328 research outputs found
PENTINGNYA PERLINDUNGAN HUKUM PATEN WARGA NEGARA ASING DI WILAYAH INDONESIA GUNA MENINGKATKAN INVESTASI ASING
Hak paten merupakan salah satu ruang lingkup Hak Kekayaan Intelektual. Hak paten diberikan kepada seseorang atau sekumpulan orang penemuannya di bidang tekonologi yang mempunyai posisi yang sangat penting dan strategis untuk mendukung. Hak paten merupakan hak eksklusif yang diberikan oleh negara kepada inventor atas invensinya di bidang teknologi dan orang yang mendapat hak darinya. Paten sangat dibutuhkan untuk menunjang berbagai kehidupan dalam masyarakat. Undang-undang Hak Paten Nomor 13 tahun 2016 tidak hanya memberikan perlindungan terhadap paten warganegara Indonesia tapi juga memberikan perlindungan hokum terhadap paten warga negara asing di Indonesia. Perlindungan hokum itu diberikan guna meningkatkan investasi di Indonesia dan menigkatkan kreatifitas inventor atas invensi berguna bagi perkembangan dalam masyarakat. Untuk memberi rasa aman, nyaman kepada Inventor asing maka negara memberikan perlindungan hukum invensi paten warga negara asing yang dilaksanakan di Indonesia. Paten yang dilindungi adalah paten telah didaftar yang penemuan di bidang teknologi merupakan posisi penting untuk mendukung pembangunan ekonomi masyarakat guna memajukan bangsa dan negara
Kepemimpinan Kepala Sekolah
The purpose of this study is to describe a public elementary school leadership 06 Sindang Kelingi Rejang Lebong district. The method used qualitative descriptive study. Subjects were 06 public elementary school principal sindang Kelingi Rejang Lebong district. Data collection techniques in use is the interview, observation and documentation. The results show that the Elementary School Principal Leadership Negari 06 Sindang Kelingi Rejang Lebong using vision, style, approach, skills, and the role of school leadership
PUBLIC SERVICES IN HUMAN RIGHTS PERSPECTIVE
Public services can be provided by the government or by the private sector in the form of goods, services, and public administration that can be used to meet the needs and interests of the community. The implementation of available services by administrators does not rule out human rights violations. One of the characteristics of the rule of law is respect for human rights. The most basic human rights given by the Powerful are obliged to be recognized, respected by everyone. However, the reality is that in the implementation of public services, there is a possibility that actions that violate human rights may occur. Formulation of how public servants from the perspective of human rights and efforts to prevent violations of human rights in available services. The purpose of writing is to find out public services from a human rights perspective. The method used in this research is literature research using secondary data in the form of primary legal materials, secondary standard materials, and traditional tertiary materials. The analysis is normatively supported by empirical research and qualitative research types. In conclusion, public services must heed human rights. To prevent human rights violations in available services, organizers must act based on statutory regulations, discretion, and general principles of good government (Good Governance).Keywords: public service, human right
LEGAL PROTECTION OF CONSUMER RIGHTS BASED ON ARTICLE 18 CONSUMER LAW PROTECTION AND THE IMPLEMENTATION OF BALANCE AND PROPORTIONALITY PRINCIPLES IN RAW CLAUSULA
