58 research outputs found
Improved control of exogenous attention in action video game players
Action video game players (VGPs) have demonstrated a number of attentional advantages over non-players. Here, we propose that many of those benefits might be underpinned by improved control over exogenous (i.e., stimulus-driven) attention. To test this we used an anti-cueing task, in which a sudden-onset cue indicated that the target would likely appear in a separate location on the opposite side of the fixation point. When the time between the cue onset and the target onset was short (40 ms), non-players (nVGPs) showed a typical exogenous attention effect. Their response times were faster to targets presented at the cued (but less probable) location compared with the opposite (more probable) location. VGPs, however, were less likely to have their attention drawn to the location of the cue. When the onset asynchrony was long (600 ms), VGPs and nVGPs were equally able to endogenously shift their attention to the likely (opposite) target location. In order to rule out processing-speed differences as an explanation for this result, we also tested VGPs and nVGPs on an attentional blink (AB) task. In a version of the AB task that minimized demands on task switching and iconic memory, VGPs and nVGPs did not differ in second target identification performance (i.e., VGPs had the same magnitude of AB as nVGPs), suggesting that the anti-cueing results were due to flexible control over exogenous attention rather than to more general speed-of-processing differences
MEMORY AND COGNITIVE ABILITIES IN UNIVERSITY PROFESSORS:
Professors from the University of California at Berkeley were administered a 90-min test battery of cognitive performance that included measures of reaction time, paired-associate learning, working memory, and prose recall. Age effects among the professors were observed on tests of reaction time, paired-associate memory, and some aspects of working memory. Age effects were not observed on measures of proactive interference and prose recall, though age-related declines are generally observed in standard groups of elderly individuals. The findings suggest that age-related decrements in certain cognitive functions may be mitigated in intelligent, cognitively active individualsPeer Reviewedhttp://deepblue.lib.umich.edu/bitstream/2027.42/72229/1/j.1467-9280.1995.tb00510.x.pd
Menuju Ilmu Estetika : Isu-isu dan ide-ide
Apa yang terjadi ketika kita mengalami sebuah karya seni? Apa artinya memilikipengalaman estetis? Apakah sains dapat membantu kita memperoleh prinsip-prinsip umum tentang estetika, atau apakah "selera itu tak bisa diperkirakan"?Filosof, psikolog, danbaru-baru ini ahli neurosains telah mencari jawaban atas pertanyaan-pertanyaan ini, di mana masing-masing kelompok ini berfokus pada isu-isu spesifik.Buku ini memberikan pendekatan interdisiplineryang mengacu pada filosofi, psikologi, dan neurosains, dan empertimbangkan kelayakan dari ilmu estetika yang integratif.
Secara historis, istilah estetikatelah dikaitkan dengan caranya seni membangkitkan tanggapan emosional.Alexander Baumgarten menyiptakan istilah pada tahun 1750 untuk mengajukan pendekatan filosofisnya yang baru, yaitu mempelajari "cara berpikir secara indah" (ars pulchre cogitandi).Dia berargumen bahwa apresiasi atas keindahan adalah titik akhirdari pengalaman estetik.Orang bisa merasakan keindahan dalam banyak hal, mulai dari objek-objekalam sampai dengan karya seni yang mengandung ketrampilan tinggi, dan estetika adalah studi tentang bagaimana pikiran melihat objek yang indah. Baumgarten mendalilkan bahwa sifat fisik tertentu dari sebuah objek bisa membangkitkan rasa keindahan, akantetapi pengalaman itu sendiri adalahkejadian hanyapada tingkat pikiran.Banyak orang berpendapat bahwa tujuan tunggal seni adalah untuk membuat objek yang membangkitkan perasaankeindahan - yaitu, untuk menanamkan tanggapan estetik.
