masalah dengan situs kencan daring, cyberbullying, dan aspek-aspek lain tentang bagaimana orang berperilaku daring. Di dalamnya tercakup juga penelitian terhadap interaksi manusia-komputer, atau penyajian psiko-terapi daring. Psikologi siber sudah dimulai pada pertengahan 1990-an (Suler, 1996-2007; Whittle, 1997; Wallace, 1998; Gordo-López & Parker, 1999), tetapi bisa dibilang baru mulai mencuat pada dekade terakhir ini. Belakangan ini, meski belum banyak dibandingkan bidang psikologi terdahulu, hasil penelitian psikologi siber menawarkan wawasan untuk memperbaiki gaya hidup dan meningkatkan kesejahteraan di era digital. Prinsip-prinsip dasarnya dapat digunakan untuk penelitian berbagai topik, termasuk manajemen identitas daring, disinhibisi, komunikasi melalui teks dan foto, keintiman dan kesalahpahaman dalam hubungan daring, sikap yang saling bertentangan terhadap media sosial, kecanduan, perilaku menyimpang, realitas virtual, kecerdasan buatan, serta overload media (Suler, 2015). Sudah ada kerangka kerja yang dapat digunakan dalam meneliti fenomena dunia siber, seperti yang dikemukakan Suler (2015), yaitu 'Delapan Dimensi Arsitektur Psikologi Siber’ ('Eight Dimensions of Cyberpsychology Architecture') yang dapat diterapkan oleh para peneliti dan mahasiswa sebagai alat yang berharga untuk membuat dan memahami berbagai fenomena dunia digital. Psikologi siber bisa disebut juga sebagai “Psikologi Zaman Digital” yang berfokus pada manusia sebagai individu dengan berbagai sepak-terjangnya di dunia siber. Kerangka kerja itu dapat memberikan cahaya baru pada reaksi sadar dan juga bawah-sadar kita terhadap pengalaman daring dan kebutuhan intrinsik manusia untuk mengaktualisasikan diri. Kini, dunia telah sangat berubah dalam banyak cara bagi banyak orang. Itu terutama disebabkan oleh institusi sosial dan individu telah menyaksikan dan berpartisipasi dalam revolusi sosial lain: revolusi teknologi informasi melalui internet. Bukan saja ketersediaan dan aksesibilitas informasi dalam segala jenis dan inovasi dramatis dalam komunikasi antarpribadi, melainkan juga ketersediaan ruang dan masyarakat baru yang memungkinkan munculnya berbagai interaksi baru dan aktivitas baru lainnya, bahkan tatanan sosial baru. Banyak orang dan perusahaan di seluruh dunia mengakui bahwa dengan menggunakan internet secara optimal, mereka mengalami peningkatan signifikan dalam beragam kegiatan pribadi dan bisnis, baik itu di bidang pekerjaan, sosial, bisnis, maupun yang terkait dengan pemerintah. Kita bisa saksikan juga banyak orang dan perusahaan yang ikut dalam “perlombaan kompetitif” di bisnis teknologi informasi dan internet, disertai dengan kreativitas dan potensi tinggi. Mereka berkembang maju dan memperkuat penggunaan komputer yang lebih intensif dalam berbagai kegiatan. Perkembangan teknologi yang luar biasa telah mengubah tatanan dunia orang dan kehidupan dalam banyak cara, mulai dari mencari dan menggunakan informasi tentang topik apa pun hingga ke banyak aktivitas di ranah lain. Kita saksikan sekarang sudah umum internet digunakan untuk kegiatan belanja dan perdagangan, komunikasi dengan kenalan dan orang asing, kencan virtual dan membina kehidupan cinta, belajar dan mengajar, penelitian, membantu dan dibantu orang lain, meningkatkan penggunaan obat-obatan dan aspek perawatan kesehatan lainnya, memperoleh hiburan dan rekreasi, serta ekspresi diri. Dunia siber kini merupakan tatanan masyarakat tersendiri dengan segala aktivitas manusia-manusianya. Sekali lagi, untuk dapat memahami dan menjelaskannya diperlukan kajian dan penelian baru. Ini adalah tantangan bagi para peneliti psikologi sosial di Indonesia untuk melakukan penelitian terhadap fenomena itu. Lahan yang masih belum banyak digarap menanti mereka agar menghasilkan pemikiran dan penjelasan terbaik untuk dibagikan ke seluruh dunia

