KALPATARU
Not a member yet
159 research outputs found
Sort by
The Medallion Design on Gravestones in Palembang
The Islamic tombs in Palembang date from the 16th-20th century AD. Some of the tombs in Palembang are plain and some have decorations. Ornaments are affixed to the jirat and tombstones. The ornaments found on the headstones include medallions. The medallion ornaments vary in shape and are commonly found in temple buildings in Java in the 9th-16th centuries AD. The medallion decorative motifs in Palembang are found on Islamic tombs from the time of the Palembang Darussalam Sultanate. The medallion decorative motifs found are varied and interesting to study from the similarities and differences with those in Java, as well as the reasons for the emergence of these similarities and differences. Based on these two problems, this paper aims to identify the forms of medallion decoration, similarities, and differences, as well as the background to the similarities and differences in the medallion decorations in Palembang and Java. To answer these two problems, archaeological research methods were used by describing the ornamental variety and identifying its diversity. After that, it was analyzed qualitatively using symbolic theory. The results of the study show that the similarities in the decorations are due to the historical relationship between Palembang and the Majapahit and Demak kingdoms in Java. The difference in the medallion decoration is caused by the creativity factor of Palembang artists.Makam-makam Islam di Palembang berasal dari abad ke-16-20 M. Makam-makam di Palembang ada yang polos dan ada yang memiliki hiasan. Ragam hias diterakan pada bagian jirat dan nisan makam. Ragam hias yang terdapat pada nisan antara lain adalah medalion. Ragam hias medalion bentuknya bervariasi dan biasa ditemukan pada bangunan-bangunan candi di Jawa pada abad ke-9- 16 Masehi. Motif hias medalion di Palembang ditemukan pada nisan-nisan makam Islam dari masa Kesultanan Palembang Darussalam. Motif hias medalion yang ditemukan beragam dan menarik untuk dikaji dari persamaan dan perbedaannya dengan yang di Jawa, serta alasan munculnya persamaan dan perbedaan tersebut. Berdasarkan dua permasalahan tersebut, maka tulisan ini mempunyai tujuan untuk mengidentifikasi bentukbentuk ragam hias medalion, persamaan, dan perbedaannya, serta latar belakang persamaan dan perbedaan ragam hias medalion di Palembang dan di Jawa. Untuk menjawab kedua permasalahan tersebut digunakan metode penelitian arkeologi dengan cara mendeskripsikan ragam hias dan mengidentifikasikan keragamannya. Setelah itu dianalisis secara kualitatif menggunakan teori simbolis. Hasil penelitian menunjukkan persamaan ragam hias disebabkan adanya hubungan sejarah antara Palembang dengan Kerajaan Majapahit dan Demak di Jawa. Perbedaan ragam hias medalion disebabkan oleh faktor kreativitas seniman Palembang
Mengembangkan Kesenian Tradisional Badui Al-Fattah, Wedomartani, Kabupaten Sleman, DIY: Studi untuk Keberlanjutan Seni Tradisional
Since the beginning of 21st century, Bedouin traditional art has declined due to the influence of modern times. It has even shifted to become a tourist attraction. For this reason, efforts are needed to improve human resources for the sustainability of the traditional arts. By using inductive reasoning, this research was conducted to improve the traditional art to be part of Indonesian cultural identity. Direct observations and interviews were made on the traditional Bedouin art group Al Fattah in Wedomartani, Yogyakarta. The outcome of this study is a recommendation for Bedouin art of Al-Fattah to have better management of the accompaniment and sound system, as well as the arrangement of motion gestures so that the art can be more captivating as well as delivering the message to the audience.Sejak awal abad 21 ini, kesenian tradisional semakin menurun kondisinya. Kesenian modern, baik nasional dan internasional, yang sangat mudah dijangkau mempengaruhi minat masyarakat mengembangkan kesenian tradisional. Selain itu, kehidupan pesantren sudah agak luntur karena kebanyakan masyarakat mulai memilih sekolah yang dikelola pemerintah. Pengembangan kesenian tradisional mulai melorot pamornya. Untuk itu, dilakukan usaha menariknya dengan menjadi salah satu objek wisata pertunjukan. Selain itu, juga diperlukan usaha memperbaiki pengelolaan guna keberlanjutan kesenian tradisional. Dengan menggunakan penalaran induktif, penelitian ini dilakukan untuk memperbaiki kesenian tradisional yang akan menjadi wujud identitas budaya Indonesia. Observasi langsung dilakukan terhadap kelompok kesenian tradisional badui Al-Fattah di Wedomartani, DIY. Pengumpulan data dilakukan dengan observasi dan wawancara. Berdasarkan hasil kajian, disarankan agar kesenian badui Al-Fattah ini melakukan penataan dalam pengelolaan pengiring dan sound system, serta penataan gerak agar kesenian ini lebih menarik dan pesan kesenian ini dapat tersampaikan kepada pengunjung
Bangunan Pasar Tradisional Petojo Enclek: Penerapan Sistem Teknologi sebagai Bukti Perbaikan Kualitas Hidup dan Perubahan Lingkungan di Batavia Abad ke-20 – 21
