37 research outputs found

    Pengaruh Majapahit Pada Bangunan Puri Gede Kaba-Kaba, Tabanan.

    Get PDF
    Abstract. Majapahit Influence on the Grand Palace of Kaba-Kaba, Tabanan. Majapahit, as a kingdom, had spread its influence to almost every part of Indonesia such as the western part of Sumatra and the eastern part of the Moluccas, even to our neighbouring countries in Southeast Asia, which were implemented in form of equal partnership (mitra satata). The archaeological remainsfrom the Majapahit period that we can see include sacred and profane buildings, sculptures, reliefs, fragmented and intact potteries and ceramics, and literatures. They bear distinct characteristics,particularly in sacred buildings as well as the styles of reliefs and sculptures. Kaba-Kaba Palace is theremain of Kaba-Kaba Kingdom in Tabanan, Bali, whose king was originated from Majapahit. Theaim of this research is to uncover the Majapahit influence on this palace. Furthermore, an attempt was also made to see whether it was built in accordance with Sanga Mandala, a concept used in thebuilding of palaces. The method for this study was carried out by literature study and describing the building elements of the palace that have Majapahit influence, as well as interviewing somesources. The results show that the palace was built based on the sangamandala concept but it has experienced development to accommodate the needs of more recent period. The Majapahit influences on the Kaba-Kaba Palace are seen in the candi bentar (split gate), paduraksa (roofed gate), tantricstyle sculptures, the sculptures of tortoise and dragon, and figure with the face of a stranger. Abstrak. Majapahit sebagai kerajaan besar telah mengembangkan pengaruhnya meliputi hampir di seluruh wilayah Indonesia saat ini, yaitu daerah-daerah di Pulau Sumatra di bagian barat dan Maluku di bagian timur, bahkan pengaruhnya meluas sampai ke negara tetangga di Asia Tenggara yang dijalin dalam bentuk persahabatan yang setara (mitra satata). Tinggalan arkeologi dari masa Majapahit yang dapat kita temui adalah bangunan suci, arca-arca, relief, bangunan profan, fragmen/utuh gerabah dan keramik, dan karya-karya sastra. Tinggalan Majapahit tersebut mempunyai ciri-ciri khusus dalam bentuk arsitektur bangunan suci, gaya relief dan arca. Puri Kaba-Kaba merupakan tinggalan Kerajaan Kaba-Kaba di Tabanan, yang rajanya berasal dari Majapahit. Tujuan penelitian ini untuk mengetahui apa saja pengaruh Majapahit yang ditemukan pada bangunan Puri ini. Selainitu juga untuk mengetahui apakah pembangunan Puri sesuai dengan konsep Sanga Mandala. Metode penelitian dilakukan dengan studi pustaka, dan mendeskripsikan unsur-unsur bangunan Puri yang mendapat pengaruh dari Majapahit, juga melakukan wawancara terhadap narasumber. Dari penelitianini diketahui bahwa pembangunan Puri menerapkan konsep Sanga Mandala, namun telah mengalami pengembangan sesuai kebutuhan. Pengaruh Majapahit yang ditemukan pada bangunan Puri Kaba-Kaba antara lain adalah gapura candi bentar dan paduraksa, arca-arca bergaya tantris, arca kura-kura dan naga, serta arca tokoh berwajah orang asing

    Makara Candi Adan-Adan: Gaya Seni Masa Kaḍiri

    Get PDF
    This paper discusses the makara found at Adan-Adan Temple, Kediri. So far, it is the largest makara in Indonesia and, in terms of iconography, has distinctive features. The data was collected through detailed observations both directly in the field or through photographs. This study employed a comparative analysis, i.e. comparing the collected data to the makaras from different periods (the Ancient Matarām, the Srīwijaya, and the Siŋhasāri). From these comparisons, it is known that the makara at Adan-Adan Temple has special characteristics, i.e. different depictions between the makara on the left and the right as can be seen from the figure of a mythical creature inside the makara’s mouth, from the sculpture on the front of the makara, and on the back of the makara. This particularity may be included as an art style of the Kaḍiri period (the transitional period of from Ancient Matarām to Siŋhasāri).Tulisan ini memaparkan tentang makara yang ditemukan pada waktu penelitian di Candi Adan-Adan, Kediri. Makara Candi Adan-Adan sejauh ini merupakan makara terbesar di Indonesia dan dari segi ikonografi mempunyai ciri yang khas. Pengumpulan data dilakukan ketika penelitian melalui pengamatan detil baik secara langsung atau melalui foto, kemudian mendeskripsikannya. Analisis dilakukan dengan studi komparasi yaitu membandingkan makara Candi Adan-Adan terhadap makara-makara dari masa yang berbeda, yaitu masa Matarām Kuno, masa Śrīwijaya, dan masa Siŋhasāri. Melalui perbandingan tersebut diketahui bahwa makara Candi Adan-Adan mempunyai ciri-ciri khusus berupa pembedaan penggambaran yang dapat diamati antara makara di sebelah kiri dan kanan, pada figur makhluk mitos yang berada dalam mulut makara; pada pahatan di bagian depan makara; dan pada bentuk bagian belakang makara. Kekhasan ini kiranya dapat dimasukkan sebagai gaya seni masa Kaḍiri (masa peralihan dari Matarām Kuno ke Siŋhasāri)

