30 research outputs found
PENGARUH EKSTRAK DAUN SUKUN (Artocarpus altilis) TERHADAP GAMBARAN FIBROSIS HEPAR TIKUS WISTAR YANG DIINDUKSI DIETILNITROSAMIN
Latar belakang: Fibrosis hepar merupakan salah satu bentuk degenerasi hepar,
dan apabila dibiarkan dapat berkembang menjadi sirosis. Salah satu stimulus yang
dapat menyebabkan fibrosis adalah dietilnitrosamin, yang dimetabolisme menjadi
radikal bebas seperti Reactive Oxygen Species (ROS), yang dapat dicegah dengan
kandungan antioksidan. Daun sukun (Artocarpus altilis) memiliki kandungan
antioksidan yang diharapkan dapat menghambat proses fibrogenesis.
Tujuan: Mengetahui pengaruh ekstrak daun sukun (Artocarpus altilis) terhadap
gambaran fibrosis hepar tikus wistar setelah diinduksi dietilnitrosamin.
Metode: Penelitian ini menggunakan post-test only control group design. Sampel
terdiri dari 18 ekor tikus wistar jantan yang dibagi menjadi 3 kelompok.
Kelompok K(-) tanpa perlakuan, kelompok K(+) diinjeksi dietilnitrosamin
50mg/kgBB satu kali seminggu, kelompok perlakuan diinjeksi dietilnitrosamin
50mg/kgBB satu kali seminggu dan diberi ekstrak daun sukun 200mg/kgBB
setiap hari. Penelitian dilaksanakan selama 8 minggu dan tikus diterminasi serta
diambil heparnya untuk dilakukan pemeriksaan secara mikroskopis.
Hasil: Rerata skor fibrosis hepar kelompok K(-) 0,00; kelompok K(+) 1,60;
kelompok perlakuan 0,60. Uji Kruskall-Wallis didapatkan p<0,05 yang berarti
paling tidak terdapat perbedaan skor fibrosis hepar antar dua kelompok. Uji posthoc
Mann-Whitney kelompok K(-) dan kelompok K(+) didapatkan perbedaan
bermakna (p<0,05); kelompok K(-) dan kelompok perlakuan dengan p=0,05 yang
berarti ditemukan perbedaan yang tidak bermakna antar dua kelompok; kelompok
K(+) dan kelompok perlakuan dengan p=0,059 yang berarti ditemukan perbedaan
yang tidak bermakna antar dua kelompok.
Simpulan: Tikus yang diinduksi dietilnitrosamin akan mengalami fibrosis pada
hepar dengan derajat yang bervariasi, dan kelompok yang diberi ekstrak daun
sukun memiliki derajat fibrosis hepar yang lebih rendah dibandingkan dengan
kelompok yang diinduksi dietilnitrosamin.
Kata kunci: fibrosis, dietilnitrosamin, daun suku
PENGARUH PEMBERIAN RANITIDINE TERHADAP HISTOPATOLOGI HIPOKAMPUS TIKUS WISTAR DENGAN INTOKSIKASI METANOL AKUT
Background: Methanol is one of the compounds that can cause systemic damage
due to acidosis. One of the organs affected is the hippocampus. Ranitidine is
known to reduce the levels of formic acid in the blood and as the consequence will
reduce the toxic effects of methanol.
Objective: To determine the effect of ranitidine on the hippocampus
histopathology of acute methanol intoxicated Wistar rats.
Methods: True experiment research design with parallel post test only control
group design. Wistar strain rats aged 2-3 months (n = 15) were randomly divided
into 3 groups (negative control group (n = 5), the positive control group (n = 5),
and treatment (n = 5)). At 8 hours post-treatment, the mouse brains were taken
and the percentage of necrosis hippocampal cells were examined with HE
staining. Kruskal-Wallis and continued using Mann-Whitney statistical analysis
were done to seek the difference between control and treatment groups.
