19 research outputs found
Pengaruh Aplikasi Plant Growth Promoting Rhizobacteria Terhadap Biologi Dan Statistik Demografi Nezara Viridula L. (Hemiptera: Pentatomidae) Pada Tanaman Kedelai (Glycine Max L. Merill)
Kebutuhan masyarakat terhadap kedelai (Glycine max) di Indonesia
masih cukup tinggi. Kedelai banyak dijadikan berbagai macam produk olahan
dan memiliki kandungan gizi yang tinggi. Akan tetapi, produksi tanaman kedelai
di Indonesia tidak mampu memenuhi kebutuhan masyarakat yang ada. Hal ini
disebabkan oleh beberapa faktor, salah satunya adalah hama yang cukup
berpengaruh terhadap rendahnya produktivitas kedelai. Salah satu hama yang
menyerang tanaman kedelai yaitu kepik hijau (Nezara viridula) yang dapat
menyebabkan kerusakan yang cukup besar. Sebelum dilakukan pengendalian
terhadap hama, informasi biologi dan statistik demografi penting untuk diketahui
agar dapat dilakukan pengendalian yang efektif. Pengendalian yang dapat
dilakukan adalah menggunakan prinsip pengendalian hama terpadu (PHT)
melalui pengendalian hayati. Salah satu pengendalian hayati yang dapat
dilakukan yaitu menggunakan PGPR (Plant Growth Promoting Rhizobacteria).
PGPR (Plant Grwoth Promoting Rhizobacteria) adalah mikroba tanah yang
berada di sekitar akar tanaman baik secara langsung maupun tidak langsung
terlibat dalam memacu pertumbuhan serta perkembangan tanaman (Munees dan
Mulugeta, 2014). Oleh karena itu, dilakukan penelitian tentang pengaruh PGPR
terhadap biologi dan statistik demografi N. viridula untuk melihat dan memberikan
informasi mengenai kelahiran, perkembangan, reproduksi, dan kematian setiap
individu dalam suatu populasi.
Penelitian dilaksanakan di Laboratorium dan Rumah kawat (Green
House) Hama Jurusan Hama dan Penyakit Tumbuhan, Fakultas Pertanian,
Universitas Brawijaya Malang pada bulan Januari 2020 sampai dengan bulan
April 2020. Persiapan penelitian meliputi penanaman kedelai dan perbanyakan
hama. Pelaksanaan penelitian terdiri dari pengamatan biologi N. viridula dan
pengamatan statistik demografi N. viridula. Data yang telah didapatkan
selanjutnya diolah dengan menggunakan software Microsoft Office Excel 2010
Worksheet untuk mendapatkan hasil data statistik demografi dari N. viridula
semasa hidupnya dengan pemberian pakan kedelai PGPR dan kedelai Non-
PGPR.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa pengamatan N. viridula pada
tanaman kedelai Non-PGPR dan kedelai yang diaplikasikan PGPR memiliki hasil
yang berbeda. Perbedaan yang ditemukan yaitu ukuran imago dengan pakan
kedelai PGPR memiliki ukuran yang lebih kecil. Siklus hidup N. viridula pakan
PGPR juga lebih lama dibanding Non-PGPR. Pada kedelai Non-PGPR memiliki
siklus hidup 22,80 hari, sedangkan kedelai PGPR yaitu 27,94 hari. Keperidian N.
viridula pada pakan kedelai Non-PGPR lebih tinggi yaitu 76,8 telur, sedangkan
pada PGPR hanya 53,25 telur. Statistik demografi yang diamati menunjukan
bahwa pakan kedelai PGPR dapat menahan laju pertumbuhan dan siklus hidup
N. viridula. Hal tersebut dikarenakan nilai dari laju reproduksi bersih (GRR),
reproduksi bersih (Ro), dan laju pertumbuhan intrinsik (Rm) pada pakan kedelai
PGPR lebih rendah daripada Non-PGPR. Nilai GRR pada pakan kedelai Non-
PGPR yaitu 84,32 sedangkan pakan PGPR 36,10 individu/induk/generasi. R0
pada pakan Non-PGPR adalah 11,50 dimana lebih tinggi dari pakan PGPR yaitu
ii
2,26 betina/induk/generasi. Rm pada pakan kedelai Non-PGPR yaitu 0,11,
sedangkan kedelai PGPR yaitu 0,04 individu/induk/hari. Untuk nilai rataan masa
generasi (T) N. viridula dengan pakan PGPR memiliki nilai lebih besar yaitu
65,39 hari, sedangkan pakan Non-PGPR sebesar 51,17 hari. Hal tersebut
menunjukan bahwa N. viridula dengan pakan Non-PGPR lebih cepat untuk
berkembangbi
Pengetahuan, Sikap Dan Tindakan Petani Padi Dalam Pengendalian Hama Terpadu (Pht) Di Desa Purwoasri, Kecamatan Singosari, Kabupaten Malang
PHT merupakan konsep pengendalian yang memadukan berbagai metode
pengelolaan agroekosistem secara serasi untuk mencapai tingkat produksi yang
tinggi, sehingga dapat meningkatkan penghasilan petani, mengendalikan populasi
hama, serta mengurangi kerugian bagi kesehatan masyarakat dan lingkungan hidup.
