18 research outputs found

    RANTAI KOMODITAS, KEWAJIBAN ILMU, DAN SKALA DALAM KONFLIK AGRARIA URUTSEWU

    Get PDF
    Judul: Konflik Agraria diUrutsewu: PendekatanEkologiPolitikPenulis: Devy Dhian CahyaniPenerbit: STPN Press (2014)Halaman: 251Tanpa dibayangi rasa sangsi, saya langsungmenyatakan bahwa buku ini sangat berguna. Baiksecara praksis, pun teoritis. Saya bersinggunganpertama kali dengan naskah Devy kira-kirasetahun yang lalu ketika ia masih dalam bentukpdf, naskah skripsi yang sudah diuji. Waktu itusaya sedang terlibat dalam aliansi SolidaritasBudaya untuk Masyarakat Urutsewu (Esbumus)dalam persiapan acara Arak-arakan Budaya diUrutsewu yang sudah dilaksanakan pada 16 April2014 yang lalu.Kegunaan praksis buku ini saya rasakan padasaat itu; bersama dengan beberapa orang wargaUrutsewu (Seniman Martodikromo, WidodoSunu Nugroho, dan Ubaidillah) kami menggunakanskripsi Devy sebagai salah satu sumberuntuk menyusun kronologi konflik tanah yangsudah sangat panjang di Urutsewu. Kronologikonflik yang disusun ini, bersama dengan f ilesikripsi Devy sendiri, kami gunakan sebagai bahanbacaan di dalam Esbumus agar para personel yangterlibat dengan segera bisa masuk ke jantungpermasalahan konflik tanah di Kebumen. Karenaterasa betapa jarangnya mahasiswa sekarang yangmelakukan riset konflik agraria, ditambah dengankontribusi nyata teks ini yang sudah kami rasakan,rasa hormat mendalam dihaturkan oleh tulisanReview BukuRANTAI KOMODITAS, KEWAJIBAN ILMU,DAN SKALA DALAM KONFLIK AGRARIA URUTSEWUBosman BatubaraJudul: Konflik Agraria diUrutsewu: PendekatanEkologiPolitikPenulis: Devy Dhian CahyaniPenerbit: STPN Press (2014)Halaman: 251ini kepada penulis, Devy.Secara teoritis, saya masih percaya bahwa salahsatu karya tulis ilmiah yang bagus adalah manakaladia mampu memancing pertanyaan-pertanyaandi benak pembaca sebagai bahan bagipenelitian lanjutan. Jadi, meskipun secara personalsaya kadang merasa sayang atau tidak puasmengingat betapa besar energi yang telah dicurahkanDevy dalam menggarap penelitiannyadibandingkan dengan hasil yang ia capai, saya kirafungsi ketidakpuasan saya adalah memulaimelontarkan pertanyaan-pertanyaan untuk penelitiselanjutnya.Dari sisi apa fokus yang diteliti, saya merasariset ini hanya membidik realitas secara parsial.Riset ini dikerangkai secara teoritis untuk mengetahuiekologi politik konflik tambang pasir besidi Urutsewu. Tidak ada masalah bagi saya dalammetode dan metodologi. Masalah muncul didalam unit “pasir besi” yang diteliti. Mengapa?Setelah saya bergulat dengan tema konflikagraria di Urutsewu, saya tersadarkan bahwa konflikini sudah sangat panjang. Berdasarkan kronologiyang kami susun seperti yang disebutkan diatas, konflik di daerah pesisir Kabupaten Kebumenini merentang sejak 1830-an ketika ada penataantanah dalam bentuk Galur Larak yang membagitanah dengan sistem membujur utara-selatan.Sejak itu, berbagai bentuk perampasan tanahmuncul di pesisir Kebumen. Dari situ kita bisamelihat bahwa pasir besi hanyalah satu komoditasyang muncul dalam lintasan sejarah. Ada banyakbentuk masalah yang muncul, misalnya “pemakaiansebagai lapangan tembak oleh militer;Bosman Batubara: Rantai Komoditas, Kewajiban Ilmu, dan Konflik ...: 680-683 681ketakutan masyarakat mengakui bahwa merekamemiliki sertifikat tanah pasca ’65-66; masuknyaperkebunan tebu Madukismo; pemijaman tanahuntuk uji coba senjata berat; pembangunan jalanlintas pantai selatan Jawa; penambangan pasir besi;dan yang paling terkini adalah pemagaran tanaholeh TNI AD. Dari rentangan kasus-kasus itudapat dilihat bahwa pasir besi hanyalah satukomoditas yang muncul dalam rangkaian prosespanjang pertarungan hakatas tanah, dimanakondisi kontemporer secara diametral memperhadapkanmassa petani dengan TNI AD, konjungturyang bertarung di Urutsewu sekarang ini.Tanah di Urutsewu berganti fungsi dalam berbagaibentuk komoditas (perkebunan tebu, jalan,tambang pasir besi, area latihan tembak) danmemicu konflik.Implikasi “kesilapan” memilih unit yang dianalisismembuat skripsi Devy kurang