22 research outputs found

    Peranan Auksin dalam Usaha Menekan Kelayuan Buah Muda Kakao (Theobroma Kakao L.)

    Get PDF
    In the cocoa tree, the genes for producing an abscission zone are in pedicles. The process is hormonally driven by ethylene whilst auxins apparently decrease the sensitivity to ethylene. When the level of auxin declones, a special layer of cells (the abscission layer) is formed at the base of petiole or fruit stalk. Ethylene stimulates the production of enzimes that degrade the middle lamella beetween cells in the abscission zone. The concept development so far is correct that should be possible to delay abscission by aplication of sinthetic auxins. Aplication of compound enhance levels of auxins or decrease absicic acid and /or ethylene. Such conditions may inhibit young fruit abscission and promote fruit development

    EKSPLORASI MIKROORGANISME INDIGENUSINSEPTISOLS

    Get PDF
    Inseptisols have various types and densities of microorganisms. Plants that are cultivated in Jatinangor inseptisol fields have a root system that contains a large number of microorganisms. This study aims to be able to provide precise information about the potential resources of microorganisms, bacteria, mycorrhizae from the location of planting corn and soybeans on Jatinangor and Ciparanje inseptisols, Sumedang, West Java. This research activity includes (1) soil sampling which was then isolated on oblique agar media observed with a microscope, (2) identification of spore types, identification of CMA using the Manual for The Identification of Mychorhiza Fungi, (3) calculating the number of spores using the Filter Method Wet Pacioni and Centrifugation Technique from Brunndret. The results showed the number of Bradyrhizobium sp.,was found in the former soil of soybean cropping in Jatinangor and Ciparanje, which was 7,75 x 108 cfu/g, higher than in the former corn crop, 1,80 x 107 cfu / g in Jatinagor and 1,41 x 107 cfu /g at Ciparanje. Inseptisols Jatinangor and Ciparanje also produce spores of Glomus sp. 14 spores /g of soil and 12 spores/g of soil, in the former maize cropland were higher than in the former soybean cropland, which was 10 spores/g of soil.   Ekosistem inseptisols memiliki jenis dan kepadatan mikroorganisme yang beragam. Tanaman yang dibudidayakan di lahan inseptisol Jatinangor memiliki sistem perakaran yang mengandung berbagai jenis mikroorganisme dalam jumlah besar. Penelitian ini bertujuan untuk dapat memberikan informasi yang tepat tentang potensi sumberdaya mikroorganisme, bakteri, mikoriza dari lokasi penanaman jagung dan kedelai padalahan inseptisol Jatinangor dan Ciparanje, Sumedang, Jawa Barat. Kegiatan penelitian ini meliputi (1) pengambilan sampel tanah yang kemudian diisolasi pada media agar miring yang diamati dengan mikroskop, (2) identifikasi jenis spora, identifikasi CMA menggunakan Manual for The Identification of Mychorhiza Fungi, (3) penghitungan jumlah spora dengan menggunakan Metode Saring Basah Pacionidan Teknik Sentrifugasi dari Brunndret. Hasil penelitian menunjukkan jumlah bakteri Bradyrhizobium sp. Lebih banyak ditemukan pada tanah bekas pertanaman kedelai di Jatinangor dan Ciparanje, yaitu 7,75 x 108 cfu/g, sementara pada bekas pertanaman jagung, di Jatinangor 1,80 x 107 cfu/g dan 1,41 x 107 cfu/g di Ciparanje. Inseptisols Jatinangor dan Ciparanje mengandung Glomus sp., di Jatinangor dan Ciparanje berturut-turut 14 spora/g tanah dan 12 spora/g tanah, lebih tinggi pada tanah bekas pertanaman jagung, dibanding pada tanah bekas pertanaman kedelai, yaitu 10 spora/g tanah

    Pengelolaan Lahan Gambut Berkelanjutan Dengan Budidaya Tanaman Pangan Dan Sayuran