Konsep PHT muncul dan berkembang sebagai koreksi terhadap kebijakan
pengendalian hama secara konvensional, yang lebih mengutamakan penggunaan
pestisida. Kegiatan sosialisasi tentang PHT telah dilakukan oleh pemerintah sejak
1986 melalui INPRES No. 3/1986 tentang peningkatan pengendalian hama wereng
coklat pada tanaman padi. Pemerintah juga melakukan penerapan PHT melalui
sekolah lapang pengendalian hama terpadu (SLPHT) pada tahun 1989-1998.
Walaupun demikian tidak semua daerah mendapatkan sosialisasi tersebut. Tujuan
dari penelitian ini yaitu untuk mengevaluasi tingkat keberhasilan pelaksanaan
program Pengendalian Hama Terpadu dengan indikator pengetahuan, sikap dan
tindakan petani terhadap Pengendalian Hama Terpadu serta diharapkan penelitian
ini dapat memberikan informasi mengenai tingkat keberhasilan program
Pengendalian Hama Terpadu serta dapat menyediakan pangkal data tentang
perkembangan pengelolaan hama terpadu kepada petani di Desa Purwoasri,
Kecamatan Singosari, Kabupaten Malang, Jawa Timur.
Penelitian ini dilakukan di dua desa yang berada di Kecamatan Singosari,
yaitu Desa Purwoasri yang merupakan desa yang pernah melaksanakan program
PHT dan Desa Langlang yang digunakan sebagai desa pembanding. Data yang
diperoleh dalam penelitian ini berupa data primer yang diperoleh dengan
melakukan wawancara secara langsung ke petani (responden) dan data sekunder
yang berasal dari literature, artikel ilmiah, website terpercaya dan instansi terkait.
Kegiatan wawancara dilakukan dengan menggunakan kuisioner terstruktur yang
dengan indikator karakteristik petani, karakteristik usaha tani, pengetahuan, sikap
dan tindakan petani terhadap pengendalian hama terpadu (PHT). Penentuan
responden dilakukan dengan menggunakan teknik Snowball sampling yang
merupakan penentuan informan berdasarkan informasi informan sebelumnya. Data
yang diperoleh dianalisis secara deskriptif dengan cara penyederhanaan data agar
lebih mudah untuk di interpretasikan.
Hasil penelitian menunjukan bahwa program pengendalian hama terpadu yang
dilaksanakan di Desa Purwoasri telah berhasil merubah pengetahuan, sikap dan
tindakan petani. Petani menjadi lebih paham terhadap budidaya tanaman yang sehat
mulai dari pemilihan benih hingga panen, penggunaan pupuk organik, mengurangi
penggunaan pestisida dengan cara pengendalian secara hayati, melakukan
monitoring secara berkala di lahan dan petani sebagai ahli PHT mengambil
keputusan untuk diri sendiri berdasarkan pengalaman pribadi, sedangkan keputusan
secara kelompok berdasarkan pengalaman seluruh anggota kelompok yang tidak
terlepas dari petugas pertanian. Namun di sisi lain para petani di Desa Purwoasri
tidak menerapkan salah satu prinsip PHT yaitu melakukan konservasi musuh alami.ii
Sebab dari tidak dilakukannya konservasi musuh alami dikarenakan kurangnya
kekompakan petani dalam peneran prinsip tersebut
Model Kebun Campuran Yang Ramah Lingkungan Di Pegunungan Arfak
Penelitian yang bersubyek pada petani tradisional Arfak dari Subsuku Hatam
telah dilaksanakan di Kampung Syoubri, Kwau dan Mokwam Distrik Warmare
Kabupaten Manokwari bertujuan untuk mengkaji karakteristik biofisik Pegunungan
Arfak dan petani tradisional Hatam saat ini; mendokumentasikan kearifan lokal
yang masih dipraktekkan; mendeskripsikan dan menganalisis tipologi kebun
campurannya dan menemukan strategi pengembangan model kebun campuran
petani tradisional Hatam yang dapat meningkatkan kesejahteraannya namun
ramah lingkungan dan dapat diterima secara sosial budaya.
Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif yang didesain menggunakan
pendekatan kualitatif naturalistik yang dimaksudkan untuk mendeskripsikan atau
menggambarkan secara sistematis, faktual dan akurat terkait fakta-fakta,
karakteristik serta hubungan antar fenomena. Penentuan sampel berdasarkan
pembagian wilayah yang disengaja (area sampling and purposive) yaitu
berdasarkan tipologi lahan, suku/etnis, dan cara bertani. Selain analisis domain,
untuk mendapatkan strategi yang ideal dalam mengembangkan kebun campuran
petani tradisional Hatam digunakan juga analisis SWOT.