    Pengaruh Peradaban Majapahit di Kabupaten Bima dan Dompu

    Get PDF
    Peradaban Majapahit dicirikan oleh tinggalan arkeologi berupa bangunan candi, relief, dan arca yang mempunyai ciri khusus Majapahit. Relief cerita yang populer pada masa itu misalnya relief cerita Pañji dan cerita Garudeya. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh peradaban Majapahit di Kabupaten Bima dan Dompu baik pada tinggalan budaya material maupun immaterial. Pengumpulan data dilakukan dengan studi pustaka, survei, dan wawancara. Beberapa artefak di Bima yang mendapat pengaruh Majapahit adalah ragam hias bentuk relief Garudeya, relief tokoh Bima, dan relief kelopak teratai. Dalam masyarakat Bima dan Dompu, tokoh Bima dikaitkan dengan Gajah Mada. Tinggalan budaya tak benda yang ditemukan berupa mitos tokoh Gajah Mada yang dianggap berasal dari Bima dan Dompu. Dalam Bahasa Bima, terdapat beberapa kosakata yang mirip dengan Bahasa Jawa. Penelitian ini menyimpulkan bahwa pengaruh Majapahit di Bima dan Dompu sangat sedikit atau tidak terlalu melekat yang disebabkan karena masyarakat Bima sangat kuat dalam menerapkan adat yang ada sejak masa ncuhi

    Periodisasi Candi Simangambat: Tinjauan Terhadap Beberapa Temuan Ragam Hias Candi

    Get PDF
    Abstract. Periodization of Simangambat Temple: A Review on Some Temple Ornaments. Simangambat Temple is the ruin of a temple which is located in the southern part of North Sumatra Province. Some artefacts found during ground surveys and excavations vary from kala-shaped stones, makara, guirlande reliefs, garia, pillars, and 'kertas tempel' motifs. These findings show similarities to the artefacts found in the temples from Old Mataram era; hence it can be concluded that Simangambat Temple might have been built in the same period as the temples of Old Mataram era. Abstrak. Candi Simangambat merupakan suatu candi yang terletak di bagian Selatan Provinsi Sumatera Utara yang kondisinya sudah runtuh. Beberapa artefak yang ditemukan baik dari hasil penggalian maupun yang sudah berada di permukaan tanah yaitu batu-batu berbentuk kala; makara; batu berelief guirlande, gapa, pilar dan motif kertas tempel; menunjukkan kemiripan dengan artefak dari candi-candi zaman Mataram Kuna. Berdasarkan hal itu maka diduga bahwa Candi Simangambat dibangun sezaman dengan candi-candi dari jaman Mataram Kuna

    PENGARUH PERADABAN MAJAPAHIT DI KABUPATEN BIMA DAN DOMPU

    Get PDF
    Majapahit civilization characterized by archaeological remains such as temple, relief, and statuettes which have distinctive characteristic. Relief stories which was popular at that time were Panji and Garudeya. This research aims to know the influence of Majapahit in Bima and Dompu, based on tangible and intangible remains. Data were collected through literature study, survey, and interview. Decorative patterns of Garudeya, Bima, and lotus petals were regarded to have relation with Majapahit Kingdom. Bima and Dompu people assume that Bima related to Gajah Mada. They believe the myth that Gajah Mada came from Bima, which became one of immaterial culture remains. Some vocabularies in Bima Language resemble Javanese. This research concludes that there is only a little resemblance of Majapahits influence, caused by the strong tradition which has been held by the people since ncuhi era.Peradaban Majapahit dicirikan oleh tinggalan arkeologi berupa bangunan candi, relief, dan arca yang mempunyai ciri khusus Majapahit. Relief cerita yang populer pada masa itu misalnya relief cerita Paji dan cerita Garudeya. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh peradaban Majapahit di Kabupaten Bima dan Dompu baik pada tinggalan budaya material maupun immaterial. Pengumpulan data dilakukan dengan studi pustaka, survei, dan wawancara. Beberapa artefak di Bima yang mendapat pengaruh Majapahit adalah ragam hias bentuk relief Garudeya, relief tokoh Bima, dan relief kelopak teratai. Dalam masyarakat Bima dan Dompu, tokoh Bima dikaitkan dengan Gajah Mada. Tinggalan budaya tak benda yang ditemukan berupa mitos tokoh Gajah Mada yang dianggap berasal dari Bima dan Dompu. Dalam Bahasa Bima, terdapat beberapa kosakata yang mirip dengan Bahasa Jawa. Penelitian ini menyimpulkan bahwa pengaruh Majapahit di Bima dan Dompu sangat sedikit atau tidak terlalu melekat yang disebabkan karena masyarakat Bima sangat kuat dalam menerapkan adat yang ada sejak masa ncuhi