Results: In this study, there was an increase in the number of necrosis
hippocampal cells in positive control group compared to the negative control
group and a decrease in the treatment group compared to the positive control
group. There were significant differences between the negative control group (p =
0.008), and treatment (p = 0.008) compared with the positive control group.
However, there is no difference between the treatment groups compared to the
negative control group (p = 0690).
Conclusion: Intervention of ranitidine may decrease necrosis degree of
hippocampal cells of Wistar rats with acute methanol intoxicated.
Keywords: Ranitidine, hippocampus necrosis, acute methanol intoxication
PENGARUH PAPARAN INHALASI PUPUK NANOSILIKA DOSIS BERTINGKAT TERHADAP GAMBARAN HISTOPATOLOGI ORGAN LIMPA TIKUS WISTAR JANTAN
Latar Belakang: Pupuk nanosilika yang terinhalasi dapat beredar di dalam sirkulasi darah kemudian terakumulasi pada organ limpa melalui proses fagositosis, dan memicu respon inflamasi yang ditandai dengan pelebaran diameter pulpa putih dan jarak zona marginalis.
Tujuan : Membuktikan adanya pengaruh paparan inhalasi pupuk nanosilika dosis bertingkat terhadap gambaran histopatologi organ limpa tikus Wistar jantan.
Metode penelitian : Penelitian menggunakan Post Test Only Control Group Design. Objek penelitian yaitu tikus Wistar jantan yang diberikan paparan inhalasi dengan aquades untuk kelompok kontrol, dan pupuk nanosilika pada kelompok 1 (7ml/L), kelompok 2 (35ml/L), kelompok 3 (175 ml/L) untuk kelompok perlakuan sebanyak dua kali sehari selama 14 hari. Pemeriksaan histopatologi dengan pengukuran diameter pulpa putih dan jarak zona marginalis menggunakan mikroskop cahaya perbesaran 100 kali dan micrometer, diukur 5 folikel kemudian dirata-rata.
Hasil : Rerata pelebaran diameter pulpa putih terbesar pada kelompok 1 (32,79±3,63 μm) , diikuti kelompok 3 (31,48±2,90 μm), kelompok kontrol (30,30±3.71 μm) serta kelompok 2 (28,76±3,92 μm), Rerata pelebaran jarak zona marginalis terbesar pada kelompok 3 (11,72±0,88 μm) diikuti kelompok 1 (10,90±1,93 μm), kontrol (9,12±2,64) serta kelompok 2 sebesar (8,96±1,59 μm).
Uji One Way Anova didapatkan perbedaan tidak bermakna pada pelebaran diameter pulpa putih antar kelompok (p = 0,356) dan pada pelebaran zona marginalis antar kelompok (p=0,087)
Kesimpulan : Paparan inhalasi pupuk nanosilika dosis bertingkat tidak berpengaruh terhadap pelebaran diameter pulpa putih dan jarak zona marginalis limpa tikus Wistar jantan
Kata Kunci: Nanosilika, Diameter Pulpa Putih, Jarak Zona Marginali
KORELASI LUAS AREA WHARTON’S JELLY DENGAN LUARAN BERAT LAHIR BAYI PADA KEHAMILAN CUKUP BULAN
Latar Belakang Berat lahir bayi merupakan salah satu indikator penting yang berkaitan dengan angka mortalitas dan morbiditas bayi. Berat lahir bayi sangat bergantung dengan asupan nutrisi dari tali pusat pada masa kehamilan. Wharton’s jelly adalah komponen penyusun terbesar dari tali pusat.
Tujuan Mengetahui korelasi luas area Wharton’s jelly dengan luaran berat lahir bayi pada kehamilan cukup bulan.
Metode Penelitian ini merupakan sebuah studi observasional analitik dengan rancangan belah lintang. Sampel penelitian adalah tali pusat dari bayi dengan kehamilan tunggal dan memiliki usia kehamilan cukup bulan. Data diambil dengan cara purposive sampling kemudian pembacaan dan pengukuran luas area Wharton’s jelly dilakukan secara mikroskopis. Uji statistik menggunakan uji Pearson.