Dari penelitian ini dapat disimpulkan bahwa karakteristik biofisik sumberdaya alam
kawasan Pegunungan Arfak antara lain beriklim gunung tropis basah atau
termasuk zone Agroklimat C1 dengan kelembaban udara relatif sekitar 81 sampai
85 %, Intensitas penyinaran matahari 31 - 46 %, bersuhu udara 13,1 - 25,2 0C,
berkelerengan 15-30% pada elevasi 1.100 – 1.600 m.dpl dengan jenis tanah
Entisol, Inceptisol, Alfisol, Ultisol, dan Andisol serta memiliki biodiversitas flora dan
fauna exotic bernilai ekonomi tinggi terutama berbagai jenis anggrek,
Rhododendron, burung dan kupu-kupu sayap burung; sedangkan karakteristik
petani tradisional Hatam yaitu sebagian besar berusia produktif ( 26 - 50 tahun)
dengan tingkat pendidikan masih rendah, memiliki tanggungan keluarga antara 5
- 17 orang, 80% termasuk cukup sampai berpengalaman dalam berkebun cara
mereka, semua anggota keluarga inti terlibat secara aktif dalam mengelola
kebunnya yang berada di 3 - 5 tempat di lokasi yang berbeda.
Kebun campuran petani tradisional Hatam saat ini bertipologi SEE (Sosial-
Ekonomi-Ekologi) berorientasi semi subsistensi dan masih mempraktekkan
pengetahuan dan kearifan lokal seperti : pembukaan kebun berdasarkan aturan
adat sistem zonasi; pemanfaatan tumbuhan in situ untuk pengobatan herbal,
pupuk dan pestisida nabati; zero input pupuk kimia dan pengolahan tanah;
xi
pemanfaatan ternak babi untuk pengolahan tanah sederhana, dan penerapan
aturan adat “Igya ser Hanjop” dalam menjaga batas ulayat dan alamnya. Skenario
terbaik dari pengembangan model kebun petani tradisional Hatam yang terbaik
adalah dengan mengubahnya ke tipologi kebun campuran EES (Ekonomi-Ekologi-
Sosial) melalui strategi ST (Strenght-Threat) dengan cara: penambahan jumlah
jenis tanaman yang bernilai ekonomi tinggi yang sesuai karakteristik biofisik lahan
dan dikenal petani; pemanfaatan kearifan lokal sistem zonasi lahan; membangun
brand produk petani Hatam sebagai produk organik dan pembentukan
kelembagaan ekonomi dan jejaring pemasaran produk loka
Pengaruh Penambahan Perekat Organik dan Anorganik terhadap Peningkatan Efektivitas Tanah Diatom dalam Pengendalian Hama Kutu Daun Persik Myzus persicae.
Serangan hama penting menjadi salah satu permasalahan yang berat dalam
dunia pertanian, namun pengendalian hama sendiri perlu memperhatikan dampak
pada pertumbuhan tanaman dan lingkungan. Salah satu bahan ramah lingkungan
yang dapat dimanfaatkan ialah tanah diatom. Tanah diatom merupakan jenis batuan
sedimen lunak yang mengandung silika, terbentuk secara alami berbahan dasar fosil
ganggang uniseluler yang disebut tanah diatom. Tanah diatom berbentuk tepung
yang butirannya dikategorikan dalam mikropartikel. Tanah diatom sebagai
pengendali hama gudang seringkali menggunakan metode powder atau
pembuburan dengan menggunakan air. Pada penelitian ini, tanah diatom
dimanfaatkan sebagai bahan biopestisida untuk hama non gudang Myzus periscae
Sulzer (Hemiptera: Aphididae) pada tanaman wijen dengan metode penyemprotan
dan ditambahkan perekat organik berbahan dasar lidah buaya dan anorganik dari
larutan bermerek dagang Agristick sebagai upaya dalam meningkatkan efektivitas
tanah diatom.
Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Maret hingga Mei 2023, bertempat di
rumah kaca Badan Standarisasi Instrumen Pertanian Tanaman Pemanis dan Serat
(BSIP TAS). Penelitian ini terdiri dari 2 faktor utama yakni penggunaan perekat
organik dan anorganik, serta perbedaan konsentrasi diatom yang dilarutkan, terdiri
dari 3 gram/liter air; 5 gram/liter air; 6 gram/liter air. Secara keseluruhan terdapat
27 tanaman yang diamati, dan pengujian menggunakan Rancangan Acak Lengkap
Faktorial (RALF). Variabel pengamatan yang diamati selama penelitian di
antaranya intensitas serangan hama; fitotoksisitas tanaman; tinggi tanaman; dan
jumlah daun. Metode pelaksanaan penelitian terdiri dari budidaya tanaman wijen,
pengaplikasian tanah diatom sesuai perlakuan, pengamatan di lapang dan di
laboratorium mikroskop BSIP TAS.