mampu menangkapberbagai perubahan ekologi yang terjadi.Di sini, saya mengandaikan sudah ada kesepakatanbahwa pengertian ekologi politik memasukkan,diantaranya, unsur perubahan ekologidalam berbagai tingkatan—molekul, struktursub-seluler, sel, serabut, organ, organisme, populasi,komunitas, ekosistem, dan landskap.Karena unit yang dianalisis buku ini adalah“ekologi politik tambang pasir besi” yang masihakan terjadi, maka yang dominan muncul dalampembahasan perubahan ekologi politik pada BabVI adalah perubahan ekologi (yang juga) akanterjadi kalau tambang pasir besi dibuka. Dandengan memberikan perhatian pada perubahanyang akan terjadi ini, maka penulis kemudianbanyak meluputkan perubahan ekologi yangtelah terjadi karena konflik panjang, terutamadengan TNI AD, seperti misalnya, perubahanorganisme karena adanya peristiwa penembakanpada 16 April 2011 dan ledakan mortir sebelumnya,serta perubahan landskap karena adanya pembangunanberbagai ornamen militer di sepanjanglahan pasir Urutsewu—menara pandang, tempatpeledakan peluru, rumah perlindungan, tempatuji coba alat berat seperti tank, dan kehadirangedung Dislitbang TNI AD itu sendiri di DesaSetrojenar.Perubahan-perubahan ekologi tingkat organisme-landskap seperti yang dipaparkan di atastidak mungkin tidak menimbulkan reaksi darimanusia-manusia yang tinggal di sekitarnya.Hampir dipastikan pula, sebagai bagian dari aksireaksitersebut, muncul satu kebiasaan baru yangmungkin dalam alunan waktu telah berubahmenjadi ko-evolusi, atau perubahan bersama, baikdi kalangan TNI AD, maupun di kalangan kelompokyang, untuk menyederhanakan penyebutan,tertindas seperti petani Urutsewu. Koevolusimacam apa dan sedalam mana yang telahmuncul, itu yang tetap menjadi misteri. Setidaknyabagi saya.Dari analisis seperti di atas, maka ke depanpenelitian yang harus dilakukan adalah melihatekologi politik dalam kerangka ruang ekologi danwaktu. Perubahan-perubahan apa yang terjadipada masa Kolonial, Kemerdekaan, Paska Kemerdekaan,’65-66, Orde Baru, dan Paska Reformasi.Dengan melakukan studi kronologislah kita akandapat melihat semakin jelas tentang kondisi alam,sosial, serta material praktis yang membentukkondisi sosio-alamiah Urutsewu masa kini besertasemua proses peminggiran yang menyertainya.Saya tidak bisa memandang enteng naskah ini.Meskipun, karena itu pula saya merasa tergodauntuk mempertanyakan arahnya. Sebagai manusia,saya percaya dengan apa yang saya baca pada“Konsepsi Kebudjaan Rakjat” bahwa “Kesenian,ilmu dan industri adalah dasar-dasar dari kebudajaan
Kesenian, ilmu dan industri baru bisamenjadikan kehidupan Rakjat indah, gembira danbahagia apabila semuanja ini sudah mendjadikepunjaan Rakjat.” Apakah naskah Devy ini sudahmenjadi “kepunjaan Rakjat”?Susah untuk menjawa pertanyaan ini. Namunsaya bisa menghadirkan satu hal yang saya anggap682 Bhumi No. 40 Tahun 13, Oktober 2014sebagai kebutuhan orang Urutsewu, setidaknyadalam perspektif subyektif pemahaman saya. Halini penting dimunculkan agar bisa terlihat lebihterang, apakah naskah Devy ini mengabdi kepadakepentingan masyarakat. Tentu saja kepentinganmasyarakat di sini lagi-lagi subyektif. Seseorangbisa mengajak berdebat. Namun, poin yang inginsaya sampaikan adalah, memberikan sebuahukuran terhadap naskah Devy berdasarkan kebutuhanmasyarakat.Dalam beberapa kali diskusi dengan para elitgerakan petani di Urutsewu, masalah yang sayarasa masih sangat susah dipecahkan sampaisekarang adalah bagaimana menghidupkanorganisasi petani di Urutsewu. Seperti halnyakebanyakan organisasi petani yang saya lihat—dan dengar tentangnya—di Jawa Tengah. Sayasampai pada beberapa poin pemikiran mengenaiorganisasi petani di Jawa Tengah, yaitu: 1)memilikisifat elitis dalam artian orangnya itu-itu saja dandengan demikian isu berputar di kalangan yangitu-itu juga; 2)hampir tidak ada kaderisasi; 3)tidakada agenda organisasi yang disusun bersama,misalnya agenda tahunan, dan dengan demikiantidak ada rapat-rapat kontinu; serta 4)kurangberdikari di bidang ekonomi.Naskah Devy ini, kita sadari