12 research outputs found

    Peranan Ekstrak Kayu Secang (Caesalpinia Sappan L.) Sebagai Antimikroba Oral: Studi Literatur

    No full text
    Latar belakang: Penyakit gigi dan mulut merupakan permasalahan kesehatan yang cukup tinggi di Indonesia. Beberapa jenis mikroba rongga mulut, yaitu bakteri dan jamur, berperan penting dalam patogenesis penyakit infeksi pada mulut. Mikroba dari infeksi rongga mulut yang tidak segera dibunuh dapat menyebar ke organ tubuh lainnya dan menimbulkan infeksi sistemik. Ekstrak Caesalpinia sappan L. (C. sappan) atau kayu secang dapat menjadi agen antimikroba alternatif terhadap patogen oral. Tujuan: Mengetahui peranan ekstrak kayu secang sebagai antibakteri dan antijamur terhadap patogen rongga mulut serta untuk mengetahui kandungan fitokimia ekstrak kayu secang yang bekerja sebagai antimikroba. Metode: Studi literatur dari database elektronik PubMed, ScienceDirect, dan Google Scholar berupa jurnal hasil penelitian mengenai efek ekstrak kayu secang sebagai antibakteri dan antijamur. Hasil dan pembahasan: Ekstrak kayu secang memiliki efek antimikroba terhadap bakteri gram negatif A. actinomycetemcomitans, dan P. gingivalis, bakteri gram positif E. faecalis, S. mutans, S. intermedius, S. aureus, A. viscosus, S. salivarius, S. sanguis dan jamur C. albicans. Hal ini dikarenakan ekstrak kayu secang mengandung flavonoid, tanin, saponin, fenolik, alkaloid, dan terpenoid. Faktor yang dapat mempengaruhi perbedaan hasil aktivitas antimikroba antara lain, jenis pelarut dan konsentrasi ekstrak. Kesimpulan: ekstrak kayu secang dapat menghambat pertumbuhan bakteri gram positif, bakteri gram negatif, dan jamur patogen oral

    Laju Aliran saliva dan pH saliva sebagai indikator periodontitis dan karies gigi: Tinjauan Literatur ́

    No full text
    Latar Belakang: Saliva adalah cairan biologis yang diproduksi oleh kelenjar ludah, mengandung elektrolit, protein, glikoprotein, dan molekul organik kecil. Adanya penyakit gigi dan mulut bisa disebabkan oleh kelainan saliva, dan sebaliknya penyakit gigi dan mulut dapat tercermin pada kelainan saliva, sehingga pemeriksaan saliva dapat berfungsi sebagai indikator penyakit.. Tujuan: Mengetahui laju aliran saliva dan pH saliva sebagai indikator penyakit periodontitis dan karies gigi. Metode: Pencarian literatur melalui database elektronik PubMed dan Google Scholar, kemudian penyaringan dan penilaian untuk selanjutnya dilakukan review. Kriteria inklusi yaitu artikel penelitian yang tentang laju aliran saliva dan pH saliva berkaitan dengan penyakit periodontitis dan karies gigi, Hasil: Didapatkan 10 artikel penelitian yang menyebutkan laju aliran saliva dan pH sebagai indikator pada peridontitis dan karies gigi. Pada periodontitis terjadi peningkatan pH saliva 6,5-11,65 dan laju aliran saliva tidak terstimulasi 0,5-0,69 mL/menit. Pada karies gigi terjadi penurunan pH saliva kisaran 5,5-6,4 dan laju aliran saliva tidak terstimulasi yang menurun, yaitu 0,2-0,4 mL/menit. Kesimpulan: pH saliva dan laju aliran saliva dan pH saliva dapat digunakan sebagai indikator penyakit periodontitis dan karies gig

    Il-6, Rasio Crp/ Albumin, Il-6/ Limfosit Dan Neutrofil/ Limfosit Sebagai Prediktor Mortalitas Pada Pasien Covid-19