    KALPATARU Majalah Arkeologi vol 24 nomor 2

    Get PDF
    Marlon Ririmasse Pusaka Budaya Kawasan Pesisir: Tinjauan Arkeologis atas Potensi di Kepulauan Maluku Kawasan pesisir sejak lama telah menjadi salah satu tema utama dalam tinjauan sejarah budaya dunia. Karakter geografisnya yang khas, membuat wilayah ini menjadi titik mula bagi proses kontak dan interaksi antar budaya. Hadir sebagai kepulauan terbesar di dunia, Indonesia menjadi salah satu negara dengan garis pantai terpanjang. Suatu keadaan yang mencermink.an potensi kolosal kawasan pesisir di negeri ini. Terrnasuk potensi secara kultural. Sebagai salah satu kepulauan terluas di Indonesia, Maluku juga kaya dengan pusaka budaya kawasan pesisir. Makalah ini merupakan langkah awal untuk menemukan dan mengenali potensi pusaka budaya kawasan pesisir yang ada di Kepulauan Maluku dari sudut pandang studi arkeologi serta membuka ruang diskusi bagi arah pengelolaannya. Survei penjajakan dan studi pustaka dipilih sebagai pendekatan dalam kajian. Hasil penelitian menemukan bahwa wilayah Maluku memiliki potensi besar pusaka budaya kawasan pesisir yang perlu dikelola dengan pendekatan pengembangan berkelanjutan. Sukawati Susetyo Situs Kesuben: Suatu Bukti Peradaban Hindu-Buddha di Pantai Utara Jawa Tengab Sejarah kuoo Indonesia mencatat bahwa masa sejarah tertua di Jawa Tengah adalah Kerajaan Matariim Kuoo (abad ke-8-10). Pada waktu yang sarna di pantai timur Sumatera terdapat Kerajaan Sriwijaya. Di lain pihak, berita Cina menginformasikan bahwa kerajaan di Jawa sudah ada pada abad ke-5, yaitu Ho-ling (She-po). Penelitian mutakhir di pesisir pantai utara Jawa Barat dan timur Sumatera memberikan bukti adanya hubuogan antara Indonesia dengan bangsa asing berupa artefak­artefak dari luar negeri, meskipun tidak didukung oleh data prasasti. Hal tersebut memberikan petunjuk untuk mencari bukti awal hubuogan dengan bangsa Lain di daerah pesisir pantai. Penelitian di pesisir pantai utara Jawa Tengah ini dilakukan dengan survei, ekskavasi, dan wawancara mendalam, metode penulisan menggunakan metorl deskriptif komparatif. Penelitian lill berhasil menambahkan data baru berupa temuan candi di Desa Kesuben, Kecamatan Lebaksiu, Kabupaten Tega!, Jawa Tengah.Temuan yang dihasilkan berupa struktur bangunan candi dari bata, antefiks-antefiks, dan area batu. Hingga saat ini dari penelitian ini belum diketahui latar keagamaan Candi Kesuben karena belum ditemukan artefak yang mendukung. Sunaroingsih Karakteristik Situs Pesisir di Kecamatan Kumai, Kabupaten Kotawaringin Barat Kabupaten Kotawaringin Baral yang berada di Provinsi Kalimantan Tengah memiliki kawasan pesisir, tepatnya di sebelah selatan, yang berbatasan langsuog dengan Laut Jawa. Posisi yang strategis tampaknya sangat berpengaruh terhadap perkembangan kebudayaan di daerah tersebut. Kesempatan untuk dapat berinteraksi dengan dunia luar menjadi sangat mungkin. Keberadaan situs arkeologi di pesisir menjadi sangat menarik untuk dikaji lebih lanjut. Tulisan ini ditujukan untuk mengetahui karakteristik situs tersebut. Metode penelitian bersifa t deskriptif eksplanatif dengan penalaran induktif. Data arkeologi yang diguoakan merupakan basil survei arkeologi pada tahun 2014. Hasil surve1 menemukan adanya beberapa kelompok temuan yang berada di wilayah Desa Sebuai dan Desa Pendulangan, dengan keramik sebagai temuan terbanyak. Berdasarkan basil analisis artefaktual dan lingkungan, sintesa dan interpretasi menunjukkan bahwa situs di pesisir tersebut, selain sebagai tempat hunian dari abad ke- 13 -14 hingga sekarang, juga memegang peranan penting dalam aktivitas perdagangan dengan daerah luar, serta mempunyai keterkaitan yang erat dengan situs arkeologi di daerah pedalaman. Vita Lingkungan Vegetasi Situs Pesisir Samudera Pasai: Perlindungan dan Pelestarian Situs Samudera Pasai merupakan bekas kerajaan Lslam pertama di Indonesia berada di kawasan pesisir pantai Kabupaten Aceh Utara. Akibat dari berbagai bencana yang menimpa situs ini, maka bekas-bekas kerajaan ini hanya tinggal puing dan sangat sedikit bukti fisik yang tersisa. Hilangnya bekas-bekas bangunan di wilayah ini disebabkan oleh punahnya lingkungan vegetasi yang Ery Soedewo Glass Beads as One of l11dicators of the Heyday and Collapse of Kampai lslar,d Commerce Kampai Island's past traces include the abundant varied glass beads. Was such abundant glass beads reflects certain conditions on ancient Kampai Island? Such richness in number and variety have triggered a number of researches on their quantity and morphology which provide some information of categorization and trade fluctuation in the ancient Kampai Island. The factors contributing to the rise and/all of the island are explained through the analogy olocal or international historical sources. Kampai's heyday through AD II to the middle of AD 14 centuries was among others due to demand on Suma/eras natural resources by the Chinese market since the Tang Dynasty's period; on the other hand, the Ming Dynasty's AD 15 century inter-ocean private trade quota limitation contributed to the decline of such resources demand. The declining demand.finally brought Kampai 's commerce to collapse at AD 16 century when other Sumatera 's ports began to export Aru 's commodity. Muhammad Hasbiansyah Zulfahri, Hilyatul Jannah, Sultan Kurnia Alam Bagagarsyah, Wastu Prasetya Hari, dan Wulandari Retnaningtiyas A Flashback of the Cultural-History of Blambangan Peninsula, Banyuwangi, East Java Blambangan peninsula, known as Alas Punvo located in Banyuwangi. Alas Purwo, also means "early forest" in Javanese language, has a lot of archaeological potential, moreover the dense forest which is one of the constituent elements of the karst landscape enables support for human life in prehistoric era. Data from various sources says that in the Alas Punvo found the remains of the other past culture. In addition, isolated location provide opportunities for data that is pristine and not much transformed. The purpose of this research is to collect data of archaeological and ethno-history potency of Alas Purwo in three dimensions, which is: the dimensions of form, space, and time, in order to obtain a conclusionon the cultural history Blambangan Peninsula. The research methods is explorative with three approaches, archaeological approach, ethno-historical approach and - geographical approach with the Geographic Information System (GIS}. The research proves that Blambangan Peninsula has cultural history value as well. This result can be proved from complete archaeological and ethno­historical remains dating from the Prehistoric, Classical, Islam, and the Colonial era with local, national, and international issues. Spatially, the distribution pattern of the archaeological remains show fundamental variations, such as locational characteristics