atau tidak, belumlahmenyentuh apa yang saya anggap sebagaikebutuhan organisasi petani di atas. Dia barumenyentuh dan mengantarkan pembaca ke “halaman”permasalahan-permasalahan itu. Jadi,seandainya waktu bisa diputar mundur dan sayaditakdirkan menjadi kawan diskusi Devy dalamproses penyusunan skripsinya ini, maka saya akandengan sangat bersemangat menyarankan diamelakukan penelitian mendalam terhadap“ekologi politik-mikro organisasi petani diUrutsewu,” agar hasilnya juga menjawab permasalahan/kebutuhan organisasi petani seperti yangsaya sampaikan di atas. Andai itu terjadi, sependekyang dapat saya pahami, teks ini akan semakinbernas baik secara teoritis maupun praktis.Dari segi ekologi politik tambang pasir besi,saya merasa Devy melewatkan satu hal dengantidak membahas konteks global dan nasionalsurutnya perusahaan pasir besi di Urutsewudengan dicabutnya perizinan oleh TNI AD padaMei 2011. Dalam konteks global, tentu saja ini tidakbisa dipisahkan dari kecenderungan menurunharga bijih besi di pasaran dunia. Pada awal 2011bijih besi memiliki harga sekitar 175 Dollar AS perton, dan kecenderungan turun terus terjadihingga menginjak harga sekitar 80 Dollar AS perton pada medio 2014 (sumber:chartbuilderinfomine.com). Hal seperti ini jugaterjadi dengan ledakan permintaan komoditasmangan di Nusa Tenggara Barat (NTB) padaperiode 2008-10 dan kemudian menyusut seiringdengan menurunnya harga mangandunia danturunnya pertumbuhan ekonomi China ke bawah9%, setelah sebelumnya selama sepuluh tahunpada periode 2002-12 konsisten di atas 9%. Dalamkonteks ini, China adalah tujuan ekspor manganNTB.Di tingkat nasional, ini tentu saja tak bisadipisahkan dari konteks regulasi UU Minerba 4/2009 yang mewajibkan pembangunan pemurnian(smelter) untuk sektor industri ekstraktif. Meskipunkemudian hal ini dianulir kembali melaluiPeraturan Pemerintah (PP) 1/2014 yang menurunkankonsentrasi bijih ekstraksi yang dapatdieksport. Sebagai contoh, untuk pasir besi (jenispig iron) pada Peraturan Menteri Energi danSumber Daya Mineral(Permen ESDM) 7/2012yang merupakan “cucu” UU 4/2009 disebutkanpasir besi boleh dieksport dengan konsentrasikemurnian lebih dari 94% Fe; dan pada PermenESDM 1/2014 (“anak” dari PP 1/2014) dia diturunkanmenjadi e” 58% Fe.“Penganuliran” ini adalah hal yang lain, yangpenting diperhatikan di sini adalah kewajibanpeningkatan nilai tambah komoditas ekstraksidan penyerapan tenaga kerja lokal melalui pembangunansmelter telah membuat dinamikaBosman Batubara: Rantai Komoditas, Kewajiban Ilmu, dan Konflik ...: 680-683 683industri ekstraksi berubah ke arah ketakutankalangan industri tidak mampu memenuhikualif ikasi yang dikeluarkan oleh pemerintahmelalui UU Minerba 4/2009 (dan peraturan turunannya)sebelum ia kemudian dianulir sepertiyang dijelaskan di atas.Poin saya membawa dua variabel global dannasional ini, sebagai tambahan terhadap angkakebutuhan besi yang tinggi dan disebut sebagaipemicu munculnya berbagai Izin Usaha Pertambanganpasir besi di Indonesia oleh Devy, inginmenunjukkan bahwa logika yang sama bisa ditautkanmengapa aktivitas ini menyurut belakangan.Tentu saja tanpa menapikan bahwa adaperlawanan di tingkat lokal seperti yang digalangberbagai kelompok petani di Urutsewu. Dengandemikian, kita bisa melihat lebih jelas antarahubungan “skala” global, nasional, dan lokal dalamrantai produksi komoditas pasir besi, atau yangoleh Devy disebut sebagai kapitalisme global.Untuk menyimpulkan sumbangan teoritisbuku ini, dengan demikian, adalah kemampuannyamemicu pertanyaan tentang: 1)politik ekologikonflik agraria di Urutsewu dalam rentang temporalyang lebih panjang (sejak 1830-an) hinggasekarang dalam berbagai bentuk eskalasi—deeskalasinyakarena perubahan komoditas; 2)memetakan kebutuhan yang lebih konkret organisasi-organisasi petani dengan mengasumsikanbahwa ilmu seharusnya adalah “kepunjaan Rakjat”;dan 3)memperlihatkan secara gamblang hubungan“skala” (global, nasional, dan lokal) dalamrantai produksi komoditas. Dan rasanya, inilahtugas peneliti berikutnya