Hasil Dari 35 data dan sampel talipusat yang terkumpul, 29 data dan sampel memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi. Rerata luas area Wharton’s jelly pada kehamilan cukup bulan dengan berat lahir normal adalah 56,077 ± 19,537 mm2. Hasil analisis menunjukkan bahwa terdapat korelasi yang signifikan secara statistik antara luas area Wharton’s jelly dengan luaran berat lahir bayi pada kehamilan cukup bulan (p=0,041).
Kesimpulan Terdapat korelasi antara luas area Wharton’s jelly dengan luaran berat lahir bayi pada kehamilan cukup bulan.
Kata kunci luas area, Wharton’s jelly, berat lahir bay
PENGARUH EKSTRAK DAUN SUKUN (Artocarpus altilis) DAN MADU TERHADAP DERAJAT FIBROSIS HEPAR Studi pada Tikus Wistar Jantan yang Diinduksi Dietilnitrosamin
Latar belakang: Dietilnitrosamin (DEN) merupakan senyawa nitrosamin yang merupakan salah satu karsinogen yang paling banyak dijumpai pada bahan pengawet makanan yang dapat menyebabkan terganggunya fungsi hepar dan menimbulkan kerusakan salah satunya yaitu peningkatan derajat fibrosis. Daun sukun dan madu mengandung senyawa antioksidan flavonoid yang efektif menghambat mediator inflamasi, dan mengurangi efek buruk dietilnitrosamin terhadap hepar 52
Tujuan: Mengetahui adanya pengaruh pemberian ekstrak daun sukun ditambah madu terhadap gambaran derajat fibrosis hepar pada tikus wistar jantan yang diinduksi DEN.73
Metode: Penelitian true experimental dengan metode “post test only control group design” menggunakan 24 tikus wistar jantan yang terbagi menjadi 4 kelompok, yaitu K- tidak diberi intervensi apapun, K+ diinduksi DEN 50 mg/kgBB satu minggu sekali, P1 DEN 50 mg/kgBB satu minggu sekali kemudian diberi ekstrak daun sukun 200 mg/kgBB, P2 diberi DEN 50 mg/kgBB satu minggu sekali kemudian diberi ekstrak daun sukun 200 mg/kgBB ditambah madu 2 g/kgBB. Perlakuan selama 56 hari, lalu tikus diterminasi dan dilakukan pengamatan mikroskopis dengan kriteria Laennec scoring system.
Hasil: Kelompok K- tidak menunjukkan kerusakan pada hepar. K+ menunjukkan fibrosis minimal, ringan, sedang dan sirosis. Perbedaan yang signifikan terdapat pada kelompok K- dengan kelompok K+ (p=0,001), kelompok K- dengan kelompok P1 (p=0,001) antara kelompok K- dengan kelompok P2 (p=0,001), K+ dengan kelompok P1 (p=0,001), K+ dengan kelompok P2 (0,001). Perbedaan yang tidak signifikan terdapat antara kelompok P1 dengan kelompok P2 (p=0,053).
Kesimpulan: Pemberian ekstrak daun sukun 200mg/kgBB ditambah madu 2g/kgBB memberikan perbaikan berupa penurunan derajat fibrosis hepar tikus wistar jantan yang diinduksi DEN.
Kata Kunci: DEN, ekstrak daun sukun, madu, derajat fibrosis hepa
PENGARUH PAPARAN OBAT NYAMUK PADA KELAINAN GAMBARAN HISTOLOGI SEL LEYDING TESTIS TIKUS SPRAGUE DAWLEY
Background: Insecticides are chemicals that are often encountered in everyday
life. These substances can disrupt the body's endocrine hormonal balance so that
it's called Endocrine Disrupting Chemicals (EDCs). EDC works by disrupting the
hypothalamic-pituitary-testicular axis. Thus, it can affect the Leydig cell.