Dengan mengingat banyak cara orang mengalami senisekarang, definisi Baumgarten tentu tidak memadai. Kritikus seni dan filosof kontemporer menganggap istilah ini kuno dan tidak lagi relevan dengan cara orang mengalami seni dewasa ini (lihat Bab 6). Untuk saat ini, daripada mengunakan istilah ini, perluasan artinyadipertimbangkan. Seni dapat membangkitkan emosi kita dengan banyak cara - dari perasaan indah sampai perasaan marah, ngeri atau jijik. Seni dapat merangsang proses-proses sensorik kita melalui keseimbangan artistik dan bentuk; mengingatkan kita tentang masa lalu kita sendiri; atau memaksa kita untuk berpikir tentang dunia dengan carayang baru. Daripada mengingatkanpengalaman estetis satu-satunya sebagairasa keindahan yang luar biasayang kadang-kadang dialami oleh orang, misalnya saat melihatpatung Davidoleh Michelangelo atau mendengarkan Ninth Symphony oleh Beethoven, adaberbagai macam pengalaman estetik, bahkan yang mungkin lebih terfokus padaunsur persepsi atau konseptual. Mungkin ada yang meringis dengan definisi estetikayang begitu luas dimana pengalaman pengamat tidak melibatkan emosi sama sekali. Memang,mungkin sebaiknya gagasan "estetika" dipisahkan secara total dari pengalaman seni kita. Masalah tersebut akan dibahas dalam berapa bab berikut ini.Dari awalnya, kami lebih cenderung pada inklusi dari pada eksklusi dan menganggap estetika sebagai tanggapan "hedonis" terhadap pengalaman sensorik. Tanggapan hedonis mengacu pada penilaian preferensi: sebuah objek mungkin lebih disukai atau tidak; suka atau tidak; menarik atau tidak; mendekati atau menghindari. Karya seni adalah objek utama untuk evaluasi estetika, karena tujuan tunggal dari banyak karya seni adalah untuk menanamkan tanggapan hedonis. Dengan demikian, buku ini berpusat pada cara kita memandang karya seni, meskipun tanggapan hedonis dapat ditimbulkan oleh objek apapun.
Para kontributor buku ini diminta untuk menanggapi potensi suatuilmu estetika.Bab ini memberikan latar belakang dengan menggambarkan secara singkat masalah umum estetika menurut pandangan filsafat, psikologi, dan neurobiologis.Bab yang lainnya membahas masalah ini dengan lebih jauh dan bahkan memperdebatkankelayakan ilmu estetika sebagai hal yang bisa diterapkan.Fokus utama dari buku ini adalahpada seni visual, walaupunbanyak masalah sebenarnya berkaitan dengan semua tradisi dalamseni, termasuk musik, film, teater, tari, dan sastra. Kami juga berfokus pada bagaimana
seni menimbulkan tanggapan estetika daripada bagaimana atau mengapa seninya diciptakan - yaitu,
niatnya adalah untuk mempertimbangkan sifat pengalaman dari pengamatnya daripada
output kreatifoleh senimannya. Dengan cara ini, kami berharap untuk mengecilkan masalah rumit seperti mendefinisikanseni (Apa itu seni?) dan menetapkan maknanya dalam suatu budaya (Mengapa manusiamembuat seni? Apa fungsinya dalam masyarakat modern? ). Dengan berfokus pada pengalaman pengamat, kami berharap untuk menyoroti caraseni dilihat, ditafsirkan,dan dirasakan. Dengan kata lain, kamiakan mengeksplorasi apa yang terjadi di dalam pikiran dan otak pengamat
Presenting and analyzing movie stimuli for psychocinematic research
Movies have an extraordinary way of capturing our perceptual, conceptual and emotional processes. As such, they offer a useful means of exploring psychological phenomenon in the laboratory. Until recently, it has been rather difficult to present animated stimuli and collect behavioral responses online. However, with advances in digital technology and commercially available software to construct, present, and analyze movies for behavioral investigations, there is a growing interest in psychocinematic research. A rather simple, yet useful procedure is described that presents movie clips and collects multiple behavioral responses during its presentation. It uses E-prime 2.0 Professional software to run the experiment and Microsoft Excel to sort and analyze the data
- …