Tanah diatom memberikan pengaruh yang signifikan dalam mengendalikan
hama Myzus persicae, khususnya pada perlakuan tanah diatom yang
dikombinasikan dengan perekat organik berbahan lidah buaya dengan konsentrasi
paling baik yakni 5 gram/liter air. Pengaplikasian tanah diatom dan perekat organik
berpengaruh nyata pada tinggi tanaman dan jumlah daun. Unsur silika memiliki
peran penting dalam meningkatkan laju fotosintesis serta kandungan lidah buaya
pada perekat mengandung kalium yang berperan dalam proses fisiologi tanaman
seperti fotosintesis, serta menstimulasi pertumbuhan tanaman. Pengaplikasian
perekat anorganik memberikan efek fitotoksisitas yang tinggi, sedangkan perlakuan
kontrol tanpa perekat memiliki efek fitotoksisitas paling rendah
Pengaruh Penambahan Bahan Organik Serasah dan Ampas Tebu terhadap Kelimpahan Collembola pada Lahan Tebu (Saccharum officinarum L.)
Tebu merupakan bahan baku utama dalam industri pembuatan gula. Salah satu negara yang sesuai dengan pertumbuhan tanaman tebu ialah Indonesia, khususnya pada provinsi Jawa Timur. Komponen yang penting dalam budidaya tanaman tebu salah satunya ialah memperhatikan praktik budidaya saat kegiatan pascapanen. Praktik budidaya yang kurang tepat ialah melakukan pembakaran sisa-sisa hasil panen tebu yang berada di lahan. Dampak yang ditimbulkan dari pembakaran tersebut dapat menurunkan kesuburan tanah dan mematikan fauna tanah. Upaya pengelolaan lahan sangatlah diperlukan untuk mengembalikan ketersedian bahan organik ke dalam tanah. Adapun contoh bahan organik yang diberikan dapat berupa bagian sisa hasil tanaman tebu seperti bagian daun dan batang. Pemberian bahan organik dapat meningkatkan diversitas fauna tanah, salah satunya Collembola. Kelimpahan Collembola pada suatu lahan dipengaruhi oleh pemberian bahan organik yang digunakan, sehingga jumlah yang tersedia berbeda-beda. Adanya perbedaan tersebut yang mendasari dibutuhkannya penelitian ini untuk mengetahui pengaruh bahan organik terhadap kelimpahan Collembola pada lahan tebu.
Kegiatan penelitian dilaksanakan di BSIP TAS pada bulan Desember 2022-Maret 2023 yang berlokasi di Kecamatan Karangploso, Kabupaten Malang, Jawa Timur rerata curah hujan 268,8 mm, kelembaban nisbi 83,5%, dan suhu udara 21oC-26oC. Penelitian ini menggunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL) dengan 3 perlakuan dan 6 kali ulangan. Lahan penelitian yang digunakan berukuran 750 m, dengan tiga perlakuan yang berbeda yakni lahan kontrol (P0), serasah (P1), serasah dan ampas tebu (P2). Penelitian ini diawali dengan pembuatan lubang aplikasi bahan organik, selanjutnya pengambilan sampel dilakukan pada setiap titik sesuai dengan perlakuan yang diberikan. Metode yang digunakan ialah Berlese Heat Extractor, sehingga sampel yang diamati nantinya akan diekstraksi menggunakan corong Berlese-Tullgren. Pengamatan Collembola baru dapat dilakukan 72 jam setelah dimasukkan ke dalam corong Berlese-Tullgren.
Berdasarkan hasil identifikasi yang telah dilakukan, didapati hasil kelimpahan Collembola yang ditemukan pada lahan tebu terdiri dari 2 ordo (Poduromorpha dan Entomobryiomorpha), 4 famili (Neanuridae, Entomobryidae, Isotomidae, dan Paronellidae), 13 morfospesies, dan 2.247 individu. Pada hasil pengamatan yang didapat, diketahui bahwa kelimpahan Collembola tertinggi berada pada perlakuan serasah dan ampas tebu (P2) dengan jumlah total populasi mencapai 1.102 individu. Kelimpahan tersebut disebabkan oleh jenis bahan organik yang digunakan dan bobot bahan organik yang diaplikasikan. Selanjutnya, berdasarkan hasil uji ANOVA diketahui bahwa pengaruh pemberian bahan organik pada perlakuan terhadap kekayaan morfospesies berbeda nyata (F2,15=7.556; P>0.00537) dan terhadap kelimpahan individu (F2,15= 12.19; P>0.000717). Hal ini menunjukkan bahwa adanya penambahan bahan organik dapat meningkatkan populasi Collembola
Pengaruh Konsentrasi Dan Waktu Aplikasi Konsorsium Bakteri Terhadap Populasi Berbagai Hama Pada Cabai Besar
Tanaman cabai besar (Capsicum annum L) merupakan salah satu komoditas
pertanian yang penting dikarenakan permintaan masyarakat akan cabai ini sangat
tinggi. Permintaan akan komoditas cabai setiap tahunnya terus meningkat tetapi
tidak diimbangi dengan produksinya yang masih rendah dimana faktor
penyebabnya rendahnya produksi tanaman cabai adalah serangan organisme
pengganggu tanaman (OPT) seperti hama. Intensitas serangan hama dan penyakit
pada tanaman dapat membuat kehilangan hasil tanaman cabai dapat mencapai
berkisar antara 12-65%. Salah satu cara mengendalikan hama pada tanaman cabai
yang sering dilakukan petani pada tanaman cabai adalah penggunaan pestisida
kimia. Namun, penggunaan pestisida kimia yang berlebihan dalam jangka panjang
dapat menyebabkan resistensi hama dan matinya musuh alami serangga serta
kerusakan lingkungan akibat bahan kimia yang terlarut di lingkungan. Untuk
mengurangi dampak dari penggunaan pestisida kimia maka digunakan
pengendalian preventif menggunakan konsorsium bakteri untuk mendapatkan
ketahanan tanaman cabai terhadap serangan hama .