Aim: To determine the effect of exposure of estrogen-containing insecticides to
testicular Leydig cell histological appearance.
Methods:This was a true experimental study with parallel post-test only control
group design. It used Sprague Dawley rat aged 3 days post-natal (n = 25) which
were randomly divided into 5 groups (control group (n = 5); 25 mg β estradiol 3-
benzoate (n = 5); burning mosquito repellent (n = 5); 3 ml of liquid mosquito
repellent (n = 5); and 4 ml of liquid mosquito repellent (n = 5)). Exposure is
given for 28 days. At the age of 100 days, testes were taken and examined their
histopathological appearance of Leydig cell malignancies using HE staining. The
statistical test used Kruskal-Wallis and Mann-Whitney test.
Results: In this study, there was an increase in the number of testicular Leydig
cell groups in each treatment group as compared tocontrol group. There was
significant difference between control group with 25 mg β estradiol 3-benzoate (p
= 0.007), burning mosquito repellent (p = 0.008), and liquid repellent 4 ml (p =
0.008)treated group. However, there was no significant difference between the
treatment groups of 3 ml liquid repellent as compraed to the control group (p =
0.827).
Conclusion: Exposure to insecticides may lead to increase in the number of
Leydig cell groups.
Keywords: Insecticides, Endocrine Disrupting Chemicals, testicular Leydig cell
malignancy
PENGARUH PAPARAN OBAT NYAMUK TERHADAP GAMBARAN HISTOPATOLOGI SEL SERTOLI TIKUS SPRAGUE DAWLEY
Latar Belakang : Pada beberapa tahun belakangan ini diteliti bahwa terdapat senyawa xenoestrogen yang berasal dari produk-produk rumah tangga. Dilaporkan terdapat kandungan senyawa dalam obat nyamuk baik itu bentuk cair atau bakar yang digolongkan sebagai Endocrine Disruptors Chemicals (EDC). EDC dapat mengubah regulasi dari hormon endokrin yang nantinya akan dapat berefek buruk pada sistem reproduksi jantan, dimana termasuk didalamnya sel sperma, sel Sertoli, dan sel Leydig. Penelitian ini bertujuan untuk mengamati efek obat nyamuk terhadap gambaran histopatologi sel Sertoli. Metoda : Jenis penelitian iniadalah murni eksperimental dengan desain post test Only Control Grouppada tikus Sprague Dawley yang terdiri dari 5 ekor mencit pada setiap perlakuan dan dibagi menjadi 5 kelompok. Kelompok P1 adalah kelompok kontrol, P2 diinjeksikan 25 μg β estradiol 3-benzoat, P3 dipaparkan asap dari obat nyamuk bakar lingkar (transflutrin 0.03%) 8 jam sehari, P4 dipaparkan 3 ml obat nyamuk cair (transflutrin 0.468 mg dan propoxur 12.15 mg) dengan cara disemprotkan sekali sehari, P5 sama dengan P4 hanya berbeda dosis yaitu 4 ml obat nyamuk cair (transflutrin 0.648 mg dan propoxur 16.20 mg). Masing masing perlakuan dipaparkan selama 20 hari. Preparat testis diambil pada hari ke 100 setelah tikus SD diterminasi. Hasil : Pada penelitian ini didapatkan penurunan jumlah sel Sertoli pada masing-masing kelompok perlakuan dibanding kelompok kontrol, terutama pada perlakuan 2 yang diberikan injeksi 25 μg β estradiol 3-benzoat. Terdapat perbedaan bermakna antara grup perlakuan (estrogen potent (p=0,002), obat nyamuk bakar (p=0,003), 3 ml obat nyamuk cair (p=0,054), 4 ml obat nyamuk cair (p=0,031)] dibandingkan dengan kelompok kontrol. Simpulan : Pemberian estrogen poten dosis tinggi dan obat nyamuk selama 20 hari menunjukkan jumlah penurunan sel Sertoli tikus Sprague Dawley. Kata kunci : sel Sertoli, obat nyamuk, gambaran histopatologi, dan estrogen disruptors chemicals
PENGARUH PAPARAN INHALASI PUPUK NANOSILIKA DOSIS BERTINGKAT TERHADAP GAMBARAN HISTOPATOLOGI ORGAN HEPAR TIKUS WISTAR JANTAN
Latar belakang: Penggunaan pupuk nanosilika koloid secara luas menyebabkan
rumah tangga pertanian Indonesia berisiko terpapar lewat jalur semprot. Pada
penelitian sebelumnya, inhalasi nanosilika dapat menyebabkan masalah organ
paru dan hepar karena dapat berpindah ke sirkulasi sistemik. Untuk itu, efek
toksisitas pupuk nanosilika secara inhalasi penting untuk diuji pada organ hepar
pada hewan coba.