    No full text
    Coronavirus disease 2019 (COVID-19) adalah penyakit yang disebabkan oleh Severe Acute Respiratory Syndrome Corona Virus 2 (SARS-CoV-2). Proses inflamasi merupakan salah satu faktor yang sangat berperan dalam perjalanan penyakit COVID-19. Aktivasi sitokin, kemokin serta sistem imun dapat menyebabkan kondisi hiperinflamasi. Tujuan studi ini adalah menganalisa parameter yang berkaitan dengan proses inflamasi, antara lain: CRP/Albumin ratio (CAR), interleukin 6 (IL-6), IL-6/ lymphocyte ratio (IL-6/LY), dan neutrophil/lymphocyte ratio (NLR) sebagai prediktor mortalitas pada COVID-19. Pada akhir masa studi didapatkan 50 pasien COVID-19 non-survivor dan 31 pasien survivor. AUROC untuk CAR, IL-6, IL-6/LY, dan NLR adalah: 71,4% (95% CI: 59,3-89,4%; p= 0,001); 77,3% (95% CI: 66-88,6%; p= 0,000); 75,5% (95% CI: 64,3-86,8%; p= 0,000); 64,6% (95% CI: 52,3-76,9%; p= 0,028) dengan nilai cut off optimal 2,7 untuk CAR, 47,5 untuk IL-6, 39,3 untuk IL-6/LY, dan 5,59 untuk NLR. Analisa kurva Kaplan Meier menunjukkan nilai p<0,05 pada kelompok yang dibedakan menurut cut off optimal dengan nilai HR 7,706 untuk CAR, 14,131 untuk IL-6, 0,807 untuk IL-6/LY, dan 1,926 untuk NLR. CAR dan IL-6 memiliki nilai prediktor yang paling baik pada penelitian ini dan memiliki potensi sebagai prediktor mortalitas pada pasien COVID-19. Studi lebih lanjut dengan pengukuran parameter – parameter tersebut secara serial mungkin dapat memberikan nilai prediktor yang lebih baik

    Korelasi Kadar Liver-Type Fatty Acid Binding Protein (L-FABP) dan Beta Trace Protein (BTP) Serum Pada Pasien Cedera Ginjal Aku

    No full text
    Cedera ginjal akut / Acute Kidney Injury (AKI) merupakan salah satu komplikasi serius yang sering muncul pada pasien kritis. AKI adalah salah satu dari kondisi patologis yang mempengaruhi struktur dan fungsi ginjal. AKI berkaitan erat dengan meningkatnya angka mortalitas dan risiko untuk terjadinya chronic kidney disease (CKD). Insiden AKI di dunia didapatkan bahwa 20% pasien yang dirawat di rumah sakit mengalami AKI. Prevalensi AKI pada pasien kritis cukup tinggi yaitu sekitar 50% dan 30% diantaranya membutuhkan renal replacement therapy (RRT). Kematian akibat AKI pada pasien ICU dilaporkan lebih dari 50%. Studi di Asia menunjukkan insiden AKI di Asia Timur sebesar 19,4%; di Asia Selatan sebesar 7,5%; di Asia Tenggara mencapai 31,0%; Asia Tengah 9,0% dan 16,7% di Asia Barat. Sedangkan mortalitas pasien karena AKI sebesar 36,9% di Asia Timur, 13,8% Asia Selatan dan 23,6% di Asia Barat. Salah satu biomarker AKI adalah kreatinin serum, yang mempunyai sensitivitas 52,9% dan spesifisitas 85,7%. Sensitivitas dan spesifisitas kreatinin serum tersebut kurang baik karena kadar kreatinin serum dapat meningkat tanpa ada cedera nyata pada ginjal. Kadar kreatinin serum tidak berubah meski telah terjadi cedera tubulus akut karena adanya kompensasi peningkatan fungsi oleh nefron yang tersisa. Diagnosis AKI saat ini ditegakkan berdasarkan kriteria KDIGO dengan adanya peningkatan kreatinin serum yang kurang sesuai untuk menilai kerusakan ginjal karena peningkatan kreatinin serum baru terdeteksi setelah terjadi kerusakan ginjal. L-FABP (Liver type Fatty Acid Binding Protein) dan BTP (Beta Trace Protein) adalah protein berat molekul rendah yang dikatakan dapat menjadi biomarker yang ditemukan untuk diagnosis dini cedera ginjal akut. Jika didapatkan cedera ginjal akut maka kadar kreatinin serum, L-FABP dan BTP akan meningkat. Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui perubahan kadar L-FABP serum dan BTP pada pasien sebelum dan saat terjadinya AKI sehingga L-FABP dan BTP dapat digunakan sebagai penanda terjadinya AK