    Get PDF
    Pada peringatan Hari Pangan Sedunia tingkat Provinsi Jawa Barat yang dilaksanakan pada bulan November 2017, Kepala Badan Ketahanan Pangan Kementerian Pertanian menyampaikan bahwa target pemerintah tahun 2045 menjadikan Indonesia lumbung pangan dunia. Target ini difokuskan pada 11 komoditas pangan strategis, tiga diantaranya adalah beras, jagung, dan hortikultura (Badan Ketahanan Pangan, 2018). Target pemerintah ini berpotensi dalam meningkatkan laju degradasi lahan gambut. Konversi gambut menjadi hutan tanaman industri atau perkebunan kelapa sawit akan menurunkan fungsi-fungsi ekosistem yang sangat penting bagi kelangsungan hidup manusia. Ekosistem gambut sangat unik dan memiliki fungsi hidrologis yang sangat penting. Apabila lahan gambut dibuka dan didrainase tanpa aturan yang bijaksana akan menimbulkan dampak negatif bagi lingkungan, diantaranya terjadi subsiden (penurunan muka tanah), kebakaran, emisi CO2, hilangnya biodiversitas dan banjir. Permasalahan sosial juga kerap terjadi seperti konflik antara masyarakat dengan pelaku industri yang biasanya berhubungan dengan status lahan

    Penjaringan Cendawan Mikoriza Arbuskula Indigenous dari Lahan Penanaman Jagung dan Kacang Kedelai pada Gambut Kalimantan Barat

    Get PDF
    Ekosistem gambut memiliki jenis dan kepadatan CMA yang beragam. Tanaman yang dibudidayakan di lahan gambut memiliki sistem perakaran (rhizosfir) yang mengandung  berbagai jenis mikroorganisme CMA, dan dalam jumlah besar. Untuk mengetahui jenis dan  jumlahnya, perlu dilakukan studi potensi CMA indigenous pada ekosistem gambut. Penelitian ini bertujuan untuk dapat memberikan informasi yang tepat tentang potensi sumberdaya cendawan mikoriza arbuskular dari lokasi penanaman jagung dan kacang-kacangan pada lahan gambut desa Sidomulyo Rasau Jaya, kabupaten Kubu Raya dan dari Jawai di Kabupaten Sambas, Propinsi Kalimantan Barat. Kegiatan penelitian ini diawali dengan pengambilan sampel tanah dari Rasau dan Jawai, yang kemudian diamati dengan mikroskop. Selanjutnya dilakukan (1) trapping spora mengunakan tanaman Jagung (Zea mays L.), (2) identifikasi jenis spora, identifikasi CMA menggunakan Manual for The Identification of Mychorhiza Fungi, (3) penghitungan jumlah spora dengan menggunakan Metode Saring Basah Pacioni dan teknik sentrifugasi dari Brunndret. Hasil percobaan menghasilkan jumlah spora Glomus sp. asal Rasau 227 spora per 50 g tanah, dan gambut asal Jawai 181,9 spora per 50 g tanah gambut Rasau dan Sambas dominan mengandung Glomus sp. Peats ecosystem has different species and densities of Arbuscular Mycoriza Fungi (AMF). Plant Rhizosphere at peatland has various kinds of microorganisms, including AMF. For further use, study the potency of indigenous AMF is necessary. This research was conducted to study on the potency of indigenous AMF, from the where physic corn and nuts, grow on peatland of Rasau dan Jawai, Pontianak West Kalimantan. Soils samples were collected and then observed under microscope. The steps to study the potency of AMF were (1) spora trapping, (2) identifying the types of spore, and (3) counting of spora with Seive and Wet Techniques by Pacioni and Brunndret. The result showed that the number of spores AMF of Glomus sp from cultivated Rasau was 227 spores 50 g-1 soil and from of Jawai was 181,9 spores 50 g-1 soil  Indigenous AMF from the soil where physic corn and nut  grown at Rasau and Jawai  were dominated by Glomus sp.</p

    Penjaringan Cendawan Mikoriza Arbuskula Indigenous dari Lahan Penanaman Jagung dan Kacang Kedelai pada Gambut Kalimantan Barat