    Catatan Editor: Mengkaji perubahan sosial dalam perspektif psikologi sosial

    Get PDF
    Dunia begitu sering mengalami perubahan sosial, bahkan yang dramatis. Semua masyarakat mengala-minya dan jutaan orang terpengaruhi. “Perubahan—perubahan sosial yang sangat cepat—adalah fakta terpenting kehidupan saat ini”, begitu Nolan dan Lenski (2011, p. xiii) menyatakan. Orang-orang menerima perubahan sebagai hal yang tak terelakkan, terjadi begitu saja, meski tidak benar-benar mengerti. Perubahan sosial menyebar luas, global, di masyarakat manapun, dan apapun kondisinya. Studi mengenai perubahan sosial dalam bidang psikologi tergolong sedikit. Hingga kini, belum ada penjelasan mengenai hubungan antara proses "makro" perubahan sosial dan proses "mikro" dari dampak psikologisnya. Belum ada yang menjembatani kedua hal tersebut. Diperlukan kajian yang berfokus pada konseptualisasi perubahan sosial yang mencakup proses makro dan mikro untuk memahami adaptasi individu terhadap perubahan sosial.  Studi tentang perubahan sosial menjadi tantangan bagi psikolog sosial di Indonesia. Berbagai perubahan sosial banyak terjadi di Indonesia, dan berbagai perubahan ini memberikan dampak yang signifikan pada masyarakat. Salah satunya ialah pandemi COVID-19 yang telah menghasilkan perubahan sosial yang berdampak masif dan dramatis pada masyarakat. Barangkali ini bisa jadi panggilan bagi para psikolog sosial Indonesia untuk meneliti dan menghasilkan kontribusi yang bisa mengatasi masalah perubahan sosial. Lebih jauh lagi, diharapkan nantinya para ahli psikologi sosial dapat menerapkan hasil studi mereka pada kebijakan dan tindakan politik yang terkait dengan dampak perubahan sosial

    Counterfeit self: A confirmatory factor analysis among Indonesians

    Get PDF
    It is questionable whether counterfeiting in many areas of life contributes to unethical behavior to a wider extent. If the notion is supported by data, then the moral damage in a society could be prevented by reducing the counterfeit self and behavior to a bare minimum. This study aimed at empirically testing the measurement model of counterfeit self of Wood et al. (2008) among Indonesians as well as theoretically reviewing counterfeit self roles in unethical behavior. The participants of this study were 1,655 high school students (764 males, 891 females; Mage = 15.76 years old; SDage = 1.08 years) recruited through a purposive sampling technique in North Sumatera and West Kalimantan, Indonesia. The data analysis technique used was Confirmatory Factor Analysis. The results showed that the counterfeit self model--comprised of counterfeit self dimensions, namely Self-alienation (ALIEN), Inauthentic Living (LIVE), and Accepting External Influence (EXT)--was supported by the empirical data. However, the dimension of EXT could not be represented by its indicators. The study contributed to the psychological body of knowledge that the EXT dimension might need to be excluded from the measurement of counterfeit self on teenagers, especially in Indonesia and other Eastern countries

    CONSERVATIVE IDEOLOGY OF INDONESIAN MUSLIMS: THE ROLE OF EPISTEMIC MOTIVATION, AUTHORITARIANISM AND ISLAMIC TOTALISM

    Get PDF
    This research proves that religiosity (Islamic totalism) is a predictor of conservative ideology, as is the need for cognitive closure and right wing authoritarian which has been proven as a psychological variable that affects conservative ideology. The ideology of conservatism emphasizes on the tendency to preserve what is already established, resist change and maintain existing orders whether social, economic, legal, religious, political, or cultural (Jost, Glaser, Kruglanski, & Sulloway, 2003). This research utilized a quantitative survey method. Participants of this study were 528 college students from Jakarta with multiple regression analysis. The results obtained are 1) Islamic totalism, cognitive closure and right wing authoritarian are social and economic conservatism predictors; 2) only Islamic totalism is a religious conservatism predictor; 3) Islamic totalism has the greatest influence on social, economic and religious conservatives

    Catatan Editor: Langkah JPS dalam situasi pandemi dan pengantar Vol. 18 (3) tentang budaya, identitas, dan relasi antarkelompok

