21 research outputs found

    KAJIAN PERSEPSI MASYARAKAT TERHADAP PELAYANAN FASILITAS INFRASTRUKTUR PEKERJAAN UMUM DITINJAU DARI RENCANA TATA RUANG WILAYAH (RTRW) KOTA BANDA ACEH 2009-2029

    Get PDF
    KAJIAN PERSEPSI MASYARAKAT TERHADAP PELAYANAN FASILITAS INFRASTRUKTUR PEKERJAAN UMUM DITINJAU DARI RENCANA TATA RUANG WILAYAH (RTRW) KOTA BANDA ACEH 2009-2029Oleh:TEUKU ARMANSYAHNIM 1309200060049Komisi Pembimbing:1.Ir. Mirza Irwansyah, MBA, MLA, Ph.D2.Dr. Ir. T. Budi Aulia, M.IngABSTRAKKota Banda Aceh telah menetapkan Qanun No. 04 Tahun 2009, tentang Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kota Banda Aceh Tahun 2009-2029. Terkait dengan peran serta masyarakat telah diatur dengan pasal 29, ayat (2). Penelitian ini bertujuan: 1). Mengetahui bagaimana persepsi masyarakat terhadap pelayanan fasilitas infrastruktur Pekerjaan Umum yang meliputi pelayanan transportasi, drainase, permukiman dan bangunan. 2). Mengetahui apakah faktor tingkat wawasan (X1) dan tingkat kepercayaan (X2) berpengaruh signifikan terhadap partisipasi masyarakat (Y) dalam penataan ruang Kota Banda Aceh. Penelitian menggunakan metoda kombinasi yaitu analisa deskriptif dengan pengolahan data kuantitatif dengan skala Likert. Analisa dan pengolahan data tersebut menggunakan rumus regresi linier berganda. Untuk memudahkan pengolahan data digunakan program software SPSS. Hasil dari 100 orang responden yang menjawab 25 pertanyaan memberikan informasi bahwa persepsi masyarakat Kota Banda Aceh terhadap pelayanan fasilitas infrastruktur transportasi, drainase, permukiman dan bangunan adalah baik. Hasil Analisis Regresi menunjukkan bahwa tingkat partisipasi masyarakat meningkat sebesar Y= 0,752 + 0,679 (X1) + 0,408 (X2). Maksudnya jika tingkat wawasan bertambah satu poin maka partisipasi meningkat sebesar 68% dan jika tingkat kepercayaan bertambah satu poin maka partisipasi meningkat sebesar 40,8 %. Perhitungan secara parsial, tingkat wawasan berpengaruh signifikan terhadap partisipasi karena T(hit X1 = 6,004) > Ttabel (1,95) dan tingkat kepercayaan berpengaruh signifikan terhadap partisipasi dimana Thit (X2= 4,813) > Ttabel (1,95). Sedangkan perhitungan secara simultan, tingkat wawasan dan kepercayaan secara bersama-sama mempengaruhi partisipasi dimana F(hit X1 dan X2 = 69,62) > F(table 3,09). Untuk koefisien determinasi (R2) sebesar 0,589. Artinya adalah dari koefisien ini sumbangan relatif yang diberikan dari kombinasi variabel tingkat wawasan dan kepercayaan terhadap partisipasi masyarakat adalah sebesar 58,90 % sedangkan sisanya 41,10% dipengaruhi oleh variabel lain yang tidak diteliti dalam penelitian ini.Kata Kunci: Persepsi, partisipasi, transportasi, drainase, permukiman dan bangunan, RTRW Kota Banda Ace

    The Effect of Red Betel Leaf (Piper crocatum) and Moringa Leaf Extracts on Endometritis Levels in Aceh Cows

    Get PDF
    This study aims to determine the ability of red betel leaf (Piper crocatum) or Moringa leaf extracts to reduce the endometritis level in Aceh cattle. In this study, six Aceh cows aged 3-5 years, weighing 150-250 kg from the Experimental Animal Technical Implementation Unit of Faculty of Veterinary Medicine of Syiah Kuala University were used. The cows were divided into two treatment groups, namely cows with endometritis that were given red betel leaf extract (T1) and cows with endometritis that were given Moringa leaf extract (T2). Examination of the endometritis levels was carried out before and after treatment using the White Side Test (WST) method. The collection of estrus cervical mucus was needed for the WST examination, and heat induction was performed with prostaglandin F2 alpha (PGF2α) at a dose of 25 μg. Collection of cervical mucus was performed 8-12 hours after the initiation of heat. All cows with endometritis were given intrauterine extracts of red betel leaves or Moringa leaves at a concentration of 20% every 24 hours for a week at a solution volume of 20 ml. The data were then analyzed using a paired t test. The mean endometritis levels before and after treatment on K1 vs. K2 were 3.0 and 1.7 vs. 2.7 and 2.7, respectively (P<0.05). It was concluded that red betel leaf extract at a concentration of 20% was more effective in reducing the endometritis level of Aceh cows than Moringa leaf extract