    Korelasi Kadar Liver-Type Fatty Acid Binding Protein (L-FABP) dan Beta Trace Protein (BTP) Serum Pada Pasien Cedera Ginjal Akut

    No full text
    Cedera ginjal akut / Acute Kidney Injury (AKI) merupakan salah satu komplikasi serius yang sering muncul pada pasien kritis. AKI adalah salah satu dari kondisi patologis yang mempengaruhi struktur dan fungsi ginjal. AKI berkaitan erat dengan meningkatnya angka mortalitas dan risiko untuk terjadinya chronic kidney disease (CKD). Insiden AKI di dunia didapatkan bahwa 20% pasien yang dirawat di rumah sakit mengalami AKI. Prevalensi AKI pada pasien kritis cukup tinggi yaitu sekitar 50% dan 30% diantaranya membutuhkan renal replacement therapy (RRT). Kematian akibat AKI pada pasien ICU dilaporkan lebih dari 50%. Studi di Asia menunjukkan insiden AKI di Asia Timur sebesar 19,4%; di Asia Selatan sebesar 7,5%; di Asia Tenggara mencapai 31,0%; Asia Tengah 9,0% dan 16,7% di Asia Barat. Sedangkan mortalitas pasien karena AKI sebesar 36,9% di Asia Timur, 13,8% Asia Selatan dan 23,6% di Asia Barat. Salah satu biomarker AKI adalah kreatinin serum, yang mempunyai sensitivitas 52,9% dan spesifisitas 85,7%. Sensitivitas dan spesifisitas kreatinin serum tersebut kurang baik karena kadar kreatinin serum dapat meningkat tanpa ada cedera nyata pada ginjal. Kadar kreatinin serum tidak berubah meski telah terjadi cedera tubulus akut karena adanya kompensasi peningkatan fungsi oleh nefron yang tersisa. Diagnosis AKI saat ini ditegakkan berdasarkan kriteria KDIGO dengan adanya peningkatan kreatinin serum yang kurang sesuai untuk menilai kerusakan ginjal karena peningkatan kreatinin serum baru terdeteksi setelah terjadi kerusakan ginjal. L-FABP (Liver type Fatty Acid Binding Protein) dan BTP (Beta Trace Protein) adalah protein berat molekul rendah yang dikatakan dapat menjadi biomarker yang ditemukan untuk diagnosis dini cedera ginjal akut. Jika didapatkan cedera ginjal akut maka kadar kreatinin serum, L-FABP dan BTP akan meningkat. Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui perubahan kadar L-FABP serum dan BTP pada pasien sebelum dan saat terjadinya AKI sehingga L-FABP dan BTP dapat digunakan sebagai penanda terjadinya AKI. Metode penelitian ini adalah observasional longitudinal dengan subyek pasien yang diambil sampel sebelum dan sesudah terjadinya AKI (pre dan post-AKI). Sampel diambil saat awal sebelum terjadi AKI dan 48 jam kemudian saat terjadi AKI yang ditandai dengan adanya peningkatan kadar kreatinin serum β‰₯0,3 mg/dL. Kadar kreatinin serum diperiksa menggunakan metode enzimatik kolorimetrik dengan kreatininase, sedangkan L-FABP serum dan BTP dengan metode ELISA. Jumlah subyek penelitian adalah 40 orang, dengan jumlah total sampel 80 yaitu 40 sampel pre-AKI dan 40 sampel post-AKI. Hasil analisis dengan uji Wilcoxon menunjukkan terdapat perbedaan signifikan (p<0,001) antara kadar kreatinin serum, L-FABP, dan BTP sebelum dan saat terjadinya AKI. Kadar kreatinin serum, L-FABP dan BTP berubah atau mengalami peningkatan saat terjadi AKI. Uji korelasi Spearman menunjukkan terdapat korelasi positif dengan kekuatan sedang antara delta kreatinin dengan L-FABP (r= 0,558, nilai p<0,001) dan delta BTP dengan L-FABP (r= 0,587, nilai p<0,001). Terdapat korelasi positif dengan kekuatan korelasi yang sedang (moderate) yang signifikan antara kreatinin dan L-FABP dan antara BTP dengan L-FABP, sehingga jika terdapat kenaikan kreatinin dan juga kenaikan BTP maka akan terjadi kenaikan kadar L-FABP. Sedangkan korelasi antara delta kreatinin dengan BTP tidak signifikan (r= 0,263, nilai p-0,102). Hal ini dapat terjadi karena subjek penelitian ini kemungkinan mengalami gangguan fungsional di glomerulus sehingga menyebabkan penurunan fungsi ginjal yang menyebabkan peningkatan kreatinin serum namun tidak berkorelasi dengan BTP serum karena belum terjadi kerusakan secara struktural pada tubulus. Dibutuhkan pemeriksaan lebih lanjut untuk mengetahui apakah terdapat kerusakan struktural pada sel tubulus proksimal yang dapat menyebabkan peningkatan BTP. Dapat disimpulkan bahwa kadar L-FABP serum dan BTP meningkat signifikan pada kondisi AKI, dan terdapat korelasi positif dengan kekuatan sedang pada kreatinin serum dan L-FABP, sehingga berpotensi menjadi marker untuk diagnosis AKI