    AMERTA 29 nomor 2

    Get PDF
    KEHIDUPAN MANUSIA MODERN AWAL DI INDONESIA: SEBUAH SINTESAAWAL Truman Simanjuntak Rentang wak:tu Plestosen Akhir atau paruh kedua Plestosen Atas pada urnumnya merupakan periode yang mengait dengan kemunculan dan perkembangan Manusia Modern Awal (MMA) di Indonesia. Bukti-bukti arkeologi sedikit banyaknya telah meyakinkan keberadaannya, berikut rekaman perilakunya yang khas, dalam periode tersebut. Terlepas dari pertanggalan kolonisasi awal yang belum diketahui pasti dari manusia modern awal ini, pertanggalan radiometri yang tersedia menampakkan bahwa mereka telah menghuni Indonesia, dan Asia Tenggara pada umumnya, paling tidak sejak: sekitar 45 ribu tahun lalu hingga akhir kala Plestosen. Beberapa fenomena perilaku yang paling menonjol, yang membedakannya dari perilaku manusia purba yang mendiami Indonesia sejak: jutaan tahun sebelumnya, adalah: (1) ekploitasi geografi yang semakin luas di kepulauan; (2) perubahan lokasi hunian dari bentang alam terbuka ke relung-relung alam seperti gua dan ceruk; (3) pengembangan teknologi litik yang menghasilkan alat-alat serpih menggantikan alat­alat yang tergolong kelompok kapak perimbas/penetak; dan (4) sistem mata pencaharian yang lebih maju dan beragam dengan eksploitasi lingkungan (flora dan fauna) yang lebih bervariasi. Keseluruhan fenomena perilak:u tersebut ak:an menjadi pokok bahasan tulisan ini. "THE ROLE OF BHIMA AT CANDI SUKUH" As represented by a number of reliefs1) Hariani Santiko*) Peranan Bhima di Candi Sukuh. Tokoh Bhima digambarkan dalam sejumlah relief di Kompleks Percandian Sukuh. Tokoh ini dijumpai pada episode-episode ceritera Bhimaswarga yang dipahatkan pada dinding Candi Kyai Sukuh, yaitu sebuah kuil kecil di muka kuil utama Candi Sukuh. Fragrnen dari cerita yang sama juga ditemukan di gerbang Kala-mrga. Selain itu, ditemukan pula fragrnen ceritera Sudamala yang menggambarkan Bhima menyerang tokoh iblis di sebuah papan batu, sedangkan sejumlah relief Bhima lainnya yang belum dikenali asal ceriteranya ditemukan tersebar di halaman Kompleks Percandian Sukuh. Berdasarkan studi banding antara data artefaktual dan data tekstual penulis meyakini bahwa tokoh Bhima dipuja sebagai perantara antara Dewa Siwa dan orang-orang yang ingin mencapai pelepasan akhir (moksa). Peranan Bhima sebagai penyelamat manusia dapat dijumpai pada ceritera Bhimaswarga. Pada relief yang mengambarkan episode terakhir Bhimaswarga, tokoh Bhima digambarkan sedang diberi sebotol amrta oleh Siwa. LINGKUNGAN GEOLOGI SITUS HUNlAN GUA GEDE DI PULAU NUSA PENIDA, KABUPATEN KLUNGKUNG PROVINSI BALI Dariusman Abdillah Gua Gede adalah salah satu gua karst di lereng perbukitan Banjar Pendem, Nusa Penida dengan lingkungan yang memungkinkan sebagai tempat hunian. Dari hasil penelitian yang dilakukan oleh Balai Arkeologi Denpasar di gua ini ditemukan sisa-sisa pemukiman dari masa prasejarah berupa alat-alat dari tulang, alat batu, tembikar, dan sisa-sisa makanan dari moluska. Manusia dapat bertahan hidup di lingkungan karst pada masa prasejarah di daerah ini, didukung oleh kondisi gua yang memenuhi syarat sebagai tempat hunian dengan ketersediaan sumberdaya alam. Kedua faktor ini terpenuhi di Gua Gede sehingga menjadikannya sebagai tempat hunian di zaman prasejarah. Seperti apa kondisi Gua Gede dan sumberdaya lingkungan apa saja yang mendukung kehidupan manusia prasejarah didalarnnya, menjadi pokok bahasan dalam tulisan ini PERIODISASI CANDI SIMANGAMBAT: Tinjauan terhadap beberapa temuan ragam bias candi Sukawati Susetyo Candi Simangambat merupakan suatu candi yang terletak di bagian Selatan Provinsi Sumatera Utara yang kondisinya sudah runtuh. Beberapa artefak yang ditemukan baik dari hasil penggalian maupun yang sudah berada di permukaan tanah yaitu batu-batu berbentuk kala; makara; batu berelief guirlande, ga.Qa, pilar dan motif kertas tempel; menunjukkan kemiripan dengan artefak dari candi-eandi zaman Mataram Kuna. Berdasarkan hal itu maka diduga bahwa Candi Simangambat dibangun sezaman dengan eandi-candi dari jaman Mataram Kuna. KONSEP OPEN AIR MUSEUM: Alternatif Model Pelestarian Situs Arkeologi di Indonesia Atina Winaya Open air museum adalab jenis museum yang memamerkan koleksinya di ruang terbuka. Dalam perkembangannya, open air museum tidak hanya memamerkan koleksinya secara outdoor, melainkan merupakan salah satu media dalam upaya pelestarian situs arkeologi. Konsep tersebut sudah banyak dikembangkan di negara-negara maju. Melalui konsep open air museum, suatu situs arkeologi berubah menjadi hidup kembali. Lansekap dan bangunan Cagar Budaya direkonstruksi sesuai dengan kondisinya di masa lalu. Selain tinggalan budaya tangible, tinggalan budaya intangible juga direkonstruksi kembali. Dengan demikian, masyarakat masa kini dapat memperoleh pengetahuan dan pengalaman mengenai suasana situs beserta kehidupannya di masa lampa·u. Konsep open air museum masib dapat dikatakan asing di Indonesia. Padabal jika dikaji lebih lanjut, konsep tersebut dapat dijadikan salah satu solusi dalam upaya pelestarian dan pemanfaatan situs secara optimal. Potensi-potensi yang terkandung di dalam situs, baik fisik maupun nilai, digali dan dikembangkan semaksimal mungkin, sehingga dapat memberikan manfaat bagi masyarakat. Dengan demikian, makna yang terkandung di dalam situs dapat dipabami oleh masyarakat masa kini dan masa yang akan datang sehingga menumbuhkan kesadaran akan identitas dan jati diri bangsa, serta meningkatkan rasa cinta tanah air