Tujuan: Mengamati pengaruh paparan inhalasi pupuk nanosilika koloid terhadap
gambaran histopatologi hepar pada tikus Wistar jantan.
Metode: Penelitian menggunakan desain Post Test Only Control Group dengan
sampel 24 tikus Wistar yang dibagi dalam 4 kelompok yaitu K diberi inhalasi
aquades, kelompok perlakuan diberi inhalasi pupuk nanosilika dengan dosis P1 7
ml/L, P2 35 ml/L, dan P3 175 ml/L. Semua kelompok diberi inhalasi 2 kali sehari
selama 14 hari. Preparat organ hepar diamati dibawah mikroskop cahaya, jumlah
hepatosit degenerasi/nekrosis (sel/LP) dan derajat infiltrasi sel inflamasi porta
dinyatakan dengan modified Knodell score.1 Data dianalisis dengan uji Kruskall-
Wallis dan dilanjutkan dengan Mann-Whitney.
Hasil: Jumlah hepatosit degenerasi/nekrosis memiliki perbedaan bermakna
(p=0,017) antara K [0,00(0,00-0,00)] dengan P1 [3,90(0,00-20,20)] dan P2
[1,70(0,80-8,20)], namun tidak bermakna pada P3 [1,30(0,00-5,60)] dan antar
kelompok lainnya. Derajat infiltrasi sel inflamasi memiliki perbedaan bermakna
(p=0,000). Derajat inflamasi terberat terdapat pada kelompok P2 (23.3% berat)
dan teringan pada kelompok kontrol (100% ringan)
Kesimpulan: Paparan inhalasi pupuk nanosilika pada tikus Wistar jantan dapat
menyebabkan degenerasi/nekrosis pada hepatosit dan infiltrasi sel inflamasi
periporta yang signifikan secara statistik.
Kata kunci: Nanosilika, Inhalasi, Hepar, Tikus Wistar, Histopatologi, Dosis,
Konsentras
PERBEDAAN EKSPRESI PROTEIN CD44 PADA BERBAGAI GRADE ADENOKARSINOMA PROSTAT
Latar Belakang: Kanker prostat merupakan keganasan paling umum dan tertinggi urutan enam penyebab kematian akibat kanker pada pria di seluruh dunia. Salah satu faktor yang sangat berpengaruh pada prognosis adalah derajat histopatologi tumor saat diagnosis. Skor Gleason merupakan sistem yang saat ini paling sering digunakan untuk menentukan derajat adenokarsinoma prostat. CD44 merupakan protein trans-membran, berhubungan dengan interaksi antar sel dan interaksi sel-matriks serta dengan pertumbuhan dan metastasis tumor. Ekspresi CD44 berimplikasi pada progresi tumor dan metastasis pada banyak tumor, termasuk adenokarsinoma prostat, ini berkaitan juga dengan derajat skor Gleason yang tinggi.Tujuan: Untuk membuktikan perbedaan ekspresi CD44 pada adenokarsinoma prostat diferensiasi baik, sedang dan buruk.Metode: Penelitian analitik dengan desain belah lintang. Sampel sebanyak 30 blok parafin yang telah didiagnosis dan dilihat ulang sebagai adenokarsinoma prostat diferensiasi baik (Kelompok A), sedang (Kelompok B) dan buruk (Kelompok C) dan dilakukan pemeriksaan imunohistokimia CD44. Data ekspresi CD44 dianalisis menggunakan uji normalitas, uji homogenitas dan uji One Way ANOVA.Hasil: Sebaran data normal dan homogen. Uji One Way ANOVA kelompok A, B dan C, p = 0,048, menunjukkan adanya perbedaan bermakna antara ketiga kelompok.Simpulan: Didapatkan perbedaan bermakna ekspresi CD44 antara adenokarsinoma prostat diferensiasi baik, sedang dan buruk. Hal ini sesuai dengan sebagian besar penelitian yang telah ada sebelumnya. Kata kunci: CD44, adenokarsinoma, prostat, skor Gleaso