    Get PDF
    Salam sejahtera, Tahun 2020 ini merupakan tahun yang menantang bagi kita semua. Awal tahun diwarnai dengan berbagai peristiwa, diantaranya politik global yang memanas serta peristiwa alam seperti darurat kebakaran di Australia dan banjir besar yang melanda ibu kota Indonesia, Jakarta. Seakan tidak cukup, pada tahun yang sama wabah virus corona (COVID-19) menyebar ke seluruh dunia; menciptakan situasi pandemi yang ber-tahan hingga naskah ini ditulis. Per tanggal 24 Agustus 2020, telah ditemukan 23.499.048 kasus infeksi COVID-19 di 214 negara dan 809.834 angka kematian akibat infeksi tersebut. Pada tanggal yang sama, di Indonesia, sudah terdapat 155.412 kasus positif COVID-19 dan tercatat 6.759 angka kematian (Petterson, Manley, & Hernandez, 24 Agustus, 2020). Ini secara langsung berdampak pula terhadap kondisi sosial kema-syarakatan dan ekonomi di seluruh dunia, tak terkecuali dampak psikologis. Dikarenakan pentingnya mengetahui bagaimana situasi pandemi ini berdampak pada dinamika psikis terutama pada masyarakat Indonesia, Jurnal Psikologi Sosial (JPS) mengundang peneliti dan akademisi dari berbagai Universitas di Indonesia untuk menulis dalam edisi khusus JPS: Respons terhadap COVID-19. Dalam edisi ini, JPS menerima naskah-naskah dengan tema: (1) Respon individu maupun kolektif terhadap fenomena wabah corona virus, (2) Faktor-faktor yang memprediksi respon masyarakat terhadap corona virus, (3) Peranan leader dan authority dalam menangani wabah corona virus, (4) Psikologi politik dan penanganan corona virus, (5) Isu kebijakan terkait corona virus dan dampaknya terha-dap psikologi individual, dan (6) Dampak ekonomi dan finansial pada individu dalam wabah corona virus. Untuk edisi ini, kami juga mengundang tiga ahli psikologi sosial sebagai editor tamu. Diurutkan sesuai abjad, editor tamu pertama adalah Bapak Indra Yohanes Kiling, Ph.D dari Universitas Nusa Cendana, Nusa Tenggara Timur. Riset beliau banyak mengidentifikasi faktor sistemik atau risiko lingkungan pada kualitas hidup manusia di berbagai dimensi. Pemahaman ini penting karena situasi pandemi berdampak pada berbagai kondisi sistemik yang juga meme-ngaruhi kualitas hidup individu dalam masyarakat (Van Bavel dkk., 2020). Sementara editor tamu kedua adalah Dr. Rakhman Ardi dari Universitas Airlangga, Jawa Timur. Pemahaman akan dinamika perilaku di media sosial pada riset-riset beliau akan membantu kita juga, khususnya untuk tulisan-tulisan terkait dampak pandemi pada perilaku daring dan dalam dunia maya (Bao, 2020; Pennycook, McPhetres, Zhang, Lu, & Rand, 2020; Cinelli dkk., 2020). Last but not least, Dr. Setiawati Intan Savitri dari Unversitas Mercu Buana, DKI Jakarta yang memiliki berbagai riset tentang bagaimana individu bisa berespon dalam menghadapi situasi negatif dalam hidupnya. Kondisi pandemi ini bisa mengakibatkan dampak-dampak psikis seperti depresi dan rendahnya kesejahte-raan psikis maupun ekonomi (Rajkumar, 2020; Nguyen dkk., 2020), sehingga pemahaman beliau akan membantu terutama pada tema dampak COVID-19 terhadap psikis individu. Naskah-naskah yang terbit dalam edisi khusus “Respon terhadap COVID-19” (“Response to COVID-19”) diharapkan mampu menjadi fondasi pengetahuan untuk menghadapi wabah virus corona, khususnya berkaitan dengan isu psikologi sosial dalam konteks Indonesia. Sementara JPS memproses naskah-naskah edisi khusus tersebut, kami juga mempublikasikan edisi reguler pada bulan Agustus tahun 2020 ini (Volume 18 (3)). Terdapat delapan naskah yang dipublikasikan JPS pada edisi ini. Semua naskah ini merepresen-tasikan tema identitas dan relasi antar kelompok serta antarbudaya. Naskah-naskah ini menambah pengetahuan dalam memahami isu mendasar pada identitas sosial dan budaya serta warna-warna relasi antar kelompok identitas. Tidak hanya itu, beberapa naskah juga membantu kita memahami pengetahuan tentang intervensi pada isu hubungan antar identitas di Indonesia. Dua naskah membahas tentang isu peng-asuhan atau relasi anak dengan pengasuh dalam budaya Indonesia. Naskah Hartanti berjudul “Apakah sistem kekerabatan matrilineal di suku Minang masih membudaya? Analisis tematik pada makna pemberian dukungan sosial mamak kepada kemenakan” membahas hubungan pengasuh (‘mamak’ atau paman dari sisi ibu) dengan anak di kebudayaan Minang. Seperti yang mungkin sudah kita ketahui, suku Minang adalah salah satu suku matrilineal terbesar di dunia (Levenson, Ekman, Heider, & Friesen, 1992). Pemahaman tentang relasi ini penting untuk memberikan kita pengetahuan