    Get PDF
    Ekosistem gambut memiliki jenis dan kepadatan CMA yang beragam. Tanaman yang dibudidayakan di lahan gambut memiliki sistem perakaran (rhizosfir) yang mengandung  berbagai jenis mikroorganisme CMA, dan dalam jumlah besar. Untuk mengetahui jenis dan  jumlahnya, perlu dilakukan studi potensi CMA indigenous pada ekosistem gambut. Penelitian ini bertujuan untuk dapat memberikan informasi yang tepat tentang potensi sumberdaya cendawan mikoriza arbuskular dari lokasi penanaman jagung dan kacang-kacangan pada lahan gambut desa Sidomulyo Rasau Jaya, kabupaten Kubu Raya dan dari Jawai di Kabupaten Sambas, Propinsi Kalimantan Barat. Kegiatan penelitian ini diawali dengan pengambilan sampel tanah dari Rasau dan Jawai, yang kemudian diamati dengan mikroskop. Selanjutnya dilakukan (1) trapping spora mengunakan tanaman Jagung (Zea mays L.), (2) identifikasi jenis spora, identifikasi CMA menggunakan Manual for The Identification of Mychorhiza Fungi, (3) penghitungan jumlah spora dengan menggunakan Metode Saring Basah Pacioni dan teknik sentrifugasi dari Brunndret. Hasil percobaan menghasilkan jumlah spora Glomus sp. asal Rasau 227 spora per 50 g tanah, dan gambut asal Jawai 181,9 spora per 50 g tanah gambut Rasau dan Sambas dominan mengandung Glomus sp. Peats ecosystem has different species and densities of Arbuscular Mycoriza Fungi (AMF). Plant Rhizosphere at peatland has various kinds of microorganisms, including AMF. For further use, study the potency of indigenous AMF is necessary. This research was conducted to study on the potency of indigenous AMF, from the where physic corn and nuts, grow on peatland of Rasau dan Jawai, Pontianak West Kalimantan. Soils samples were collected and then observed under microscope. The steps to study the potency of AMF were (1) spora trapping, (2) identifying the types of spore, and (3) counting of spora with Seive and Wet Techniques by Pacioni and Brunndret. The result showed that the number of spores AMF of Glomus sp from cultivated Rasau was 227 spores 50 g-1 soil and from of Jawai was 181,9 spores 50 g-1 soil  Indigenous AMF from the soil where physic corn and nut  grown at Rasau and Jawai  were dominated by Glomus sp

    Menjinakkan Gambut untuk Pertanian

    Get PDF
    Optimalisasi Peran Sains dan Teknologi untuk Mewujudkan Smart City Lahan gambut merupakan lahan yang berasal dari bentukan gambut beserta vegetasi yang terdapat di atasnya, terbentuk di daerah yang topografinya rendah, bercurah hujan tinggi atau di daerah yang suhunya sangat rendah. Tanah gambut mempunyai kandungan bahan organik yang tinggi (>12% C/karbon) dan kedalaman gambut minimum 50 cm. Tanah gambut diklasifikasikan sebagai Histosol yang mengandung bahan organik lebih dari 30 persen dengan ketebalan 40 cm atau lebih, di bagian 80 cm teratas profil tanah. Sebagai sumberdaya alam, gambut memiliki kegunaan untuk budidaya 62 Optimalisasi Peran Sains dan Teknologi untuk Mewujudkan Smart City tanaman pertanian maupun kehutanan, sebagai aquakultur, dapat digunakan sebagai bahan bakar, media pembibitan, ameliorasi tanah, dan untuk menyerap zat pencemar lingkungan (Osaki, 2016)

    Restorasi Lahan Gambut untuk Mencegah Bencana Ekosistem Global

    Get PDF
    Gambut mempunyai nilai konservasi yang sangat tinggi. Gambut sebagai habitat flora dan fauna langka. Gambut juga sumber Karbon (CO2) dunia di samping gas metana (CH4) dan nitrousoksida (N2O). Lahan gambut yang dikelola untuk pertanian tanaman pangan dan perkebunan umumnya menghadapi kendala. Produktivitas lahan secara signifikan terus merosot. Keseimbangan ekologi terganggu bila lahan gambut tidak dikelola dan tidak dimanfaatkan sesuai dengan sifat dan karakteristik gambut. Bila kawasan gambut rusak, berubah fungsi, atau hilang, berdampak pada penurunan kualitas lingkungan, banjir pada musim hujan, atau kekeringan dan kebakaran pada musim kemarau. Bahkan kerusakan ekosistem gambut, merupakan bencana besar bagi ekosistem global. Degradasi lahan gambut harus dicegah dengan tindakan restorasi. Restorasi lahan gambut meliputi upaya pengelolaan tata air, mengembalikan fungsi ekologi lahan gambut dengan mempertahankan kesinambungan biodiversitas gambut, sekaligus menjaga kehidupan flora dan fauna di habitatnya, dan meningkatkan kesejahteraan penduduk lokal. Restorasi lahan gambut dilakukan dengan pola 3R, yaitu Rewetting, Revegetation, dan Revitalisation. Restorasi lahan gambut bertujuan untuk engembalikan fungsi ekologi, mengembalikan satwa, flora dan fauna lokal dan kesinambungan ekosistem global