In business or trading activities, business actors use standard contracts. Standard contracts or standard clauses are contracts whose contents are determined by the party having a stronger or dominant position. In business contracts, business actors have a stronger or more dominant position than consumers in determining the standard class substance unilaterally. Article 18 of Law Number 8 of 1999 regulates the prohibition of business actors conducting business activities, among others in the standard class, business actors rejecting risks, refusing refunds, taking unilateral actions on new or additional regulations, burdening consumers with guarantees of security rights. in sales. and installment purchases as if it has received approval from the consumer, arranging the proof in case of breach of promise. Business actors who violate Article 18 of the UK result in the classification of standards being null and void by law. The imbalance between business actors and consumers in standard contacts is against the principles of balance and proportionality. Therefore, in order for the standard classification made by actors not only to realize the interests of business actors but also the interests of consumers, business actors in making standard contracts must pay attention to the provisions of Article UUPK 18 and apply the principles of balance and proportionality.Keywords: Legal protection, consumer rights, standard clause
HAMBATAN DALAM EKSEKUSI PERKARA PERDATA
Eksekusi atau pelaksanaan putusan Hakim dalam perkara perdata dilakukan terhadap putusan Hakim berkekuatan hukum tetap ( inkracht van gewisde). Eksekusi dapat dilakukan secara sukarela atau secara paksa. Pelaksanaan putusan Hakim secara sukarela dilaksanakan langsung oleh pihak yang kalah tanpa campur tangan pengadilan. Dalam praktek pihak yang kalah tidak bersedia melaksanakan putusan Hakim secara sukarela, maka dilaksanak secara paksa melalui Pengadilan Negeri yang memutus perkara. Hambatan pelaksanaan eksekusi antara lain objek eksekusi tidak jelas, telah berpindah ketangan pihak lain, terbitnya sertifikat baru dan pihak yang kalah melakukan perlawanan. Sedangkan hambatan secara yuridis adanya upaya hukum peninjauan kembalii yang dilakukan ileh pihak yang kalah. Pihak ketiga mengajukan perlawanan ( derden verzet) karena ada hak pihak ketiga yang terambil, putusan hakim tidak bersifat penghukuman (comdemnatoir) tapi bersifat decratoir dan konstitutief. Untuk mencegah hambatan dalam pelaksanaan eksekusi dan menang hampa hanya menang diatas kertas, maka pihak kalah harus beritikad baik melaksanakan putusan Hakim secara sukarela, panitera atau jurusita pengadilan harus cermat dan teliti dalam penyitaan, pihak kalah tidak mengalihkan objek sengketa kepada pihak lain. Untuk kelancaran pelaksanaan eksekusi pengadilan dapat minta bantuan aparat keAmanan ( Polisi dan TNI ) untuk melakukan pengamanan selama pelaksanaan eksekusi. Pihak yang menghambat, mengancam petugas pelaksana eksekusi selama pelaksanaan eksekusi dapat dikenai sanksi pidana
Pandemi Covid-19 Sebagai Alasan Force Majeure Dalam Melakukan Pemutusan Hubungan Kerja di Indonesia
AbstractThe fact of Corona Virus Disease 2019 (Covid-19) pandemics was often made as a reason by a lot of companies to conduct massive layoffs (PHK) in Indonesia. The regulation about force majeure to do massive layoffs (PHK) could only be found in Article 164 Act No. 13 Year 2003 about employment and it is not that specific about what kind of condition which could be categorized as force majeure that enables companies to conduct massive layoffs PHK. The statement of problem of this research is the spread of Covid-19 a condition categorized as force majeure that could become the reason to do a massive layoffs and how is the legal protection of worker toward the layoffs during the Covid-19 pandemics? This is normative research with constitutional and conceptual approach. The result from the observation and analysis indicated that the Covid-19 pandemics could be qualified as a force majeure but to conduct massive layoffs the companies need to experience loss or disadvantage and already closed permanently or massive layoffs is conducted for efficiency as what has been regulated by Article 164 point (1) and (3) Act No. 13 Year 2003 about employment by doing some steps in advance as stated in Minister Hand-outs