Dalam penelitian ini menggunakan Rancangan Acak Kelompok Faktorial
(RAKF) yang terdiri dari 2 faktor yakni waktu aplikasi dan konsentrasi konsorsium
bakteri. Faktor pertama waktu aplikasi terdiri dari 2 taraf sedangkan faktor kedua
konsentrasi konsorsium bakteri terdiri dari 4 taraf. Rancangan penelitian ini terdiri
dari 8 perlakuan dengan 3 ulangan serta 9 sub ulangan. Data yang diperoleh
dianalisis dengan menggunakan ANOVA (Analisis Varian) pada taraf 5% terhadap
data pengamatan dari variabel populasi hama. Apabila perlakuan menunjukkan
pengaruh beda nyata maka akan dilakukan uji lanjut menggunakan uji BNJ pada
taraf 5%. Berdasarkan hasil analisis statistika terdapat pengaruh dari interaksi
perlakuan konsentrasi konsorisum dan waktu aplikasi terhadap perkembangan
hama A. gossypii dan T. parvispinus Karny. Terdapat pengaruh dari interaksi
perlakuan konsentrasi konsorsium bakteri dan waktu aplikasi terhadap
perkembangan hama Aphis gossypii dan Thrips parvispinus Karny. Pengaruh dari
interaksi konsentrasi konsorsium bakteri 15 ml l-1 dan waktu aplikasi 7 hari sekali
diduga memberikan ketahanan tanaman yang lebih baik dibandingkan dengan
perlakuan lainnya yang terlihat pada minggu terakhir pengamatan. Namun tidak
terdapat pengaruh dari kombinasi perlakuan konsentrasi konsorsium bakteri dan
waktu aplikasi terhadap perkembangan hama Bemicia tabaci dan Bactrocera
dorsalis pada cabai. Hama B. tabaci dan B. dorsalis diduga memiliki adaptasi yang
lebih baik dan mampu mentolerir senyawa kimia hasil dari mekanisme ketahanan
tanaman akibat pemberian konsorsium bakteri
Pengaruh Teknik Budidaya pada Pertanaman Hortikultura terhadap Keanekaragaman, Kelimpahan, dan Komposisi Serangga Predator.
Tanaman hortikultura merupakan salah satu komoditas pertanian yang banyak dibudidayakan dan menjadi bahan makanan untuk masyarakat Indonesia. Permintaan produk hortikultura dalam 10 tahun terakhir mengalami peningkatan secara terus menerus. Namun, produksi komoditas hortikultura khususnya di Indonesia seringkali mengalami fluktuasi dalam beberapa tahun terakhir. Salah satu masalah yang menyerang tanaman hortikultura ialah adanya serangan organisme pengganggu tanaman (OPT). Adapun upaya yang dapat dilakukan untuk menekan penggunaan pestisida dalam mengendalikan serangan hama ialah dengan menerapkan konsep pengendalian hama terpadu (PHT) yakni pemanfaatan musuh alami, salah satunya serangga predator. Perbedaan teknik budidaya dapat mempengaruhi keanekaragaman dan kelimpahan serangga predator. Penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui keanekaragaman, kelimpahan, dan komposisi serangga predator berdasarkan teknik budidaya pada lahan hortikultura di komunitas pertanian organik Brenjonk dan luar komunitas pertanian organik Brenjonk.
