7 research outputs found

    Urgensi Pembentukan Pengadilan Niaga Baru

    Full text link
    Article 300 para. (2) of the 2004 Bankruptcy and Suspension of Payment Act gives room for the government to establish more commercial courts in other jurisdictions by taking into account the urgency and readiness of human resources. However, the establishment of more courts until now has never been carried out. Pasal 300 ayat (2) Undang-undang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang memberi ruang bagi pemerintah untuk dapat membentuk pengadilan niaga di tempat lain dengan tetap memerhatikan kebutuhan dan kesiapan sumber daya yang ada. Meskipun demikian, sampai saat ini pembentukan pengadilan niaga di tempat lain belum terlaksana

    Perlindungan Hukum terhadap Independensi Kurator dalam Mengurus dan Membereskan Harta Pailit

    Full text link
    Penelitian ini bertujuan untuk: (1) mengetahui dan mengkaji permasalahanindependensi Kurator dalam melaksanakan tugas membereskan harta pailit terhadapmunculnya gugatan dari debitor pailit, (2) mengetahui dan mengkaji tolok ukur menentukanindependensi Kurator dalam melaksanakan tugasnya membereskan dan mengurus hartapailit serta, dan (3) perlidungan hukum terhadap Kurator dalam melaksanakan tugasnya.Penelitian ini merupakan penelitian hukum normatif empiris. Data yang digunakan dalampenelitian ini berasal dari data primer dan data sekunder. Data primer diperoleh melaluiwawancara dengan alat pedoman wawancara, sedangkan data sekunder diperoleh melaluimetode dokumentasi dengan alat studi dokumentasi dan analisis data dilakukan secarakualitatif. Hasil penelitian menunjukkan, bahwa gugatan terhadap Kurator yang dilakukanoleh debitor maupun kreditor pada dasarnya dari beberapa kasus yang dialami Kurator,hanya bertujuan untuk menghambat proses pemberesan harta pailit, akibatnya biayakepailitan membengkak, terutama dalam hal biaya pengamanan aset yang harus ditanggungKurator dan waktu untuk membereskan menjadi lebih lama, kemudian tidak ada ketentuanmengenai tolok ukur/parameter independensi Kurator, sehingga sulit mengidentifikasiKurator independen atau tidak dalam melaksanakan tugasnya, dan Undang Undang Nomor37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang tidakmemberikan secara tertulis mengenai perlidungan hukum terhadap profesi Kurator dalammelaksanakan tugasnya. Kesimpulan penelitian adalah: (1) independensi Kurator bukanpenyebab utama munculnya gugatan oleh debitor maupun kreditor, (2) independensi Kuratorsulit diindentifikasi, dan (3) perlindungan hukum terhadap Kurator telah diatur dalam UUD1945 dan kode etik AKPI sebagai salah satu organisasi Kurator. Berdasarkan kesimpulantersebut, maka disarankan: (1) perlu diatur ketentuan mengenai sanksi dari munculnyagugatan yang dilakukan oleh debitor maupun kreditor terhadap Kurator yang bertujuanmenghambat proses pemberesan; (2) perlu diatur ketentuan mengenai tolok ukur/parameterindependensi Kurator; dan (3) tidak perlu dibuatkan aturan khusus mengenai perlidunganhukum terhadap profesi Kurator

    Kajian Tentang Pengaturan Syarat Kepailitan Menurut Undang-undang Nomor 37 Tahun 2004

    Full text link
    Article 2 paragraph (1) of the Act Number 37 of 2004 on Bankruptcy and Postponement of the Debt Payment Obligation does not stipulate the minimum amount of the debt for declaring a state of bankruptcy but only requires the existence of two debtors where one of the debts are found overdue. The Act that the only considerable condition has been ‘the unwillingness to pay the obligation” instead of the “incapability to pay” of the debtor. Also, the minimum amount of the debt must be determined in order to avoid another court decisions that awarded the request of bankruptcy whereas the debtor is actually capable to pay the obligation. Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang tidak mengatur minimal jumlah utang untuk mengajukan permohonan pailit. Untuk mengajukan kepailitan hanya diperlukan dua orang kreditur dan salah satu utangnya tidak dibayar pada waktunya, sehingga hanya mendasarkan pada ketidakmauan (unwilling) dari si debitur dan bukan pada kemampuan (unable) debitur dalam membayar utang. Minimal jumlah utang ini perlu diatur sehingga kemudian tidak akan terjadi lagi putusan-putusan kepailitan terhadap debitur yang sebenarnya mampu dalam membayar utang

    Hambatan Aksesibilitas Masyarakat terhadap Hak Keadilan Perdata

    Full text link
    Right to seek adjudication of conflicts qualifies as human rights. However, we find that whenever the economical value of a dispute is insignificant in comparison towards court’s fees, this rights tend to be infringed. Judicial reform with a sole interest of a faithful recognition of human rights is needed

    Kajian Hukum Tentang Penerapan Pembuktian Sederhana dalam Perkara Kepailitan Asuransi

    Full text link
    Commercial courts' judges are still strictly observing summary proof principle when trying insolvency proceedings against insurance companies. Since insurance companies are vital for our economy, the Ministry of Finance needs to formulate certain measurement and consideration that ought to be met prior to filing insolvency case to commercial courts. Pembuktian sederhana dalam perkara kepailitan Perusahaan asuransi masih diterapkan secara kaku oleh hakim-hakim niaga. Sebagai lembaga keuangan yang vital dalam perekonomian bangsa, Kementerian Keuangan selaku otoritas tertinggi di bidang keuangan perlu menyusun tolok ukur dan pertimbangan-pertimbangan tertentu yang harus dipenuhi sebelum kasus kepailitan Perusahaan asuransi dapat diajukan ke pengadilan niaga

    Penerapan Prinsip Hakim Pasif dan Aktif Serta Relevansinya terhadap Konsep Kebenaran Formal

    Full text link
    The conception of “formal truth” in civil procedure is about to become a debate among academicians and practitioners because it is deemed no longer relevant to achieve justice. Modern paradigm begins to consider that this concept should be given similar interpretation with material truth theory adhered by criminal procedure. Konsep kebenaran formal dalam acara perdata mulai menjadi perdebatan di antara para akademisi dan praktisi karena dianggap sudah tidak lagi relevan dan jauh dari rasa keadilan. Paradigma saat ini mesti mulai mempertimbangkan bahwa konsep kebenaran formal harus diberi pengertian yang sama dengan konsep kebenaran material dalam acara pidana
    corecore