72 research outputs found
Relevansi Pemikiran Emanuel Levinas dalam Konteks Pandemi Covid-19
Covid-19 as a pandemic has deeply troubled in human life. All countries around the world have been trying hard to stem the spread of this virus. Gradually, people began to realize that all efforts to prevent the spread of this virus could not be handled individually. Measures and policies such as staying at home, wearing masks, washing hands, maintaining distance (physical distancing), avoiding crowds (social distancing), are not just for the sake of saving oneself but especially for the safety of others. It is plausible that in the discourse on responsibility towards others, Levinas' thought is presented. "The encounter with other faces and third persons" has become a central theme of his philosophy and ethics. For Levinas the basic fact in his philosophy is not awareness of myself but awareness of others and mankind. Covid-19 deserves to be a momentum to reflect on the philosophy of Levinas, by reaffirming responsibility towards others.Munculnya Covid-19 sebagai pandemi sangat meresahkan dunia. Setiap negara di seluruh dunia bergerak untuk membendung penyebaran virus ini demi menyelamatkan negara dan umat manusia. Perlahan-lahan muncul kesadaran bahwa upaya menghambat penyebaran virus ini hanya bisa dilakukan dalam kebersamaan. Langkah dan kebijakan seperti tinggal di rumah, mengenakan masker, mencuci tangan, menjaga jarak, menghindari kerumunan tidak sekadar demi menyelamatkan diri melainkan menyelamatkan jauh lebih banyak orang lain. Tidak ada salahnya bahwa dalam pembicaraan tentang tanggung jawab terhadap orang lain, pemikiran Levinas ditampilkan. “Penampakan wajah lain dan pihak ketiga” telah menjadi tema pokok filsafatnya. Bagi Levinas fakta dasar dalam filsafatnya adalah orang lain. Karena itu filsafatnya adalah etika: tanggung jawab terhadap orang lain. Covid-19 pantas jadi momentum untuk merefleksikan filsafat Levinas, dengan menegaskan kembali tanggung jawab terhadap orang lain sebagai fakta etis
Hannah Arendt: Kekerasan bukan Tindakan Politik, Namun bukan tanpa Resiko
Abstract: This paper considers the implication of Hannah Arendt’s criticism of the relationship between violence and politics. For some political theorists and philosophers, it is taken for granted, that violence and politics are inextricably intertwined. For Arendt, it is crucial to keep the two clearly and distinctly apart. After arguing for a tripartite division between the human activities of labor, work and action, Arendt identifies the politics as the part of action, and the violence as the part of labor and work. This is the way Arendt argues to keep the politics and the violence clearly apart.Kata Kunci: Kekerasan, politik, kerja (labor), karya (work), tindakan (action), kebebasa
Reposisi Pancasila dengan Membuka Ruang bagi Konstruksi Budaya
ABSTRAK: Pancasila sudah disepakati sebagai Dasar Negara Republik Indonesia oleh para pendiri bangsa. Nilai-nilai Pancasila ini oleh Bung Karno digali dari kekayaan nilai budaya Nusantara Indonesia. Artinya nilai-nilai yang dijadikan dasar negara ini sudah tertanam sejak lama dalam budaya bangsa Indonesia dan sudah merupakan pegangan hidup bagi masyarakat Indonesia. Tidak heran, Pancasila menyandang banyak peran penting, mulai dari fungsinya sebagai dasar negara, jati diri bangsa, falsafah, sampai ke etika bangsa, Weltanschauung, yang menjiwai kehidupan orang Indonesia. Namun dewasa ini, semuanya ini dilihat sebagai jargon-jargon kosong. Ini ditengarai sebagai telah terjadi semacam penyempitan ruang bagi Pancasila. Pancasila seperti kehilangan posisi dan ruangnya. Maka perlu ada upaya untuk secara cerdas menempatkan kembali Pancasila pada posisinya dan membuka kembali ruang bagi penggalian dan eksplorasi nilai-nilai Pancasila bagi kehidupan manusia dan bangsa Indonesia.KATA KUNCI: Pancasila, posisi, ruang sosial dan politik, pendidika