    Pemanfaatan Andesit Gunung Pining Untuk Tegel

    Get PDF
    Key word : Andesi

    Politicising land subsidence in Jakarta: How land subsidence is the outcome of uneven sociospatial and socionatural processes of capitalist urbanization

    Get PDF
    Jakarta is sinking dramatically because of land subsidence, which in turn increases its vulnerability to tidal flooding. The explanation of land subsidence’s causes and the design of solutions is led by geoscientists and engineers, who tend to treat it as largely a technical problem. This paper takes issue with this. It sets out to contribute to politicizing land subsidence by analysing it as part of the sociospatial and socionatural transformations that characterize processes of urbanization. We propose an approach that allows showing how subsidence happens through urbanization’s interconnected moments of horizontal concentration, vertical extension, and differentiation – the weight of the built environment, the expansion of deep groundwater wells, and the remaking of the city (and beyond). By investigating the sociospatial correlation between land subsidence and the development of buildings, and the temporal correlation between land subsidence and the increase of groundwater wells we illustrate how land subsidence is intrinsic to (post-) New Order capitalism (1965–1998 and 1998-now). We also show that it proceeds in uneven ways: those who cause subsidence are not the ones who suffer most from it. Through a serious treatment of soil–water dynamics, our socionatural theorization also helps appreciate how urbanization is always co-shaped by interactions between human and non-human processes

    Urbanization in (post-) New Order Indonesia: connecting unevenness in the city with that in the countryside

    Get PDF
    This article explores the relationship between the uneven outcomes of development in Indonesian cities with exclusionary outcomes of capitalist development in rural areas. Combining concepts of planetary urbanization with critical agrarian studies, we show how sociospatial and socionatural differentiations in (post-) New Order Java result in the emergence of the Kaum Miskin Kota, a ‘stagnant relative surplus population’ residing in precarious flood-prone urban spaces. These forms of differentiation are dialectically related to rural enclosures caused by the creation of political forest and political water. Tracing such relations forms a good basis to connect rural- and urban-based social movements

    Transforming critical agrarian studies: Solidarity, scholar-activism and emancipatory agendas in and from the Global South