PERBANDINGAN GAMBARAN HISTOPATOLOGI OTAK TIKUS WISTAR YANG DIGANTUNG DENGAN PEMBEDAAN PERIODE POSTMORTEM
Latar Belakang: Penggantungan adalah kematian akibat asfiksia yang paling sering ditemukan. Penggantungan dapat dilakukan antemortem (saat korban masih hidup) dan postmortem (saat korban sudah meninggal). Kematian dikaitkan
dengan bunuh diri atau kecelakaan pada penggantungan antemortem. Sebaliknya, penggantungan pada postmortem digunakan sebagai metode untuk menutupi pembunuhan sebagai suatu tindakan bunuh diri setelah korban dibunuh dengan metode yang berbeda. Oleh karena itu, penentuan waktu kematian atau Postmortem Interval (PMI) merupakan hal terpenting dan tugas fundamental ahli patologi forensik ketika jenazah ditemukan. Gambaran histopatologi dapat dipilih sebagai metode tambahan untuk memberikan hasil PMI yang akurat. Salah satu parameter histopatologi yang dapat digunakan adalah astrogliosis yaitu perubahan morfologi dan fungsional astrosit sebagai mekanisme kompensasi kerusakan pada otak karena kematian akibat asfiksia
Tujuan:. Mengetahui perbandingan gambaran astrogliosis berdasarkan histopatologi otak tikus Wistar dengan perbedaan periode pememulaian penggantungan pada fase postmortem
Metode: Penelitian ini merupakan penelitian eksperimental dengan Post Test- Only Control Group Design. Sampel teriri dari 28 tikus eistar jantan yang terbagi dalam 4 kelompok. Kelompok Kontrol (K) yaitu tikus yang digantung antemortem. Kelompok Perlakuan 1 (P1) yaitu tikus yang mulai digantung 1 jam postmortem. Kelompok Perlakuan 2 (P2) yaitu tikus yang mulai digantung 2 jam postmortem. Kelompok Perlakuan 3 (P3) yaitu tikus yang mulai digantung 3 jam postmortem. Uji analisis menggunakan uji Kruskal Wallis kemudian dilanjutkan
dengan uji Mann-Whitney untuk parameter astrogliosis
Hasil: uji Kruskal Wallis menunjukkan perbedaan bermakna dengan nilai p = 0,018 pada seluruh kelompok. Kemudian dilanjutkan dengan uji Mann-Whitney didapatkan perbedaan bermakna pada kelompok K dengan P1, dan P1 dengan P3.
Sementara itu, pada kelompok K dengan P2, K dengan P3, dan P2 dengan P3 tidak didapatkan perbedaan bermakna.
Kesimpulan: Terdapat perbedaan gambaran astrogliosis berdasarkan histopatologi otak tikus Wistar dengan pembedaan periode memulai penggantungan postmortem
Kata Kunci: Penggantungan, astrogliosis, PMI (Postmortem Interval