108 research outputs found
Moratorium itu pancasilais
Tanggal 27 April 2011 yang lalu diadakan Focus Grup Discussion alias FGD yang dihelat Huma bersama teman-teman LSM lingkungan seperti: Greenpeace, ICEL, dan Walhi. Diskusi dilakukan untuk menyikapi laju deforestasi yang sudah sangat mengkhawatirkan. Para peserta memberikan banyak pemikiran dan gagasan yang disorongkan ke publik dengan nama moratorium alias jeda atas kebijakan kehutanan yang bertentangan dengan cita dasarnya: melestarikan hutan
Pemilu 2014: Mencari Sang Promotor
Pembaca pasti mengetahui tentang peristiwa yang begitu menggemparkan manusia seantero jagat. Pemanasan global dalam dimensi sejarah peradaban saya pahami sebagai produk dari revolusi industri yang hasil dinamiknya berupa climate change. Meskipun proveksi masa depan tentang pemanasan global dan perubahan Iklim selalu diliputi dua macam ketidakpastian, yakni: ketidakpastian ilmiah dan ketidakpastian yang timbul dari kenyataan bahwa masa depan dapat dikendalikan sampai batas tertentu
Menggelorakan Green Spirit
Keriuhan pilpres jangan sampai menenggelamkan semangat ekologis publik yang telah berkembang. Syahwat politik yang berorientasi ekologis niscaya semakin sempurna dengan balutan perlindungan lingkungan yang secara internasional disorongkan sejak 5 juni 1972 dalam Konferensi Stockholm. Gerakan mondial terus menggelorakan kesadaran kolektif mengenai kondisi lingkungan. Isu demokrasi, HAM dan lingkungan menjadi "trisula" yang mendapatkan perhatian pergaulan antarbangsa. Untuk itulah para capres-cawapres 2014 yang sudah mendapatkan nomor "keberuntungan" dari KPU harus ditempatkan dalam konstalasi pembangunan berkelanjutan (sustainable development) yang menyodorkan tiga pilar keseimbangan: ekonomi, social, dan lingkungan. Dengan demikian, pilpres 9 juli 2014 selayaknya menjadi pintu gerbang meneguhkan green spirit untuk dirumuskan sebagai arus utama kebijakan pembangunan nasional kabinet mendatang
Hukum Lingkungan di antara para pemalas
Dalam buku ini pembaca akan menemukan bahwa apa yang terpapar bukanlah wujud pelaksanaan (implementation) dan penegakan hukum lingkungan (inoironmental law enforcement) pada tataran pembangunan berkelanjutan itu secara sejati. Dari berbagai kasus lingkungan yang terpotret tampak bahwa itu wujud merendahkan martabat hukum lingkungan tersebut, tidak peduli dengan pelaksanaan dan penegakan hukum lingkungan pada rumpun pembangunan berkelanjutan
Mendeteksi Gerakan Mendistorsi Negara Hukum
Sejatinya pengesahan Undang-Undang (UU) Cipta Kerja yang kontroversial itu merupakan manifestasi sempurna gerakan mendistorsi makna negara hukum (rechtsstaat) menjadi negara kekuasaan (machtsstaat). Hukum digunakan sebagai alat untuk ”menikam kehendak publik” hingga menjadi serpihan suara yang serak nan terkoyak.
Gelombang protes atas regulasi yang berjubah omnibus law merupakan titik kulminasi yang dirancang secara implikatif akibat politik hukum yang mekanis. Nasib negara hukum dipertaruhkan sampai kehilangan spiritnya yang dalam bahasa satire tengah ”diberi bedak rabun” sebahasa Francis Fukuyama ”the great disruption”. Negara hukum dieja sebatas ”negara undang-undang” (bahkan lebih tragis lagi ”negara aturan” dan hukum dipandang semata ”pasal-pasal”) yang menafikan rasa keadilan rakyat. Situasinya membuka pintu pandora dari tindakan menggergaji tata hukum yang dalam kritik Charles Sampford: ”the disorder of law”
Anak-Anak Ekologis Lahirlah
Zaman selalu melahirkan peradaban dengan anak-anaknya yang menopang sekaligus mengembangkan ruang waktu untuk memberi arti setiap lorong hidupnya. Pemberian arti pada kehidupan bukan berarti menafikan kematian sebagai transisi alias arena gerbang untuk bersimpuh padu dengan-Nya. Anak-anak pada akhirnya adalah derajat tertinggi yang dimiliki manusia. Bukankah agama telah mengajarkan bahwa anak itu dibungkus pintalan atau lembaran yang putih sebagai lambang kebersihan kesucian. Maka tindakan mensucikan lingkungan itu adalah langkah meng-anak-kan diri kita menjadi anak-anak lingkungan. Anak-anak itu suci atas nama takdir dan keberlanjutan kesuciannya hanyalah akan ada dalam posisi anak. Maka pertumbuhan manusia dari janin bayi sampai tua melalui jendela remaja dan dewasa adalah bentuk yang tidak menggembirakan apabila tidak berspirit anak-anak. Hanya anak-anak yang memahami dan mempertanyakan keberadaan lingkungan. Saksikanlah bagaimana dia merangkak dan bagaimana dia belajar berdiri. Anak-anak itu menyapa dengan sentuhan tangan indahnya kepada bumi selagi bumi belum mengadu bahwa kelak enqkau jangan kotori aku
Hidup Politik, Hidup Otonomi, dan Bagaimana Ekologi?