    KALPATARU Majalah Arkeologi vol 23 nomor 2

    Get PDF
    Sriwijaya for Our Nation Oleh: Truman Simanjuntak, Pusat Arkeologi Nasional Srivijaya Kingdom that centered in South Sumatera is one of the highest peak of culture in the Indonesian Archipelago. The kingdom evolved from 71n to 131n Century AD. Several achievements that made Srivijaya Kingdom become a great maritime country and very influential in South East region are as follows, commanded the trade route in Malaka Strait and Sunda Strait; had a trade relations with China, India, Arab, Persia, and Madagascar; built a strategic area as a maritime base for commercial interest and sovereignty protection; built a Buddhist and Sanskrit center; and also built tolerance to religions in society. Srivijaya is not just a knowledge from the past, it should bring benefits to Indonesia as a nation. The spirit of actualization, the greatness, and the culture and historical values should inspire and motivate Indonesian people to build a great archipelagic nation. The knowledge of Srivijaya could be inherited through formal and informal education, and social activities such as sports activities, arts activities, and cultural activities. Another strategic way is to build "Rumah Peradaban Sriwijaya" (House of Srivijaya Civilization). Rumah Peradaban Srivijaya is a building complex that embodies a research and information center, museum as an educational and social facility, and also public space. Hunian "Pra-Sriwijaya" di Daerah Rawa Pantai Timur Sumatera Oleh: Nurhadi Rangkuti, Balai Arkeologi Nasional Keberadaan Sriwijaya di Sumatera ditandai oleh adanya prasasti-prasasti dari abad ke-7 M. di Palembang, Jambi dan Larnpung. Sebagian besar prasasti dan situs­situs arkeologi dari masa Sriwijaya (abad ke-7-13 M.) terdapat di daerah lahan basah sebagai bagian dari wilayah pantai timur Sumatera. Penelitian arkeologi selama dua puluh tahun terakhir di daerah tersebut berhasil menemukan situs-situs arkeologi pada masa pra-Sriwijaya antara lain berupa situs kubur tempayan dan situs hunian. Penemuan situs-situs masa pra-Sriwijaya itu menunjukkan bahwa sebelum Sriwijaya berkembang di Palembang dan Jambi, daerah rawa telah dimukimi oleh komuniti-komuniti kuno. Penelitian mengkaji lebih jauh pola hidup masyarakat kuna tersebut dalam berinteraksi dengan lingkungan rawa. Penelitian dilakukan dengan pendekatan "landscape archaeology", survei dan ekskavasi untuk pengumpulan data, serta analisis carbon dating (C-14) dan tipologi artefak untuk mengetahui pertanggalan situs. Hasil penelitian memberikan gambaran mengenai pola persebaran situs antara situs kubur tempayan dan situs bunian di daerab rawa. Makara Pada Masa Sriwijaya 0/eh: Sukawati Susetyo, Pusal Arkeologi Nasional Sriwijaya merupakan salah satu kerajaan besar di Indonesia pada abad ke-7-12 M. Tinggalan bangunan suci dari masa Sriwijaya tersebar di beberapa kawasan, yaitu Muara Jambi di Jambi, Muara Takus di Riau, Bumiayu di Sumatera Selatan, hingga beberapa kelompok bangunan suci Padang Lawas di Sumatera Utara. Makara merupakan salah satu unsur bangunan candi yang biasanya berpasangan dengan kala. Tujuan penulisan ini adalah ingin mengetahui ciri-ciri makara dari masa Sriwijaya dengan cara membandingkannya dengan makara-makara dari candi masa Mataram Kuno. Dari basil penelitian selama ini diketahui bahwa makara Sriwijaya mempunyai ciri tersendiri, meskipun tidak mena:fikan adanya beberapa kesamaan dengan makara dari masa Mataram Kuno tersebut. The Structure of Stiipas at Muara Jambi 0/eh: Hariani Santiko, Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia In the vicinity of Muara Jambi are found a lot of archaeological remains, among others a group of brick monuments believed to date from the 9m to 13m Century AD, among