Penelitian dilakukan pada dua lahan pertanaman hortikultura yang berlokasi di Kecamatan Trawas, Kabupaten Mojokerto, Jawa Timur dan dilaksanakan pada bulan September hingga November 2023. Pengambilan sampel serangga predator dilakukan menggunakan metode observasi secara berkala dengan interval waktu pengamatan 5 hari. Pada masing-masing lahan diletakkan beberapa perangkap seperti pitfall trap, yellow pan trap, yellow sticky trap yang dipasang selama kurang lebih 24 jam dengan jarak antar trap sebesar 1 meter, serta menggunakan sweep net dan metode hand-picking. Spesimen yang didapatkan selanjutnya diidentifikasi menggunakan mikroskop stereo dengan mengacu pada buku dan beberapa literatur lain yang mendukung. Pengambilan data teknik budidaya dilakukan dengan cara wawancara narasumber, yakni petani atau pemilik lahan. Data diolah dalam Microsoft Excel, kemudian dilakukan uji normalitas. Apabila data berdistribusi normal maka dilanjutkan dengan uji BNJ dengan taraf kesalahan 5%. Lalu dilakukan analisis ANOSIM (Analysis of Similarity) menggunakan RStudio.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa jumlah serangga predator lebih banyak pada lahan organik didapatkan sebanyak 299 individu yang terbagi dalam 5 ordo, 8 famili, dan 14 morfospesies. Serangga predator yang ditemukan pada kedua lahan didominasi oleh ordo Hymenoptera dan Coleoptera. Kondisi lahan organik dengan tidak mengaplikasikan pestisida, vegetasi yang beragam, dan penanaman refugia menyebabkan keanekaragaman dan kelimpahan serangga predator lebih tinggi dibandingkan lahan konvensional. Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa teknik budidaya secara organik dan konvensional memiliki perbedaan yang signifikan terhadap keanekaragaman dan kelimpahan serangga predator, serta komposisi serangga predator
Uji Ketahanan Beberapa Genotipe Kedelai terhadap Hama Penggerek Polong Kedelai Etiella zinckenella
Hama penggerek polong kedelai Etiella zinckenella Treitschke
merupakan salah satu hama penting tanaman kedelai. Intensitas kerusakan yang
ditimbulkan antara 3-96% tergantung pada musim, lokasi dan waktu pengamatan.
Berdasarkan potensi kerusakan yang dapat ditimbulkan oleh hama ini, maka
dibutuhkan upaya pengendalian yang dapat meminimalkan kerusakan pada
tanaman kedelai. Pengendalian yang umum dilakukan adalah aplikasi insektisida,
tetapi cara ini dianggap kurang efektif karena larva terlindung oleh kulit polong.
Salah satu upaya yang dapat dilakukan adalah dengan perakitan varietas tahan
penggerek polong. Penggunaan tanaman tahan terbukti dapat menurunkan
kerusakan biji kedelai. Selain bentuk morfologi, preferensi imago dalam memilih
inang juga dipengaruhi keberadaan senyawa kimia yang dikeluarkan oleh tanaman
kedelai. Senyawa kimia tanaman yang bersifat volatil merupakan sinyal yang
dikenali oleh herbivora untuk mendatangi tanaman dan menjadikannya inang.
Penelitian ini bertujuan untuk menguji ketahanan beberapa genotipe kedelai
terhadap penggerek polong kedelai E. zinckenella berdasarkan karakter morfologi
polong dan kandungan senyawa kimia.
Penelitian ini dilaksanakan di Rumah Kasa dan Laboratorium Sentral
Balai Penelitian Aneka Kacang dan Umbi. Kegiatan penelitian berlangsung dari
bulan November tahun 2021 sampai April tahun 2022. Penelitian menggunakan
17 genotipe kedelai yang terdiri dari 14 genotipe baru dan tiga genotipe sebagai
tanaman kontrol yaitu varietas Dega (kontrol rentan), Anjasmoro (kontrol moderat)
dan IAC-100 (kontrol tahan). Kegiatan penelitian dilaksanakan dalam dua bagian
yaitu: (1) pengamatan karakter morfologi polong dan variabel ketahanan genotipe
kedelai, (2) identifikasi senyawa kimia polong.
Penelitian bagian pertama, meliputi: kegiatan persiapan penelitian,
pengamatan karakter morfologi polong yang terdiri dari kerapatan dan panjang
trikoma serta ketebalan dan kekerasan kulit polong, pengamatan preferensi
peletakan telur, dan pengamatan persentase kerusakan polong dan biji. Kegiatan
persiapan penelitian meliputi penanaman tanaman uji dan rearing serangga
E. zinckenella. Penanaman tanaman uji dilakukan dengan menanam dua biji
kedelai dari masing-masing genotipe pada media tanam berupa campuran tanah
dan pupuk kandang (2:1). Untuk memperoleh pembungaan serempak, waktu
penanaman disesuaikan dengan umur berbunga masing-masing genotipe.
Rearing serangga dilakukan dengan mengumpulkan larva instar lima dari lahan
pertanaman kedelai. Larva dipelihara di dalam stoples plastik yang telah berisi
serbuk gergaji hingga menjadi pupa. Setelah berumur 14 hari, pupa dipindahkan
kedalam kurungan serangga. Imago yang berhasil keluar dari pupa
dikembangbiakkan pada inang kedelai varietas Wilis sebelum digunakan untuk
percobaan.