    Pengaruh Jumlah Trombosit dan Thrombopoietin dengan Keparahan Sirosis Hepatis Menggunakan Skor Model for End-Stage Liver Disease.

    No full text
    Sirosis hati merupakan suatu kondisi patologis stadium akhir dari proses fibrosis hati difus. Di Indonesia, Prevalensi sirosis hepatis yaitu dengan rata-rata 3,5%. Skor MELD adalah sistem skoring yang telah dikembangkan untuk menilai atau memprediksi outcome serta kelangsungan hidup pada pasien sirosis. Pada penderita sirosis hati, sel yang rusak diganti dengan sel muda jaringan ikat sehingga fungsi hati akan mengganggu produksi thrombopoietin dan mengakibatkan jumlah trombosit menurun. Penelitian ini merupakan penelitian observasional analitik dengan pendekatan cross sectional pada pasien Sirosis Hepatis yang bertujuan untuk membuktikan pengaruh jumlah trombosit dan thrombopoietin dengan keparahan sirosis hepatis menggunakan MELD. Hasil penelitian menunjukkan jumlah trombosit dan thrombopoietin tidak adanya pengaruh terhadap skor MELD dan tidak terdapat perbedaan pada kelompok pasien sirosis hati yang memiliki skor MELD <12 dan skor MELD β‰₯12. Hal ini menandakan bahwa keparahan sirosis hepatis tidak selalu diindikasikan adanya penurunan jumlah trombosit dan kadar thrombopoietin

    Pengaruh Pemberian Kombinasi Tepung Daun Kelor (Moringa Oleifera) Dan Kulit Tomat (Solanum Lycopersicum) Terhadap Kadar Glukosa Darah Tikus Wistar Model Diabetes Melitus Tipe 2: Eksperimental