Ketika Suara Bumi meminta agar saya menulis mengenai politik dan lingkungan, saya teringat buku Otonomi Tanpa Politik Ekologi yang telah kutulis dan seolah meneguhkan memang lingkungan kini tersandra politik atau sebaliknya, politik dapat menjadi pemantik penyelematan lingkungan dengan green politics yang maujud dalam green policies yang diproduk negara. Era otonomi menyuguhkan fakta mengejutkan, ternyata politik otonomi daerah berjalan paralel dengan tingginya tingkat degradasi lingkungan daerah. Selama bulan Ramadhan, dengan menikmati suasana berpuasa, banyak pihak yang terdiri dari para pakar, birokrat dan publik telah berkumpul di Jakarta untuk berefleksi mengenai politik lingkungan pada tataran otonomi. Maka ajakan untuk menulis dari Redaksi suara Bumi dalam suasana Ramadhan bagaikan kita diajak untuk melakukan Tadarus Lingkungan. Sungguh sangat bermakna
Nawacita "Setialah kepada sumbermu"
GEMPITA pilkada gemuruhnya tengah memekakkan telinga publik. Mimpi dan imaji dibaurkan dalam "pentas demokrasi" sebagai arena memanggungkan janji-janji. 171 daerah membentuk formasi menyongsong "suksesi kepemimpinan lokal" berbiaya tinggi. Fenomena mahar politik tidak terbendung memenuhi jalan rekomendasi partai. Sengkurat kian beranjak dengan paslon-paslon yang tertindih derap korupsi dari ruang kesumat tahta dan harta. OTT KPK terberitakan dalam pekabaran tanpa jeda atas problema "kerakusan" paslon pilkada. Partai-partai tampak menarasikan "kesuciannya", sementara rakyat senantiasa mendapatkan suguhan mengenai "najisnya" pergulatan pasangan. Mahalnya sesi perhelatan pilkada mengkonstruksi ingatan yang konklusif betapa "berharganya jabatan". Apalagi posisi kepala negara. Pilpres tidak mungkin menafikan diri bebas dari "kerumunan persekutuan bandar". Itulah yang mudah dieja oleh khalayak di kala membaca lembar demi lembar kisah jelang coblosan di bentara pilkada
2050, Indonesia Green State?
Negara kota terkesan soal kemajuan dan negara desa menyisakan kelambatan budaya yang terbilang modern. Negara raya yang suka "membusungkan dada' dalam bingkai kotakota metropolitan-megapolitan sesungguhnya telah menjadi korban aksiomatik pembangunannya sendiri Kemajuan yang dinisbatkan dalam terminologi "pembangunan" acapkali menggerus peradaban kenegaraannya pada tingkat yang mencemaskan' Terhadap hal ini' saya teringat perkataan cerdas dan regas Khalid Fazlun dari Islamic Foundation for Ecology and Environmental Science, England, UK yang mengungkapkan bahwa progress (kemajuan) telah menghasilkan pollution (pencemaran) dan pembangunan (development) identik dengan kerusakan (destruction)
Ayo Sedekah Oksigen
Beramal baik ternyata tidak sulit. Cara bersedekah pun bisa semakin praktis. Barang yang disedekahkan juga tidak harus terlihat. Oksigen adalah salah satunya. Makhluk yang satu ini tidak terlihat dan tidak tercium oleh panca indera, tapi dapat disedekahkan untuk banyak orang, tanpa harus beli lebih dulu. Padahal di rumah sakit harganya mahal. Pakar hukum lingkungan ini mengajak kaum nahdliyin bersedekah oksigen sebanyak-banyaknya kepada umat. Bisakah
- …