others are Candi Tinggi, Candi Gumpung, Candi Gedong I and II, Candi Kedaton, Candi Astano. These monuments are Buddhist, because the majority of the finds in this area are Buddhist statues, many bricks with "bija mantra" inscriptions and drawing such as padma motives on them. The structures of the main temple, except Candi Gumpung, are generally square in plan with projecting portico on the east or north, and terrace platform that may well served for the enthronement of the big stiipa like the one at Candi Tinggi. The type of this stiipa structure is called the terrace-stiipa, known for the first time in the Gandharan regions from pre­Kushana period. In Indonesia terrace-stiipas are found at Muara Takus (Candi Tua) and also candi Borobudur in Central Jawa. Candi Gumpung has different structure, a square ground plan measuring 18 x 18 metres without any trace of an inner-room (garbhagrha). Boechari in 1985 read the inscriptions found in the deposit boxes found inside the temple floor. He recognized the plan of Vajradhatu-ma1;H;iala found in the base of candi Gumpung. It means that candi Gumpung is a Vajrayana temple and it embodies the mru;i9ala of the five Tathagath as with Wairocana in the centre. So I assume that the first can di Gumpung in the 9-1 om Century was a square platform with five stiipas on it to form the Vajradhatu-mru;i9ala. By studying the archaeological data from Muara Jambi and comparing them with the monuments from Muara Takus and Biaro Bahal, I consider the remains of brick monuments at Muara Jambi belonged to stilpas, especially the terrace-stiipas. Invasi Sriwijaya ke Bhiimijawa: Pengaruh Agama Buddha Mahayana dan Gaya Seni Nalanda di Kompleks Percandian Batujaya Oleh: Hasan Djafar, Universitas Indraprasta PGRI, Jakarta Paper ini membahas pengaruh invasi Sriwijaya ke Bhumijawa (Tarumanagara) pada akhir abad ke-7 M. Fokus pembahasan adalah pengaruh Agama Buddha Mahayana dan gaya seni Nalanda di kompleks percandian Batujaya, Karawang, Jawa Barat. Hasil penelitian di Batujaya selama periode 1985-2006 telah menghasilkan beberapa buk:ti baru penyebaran Agama Buddha Mahayana dan gaya seni Nalanda di Kompleks percandian Batujaya. Arkeologi Natuna: Koridor Maritim di Perairan Laut Cina Selatao Oleh: Sonny C. Wtbisono, Pusat Arkeologi Nasional, Jakarta Salah satu episode sejarah yang menarik untuk dicermati selama masa pertumbuhan dan perkembangan Sriwijaya adalah berlangsungnya kegiatan niaga jarak jauh. Dalam kronik Cina cukup jelas dicatat, kerajaan yang pusatnya di Sumatera ini, telah mengirimkan lebih dari dua puluh misi perniagaan ke Cina antara abad ke-10-13 M., demikian pula sebalik:nya. Kawasan perairan Laut Cina Selatan, merupakan jalur yang semakin intensif dilalui pada masa itu. Permasalahan yang menjadi fokus perhatian dalam tulisan ini tentang studi arkeologi di wilayah kepulauan khususnya di Laut Cina Selatan yang dipandang patut diteliti untuk menelusur jejak jalur perniagaan jarak jauh antara Cina dan Nusantara, terutama hubungannya deogan masa Sriwijaya. Di samping penelitian terhadap bandar-bandar di sepanjang pantai Benua Asia Tenggara Daratan, pada kenyataan banyak kepulauan kecil yang sangat mungkin menjadi ''batu loncatan" dalam perjalanan niaga yang selama ini luput dari perhatian seperti Kepuluan Paracel, Spratley, Anambas, dan Natuna. Pulau ini merupakan salah satu gugusan pulau-pulau kecil yang berhadapan dengan Laut Cina Selatan, menempati posisi persilangan jalur untuk memasuki perairan Malaka, Sumatera, dan Kalirnantan. Dalam tulisan ini akan disajikan bukti-bukti arkeologis, dari basil survei dan ekskavasi Natuna tahun 2012-2014, termasuk data situs dan artefaktual. Keramik sebagai indikator perniagaan dianalisis khusus (kualitatif dan kuantitatif) untuk perbandingan