    THE IMAGE OF EMBRYO AND FETAL OF ETAWA CROSSBRED GOATS USING ULTRASONOGRAPHY AT DIFFERENT GESTATIONAL AGES

    Get PDF
    This study aimed to estimate the gestational age of Etawa crossbred goats based on ultrasound images of embryo and fetal usingtranscutaneous ultrasonography. Etawa crossbred does (n= 5) were synchronized using double PGF2α injection with 10 days interval and matednaturally. Early pregnancy was diagnosed on 20th day after mating base on isoechogenic image of the embryo (2.65±0.75 mm) andhypoechogenic appearance of gestational sac. On 30th day of the first trimester, the embryo size was 8.31±0.42 mm. The embryo reached10.44±0.51 mm on 35th day. On 60th day, the existence of the fetal were clearly appeared along with isoechogenic of umbilical cord,hyperechogenic os cranium (25.5±0.1 mm), and body length (51.83±1.59 mm). On 75th day, the diameter of the os cranium was 33.03±0.20 mm,body length of 110±1.73 mm, and bones structures appeared hyperechogenic for os thoracalis and os vertebrae. The placenta was isoechogenoicwith diameter of 23.3±0.2 mm. On 90th day, the placenta dominated the uterus (22.67±1.70 mm) and reached its maximum diameter on 145th day(33.73±2.91 mm). In conclusion, early pregnancy detection of Etawa crossbred goats using transcutaneous ultrasonography could be performedon 20th day after matin

    Efektivitas Pemberian Beberapa Preparat Hormon Prostaglandin Komersial terhadap Persentase Berahi Sapi di Kabupaten Labuhanbatu Selatan, Sumatera Utara

    Get PDF
    ABSTRAK. Penelitian ini bertujuan mengetahui pengaruh perbedaan PGF2α analog terhadap persentase berahi sapi di Labuhanbatu Selatan. Sampel yang digunakan dalam penelitian ini adalah data hasil UPSUS SIWAB tahun 2017. Dalam penelitian ini digunakan data 2.547 ekor sapi yang memiliki variasi breed dan umur, dengan skor kondisi tubuh baik. Sapi-sapi dikelompokkan menjadi tiga kelompok berdasarkan preparat sinkronisasi berahi yang digunakan. K1= kelompok sapi yang diinjeksi dengan 5 ml PGF2α-1 (dinoprost tromethamine 5 mg/ml dan benzil alkohol 1,65%) berjumlah 1.300 ekor. K2= kelompok sapi yang diinjeksi dengan 5 ml PGF2α-2 (dinoprost tromethamine 5,5 mg/ml dan benzil alkohol 12,0 mg/ml) berjumlah 600 ekor. K3= kelompok sapi yang diinjeksi dengan 2 ml PGF2α-3 (cloprostenol 75 mg/ml dan chlorocresol 1,0 mg/ml) berjumlah 647 ekor. Penyuntikan dilakukan secara intramuskulus, dua kali dengan interval 10 hari. Data yang diperoleh kemudian dianalisis menggunakan uji Kruskal Wallis dan dilanjutkan dengan uji Mann Withney. Hasil analisis menunjukkan persentase berahi pada kelompok 1; 2; dan 3 masing-masing 80,7%; 50% dan 61,8% (P0,01). Dari hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa PGF2α-1 mempunyai efektivitas lebih baik dibandingkan PGF2α-2 dan PGF2α-3 dalam induksi sinkronisasi berahi pada sapi di Kabupaten Labuhanbatu Selatan, Sumatera Utara.  (Effectiveness of different commercial prostaglandin hormone administration on the percentage of estrous in cattles in South Labuhanbatu, North Sumatera) ABSTRACT. The aim of this study was to determine the effect of differences PGF2α analogues on the percentage of estrus in cattles in South Labuhanbatu. The sample used in this study was the 2017 SIWAB UPSUS data. Data of 2,547 cattles with various breed and age as well as in good body condition scores were selected. The cattles were grouped into three data groups based on the hormone used for estrus synchronization. The cattles in data group I (1300 cows) were injected with 5 ml PGF2α-1 (dinoprost tromethamine 5 mg/ml and benzyl alcohol 1.65%). The cattles in data group II (600 cows) were injected with 5 ml PGF2α-2 (5.5 mg/ml dinoprost tromethamine and 12.0 mg/ml benzyl alcohol). The cattles in data group III (647) were injected with 2 ml of PGF2α-3 (cloprostenol 75 µg/ml and chlorocresol 1.0 mg/ml). Injections were carried out intramuscularly, twice at 10-day intervals. The data obtained were then analyzed Kruskal Wallis and continued with Mann Withney test. The results showed that the percentage of estrus in groups I; II; and III were 80.7%; 50% and 61.8% (P0.01). From the results of the study it can be concluded that Lutalyse has better effectiveness than Capriglandin and Sincrovall in the induction of synchronization estrus in cattle in South Labuhanbatu, North Sumatera