tentang budaya matrilineal tersebut. Sementara naskah Wiswanti, Kuntoro, Ar Rizqi, dan Halim berjudul “Pola asuh dan budaya: Studi komparatif antara masyarakat urban dan masya-rakat rural Indonesia” membantu dalam memahami perbedaan pola asuh pada masyarakat rural dan urban di Indonesia. Temuan mereka menja-wab inkonsistensi pada studi sebelumnya tentang perbedaan pola asuh di dua konteks tersebut. Naskah berikutnya yang ditulis oleh Nugraha, Samian, dan Riantoputra membahas tentang relasi bawahan-atasan dengan memeriksa anteseden dibalik dukungan bawahan terhadap atasan lewat perspektif identitas sosial. Dalam naskah yang berjudul “Anteseden leader endorsement: perspektif teori identitas sosial”, ditemukan bahwa identitas pemimpin bukanlah faktor yang menentukan dukungan bawahan terhadap pemimpin—khususnya dalam konteks perusahaan swasta. Tiga naskah berikutnya membahas me-ngenai relasi antar identitas (intergroup) seperti prasangka dan kecemasan antar kelompok. Naskah oleh Yang dan Pelupessy berjudul “Apakah saliensi mortalitas berperan dalam menjelaskan prasangka terhadap pasangan antarbudaya? Sebuah studi eksperimental” menemukan bahwa efek saliensi mortalitas dalam teori manajemen teror bisa digeneralisasi di konteks: (1) prasangka terhadap relasi romantis antar budaya, dan (2) budaya yang lebih luas yaitu konteks budaya Indonesia. Motivasi eksistensial seperti motivasi meredam kecemasan kematian dan efeknya secara sosial ternyata juga ditemukan pada masyarakat Indonesia. Pada naskah berjudul “Do intergroup threats provoke intergroup anxiety? An experimental study on Chinese ethnic group in Indonesia”, Ampuni dan Irene menemukan pola menarik terkait efek ancaman intergroup terhadap kecemasan intergrup. Ditemukan bahwa kelompok yang diberikan manipulasi ancaman intergroup cenderung lebih tinggi dalam kecemasan. Temu-an ini konsisten dengan temuan sebelumnya; akan tetapi, setelah mengontrol kontak inter-group, pola yang terjadi justru berkebalikan. Ini menunjukkan bahwa pengalaman kontak sebelumnya pada partisipan berpengaruh pada per-sepsi ancaman di situasi eksperimen. Sementara pada naskah berjudul “Mawas diri berideologi: Tantangan berpartisipasi religius online di era ujaran kebencian”, dibahas tentang peranan ideologi otoritarianisme dalam hubungan antara relijiusitas dan prasangka. Pada riset yang dilaporkan oleh Sadida dan Pratiwi ini, ditemukan bahwa keterlibatan aktivitas agama secara daring memang memprediksi tingginya prasangka. Aktivitas agama itu memicu ideologi otoritarianisme yang lebih kuat sehingga sikap negatif pun juga semakin tinggi. Menariknya, tidak semua dimensi prasangka diprediksi oleh aktivitas keagamaan itu. Dua naskah terakhir membahas tentang metode intervensi untuk mengurangi stigma dan meningkatkan sensitivitas interkultural. Pada naskah oleh Soedarmadi, dibahas tentang efek intervensi keterampilan antar budaya dengan menginkorporasikan metode sebelumnya dengan kearifan lokal seperti nilai gotong royong. Dalam naskah berjudul “Apakah pelatihan keterampilan antarbudaya pada instansi pemerintahan dapat meningkatkan sensitivitas antarbudaya? Peranan nilai lokal gotong royong” ini, para pekerja di instansi pemerintahan memiliki sensitifitas interkultural yang lebih baik setelah mengikuti intervensi yang diberikan. Pada naskah berjudul “Pelatihan Rise and Shine sebagai metode psikoedukasi: Bisakah menurunkan stigma bunuh diri?”, Febriawan mengungkap bahwa metode psikoedukasi dapat menurunkan stigma. Terdapat perbedaan metode psikoedukasi Rise and Shine dengan metode-metode sebelumnya. Jika sebelumnya lebih banyak terfokus pada kemampuan seperti literasi bunuh diri dan kesehatan mental, pada psikoedukasi Rise and Shine juga masuk materi penyangga seperti berpikir kritis, ekspresi dengan kata, serta pengetahuan tentang kebijakan negara dalam kesehatan mental. Lewat naskah-naskah ini, ditemukan berbagai pola menarik yang bisa bermanfaat untuk menambah pengetahuan pada teori besar di psikologi sosial seperti teori identitas sosial, teori manajemen teror, dan teori kontak. Juga, kontribusi pengetahuan muncul untuk menjelaskan subkultur pada konteks Indonesia khususnya dalam konteks pengasuhan. Tidak hanya itu, metode intervensi berbasis kearifan lokal dan psikoedukasi integratif bisa berguna untuk menciptakan relasi tanpa stigma atau sensitifitas kebudayaan. Kedelapan naskah ini diharapkan mampu memberikan fondasi bagi riset lanjutan dan menginspirasi peneliti lain untuk mengatasi limitasi-limitasi yang muncul