Sosialisme Ekonomi: Karl Marx dan Karl Polanyi dalam Perbandingan
Berbagai krisis yang melanda ekonomi pasar membuat cita-cita ekonomiyang sejati, yakni membangun kesejahteraan bersama, semakin jauh panggang dariapi. Kegagalan ekonomi dalam melahirkan kesejahteraan dan kebaikan bersama telahmendorong kita untuk mencari jalan keluar yang lain. Pemikiran Karl Polanyi danpara tokoh gerakan sosialisme ekonomi terkemuka lainnya menjadi bagian dari pilihan.Tulisan ini secara khusus mau mendalami konsep Karl Marx sebagai salah satutokoh sosialis terkemuka, dalam rangka memahami lebih jelas konsep dan pemikiranKarl Polanyi. Pendekatan Marx yang ideologis dan teknis serta kontekstual terhadapmasalah ini, sebenarnya masih berkecimpung dalam koridor ekonomi pasar yang justrumenjadi sumber masalah. Sebaliknya Polanyi ingin melakukan satu gerakan yangmenyeluruh dengan menyoroti akar ketercerabutan ekonomi dari realitas sosial
Many crises hit the market-economy. They have made the original economicideals in promoting common good, more and more unreachable. The failure of marketeconomyin promoting the common good has encouraged us to find another way out accordingly.Karl Polanyi and the other figures who lead economic socialism movement shouldbe part of our focus. This paper specifically explores the concept of Karl Marx as one of theleading socialist figure, in order to understand more clearly the concept and the thought ofKarl Polanyi. Marx’s ideological, technical, and contextual approach to this problem, wasactually locked in the corridor of the market-economy itself. In his way, Polanyi wanted tosuggest a more comprehensive movement. Viewing the economy was uprooted from socialrelation (dissembedded–economy) he then suggested the embedded economy for solvingthe market-economy’s problems
Pluralitas Agama dan Konflik Beragama
Pluralitas agama sering dituding sebagai kondisi yang bersimpul pada konflik dan perseteruan antara kelompok agama. Sesungguhnya konflik dan perseteruan itu bukan merupakan kesimpulan dari perbedaan, melainkan sebuah keputusan imperatif yang sering tidak ada hubungan dengannya, selain hanya memanfaatkan, kondisi tersebut. Konflikkonflik dan perseteruan antar agama harus diamati lebih luas dari ranah agama saja, karena agama berinteraksi dengan budaya dan keterbatasan manusia. Dengan demikian penafsiran dan praktikpraktik serta implementasi kebenaran agama, hendaknya selalu didampingi pertimbanganpertimbangan etis dan terus direfleksikan dari dalam, demi menguji kesetiaan agama pada kebenarankebenaran yang diwartakan. Agama juga menuntut penghayatan yang mengandaikan kebebasan. Maka agama pun berpotensi untuk menjadi beranekaragam. Tetapi keanekaragaman tidak harus menjadi premis untuk menyimpulkan adanya konflik. Konflik, seperti juga kerukunan, merupakan keputusan yang bisa diambil atas dasar perbedaan dan keanekaragaman. Oleh karena itu perlu ada pertimbanganpertimbangan etis untuk menghasilkan keputusankeputusan yang bermartabat
Reposisi Pancasila dengan Membuka Ruang bagi Konstruksi Budaya