    PENINGKATAN AKTIVITAS LUTEOLITIK SETELAH PEMBERIAN EKSTRAK VESIKULA SEMINALIS SAPI PADA TIKUS PUTIH (Rattus norvegicus)

    Get PDF
    Penelitian ini bertujuan mengetahui pengaruh pemberian ekstrak vesikula seminalis terhadap penurunan konsentrasi progesteron serta diameter korpus luteum pada tikus putih. Dalam penelitian ini digunakan 30 ekor tikus putih (Rattus norvegicus) betina dewasa, galur Wistar, berumur 3-4 bulan dengan berat badan antara 200-250 g dan dibagi atas dua kelompok (K1 dan K2) masing-masing diberi 25 μg cloprostenol dan 0,2 cc ekstrak vesikula seminalis secara intravaginal pada hari ke-7 kebuntingan. Tiga ekor tikus masing-masing kelompok dibunuh pada jam ke-0, 3, 6, 12, dan 26. Pemeriksaan progesteron dilakukan menggunakan metode enzymelinkedimmunosorbantassay (ELISA). Konsentrasi progesteron pada kelompok perlakuan PGF2α dan ekstrak vesikula seminalis pada lima periode waktu pengukuran yakni jam ke-0, 3, 6, 12, dan 26 memperlihatkan perbedaan yang signifikan (P0,05). Ekstrak vesikula seminalis mempunyai kemampuan yang sama dengan PGF2α komersial dalam menurunkan diameter korpus luteum yang ditandai secara mikroskopis dengan berkurangnya vaskularisasi darah menuju ovarium (P0,05). Disimpulkan bahwa ekstrak vesikula seminalis mempunyai kemampuan yang lebih baik dibandingkan dengan PGF2α komersial dalam menurunkan konsentrasi progesteron tikus putih dan mempunyai kemampuan yang sama dengan PGF2α komersial dalam menurunkan diameter CL

    ACEH CATTLE FOLLICLE DYNAMIC UNDER ENVIRONMENTAL HEAT STRESS

    Get PDF
    The objective of this research is to know Aceh cattle follicle dynamic under environmental heat stress condition. This research was conducted on December 2012 until August 2013. Animals used in this research were 20 Aceh cattle aged 5-8 years old, weighing of 150-250 kg, and had at least 2 regular cycles. All cattle used were clinically in good body condition score. The cattle were divided into two groups of 10, used in two different period of times (December-January and July-August) to examine the effect of environmental heat to their follicle dynamic. Each group is separated into two different keeping management; one group was kept in pens while the others in the pasture, 5 cattle in each management group. Research timing was based on information acquired from Indrapuri Agency for Meteorology, Climatology, and Geophysics (BMKG) which predicted that extreme weather would last from July to August while December to January would be relatively normal in Aceh region. All cattle’s estrous cycle were synchronized by 5 mg/mL of PGF2α intramuscularly (Lutalyse™, Pharmacia Upjohn Company, Pfizer Inc.). Ultrasonography examination was performed to monitor ovary follicle’s growth and dynamic during one cycle. Days during ovulation marked by standing heat was regarded as Day 0 of estrous cycle. Follicular dynamic examination during estrous cycle on December-January and also on July-August, both penned or pastured cattle showed the follicle waves that was 3 follicle growth waves. The size of follicle growth on first wave (1st DF) on cattle kept in pen on July-August and December-January were relatively similar. The size of follicle growth on first wave for cattle kept in pasture on July-August and December-January were relatively similar. To conclude, Aceh cattle’s follicle dynamic is not change during environment heat stress condition and is not affected by different cattle-keeping management