    No full text
    Diabetes melitus tipe 2 adalah salah satu penyakit metabolik yang diperankan oleh sel Ξ² pankreas yang tidak menghasilkan insulin secara adekuat atau tidak bisa menggunakan insulin secara efektif, sehingga mengakibatkan peningkatan kadar glukosa di dalam darah. Diabetes melitus memiliki angka insidensi yang tinggi diantara masyarakat Indonesia dan diperkirakan akan meningkat terus setiap tahunnya. Daun kelor (Moringa oleifera) dan kulit tomat (Solanum lycopersicum) memiliki kandungan antioksidan likopen dan flavonoid yang tinggi sehingga dipercaya dapat digunakan sebagai anti-diabetes dalam menurunkan kadar glukosa darah penderitanya. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh pemberian tepung daun kelor (Moringa oleifera) dan kulit tomat (Solanum lycopersicum) dalam menurunkan kadar glukosa darah pada hewan coba model diabetes melitus tipe 2. Metode yang digunakan adalah eksperimental dengan Rancangan Acak Lengkap dan data yang didapatkan akan dianalisis menggunakan uji One Way ANOVA serta uji regresi menggunakan aplikasi SPSS. Kadar glukosa darah tikus model diabetes melitus tipe 2 mengalami perbedaan glukosa darah setelah intervensi yang signifikan (P=0.012) pada kelompok positif dengan kelompok 1 dengan dosis intervensi 100 mg/KgBB (P=0.047) dan kelompok 3 dengan dosis intervensi 300 mg/KgBB (P=0.012). Kesimpulan pada penelitian ini yaitu didapatkan perbedaan glukosa darah yang signifikan namun pemberian perlakuan intervensi tidak memiliki pengaruh yang signifikan terhadap peningkatan atau penurunan kadar glukosa darah setelah intervensi

    Pengaruh Pemberian Kombinasi Tepung Daun Kelor (Moringa oleifera) dan Kulit Tomat (Solanum lycopersicum) Terhadap Kadar Trigliserida Tikus Wistar Model Diabetes Melitus Tipe 2

    No full text
    Diabetes melitus tipe 2 merupakan penyakit metabolik kronis karena gangguan fungsi insulin dan ditandai dengan hiperglikemia dan dislipidemia. Bentuk dislipidemia yang mendominasi adalah hipertrigliserida. Kedua kondisi ini mengharuskan pasien untuk mengkonsumsi berbagai macam obat sehingga berpotensi menimbulkan efek samping interaksi obat, sehingga butuh alternatif lain yaitu pemberian bahan alami daun kelor dan kulit tomat. Tujuan penelitian untuk mengetahui pengaruh pemberian kombinasi tepung daun kelor dan kulit tomat terhadap kadar trigliserida pada tikus wistar jantan model DMT2. Metode penelitian yaitu eksperimental rancangan acak lengkap (RAL) dengan subjek 25 tikus dibagi dalam 5 kelompok perlakuan, meliputi kelompok tikus normal, kelompok tikus DMT 2 tanpa intervensi, dan 3 kelompok tikus DMT 2 intervensi dengan masing-masing dosis 100, 200 dan 300 mg/kgBB dan selanjutnya diukur kadar serum trigliserida. Analisis data menggunakan uji Saphiro-Wilk, One Way Anova dan regresi. Pada uji normalitas didapatkan hasil data seluruh kelompok terdistribusi normal (p>0,05). Hasil One Way ANOVA didapatkan p=0,008, yang berarti terdapat perbedaan signifikan rata-rata penurunan kadar trigliserida seluruh kelompok perlakuan dan secara signifikan (p<0,05) lebih tinggi pada kelompok diabetes dibandingkan kelompok intervensi. Hasil perhitungan uji regresi, didapatkan persamaan regresi linier y=105.355-12.055x. Nilai konstanta 105.355 merupakan nilai konstan trigliserida tikus DMT 2 dan koefisien regresi variabel sebesar -12.055, yang berarti terdapat penurunan kadar trigliserida sebesar 12.055 per 1% penambahan intervensi dengan nilai minus menunjukkan hubungan negatif antara kedua variabel. Kesimpulan penelitian adalah pemberian terapi kombinasi tepung daun kelor dan kulit tomat berpengaruh menurunkan kadar trigliserida pada tikus putih strain wistar (Rattus novergicus) model diabetes melitus tipe 2

    Efek Anggur Laut Caulerpa racemosa Terhadap Apoptosis Melalui Viabilitas Sel dan Ekspresi Caspase-3 Sel Kanker Serviks HeLa Secara In Vitro