    Get PDF
    This paper examines the challenges and opportunities faced by critical agrarian scholars in and from the Global South. We argue that despite the historical and structural limitations, the critical juncture of convergence of crises and renewed interest in agrarian political economies offers an opportunity for fostering a diverse research agenda that opens space for critical perspectives about, from and by the Global South, which is mostly absent in mainstream scholarship dominated by the Global North. We also propose doing so by enhancing solidarity to transform injustices within academia and other spaces of knowledge production and dissemination. To develop the argument, first, we reflect on the multiplicity of crises in rural areas and the changing character of social struggles, as well as the interlinkages between environmental crises and the re-emergence of critical agrarian studies that are reshaping the agrarian question. Then, we discuss the implications and conditions of the political agenda carried out by a scholar-activist movement working on agrarian studies from the Global South. Drawing on our experience as the Collective of Agrarian Scholar-Activists from the South (CASAS), we conclude by proposing three ways forward for enhancing solidarity through networks of scholar-activists: knowledge accessibility, cooperative organization, and co-production of knowledge.IPAF RegiĂłn PatagĂłnicaFil: Aguiar, Diana. Federal University of Bahia. Institute of Humanities, Arts, and Sciences (IHAC); BrasilFil: Ahmed, Yasmin. American University in Cairo. Department of Sociology, Egyptology, Anthropology; EgiptoFil: Avcı, Duygu. Sabanci University. Faculty of Engineering and Natural Sciences; TurquĂ­aFil: Bastos, Gabriel. Federal University of Juiz de Fora. Department of Social Sciences; BrasilFil: Batubara, Bosman. Utrecht University. Human Geography and Spatial Planning; PaĂ­ses BajosFil: Bejeno, Cynthia. Erasmus University Rotterdam. International Institute of Social Studies. Civic Innovation Group; PaĂ­ses BajosFil: Camacho-Benavides, Claudia I. Universidad AutĂłnoma Metropolitana-Xochimilco. Departamento de ProducciĂłn EconĂłmica; MĂ©xicoFil: Camacho-Benavides, Claudia I. Anima Mundi, A.C. InvestigaciĂłn y AcciĂłn Biocultural; MĂ©xicoFil: Chauhan, Komal. Indian Institute of Technology. Department of Humanities and Social Sciences; IndiaFil: Chauhan, Komal. Foundation for Agrarian Studies; IndiaFil: Coronado, Sergio. Centro de Investigación y Educación Popular; ColombiaFil: Coronado, Sergio. Erasmus University Rotterdam. International Institute of Social Studies. Political Ecology Research Group; PaĂ­ses BajosFil: Das, Somashree. Jawaharlal Nehru University. School of Social Sciences. Centre for the Study of Regional Development; IndiaFil: Ejarque, Mercedes. Instituto Nacional de TecnologĂ­a Agropecuaria (INTA). Instituto de InvestigaciĂłn y Desarrollo TecnolĂłgico para la Agricultura Familiar RegiĂłn Patagonia; ArgentinaUniversity of Bristol. School of Modern Languages. Department of Hispanic, Portuguese and Latin American Studies; Reino UnidoFil: Valencia-Duarte, Diana MarĂ­a. University of Bristol. School of Modern Languages. Department of Hispanic, Portuguese and Latin American Studies; Reino UnidoFil: Valencia-Duarte, Diana MarĂ­a. University of Exeter. Faculty of Humanities, Arts and Social Sciences. Department of Archaeology and History; Reino Unid

    Pelanggaran berat HAM oleh korporasi

    No full text
    30 cm. 247 Hlm.:16

    Floods in (post-) New Order Jakarta: A political ecology of urbanization

    No full text
    This thesis aims to inform critical thinking of and acting on flood events and flood infrastructure development in Jakarta, to call attention to how they are deeply political. It explains how both the occurrence of flooding and the development of flood infrastructure in contemporary Jakarta are partly the result of, and in turn help to create a particular trajectory of Indonesia’s (post-) New Order regime (1965-1998 and 1998-now) uneven urbanization. Equipped with ‘political ecology of urbanization’ explanatory framework and ‘ecologized dialectical method’, this thesis repoliticizes, and opens possibilities on how to think through and confront, the uneven urbanization of (post-) New Order regime in its relation to the production of Jakarta’s flood events and development of flood infrastructures involving human and nonhuman in the city and beyond, above and below ground

    Crisis, Injustice, and Socio-Ecological Justice

    No full text
    This article theorizes on crises, injustice, as well as socio-ecological justice by taking the case study of a drought crisis occurring in shallow wells belonging to local residents vis-à-vis the deeper wells of hotel establishments in Yogyakarta. The hotel establishments themselves are facing a crisis of overproduction— an integral part of “Accumulation by Dispossession” (AbD). However, the theory of AbD, grounded in the contradiction between labour and capital, is inadequate in explaining this crisis. As the drought phenomenon comprises non-labour elements, the theory of overproduction needs to be supplemented with a theory of crisis of underproduction (aleon). The socio-ecological injustice resides in the operation of hotel wells that is dictated by exchange-value, while all household wells are governed by use-value. To achieve socio-ecological justice, this article suggests positing use-value as an axis in determining the relationship between humans and non-human elements to build an interconnected anti-capitalism movement

    Crisis, Injustice, and Socio-Ecological Justice

    No full text
    This article theorizes on crises, injustice, as well as socio-ecological justice by taking the case study of a drought crisis occurring in shallow wells belonging to local residents vis-à-vis the deeper wells of hotel establishments in Yogyakarta. The hotel establishments themselves are facing a crisis of overproduction— an integral part of “Accumulation by Dispossession” (AbD). However, the theory of AbD, grounded in the contradiction between labour and capital, is inadequate in explaining this crisis. As the drought phenomenon comprises non-labour elements, the theory of overproduction needs to be supplemented with a theory of crisis of underproduction (aleon). The socio-ecological injustice resides in the operation of hotel wells that is dictated by exchange-value, while all household wells are governed by use-value. To achieve socio-ecological justice, this article suggests positing use-value as an axis in determining the relationship between humans and non-human elements to build an interconnected anti-capitalism movement
    corecore