    PERBANDINGAN INTENSITAS BERAHI SAPI ACEH YANG DISINKRONISASI DENGAN PROSTAGLANDIN F2 ALFA DAN BERAHI ALAMI

    Get PDF
    Penelitian ini bertujuan mengetahui perbedaan intensitas berahi sapi aceh antara yang disinkronisasi berahi dengan prostaglandin F2 alfa (PGF2α) dan berahi alami. Dalam penelitian ini digunakan 20 ekor sapi aceh betina yang dibagi atas dua kelompok. Kriteria sapi yang digunakan adalah umur 5-8 tahun, mempunyai bobot badan 150-250 kg, dan mempunyai minimal dua siklus reguler. Sapi yang digunakan mempunyai skor kondisi tubuh dengan kriteria baik, yaitu 3 atau 4 pada skala skor 5. Pada Kelompok I (KI) sapi disinkronisasi berahi mengunakan PGF2α sebanyak 5 mg/ml secara intramuskular. Pada kelompok II (KII) sapi dibiarkan memperlihatkan gejala berahi alami. Penilaian intensitas berahi dilakukan dengan memberi skor 1, 2, dan 3, berdasarkan kriteria yang dibuat oleh Kune dan Solihati (2007). Hasil penelitian menunjukkan tidak ada perbedaan intensitas berahi sapi aceh baik yang disinkronisasi berahi dengan PGF2α dan sapi yang mengalami berahi alami dengan skor intensitas berahi masing-masing adalah 2,40±0,84 dan 2,70±0,48

    LEVEL STEROID SAPI ACEH YANG DIINDUKSI DENGAN PREGNANT MARE’S SERUM GONADOTROPIN (PMSG) DAN FOLLICLE STIMULATING HORMONE (FSH)

    Get PDF
    Penelitian ini bertujuan mengetahui pengaruh induksi superovulasi dengan pregnant mare’s serum gonadothropin (PMSG) dan follicle stimulating hormone (FSH) terhadap peningkatan level steroid sapi aceh. Penelitian ini menggunakan 6 ekor sapi aceh betina dengan status tidak bunting, minimal 2 bulan pasca partus, sudah pernah beranak, dan sehat secara klinis. Sapi dibagi atas dua kelompok, masing-masing 3 ekor untuk tiap kelompok. Pada kelompok I, sapi diinjeksi dengan 1.500 IU PMSG pada hari ke-9 yang diikuti dengan penyuntikan 5 ml prostaglandin pada hari ke-11. Pada kelompok II, hari ke-9 sampai hari ke-12, sapi diinjeksi dengan FSH dua kali sehari (pagi dan sore, 08.00 dan 16.00 WIB) menggunakan dosis bertingkat yakni 3-3, 2-2, 1-1, dan 0,5-0,5 ml. Pada hari ke-11 sapi diinjeksi dengan 2,5 ml prostaglandin (pagi dan sore, 08.00 dan 16.00 WIB). Koleksi darah untuk pemeriksaan estrogen dilakukan ketika sapi memperlihatkan gejala berahi (saat inseminasi) setelah pemberian PMSG dan FSH yang diikuti dengan pemberian prostaglandin (berahi sesudah superovulasi) sedangkan koleksi darah untuk pemeriksaan konsentrasi progesteron dilakukan pada hari ke-7 setelah inseminasi. Pengukuran konsentrasi estrogen dan progesteron dilakukan dengan metode enzymelinkedimmunosorbanassay (ELISA). Konsentrasi estrogen pada saat estrus setelah induksi superovulasi dengan PMSG dan FSH masing-masing adalah 89,46±2,46 dan 54,62+9,91 pg/ml sedangkan konsentrasi progesteron pada hari ke-7 setelah inseminasi masing-masing adalah 14,78±2,33 dan 17,40±5,8 ng/ml. Hormon PMSG mempunyai kemampuan yang lebih baik dalam meningkatkan konsentrasi estrogen pada saat berahi tetapi hormon FSH mempunyai kemampuan yang lebih baik dibandingkan dengan hormon PMSG dalam meningkatkan konsentrasi progesteron hari ke-7 setelah inseminasi

    The Effectiveness of Lugol on the Increasing of Pregnancy Rate in Aceh Cow with Endometritis