Pengamatan kerapatan trikoma polong dilakukan pada sampel polong
fase R4 dengan luas area pengamatan 2 mm2
. Pengamatan panjang trikoma juga
dilakukan pada sampel polong fase R4. Kerapatan dan panjang trikoma diamati
menggunakan mikroskop Dino-lite seri edge pada pembesaran 77 kali. Ketebalan
vi
kulit polong diamati pada bagian cap cell polong. Sampel yang digunakan adalah
polong kedelai fase R5. Polong yang akan diukur ketebalan kulitnya terlebih
dahulu dipotong menggunakan mikrotom. Ketebalan kulit polong diamati
menggunakan mikroskop Dino-lite. Kekerasan kulit polong diukur menggunakan
alat Brookfield texture analyzer tipe CT1000 dengan tipe probe TA9. Sampel
polong yang digunakan adalah polong fase R5 pada bagian cap cell polong.
Penelitian bagian kedua yaitu analisis kandungan senyawa kimia polong.
Sampel yang digunakan adalah polong kedelai fase R4 sebanyak 2 gram. Sampel
disiram nitrogen cair sebelum digerus. Sampel polong yang telah halus ditimbang
sebanyak 0,5 gram, kemudian diekstraksi dengan metode maserasi menggunakan
pelarut n-hexane selama 3 x 24 jam. Setiap 24 jam sekali dilakukan pengadukan
menggunakan vortex mixer Termoline tipe 37600 pada kecepatan 1000 rpm
selama 5 menit. Hasil maserasi dipindahkan ke dalam gelas vial ukuran 0,5 ml
untuk dilakukan analisis dengan GC-MS.
Sebanyak sembilan genotipe kedelai baru yang menunjukkan respon
tahan terhadap E. zinckenella berdasarkan karakter morfologi polong. Analisis
biplot menunjukkan letak koordinat genotipe yang termasuk kategori tahan
terkumpul dalam satu bagian yang saling berdekatan dan berada disekitar vektor
karakter morfologi polong yang terdiri dari kerapatan dan panjang trikoma serta
kulit polong yang tebal dan keras. Koordinat genotipe tahan dan sangat tahan
terletak berseberangan dengan genotipe rentan dan sangat rentan. Komposisi
senyawa yang berpotensi menarik imago E. zinckenella untuk melakukan oviposisi
pada tanaman uji yaitu 2,4 pentadienal. Hasil analisis GC-MS menunjukkan
genotipe rentan (Dega) memiliki kandungan senyawa kimia 2,4 pentadienal lebih
tinggi dibandingkan genotipe tahan (IAC-100). Hasil estimasi model menunjukkan
bahwa karakter morfologi polong berupa trikoma yang rapat dapat menurunkan
preferensi oviposisi imago betina E. zinckenella. Polong kedelai yang mengandung
senyawa 2,4 pentadienal tinggi lebih disukai imago betina E. zinckenella sebagai
tempat meletakkan telur
Keanekaragaman dan Kelimpahan Collembola pada Lahan Agroforestri di UB Forest.
Collembola (ekorpegas) merupakan salah satu Arthropoda tanah yang berasal dari subfilum Hexapoda yakni Arthropoda berkaki enam yang hidup di dalam tanah, permukaan tanah, serasah daun, serta di bawah kulit batang yang telah terdekomposisi, serta pada jamur yang hidup. Selain itu, Collembola banyak digunakan sebagai indikator hayati (bioindikator) dan pemantauan suatu ekosistem (monitoring). Collembola digunakan sebagai bioindikator keadaan tanah karena organisme ini sangat sensitif terhadap perubahan habitat baik secara struktur maupun fungsi komunitas. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui dan mengkaji keanekaragaman dan kelimpahan Collembola pada lahan agroforestri di UB Forest.
Kegiatan penelitian ini dilakukan pada lahan agroforestri yaitu pada lahan pinus+kopi, lahan pinus, dan lahan kopi yang berada di Hutan Pendidikan Universitas Brawijaya (UB Forest). Kemudian proses identifikasi Collembola dilakukan di Laboratorium Hama, Departemen Hama dan Penyakit Tumbuhan, Fakultas Pertanian, Universitas Brawijaya yang dilaksanakan pada bulan April‒Juli 2021. Persiapan dan pelaksanaan penelitian terdiri dari beberapa tahapan yakni (1) Penentuan lahan plot (2) Penentuan titik-titik pengambilan sampel tanah (sampling method) (3) Pembuatan lubang dan pengambilan sampel tanah, (3) Pengekstraksian Collembola dan Arthropoda tanah dengan corong Berlese-Tullgren, (4) Pemilahan dan identifikasi Collembola dengan Arthropoda tanah lain, (5) Analisis kimia tanah dan analisis data dengan menggunakan rumus indeks keanekaragaman, kemerataan, dominansi, kekayaan, dan kelimpahan serta dianalisis lanjut dengan uji T.