No. SE-907/MEN/PHI-PPHI/X/2004, 28th October 2004 and the decision of the Supreme Court No. 19/PUU-IX/2011, 20th June 2012. Keywords: Work relationship, massive layoffs, Covid-19 ABSTRAKFakta penyebaran Corona Virus Disease 2019 (Covid-19) banyak dijadikan alasan bagi perusahaan-perusahaan untuk melakukan pemutusan hubungan kerja (PHK) d Indonesia. Pengaturan mengenai alasan force majeure dalam melakukan PHK hanya terdapat dalam Pasal 164 Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan dan tidak terlalu rinci bagaimana kondisi yang dapat dikualifikasi sebagai force majeure sehingga perusahaan dapat melakukan PHK. Rumusan masalah penelitian ini adalah apakah penyebaran Covid-19 merupakan kondisi yang dikualifikasi force majeure sehingga dapat dijadikan alasan untuk melakukan pemutusan hubungan kerja dan bagaimana perlindungan hukum pekerja atas pemutusan hubungan kerja yang terjadi pada masa penyebaran Covid-19 ? Penelitian ini menggunakan metode penelitian normatif dengan pendekatan perundang-undangan dan konsep. Dari hasil penelusuran dan analisis dapat ditegaskan penyebaran Covid-19 dapat dikualifikasi sebagai keadaan memaksa namun untuk melakukan PHK perusahaan harus mengalami kerugian dan telah tutup secara permanen atau PHK dilakukan dengan alasan efisiensi sebagaimana diatur Pasal 164 ayat (1) dan (3) Undang-Undang No. 13 Taun 2003 Tentang Ketenagakerjaan dengan terlebih dahulu melakukan langkah-langkah dalam Surat Edaran Menteri Nomor SE-907/MEN/PHI-PPHI/X/2004, tertanggal 28 Oktober 2004 dan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 19/PUU-IX/2011, tertanggal 20 Juni 2012. Kata kunci : Hubungan Kerja, Pemutusan Hubungan Kerja, Covid-1
Eksekusi Jaminan Fidusia Setelah Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 18/Puu/Xvii/2019)
Fidusia hak kebendaan bersifat memberikan jamina. Objek jaminannya benda bergerak berwujud, tidak berwujud dan benda tidak bergerak yang tidak dapat dijamin dengan hak tanggungan. Jaminan fidusia banyak digunakan oleh perusasaan pembiayaan. Debitur wanprestasi, pihak leasing mengeksekusi objek fidusia secara sepihak, hal ini dianggap bertentangan dengan UUD Tahun 1945. Pasal 15 ayat (2) dan Pasal 15 ayat (3) Undang –Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia dilakukan uji materil. Rumusan masalah, bagaimana eksekusi jaminan fidusia setelah putusan Mahkamah Konstitusi No. 18/PUU-XVII/2019. Metode penelitian, mengunakan penelitian kepustakaan berupa data sekunder. Penelitian bersifat Yuridis Normatif dan jenis penelitian kualitatif. Pembahasan setelah putusan Mahkamah Konstitusi No. 18/PUU-XVII/2019 menyatakan Pasal 15 ayat (2) dan Pasal 15 ayat (3) Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 bertentangan dengan UUD tahun 1945. Kesimpulan, sebelum putusan Mahkamah Konstitusi eksekusi objek jaminan fidusia berdasarkan Pasal 29 Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia.. Setelah Putusan Mahkamah Konstitusi No. 18/PUU-XVII/2019 menyatakan eksekusi jaminan tidak dapat dilakukan secara sepihak oleh kreditur, tapi harus melalui putusan Pengadilan Negeri, kecuali ada kesepakatan mengenai cidera janji antara debitur dengan kreditur dan debitur menyerahkan secara sukarela objek jaminan fidusia. Saran, Otoritas Jasa Keuagan (OJK) memberikan sanksi kepada lembaga pembiayaan yang melakukan eksekusi sepihak objek jamina
KEPEMIMPINAN KEPALA SEKOLAH
The purpose of this study is to describe a public elementary school leadership 06 Sindang Kelingi Rejang Lebong district. The method used qualitative descriptive study. Subjects were 06 public elementary school principal sindang Kelingi Rejang Lebong district. Data collection techniques in use is the interview, observation and documentation. The results show that the Elementary School Principal Leadership Negari 06 Sindang Kelingi Rejang Lebong using vision, style, approach, skills, and the role of school leadership.Keywords: principal, leadershi
- …