4 research outputs found

    Pengaruh Pemberian Vitamin D3 Terhadap Ekspresi TNF-α dan TGF-β serta Perbaikan Mukosa Kolon Pada Mencit Model Kolitis

    No full text
    Kolitis ulseratif merupakan salah satu subtipe dari penyakit Inflammatory Bowel Disease yang ditandai dengan peradangan kronik dan difus pada mukosa kolon hasil manifestasi kelainan yang diperantarai oleh gangguan regulasi sistem imun tubuh sehingga mengakibatkan produksi sitokin inflamasi berlebih serta penurunan sitokin anti-inflamasi. Salah satu etiologi kolitis ulseratif adalah defisiensi vitamin D. Beberapa penelitian menunjukkan insufisiensi atau defisiensi dari vitamin D pada pasien kolitis ulseratif, bahkan pada pasien yang sudah mengalami remisi. Bentuk aktif dari vitamin D adalah vitamin D3 yang diketahui berperan sebagai imunomodulator dalam sistem imun innate dan adaptif. Vitamin D3 memiliki peran dalam memelihara fungsi epitel sebagai barrier melalui produksi peptide antimikroba seperti β-defensin 2, Cathelicidin Antimicrobial Peptide (CAMP), dan sel Paneth. Selain itu vitamin D3 juga berperan terhadap maturasi sel dendritik dan makrofag serta produksi sel regulator seperti sel T regulator, sel iNKT dan sel T CD8αα. Berbagai mekanisme tersebut menyebabkan hambatan terbentuknya sel T efektor Th1 sehingga menekan produksi berbagai sitokin pro-inflamasi serta terbentuknya sitokin anti-inflamasi. Penelitian ini bertujuan untuk membuktikan efek pemberian vitamin D3 untuk dapat menurunkan sitokin pro-inflamasi TNF-α sehingga dapat menurunkan kerusakan kolon dan meningkatkan sitokin anti-inflamasi TGF-β sehingga dapat memperbaiki kolon yang mengalami kerusakan. Penelitian ini menggunakan hewan coba mencit jantan BALB/c sebanyak 24 ekor yang dibagi menjadi 4 kelompok secara acak. Kelompok kontrol negatif diberikan aquadest selama perlakuan, kelompok kontrol positif diberikan DSS 3% (mencit model kolitis) selama 7 hari kemudian diberikan akuadest selama 7 hari, kelompok perlakuan I diberikan DSS 3% selama 7 hari dilanjutkan pemberian vitamin D3 dengan dosis 0.2μg/25gram/hari selama 7 hari dan kelompok perlakuan II diberikan vitamin D3 dengan dosis 0.2μg/25gram/hari selama 7 hari kemudian dilanjutkan pemberian DSS 3% selama 7 hari. Selama perlakuan dilakukan penghitungan skor DAI sampai mencit dibedah bersamaan. Setelah pembedahan, diambil sampel kolon untuk pengecekan MCHI, ekspresi TNF-α dan TGF-β kemudian hasilnya dianalisis menggunakan SPSS versi 25. Hasil skor DAI dianalisis menggunakan uji Friedman dan didapatkan hasil signifikan pada masing-masing kelompok terhadap hari perlakuan (p0.05). Hasil TGF-β dianalisis menggunakan uji Anova didapatkan hasil signifikan (p0.05). Dari hasil tersebut dapat disimpulkan bahwa pemberian vitamin D3 dapat menekan TNF-α sehingga dapat menghambat kerusakan kolon dan meningkatkan TGF-β sehingga dapat memperbaiki kolon yang mengalami kerusakan. Vitamin D3 dapat dipertimbangkan sebagai agen terapi maupun agen preventif untuk kolitis ulseratif

    Pengaruh pemberian suplementasi zinc dan vitamin D3 terhadap outcome klinis-laboratorium dan insiden remisi pada anak dengan sindrom nefrotik initial attack.