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa terdapat 4 jenis famili Collembola yang ditemukan pada lahan agroforestri di UB Forest yaitu Entomobryidae, Isotomidae, Hypogastruridae, dan Sminthuridae. Nilai indeks keanekaragaman pada lahan pinus yaitu 1,04 lebih tinggi dibandingkan pada lahan pinus+kopi dan lahan kopi yaitu 0,68 dan 0,87. Hal ini menunjukkan bahwa pada lahan pinus memiliki keanekaragaman jenis Collembola yang sedang atau cukup stabil, sedangkan pada lahan pinus+kopi dan lahan kopi mempunyai keanekaragaman jenis Collembola yang rendah atau tidak stabil. Kelimpahan jenis Collembola terendah pada lahan pinus+kopi dan lahan pinus adalah famili Hypogastruridae, sedangkan pada lahan kopi yaitu famili Sminthuridae karena tidak ditemukan famili Collembola tersebut pada lahan tersebut. Kandungan karbon organik (C-Org) dan bahan organik (BO) pada lahan pinus+kopi memiliki nilai yang lebih tinggi yakni sebesar 7,7 dan 13,3 dibandingkan pada lahan kopi yaitu sebesar 3,07 dan 5,3. C-Organik adalah bahan organik utama yang merupakan sumber makanan dan energi bagi berbagai jenis organisme tanah. Tingginya bahan organik merupakan sumber pakan yang melimpah dan dapat membuat kondisi iklim mikro yang sesuai dengan kehidupan Collembola
Survei Tingkat Serangan Penggerek Ranting Kopi di Malang Raya
Kopi merupakan tanaman perkebunan yang banyak dibudidayakan dan
berperan penting dalam perekonomian serta menjadi salah satu komoditas ekspor
utama di Indonesia dan komoditas ekspor unggulan. Pada tahun 2019, luas areal
perkebunan kopi jenis robusta mencapai 1.243.441 ha serta produksi mencapai
729.074 ton serta produktivitasnya yaitu 785 kg/ha. Hasil ekspor yang diketahui
ternyata belum berjalan maksimal sebab permintaan konsumen belum sepenuhnya
terpenuhi. Pemenuhan kebutuhan kopi dapat terganggu ketika terjadi penurunan
produksi seperti pada tahun 2013, produksi kopi mencapai 675.881 ton dan pada
tahun 2014 turun menjadi 643.857 ton. Pada tahun 2015, kembali mengalami
penurunan menjadi 639.412 ton. Salah satu faktor penyebab penurunan produksi
kopi diketahui berasal dari serangan hama penggerek.
Hama penggerek ranting Xylosandrus compactus (Coleoptera: Scolytidae)
merupakan salah satu hama yang dapat menyebabkan kerusakan dan penurunan
hasil produksi sekitar 20%. Penyebaran penggerek ranting ini menyebabkan cabang
mati dan daun-daun manjadi layu. Terbatasnya informasi mengenai faktor-faktor
yang mempengaruhi tinggi rendahnya tingkat serangan penggerek ranting maka
perlu dilakukannya survei tingkat serangan penggerek ranting pada berbagai lahan
di Malang Raya agar dapat diketahui strategi dan uoaya yang tepat untuk
mengendalikan dan mengelola tingginya serangan penggerek ranting.
Penelitian dilaksanakan pada bulan Agustus hingga Oktober 2023.
Penelitian diawali dengan penentuan lokasi dan plot pengamatan yaitu
menggunakan stratified sampling yang berjumlah sebanyak 100 pohon kopi tiap
lahan pengamatan dan jarak antar lokasi minimal 1 km, metode observasi langsung
meliputi pengamatan secara langsung, pengambilan sampel arthropoda, analisis
vegetasi, pengamatan kanopi, pengamatan dan pengambilan gulma serta
pengambilan data suhu dan kelembaban dilakukan di 12 perkebunan kopi yang
terletak di Jawa Timur yakni kecamatan Karangploso, Dampit, Wonosari dan
Ngantang kemudian, melakukan pengambilan data pendukung dengan melakukan
wawancara kepada petani. Hasil pengambilan sampel diidentifikasi dan dianalisis
di Laboratorium Hama dan Tumbuhan 3, Fakultas Pertanian, Universitas Brawijaya
mulai bulan Oktober 2023 hingga November 2023. Penelitian dilakukan dengan
analisis ANOSIM dan ditampilkan dalam plot NMDS. Semua analisis dilakukan
dengan perangkat lunak R statistic versi 4.04 dan package vegan.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat perbedaan tingkat serangan
dari setiap lokasi penelitian. Lokasi dengan tingkat serangan penggerek ranting
paling tinggi adalah Ngantang dan lokasi dengan tingkat penggerek ranting
terendah adalah Bangelan. Perbedaan tingkat serangan tersebut dipengaruhi oleh
banyak faktor seperti kondisi habitat dan manajemen lahan sedangkan semut kanopi
tidak berpengaruh terhadap tingkat serangan penggerek ranting. Namun, pengaruh
utama yang menyebabkan perbedaan tingkat serangan pada lahan kopi robusta di
12 lokasi penelitian salah satunya adalah pengaruh pemangkasan dan kelembaban