    AMERTA 34 nomor 2

    Get PDF
    Suryatman dkk. Teknologi Litik di Situs Talimbue, Sulawesi Tenggara: Teknologi Berlanjut dari Masa Pleistosen Akhir Hingga Holosen Temuan litik yang sangat padat di Situs Talimbue di Sulawesi Tenggara menunjukkan sebuah persepektif baru dalam kajian teknologi litik di Sulawesi. Kekosongan informasi teknologi litik masa prasejarah di wilayah Sulawesi Tenggara adalah hal yang menarik dikaji dalam penelitian di Situs Talimbue. Artefak litik digunakan dari masa Pleistosen akhir hingga masa Holosen akhir. Penelitian ini akan menguraikan secara detail bagaimana teknologi litik di Situs Talimbue. Artefak batu diserpih yang dianalisis menjadi 3 kategori, yaitu serpih diretus, serpihan dan batu inti. Serpihan kemudian diklasifikasi menjadi 3 kategori, yaitu serpih utuh, serpih rusak dan tatal. Pengukuran indeks retus juga dilakukan bertujuan untuk mengestimasi secara kuantitatif tingkat intensitas retus terhadap serpih yang telah diretus. Hasil penelitian menunjukkan perubahan teknologi artefak batu diserpih terjadi selama masa hunian di Situs Talimbue. Perubahan teknologi terjadi karena adanya proses adaptasi yang disebabkan oleh perubahan lingkungan. Gerrit Alink, Wil Roebroeks, dan Truman Simanjuntak Trinil: Masa lalu, Sekarang dan Masa Depan Sebuah Situs Bersejarah DDusun Trinil menjadi terkenal dengan ditemukannya Pithecanthropus erectus, sekarang Homo erectus, oleh Dubois pada tahun 1891. Setelah ekskavasi Dubois, pada tahun 1907 sebuah ekspedisi besar-besaran dipimpin oleh E. Selenka berlangsung di lokasi yang sama. Selain fosil-fosil sisa manusia, puluhan ribu fosil vertebrata lain dan moluska ditemukan dalam ekskavasi Dubois dan Selenka antara tahun 1891 dan 1907. Koleksi ini sekarang disimpan di Naturalis di Leiden (Belanda) dan di Museum für Naturkunde di Berlin (Jerman). Studi yang berlangsung saat ini terhadap koleksi-koleksi itu mendorong perlunya penelitian baru di lapangan. Tujuannya selain untuk mengetahui potensi situs juga untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan yang muncul dalam studi koleksi. Parit penggalian Dubois dan ekspedisi Selenka dikontekstualisasikan dalam peta geografi modern berdasarkan data historis, bahan fotografi yang masih Rr. Triwurjani Representasi Nekara pada Beberapa Situs Megalitik di Indonesia: Hubungannya dengan Asia Tenggara Nekara pada awalnya dikenal sebagai alat tabuh banyak ditemukan di Asia Tenggara. Persebarannya yang luas di Asia Tenggara dengan pusatnya di Dongson (Vietnam) sampai ke Indonesia dalam berbagai variasi bentuk serta ukuran menunjukkan bahwa nekara dikenal cukup luas. Penemuan nekara direpresentasikan dalam berbagai bentuk dan teknik pembuatan antara lain ada nekara yang digambarkan pada bukit batu sebagai relief dan arca batu sebagai motif hias; dan ada pula yang dipahat pada lempengan batu yang merupakan salah satu bagian dari dinding suatu kubur batu pada sebaran temuan megalitik Pasemah, Sumatera Selatan. Aspek historis nekara menunjukan bahwa ia tidak sekedar alat tabuh dengan bunyi-bunyian dan berfungsi sakral untuk mendatangkan hujan misalnya, melainkan sebagai salah satu wujud representasi dari kehidupan suatu masyarakat tertentu pada masa tertentu pula. Berkenaan dengan representasi sebagai suatu konsep keterwakilan, maka diperlukan suatu interpretasi agar dapat diungkapkan maknanya, minimal mendekati makna yang sesungguhnya. Metode interpretasi bersifat kualitatif yang digunakan dalam bahasan ini setidaknya dapat menjawab mengapa variasi bentuk nekara tersebut terjadi. Tujuannya adalah untuk mengetahui mengapa gambaran nekara tersebut bervariasi. Hasil penelitian mengungkapkan nekara sebagai benda sakral dapat menjadi identitas dan memori kolektif bagi masyarakat pendukung budaya megalitik Pasemah, dimana kepercayaan kepada arwah leluhur dianut dengan sangat kental. Hariani Santiko Identifikasi Relief Karmawibhangga pada Candi Borobudur Relief yang dipahat pada dinding kaki Candi Borobudur yang sekarang ditutup merupakan adegan-adegan dari naskah Karmawibhangga, yang berjumlah 160 panel ini ditemukan kembali oleh J.W. Ijzerman pada tahun 1885. Sebelum ditutup kembali relief seluruhnya difoto oleh Kassian Cephas pada tahun 1890-1891. Ke-160 relief tersebut terkait dengan ajaran hukum karma, hukum sebab akibat, yang sangat penting dalam ajaran agama Buddha. Agar cerita tersebut dimengerti dengan baik oleh pengunjung, maka ajaran tersebut dikemas dalam cerita kehidupan masyarakat Jawa Kuna pada abad ke- 9-10 Masehi, semasa Candi Borobudur didirikan. Identifikasi relief telah dilakukan oleh N.J. Krom, S. Levi, dan Jan Fountain yang membandingkan adegan-adegan dengan dua naskah Sutra yang telah diterjemahkan ke dalam bahasa Cina yang dikenal sebagai T 80 dan T 81. Tujuan penulisan ini adalah mencari naskah yang dipergunakan oleh para pemahat relief Karmawibhangga. Metode yang dipakai adalah metode Arkeologi-Sejarah yaitu pendekatan yang menggunakan data artefaktual dan data tekstual berupa naskah dan prasasti. Relief yang dibandingkan dengan episode dalam naskah, diketahui bahwa berbagai episode lebih mendekati isi naskah T 80. ukawati Susetyo Pengaruh Majapahit pada Bangunan Puri Gede Kaba-Kaba, Tabanan Majapahit sebagai kerajaan besar telah mengembangkan pengaruhnya meliputi hampir di seluruh wilayah Indonesia saat ini, yaitu daerah-daerah di Pulau Sumatra di bagian barat dan Maluku di bagian timur, bahkan pengaruhnya meluas sampai ke negara tetangga di Asia Tenggara yang dijalin dalam bentuk persahabatan yang setara (mitra satata). Tinggalan arkeologi dari masa Majapahit yang dapat kita temui adalah bangunan suci, arca-arca, relief, bangunan profan, fragmen/utuh gerabah dan keramik, dan karya-karya sastra. Tinggalan Majapahit tersebut mempunyai ciri-ciri khusus dalam bentuk arsitektur bangunan suci, gaya relief dan arca. Puri Kaba-Kaba merupakan tinggalan Kerajaan Kaba-Kaba di Tabanan, yang rajanya berasal dari Majapahit. Tujuan penelitian ini untuk mengetahui apa saja pengaruh Majapahit yang ditemukan pada bangunan puri ini. Selain itu juga ingin mengetahui apakah pembangunan puri sesuai dengan konsep Sanga Mandala, suatu konsep dalam pembangunan sebuah puri. Pengumpulan data dilakukan dengan studi pustaka, dan mendeskripsikan unsur-unsur bangunan puri yang mendapat pengaruh dari Majapahit, juga melakukan wawancara terhadap narasumber. Dari penelitian ini diketahui bahwa pembangunan Puri menerapkan konsep Sanga Mandala, namun telah mengalami pengembangan sesuai kebutuhan. Pengaruh Majapahit yang ditemukan pada bangunan Puri Kaba-Kaba antara lain adalah gapura candi bentar dan paduraksa, arca-arca bergaya tantris, arca kura-kura dan naga, serta arca tokoh berwajah orang asing