    The Contribution of Self-Involvement and Social Rejection to Social Change Perception

    Get PDF
    Eibach, Libby, and Gilovich’s (2003) experimental research suggested that people with less self-change awareness will perceive that their social worlds change more than do those who are more aware that they themselves are changing. This present review, based on two other studies, serves as a further research recommendation to expand their thesis. Social cognition experiments conducted by Cloutier and Macrae (2008) as well as by Hess and Pickett (2010) using the social memory paradigm indicated that if a person experiences: (1) personal disengagement (self-univolvement, i.e. his/her experience is chosen by others); and (2) social rejection, then he/she will be less aware of him/herself, and will remember more (or is more aware of) information regarding other people (others > self). Reversely, a person with: (1) self-involvement (i.e. selects his/her own experience); and (2) social acceptance experience, will be more aware of him/herself than of others (self > others) and will perceive the social world to change less. Based on those findings, the authors hypothesize that self-involvement and social rejection–as variables that influence the awareness of self (changes)–influence one’s perception of social changes. Some applications related to colonial mentality, as well as Bitcoin and blockchain technology, are presented as illustrations to elaborate the conjecture

    Strategi berbicara kepada diri sendiri sebagai mekanisme regulasi stres pada individu yang terbiasa menyebut diri menggunakan nama

    Get PDF
    Pada studi Self-talk as a regulatory mechanism: How you do it matters (Kross dkk., 2014) menunjukkan penggunaan nama saat melakukan strategi berbicara pada diri sendiri (self-talk) dapat digunakan sebagai mekanisme regulasi diri terhadap pemicu stres di masa depan. Namun, di Indonesia terdapat budaya yang masyarakatnya terbiasa menyebut diri dengan nama saat berinteraksi sehari-hari. Penelitian ini berupaya memahami pengaruh strategi penggunaan nama saat self-talk terhadap mekanisme regulasi diri terhadap pemicu stres di masa depan pada individu yang telah terbiasa menyebut diri dengan nama. Penelitian dilakukan dalam dua studi (N=195) dengan kriteria mahasiswa aktif. Studi 1 merupakan replikasi studi pada penelitian Kross dkk. (2014). Sementara pada studi 2 dilakukan pengujian serupa studi 1 namun menggunakan partisipan yang terbiasa menyebut diri dengan nama. Hasil analisis studi 1 menunjukkan bahwa partisipan pada kondisi jenis self-talk menggunakan nama (M= 0,913; SD=0,417) menilai pemicu stres di masa depan sebagai tantangan daripada ancaman dibandingkan dengan partisipan pada kondisi kata ganti orang pertama (M= 0,732; SD=0,368). Perbedaan ini signifikan (t(98) = -2,31, p<0,05). Sementara, pada partisipan yang terbiasa menyebut diri dengan nama, penilaian pemicu stres di masa depan tidak berbeda secara signifikan antara kondisi penggunaan nama (M=0,71; SD= 0,29) dan kondisi kata ganti orang pertama (M=0,65; SD=0,27) dengan hasil uji-t sebagai berikut, t(93) = -1,107, p>0,05. (Studi 2). Artinya, strategi self talk menggunakan nama terhadap mekanisme regulasi diri pada individu yang terbiasa menyebut diri dengan nama tidak mampu mengubah penilaian (dari ancaman menjadi tantangan) pemicu stres di masa depan
    • 

    corecore