ABSTRAK: Pancasila sudah disepakati sebagai Dasar Negara Republik Indonesia oleh para pendiri bangsa. Nilai-nilai Pancasila ini oleh Bung Karno digali dari kekayaan nilai budaya Nusantara Indonesia. Artinya nilai-nilai yang dijadikan dasar negara ini sudah tertanam sejak lama dalam budaya bangsa Indonesia dan sudah merupakan pegangan hidup bagi masyarakat Indonesia. Tidak heran, Pancasila menyandang banyak peran penting, mulai dari fungsinya sebagai dasar negara, jati diri bangsa, falsafah, sampai ke etika bangsa, Weltanschauung, yang menjiwai kehidupan orang Indonesia. Namun dewasa ini, semuanya ini dilihat sebagai jargon-jargon kosong. Ini ditengarai sebagai telah terjadi semacam penyempitan ruang bagi Pancasila. Pancasila seperti kehilangan posisi dan ruangnya. Maka perlu ada upaya untuk secara cerdas menempatkan kembali Pancasila pada posisinya dan membuka kembali ruang bagi penggalian dan eksplorasi nilai-nilai Pancasila bagi kehidupan manusia dan bangsa Indonesia.KATA KUNCI: Pancasila, posisi, ruang sosial dan politik, pendidika
Pluralitas Agama dan Konflik Beragama
Pluralitas agama sering dituding sebagai kondisi yang bersimpul pada konflik dan perseteruan antara kelompok agama. Sesungguhnya konflik dan perseteruan itu bukan merupakan kesimpulan dari perbedaan, melainkan sebuah keputusan imperatif yang sering tidak ada hubungan dengannya, selain hanya memanfaatkan, kondisi tersebut. Konflikkonflik dan perseteruan antar agama harus diamati lebih luas dari ranah agama saja, karena agama berinteraksi dengan budaya dan keterbatasan manusia. Dengan demikian penafsiran dan praktikpraktik serta implementasi kebenaran agama, hendaknya selalu didampingi pertimbanganpertimbangan etis dan terus direfleksikan dari dalam, demi menguji kesetiaan agama pada kebenarankebenaran yang diwartakan. Agama juga menuntut penghayatan yang mengandaikan kebebasan. Maka agama pun berpotensi untuk menjadi beranekaragam. Tetapi keanekaragaman tidak harus menjadi premis untuk menyimpulkan adanya konflik. Konflik, seperti juga kerukunan, merupakan keputusan yang bisa diambil atas dasar perbedaan dan keanekaragaman. Oleh karena itu perlu ada pertimbanganpertimbangan etis untuk menghasilkan keputusankeputusan yang bermartabat
Logika : ilmu dan seni berpikir kritis
xix, 179 p. ; 23 cm
Amartya Sen: Keadilan Multikulturalistik
Pembicaraan tentang keadilan harus menghasilkan tujuan kongret, paling tidak mengurangi ketidakadilan. Dalam kaitan ini Amartya Sen menawarkan satu pendekatan baru yang lebih praktis. Dia menulis dalam bukunya The Idea of Justice bahwa keadilan akhirnya terkait dengan cara orang menjalani kehidupan, bukan hanya dengan dunia institusi yang melingkupinya. Persoalannya adalah bahwa keadilan lalu menjadi bersifat pluralistik, karena setiap komunitas budaya, agama, gender dan lain-lain yang punya identitas sendiri-sendiri, juga punya konsep sendiri tentang keadilan. Apakah itu berarti tidak ada konsep keadilan yang bisa diterima semua pihak? Apakah, dengan demikian, tidak akan terjadi konflik di antara masing-masing konsep keadilan? Masalah-masalah itu sebenarnya tidak akan terjadi kalau pendekatan yang ditempuh adalah pendekatan multikultural. Karena identitas setiap individu atau kelompok juga bersifat multi. Pendekatan multikultural akan memperhatikan semua aspek identitas pada setiap orang dan mampu membuat manusia melihat masalah dari berbagai identitas. Maka kebebasan, penalaran, dialog, diskusi tidak bisa dilepaskan dari upaya untuk mengurangi ketidak-adilan dalam masyarakat dan mengupayakan yang lebih adil
- …