    Gaya Seni Arca Masa Kᾱḍiri: Studi Terhadap Arca Candi Gurah dan Candi Tondowongso

    Get PDF
    In the archaeology Hindu-Buddhist era in Indonesia, there are several known art styles temple building architecture and statue art: Early Classical Era and Late Classical Era. In more detail, that several eras can be described that Early Classical Era developed during the Old Mātaram era with the center of its reign at Central Java, and Late Classical Era Style developed during Kāḍiri/Siŋhasāri and Majapahit with the center of its reign at East Java. Late Classical Era Style divided into two subs, Kāḍiri/Siŋhasāri and Majapahit. Kāḍiri as an early dynasty in East Java not yet known clearly what the special characteristic style of its temple is building architecture and its statue art, and only been told that the Kāḍiri Era Style is the connecting line between Early Classical Era Style and Late Classical Era. This essay intends to find out special characteristics of the Kāḍiri Era Style (transition art style). For this reason, the research was carried out on statues comes from Gurah Temple and Tondowongso Temple, both temples knew the date, with relative dating method or absolute dating method. From this iconographic research in detail will describe parts of the statues, from then will obtain several features that always appear, and that’s characteristics are considered as a strong characteristic from statues from Kāḍiri Era Style.Dalam arkeologi masa Hindu Buddha di Indonesia, dikenal gaya seni arsitektur bangunan candi dan seni arca masa Klasik Tua dan Klasik Muda. Dapat dijabarkan secara lebih rinci bahwa seni Klasik Tua berkembang pada masa Mātaram Kuna dengan pusat pemerintahan di Jawa bagian Tengah, sedangkan Seni Klasik Muda berkembang pada masa Kāḍiri/Siŋhasāri dan Majapahit dengan pusat pemerintahan di Jawa Timur. Seni Klasik Muda terbagi menjadi dua, yaitu Kāḍiri/ Siŋhasāri dan Majapahit. Kāḍiri sebagai suatu dinasti awal di Jawa Timur belum diketahui secara jelas apa saja ciri-ciri khusus, seni bangun candi maupun seni arca, dan hanya dikatakan bahwa gaya seni masa Kāḍiri adalah benang merah yang menghubungkan antara gaya seni Klasik Tua dengan gaya seni Klasik Muda. Tulisan ini bertujuan mengetahui ciri-ciri khusus arca-arca masa Kāḍiri (gaya seni peralihan). Untuk itu, perlu dilakukan penelitian terhadap arca-arca yang berasal dari Candi Gurah dan Candi Tondowongso. Kedua candi tersebut sudah diketahui pertanggalannya, baik secara relatif maupun absolut, yaitu dari masa Kāḍiri. Melalui penelitian ikonografi secara mendetil terhadap bagian-bagian arca didapatkan beberapa ciri yang selalu muncul, dan ciri tersebut dianggap sebagai ciri kuat arca-arca masa Kāḍiri
    corecore