    No full text
    Kanker serviks merupakan jenis kanker kedua yang paling banyak terjadi pada wanita di Indonesia. Penyebab utama kanker serviks adalah infeksi Human Papilloma Virus (HPV). HPV mendorong proliferasi sel, memperpanjang progresi siklus sel, dan mencegah apoptosis. Pilihan pengobatan untuk kanker serviks saat ini adalah operasi, radioterapi, dan kemoterapi. Efek samping, toksisitas, dan mekanisme resistensi menjadi hambatan dalam pengobatan kemoterapi. Caulerpa racemosa merupakan salah satu jenis anggur laut yang menghasilkan metabolit sekunder yang berfungsi sebagai antioksidan. C. racemosa mampu menangkal radikal bebas karena jenis alga tersebut mengandung asam folat, tiamin, dan asam askorbat. Caulerpa sp. juga mengandung caulerpenin yang menunjukkan bioaktivitas terhadap sel line manusia dan memiliki sifat antikanker, antitumor, dan antiproliferasi. Penelitian ini bertujuan untuk mengevaluasi aktivitas antikanker C. racemosa pada sel kanker serviks HeLa. Penelitian ini menggunakan true experimental post-test-only control group design untuk mengetahui pengaruh ekstrak C. racemosa terhadap sel kanker HeLa. Ekstrak C. racemosa diberikan dengan dosis 50 mg/mL, 100 mg/mL, 200 mg/mL, dan 0 mg/mL sebagai kontrol. Pengukuran kuantitatif apoptosis diukur menggunakan uji trypan blue exclusion untuk mengukur viabilitas sel dan cleaved-caspase 3 sebagai protein pro dan anti-apoptosis dengan metode imunofluoresensi. Ekstrak C. racemosa secara signifikan meningkatkan ekspresi cleaved caspase-3 dibandingkan dengan kontrol dan menurunkan viabilitas sel HeLa pada 24 jam pasca perlakuan (p-value <0,05). Ekstrak C. racemosa berpotensi sebagai antikanker dengan aktivitas pro-apoptosis pada sel kanker HeLa dan dapat dieksplorasi lebih lanjut sebagai terapi kanker serviks

    Korelasi Kadar Glukosa Darah Puasa dengan Peningkatan Tekanan Darah pada Pralansia dan Lansia di Kelurahan Merjosari

    No full text
    Hipertensi didefinisikan dengan penigkatan tekanan darah sistolik β‰₯140 mmHg dan/atau diasolik β‰₯ 90 mmHg. Faktor risiko internal yang mendasari terjadinya hipertensi berupa genetik, kondisi prehipertensi, jenis kelamin, hormonal, usia, homeostasis tubuh (sistem imun dan sistem RAAS). Faktor eksternal yang mempengaruhi seperti aktivitas fisik yang rendah, merokok, kondisi sosioekonomik rendah, pola makan/konsumsi yang buruk, stres fisiologis, polusi lingkungan, dan pengaruh obat yang meningkatkan tekanan darah. Beberapa studi yang sebelumnya mengonfirmasi adanya hubungan antara hipertensi dan diabetes mellitus, namun studi mengenai hubungan kadar glukosa darah, khususnya GDP, terhadap peningkatan tekanan darah dan hipertensi masih sangat kurang. Prevalensi peningkatan tekanan darah dan hipertensi meningkat pada usia tua yakni usia 45 – 59 tahun (pralansia) dan β‰₯ 60 tahun (lansia). Prevalensi hipertensi di wilayah Kota Malang cenderung meningkat pada tahun 2018 – 2021 dengan prevalensi terbanyak pada di Puskesmas Dinoyo, Kecamatan Lowokwaru (22.361 kasus). Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara kadar glukosa darah puasa terhadap peningkatan tekanan darah pada masyarakat usia pralansia dan lansia di Kelurahan Merjosari, Kecamatan Lowokwaru. Metode penelitian yang digunakan adalah observasional analitik dengan desain penelitian cross sectional. Teknik sampling berupa non probability sampling secara consecutive sampling dan diperoleh 77 subjek pralansia dan lansia. Variabel penelitian ini berupa kadar glukosa darah puasa dan tekanan darah yang didapatkan dari pengukuran langsung terhadap subjek (data primer). Data dianalisis menggunakan Korelasi Eta. Hasil uji korelasi pada kadar GDP terhadap peningkatan tekanan darah menunjukkan hubungan yang sangat kuat pada populasi total, populasi pralansia, maupun populasi lansia di Kelurahan Merjosari, Kecamatan Lowokwaru, Kota Malang
    corecore