    ANALISIS KESESUAIAN LAHAN DAN PENERAPAN TEKNOLOGI BUDIDAYA TAMBAK BERWAWASAN LINGKUNGAN DI KABUPATEN BONE

    Get PDF
    Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kesesuaian lahan, penerapan dan pengembangan teknologi budidaya tambak sehingga potensi sumber daya yang tersedia dapat dimanfaatkan secara optimal dan lestari.&nbsp; Metode penelitian yang digunakan adalah metode survei yaitu mengumpulkan data dari sampel yang diambil secara acak terdiri dari 59 rumah tangga perikanan dan kesesuaian lahan tambak menggunakan Sistem Informasi Geografis. Hasil Penelitian menunjukkan bahwa Kelurahan Waetuo dengan luasan tambak 343,288 ha memiliki luasan tertinggi dengan rincian S1 = 297,303 ha dan S2 = 45,985 ha.&nbsp; Sementara itu, Kelurahan Bajoe memiliki luas tambak terendah yaitu 57,036 ha dengan rincian S1 = 35,958 ha dan S2 = 21,078 ha.&nbsp; Jika ditinjau dari penerapan teknologi, pada umumnya pembudidaya tambak yang ada di lokasi penelitian menggunakan sistem teknologi tradisional yaitu secara polikultur sekitar 88 % sedangkan monokultur hanya 12 %.&nbsp; Berdasarkan hasil penelitian disimpulkan bahwa lahan tambak di Kecamatan Tanete Riattang Timur sudah sangat sesuai dan pada umumnya menggunakan sistem teknologi tradisional secara polikultur

    Perbaikan fisik tanah pasca galian batuan dan pertumbuhan cabai rawit dengan pemberian bahan organik dan mikroorganisme tanah

    Get PDF
    Bahan organik dan mikroorganisme diperlukan untuk memperbaiki sifat fisik tanah pasca galian batuan agar dapat digunakan untuk budidaya tanaman. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh aplikasi bahan organik dan mikroorganisme tanah terhadap perbaikan fisik tanah pasca galian batuan dan pertumbuhan cabai rawit. Penelitian dilaksanakan di Cibiru Bandung, Jawa Barat dengan titik ordinat  -6.92049471880716, 107.716127309820, dari bulan Juni sampai Oktober 2020, menggunakan Rancangan Acak Kelompok (RAK) Faktorial  dua faktor dan diulang tiga kali. Faktor pertama yaitu bahan organik: b0 : kontrol (tanpa pemberian bahan organik), b1: kompos Paitan 15 t ha-1, b2: kompos eceng gondok 15 t ha-1, b3: abu cangkang sawit 15 t ha-1. Faktor kedua : mikroba: mo: kontrol (tanpa pemberian mikroba), m1 : Inokulum campuran Fungi Mikoriza Asburkular (FMA) 10 g polibag-1, m2 :Inokulum campuran  BPF (Bakteri Pelarut Fosfat) 10 ml polibag-1, m3 : campuran FMA dan BPF. Hasil penelitian menunjukkan eceng gondok 15 t ha-1 yang diberikan bersamaan dengan FMA atau BPF menaikan kelembaban tanah. Aplikasi bahan organik dan mikroba menurunkan agregat stabil tahan air. Eceng gondok dan BPF masing-masing menurunkan suhu tanah. Aplikasi bahan organik dan mikroorganisme belum berpengaruh dalam peningkatan pertumbuhan tanaman cabai rawit, namun berpengaruh terhadap fisik tanah  tanah pasca galian batuan.ABSTRACTOrganic matters and microorganisms are needed to improve the physical properties of the post-mine sand pits soil so that it can be used for plant cultivation. The purpose of this study was to know the influence of organic matters and soil microorganism application on post-mine sand pits soil improvement and chili pepper growth. This study was conducted in Cibiru Bandung (-6.92049471880716, 107.716127309820), from June to October 2020, using Block Randomized Factorial Design two factors and repeated three times. The first factor was organic matters: b0 : control, b1: compost Titonia 15 t ha-1, b2: compost Hyacinth 15 t ha-1, b3: palm shell ash 15 tha-1. The second factor: microbes: m0: control, m1: mix inoculum AMF  10 g polybag-1, m2 : mix inoculum PSB 10 ml polybag-1 , m3 : mixture of AMF and PSB. The results showed that hyacinth 15 t ha-1 given with FMA or PSB increased soil moisture. The application of organic matters and microbes decreased water stable aggregates. Hyacinth and PSB lower the temperature of the soil. The application of organic matters and microorganisms has not had an effect in increasing the growth of chili pepper plants but influences the physical properties of the post-mine sand pit  soil
    corecore