    Get PDF
    ABSTRACT. The objective of this study was to determine the effect of lugol on the increasing the pregnancy rate in repeat breeding (RB) Aceh cows due to endometritis. This study used six endometritis’s cows, aged 5-7 years, weighed 150-250 kg which were divided into two groups (n=3), KI and KII. The cows in group 1 (K1) were injected with 5 ml PGF2α, while the cows in group 2 (KII) were treated with 50 ml of 2% lugol intra-uterine and continued with an injection of 5 ml PGF2α after healing. The detection of estrus was performed twice a day following by artificial insemination (AI) about 10-16 hours after the onset of estrus. Determination of pregnancy was performed by ultrasonography (USG) on the 25th day after AI. The data obtained were analyzed descriptively. The results showed that all endometritis ’cows in KI and KII present estrous signs (100%). However, only one cow was recovered in K2, whereas in K1 did not. After AI, one pregnant cow was observed in KII (33.3%), while none of the pregnant cows was found in K1 (0.0%). It is concluded that the lugol treatment for endometritis’s Aceh cows can improve the pregnancy rate. (Efektivitas larutan lugol untuk meningkatkan persentase kebuntingan pada sapi Aceh yang mengalami endometritis) ABSTRAK. Penelitian ini bertujuan mengetahui pengaruh pemberian larutan lugol terhadap peningkatan persentase kebuntingan sapi Aceh yang mengalami RB. Dalam penelitian ini digunakan enam ekor sapi Aceh betina dewasa, umur 5-7 tahun, bobot badan 150-250 kg, sudah pernah beranak, dan didiagnosis mengalami endometritis. Seluruh sapi dibagi menjadi dua kelompok (n=3). Pada kelompok 1 (K1), sapi endometritis diterapi dengan 50 ml lugol 2% secara intra uteri dan setelah sembuh dilanjutkan dengan penyuntikan 5 ml PGF2α. Sapi pada kelompok 2 (K2) hanya diinjeksi dengan 5 ml PGF2α. Deteksi berahi dilakukan sebanyak dua kali per hari dan inseminasi buatan (IB) dilakukan sekitar 10-16 jam setelah awal berahi. Pemeriksaan kebuntingan dilakukan dengan ultrasonografi (USG) pada hari ke-25 setelah IB. Data dianalisis secara deskriptif. Dari masing-masing kelompok, hanya satu ekor sapi pada K2 yang dinyatakan sembuh yaitu sapi pada kelompok kedua. Persentase sapi yang menjadi estrus pada kedua kelompok masing-masing adalah 100%. Dari tiga ekor sapi yang diinseminasi pada masing-masing kelompok, hanya satu ekor sapi pada K2 (33,3%) yang menunjukkan hasil positif bunting sedangkan pada K1 tidak terdapat sapi yang menunjukkan hasil positif (0,0%). Disimpulkan bahwa pemberian larutan lugol pada sapi Aceh yang mengalami endometritis dapat meningkatkan persentase kebuntingan sapi Aceh

    Accuracy of early pregnancy diagnosis using interferon-tau (IFN-Ï„) in Aceh cows

    Get PDF
    Interferon-tau (IFN-τ) is a pregnancy signal produced by embryonic trophoblast cells at the time of implantation in a mammal's endometrial wall, which is useful for conveying a message that the mammal can accept the presence of the foreign object (embryo). This study aims to determine the accuracy of early pregnancy diagnosis in Aceh cows by measuring the concentration of IFN-τ. This study involved eight cows aged 3-5 years, weighing 150-250 kg, clinically healthy, and having normal reproduction (have had calves and at least two regular cycles). All cows were estrous-synchronized twice using PGF2ɑ at a dose of 5 ml with 11 days intervals before artificial insemination (AI). Serum collection was performed on days 14, 15, 16, 17, 18 after AI. Based on ultrasound examination, out of eight cows, four (50%) cows were diagnosed as pregnant, and four (50%) cows were diagnosed as not pregnant. Mean (± SD) IFN-τ of pregnant vs. non-pregnant cows on day 14, 15, 16, 17, and 18 were 14.96±8.65 pg/ml vs. 6.14±5.54 pg/mL; 16.74±5.28 pg/mL vs. 4.44±3.51 pg/mL; 14.33±5.9 pg/mL vs. 5.78±5.20 pg/mL; 13.87±5.42 pg/mL vs. 4.38±3.76 pg/mL; and 13.93±6, 16 pg/mL vs. 3.24±2.63 pg/mL, respectively. The lowest IFN-τ concentration in cows that were successfully pregnant was 7.88±1.84 pg/mL. The best timing of IFN-τ for pregnancy diagnosis was on day 15 after AI, with an accuracy of 87.5%, specificity of 100%, and sensitivity of 80%
    corecore