    No full text
    Penyakit Sindrom Nefrotik merupakan penyakit kelainan ginjal yang paling umum pada anak anak yang ditandai dengan adanya proteinuria masif, hipoalbuminemia serta adanya klinis edema. Indonesia dilaporkan kejadian 6 per 100.000 per tahun pada anak berusia kurang dari 14 tahun. Perbandingan anak laki - laki dan perempuan 2:1. Proporsi SN 90% merupakan idiopatik yang merupakan Sindrom Nefrotik Initial Attack (SNIA) dengan SNSS, dimana target terapi pasien SN adalah terjadinya remisi dan tidak jatuh pada kejadian relpas atau ketergantungan bahkan resisten terhadap steroid. Angka relaps didunia berdasarkan data masih tinggi, yaitu 80% dari 80% pasien SNIA yang mengalami insiden remisi pada pengobatan full dose, kejadian seperti ini meninmbulkan beban dan quality of life pada anak. Penelitian ini berupaya optimalisasi pemberian suplementasi zinc, vitamin D3 maupun kombinasi keduanya untuk meningkatkan angka insiden remisi melalui pemantauan outcome klinis dan laboratoris. Pasien anak dengan SN dalam beberapa penelitian terbukti memiliki kadar serum zinc dan serum vitamin D yang rendah bahkan mengalami defisiensi, seperti dalam penelitian ini 100% sampel mengalami defisiensi zinc dan 93% sampel mengalami devisiensi vitamin D. beberapa penelitian lain menunjukkan hubungan antara kadar rendah zinc maupun vitamin D pada pasien sindrim nefrotik terhadap timbulnya resisten steroid maupun angka kejadian relaps yang tinggi. Adanya kekurangan zinc dan vitamin D pada tubuh membuat pengaruh adanya penurunan sitokin, peningkatan kejadian infeksi dan pencetus inflamasi pada tubuh. Penelitian ini berupaya dengan pemberian suplementasi zinc maupun vitamin D3 memperbaiki kadar serum dalam tubuh dan vi meningkatkan kejadian remisi pada SNIA, melalui 4 kelompok (termasuk 1 kelompok kontrol) dengan 3 kelompok lainnya adalah kelompok suplementasi zinc, suplementasi vitamin D3 dan kelompok yang mengkombinasikan keduanya (zinc + vitamin D3). Secara outcome klinis yang didapatkan dalam penelitian ini dengan keluhan awal bengkak (n=40, 100%), Infeksi Saluran Kemih (ISK) (n=23, 58%), demam dan batuk (n=15, 38%), pneumonia dan sesak (n=10, 25%), keluhan mual muntah (n=9 , 22,5%), ascited dan efusi pleura (n=7, 17,5%), diare (n=6, 15%) dan terdapat sedikit yang mengalami nyeri perut (n=3, 7,5%), dan Hipertensi (n=2 , 5%). Seluruh keluhan yang didapati dalam penelitian ini secara deskriptif mengalami perbaikan setelah pemberian suplementasi zinc dan vitamin D3 dibandingkan sebelumnya, namun hasil akhir seleksi kandidat model uji multivariate terdapat 6 klinis yang dapat dilanjutkan yang menjadi faktor resiko timbulnya resisten steroid (gagal remisi) yaitu demam, batuk, muntah, ISK, ascites dan sesak dengan nilai pada kejadian ascites merupakan nilai tertinggi yang memberikan arti menjadi faktor dominan dalam membuat terjadinya resisten steroid pada pasien SNIA

    Perbandingan Kadar Sgot Dan Sgpt Pada Pasien Hiv/Aids Yang Mendapatkan Terapi Nevirapine Di Rsud Dr. Saiful Anwar Malang Terhadap Nilai Normal

    No full text
    Latar Belakang: HIV adalah virus yang menyerang sistem kekebalan tubuh manusia dan kemudian dapat menimbulkan AIDS. Hal yang dapat dilakukan untuk mengobati pasien HIV adalah penggunaan terapi ARV. Salah satu efek samping yang dapat terjadi dari penggunaan ARV adalah gangguan fungsi hati. Gangguan fungsi hati ditandai dengan peningkatan enzim hati (SGOT dan SGPT). Tujuan: Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui perbandingan kadar SGOT dan SGPT pada pasien dengan HIV/AIDS yang mendapatkan terapi Nevirapine di RSUD dr. Saiful Anwar, Malang terhadap nilai normal. Metode: Penelitian ini menggunakan metode analitik dengan menggunakan data kadar SGOT dan SGPT berasal dari rekam medis pasien. 50 sampel kadar SGOT dan SGPT selanjutnya dianalis menggunakan uji statistic One-Sampel T-Test. Hasil dan Pembahasan: Hasil uji statistic One-sampel test pada rerata kadar SGOT dan SGPT menunjukkan p-value bernilai >1,00 yang artinya rerata kadar SGOT dan SGPT pasien yang mendapatkan terapi Nevirapine dalam taraf normal. Kesimpulan Perbandingan kadar SGOT dan SGPT pada pasien HIV/AIDS yang mendapatkan terapi Nevirapine dengan nilai normal memiliki hasil normal

    Hubungan Kadar Lemak ASI Dengan Penambahan Berat Badan Bayi Usia 3-6 Bulan.

    No full text
    garam-garam anorganik yang disekresi oleh kelenjar pada payudara ibu untuk menjadi asupan makanan bayi. Salah satu kandungan ASI yang berfungsi untuk membantu penambahan berat badan bayi adalah lemak. Lemak merupakan kandungan kedua terbanyak pada ASI setelah laktosa. Rata-rata, penambahan berat bayi berada pada tahap stabil ketika usia 3-6 bulan. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan kadar lemak ASI dengan penambahan berat badan bayi usia 3-6 bulan. Penelitian ini merupakan studi korelatif dengan pendekatan cohort. Sampel dipilih dengan menggunakan teknik total population sampling pada bulan Oktober. Didapatkan 30 bayi usia 3-6 bulan yang diberikan ASI eksklusif di Wilayah Kerja Puskesmas Singosari. Hasil penelitian ini menunjukkan nilai signifikansi untuk variabel kadar lemak asi dengan berat badan bayi semuanya memiliki nilai lebih besar dibandingkan 0,05 yang artinya kadar lemak ASI dengan penambahan berat badan bayi tidak mempunyai hubungan yang signifikan. Nilai Pearson Correlation untuk variabel kadar lemak ASI dengan berat badan bayi pada pengukuran pertama memiliki nilai 0,203 sedangkan pada pengukuran kedua memiliki nilai 0,089 yang berarti memiliki hubungan sangat lemah. Dengan demikian dapat disimpulkan hubungan kadar lemak ASI dengan penambahan berat badan bayi usia 3-6 bulan adalah lemah dan tidak signifikan
    corecore