Abstract. Traditional markets are places and means of meeting sellers and buyers and are marked by direct buyer-seller transactions and usually there is a bargaining process. This research is a study of environmental changes and Petojo Enclek Market in the 20th - 21st Century. The purpose of this research is to see changes in Petojo Enclek Market based on archives, ancient maps, ancient photos, history, technology used in buildings, and market conditions in the past. recently. In this study using qualitative methods, the stages of this research include data collection, data processing, data analysis and data interpretation. The theory used in this study is the Core-Periphery by John Friedman and Weaver, where the Core-Periphery relationship can occur due to the expansion (development) of markets and other infrastructure. This research, it can be seen that there are significant changes in the Petojo Enclek Market building and its surroundings.Abstrak. Pasar tradisional adalah tempat dan sarana bertemunya penjual dan pembeli yang ditandai dengan adanya transaksi penjual pembeli secara langsung dan biasanya ada proses tawar-menawar. Penelitian ini merupakan kajian tentang perubahan lingkungan dan Pasar Petojo Enclek Abad ke-20 hingga abad ke-21. Tujuan penelitian ini untuk melihat perubahan Pasar Petojo Enclek berdasarkan arsip, peta kuno, foto kuno, riwayat, teknologi yang digunakan pada bangunan, dan keadaan pasar pada masa sekarang ini. Penelitian ini menggunakan metode kualitatif. Tahapan-tahapan penelitian ini antara lain dengan pengumpulan data, pemrosesan data, analisis data, dan penafsiran data. Teori yang digunakan dalam penelitian ini adalah Core-Periphery John Friedman dan Weaver yang mengatakan bahwa hubungan Core-Periphery dapat terjadi karena disebabkan perluasan (pembangunan) pasar dan prasarana lainnya. Hasil penelitian ini menunjukkan terdapat perubahan yang cukup signifikan pada bangunan Pasar Petojo Enclek dan sekitarnya
Boatbuilding Technology Analysis of the Seventh Century Boat Remains from Bongal Site on the West Coast of North Sumatera
Abstract. The west coast of North Sumatera was a famous sea trade route since the ninth century, according to the research conducted in the Barus Site, the international trading ports in the region. However, the study of the maritime technology in the region is still scarcely done. Boat timbers finding from Bongal Site is the first, as well as the oldest, shipwreck remains found in the west coast of North Sumatera. This paper aims to study the boatbuilding technology, as one of the maritime technologies, of the boat remains found in Bongal Site. Analysis on form and function of the timbers, along with the radiocarbon-dating result of timber and Arenga pinnata rope show that the vessel was built in the Southeast Asian lashed-lugs technique in the seventh century, two centuries older than Barus. Analysis on the artefacts found near the timbers indicates that this type of vessel was used for trade activities on the west coast of North Sumatera.Abstrak. Pesisir barat Sumatera Utara merupakan wilayah yang dilalui jalur lalu lintas perdagangan-pelayaran yang ramai sejak abad ke-9 Masehi sebagaimana terbukti dari hasil penelitian di Situs Barus yang menjadi pusat perdagangan internasional. Akan tetapi, kajian tentang teknologi kemaritiman di wilayah pesisir barat Sumatera Utara masih sangat jarang dilakukan. Temuan kayu perahu di Situs Bongal menjadi temuan bangkai perahu pertama dan tertua di pesisir barat Sumatera Utara. Artikel ini bertujuan untuk mempelajari teknologi pembuatan perahu, sebagai salah satu bentuk teknologi maritim, dari sisa temuan perahu di Situs Bongal. Dengan melakukan analisis bentuk dan fungsi dari kayu-kayu tersebut, serta dengan melakukan penanggalan carbon dating terhadap kayu dan ijuk yang ditemukan, diketahui bahwa perahu dari Situs Bongal merupakan jenis perahu yang dibangun dengan teknik khas Asia Tenggara, yaitu teknik tambuku terikat, pada abad ke-7 atau dua abad lebih tua dari Situs Barus. Analisis terhadap artefak yang ditemukan di sekitar temuan kayu perahu menunjukkan bahwa jenis perahu ini dahulu digunakan dalam aktivitas perdagangan di wilayah pesisir barat Sumatera Utara
Gaya Seni Arca Masa Kᾱḍiri: Studi Terhadap Arca Candi Gurah dan Candi Tondowongso
In the archaeology Hindu-Buddhist era in Indonesia, there are several known art styles temple building architecture and statue art: Early Classical Era and Late Classical Era. In more detail, that several eras can be described that Early Classical Era developed during the Old Mātaram era with the center of its reign at Central Java, and Late Classical Era Style developed during Kāḍiri/Siŋhasāri and Majapahit with the center of its reign at East Java. Late Classical Era Style divided into two subs, Kāḍiri/Siŋhasāri and Majapahit. Kāḍiri as an early dynasty in East Java not yet known clearly what the special characteristic style of its temple is building architecture and its statue art, and only been told that the Kāḍiri Era Style is the connecting line between Early Classical Era Style and Late Classical Era. This essay intends to find out special characteristics of the Kāḍiri Era Style (transition art style). For this reason, the research was carried out on statues comes from Gurah Temple and Tondowongso Temple, both temples knew the date, with relative dating method or absolute dating method. From this iconographic research in detail will describe parts of the statues, from then will obtain several features that always appear, and that’s characteristics are considered as a strong characteristic from statues from Kāḍiri Era Style.Dalam arkeologi masa Hindu Buddha di Indonesia, dikenal gaya seni arsitektur bangunan candi dan seni arca masa Klasik Tua dan Klasik Muda. Dapat dijabarkan secara lebih rinci bahwa seni Klasik Tua berkembang pada masa Mātaram Kuna dengan pusat pemerintahan di Jawa bagian Tengah, sedangkan Seni Klasik Muda berkembang pada masa Kāḍiri/Siŋhasāri dan Majapahit dengan pusat pemerintahan di Jawa Timur. Seni Klasik Muda terbagi menjadi dua, yaitu Kāḍiri/ Siŋhasāri dan Majapahit. Kāḍiri sebagai suatu dinasti awal di Jawa Timur belum diketahui secara jelas apa saja ciri-ciri khusus, seni bangun candi maupun seni arca, dan hanya dikatakan bahwa gaya seni masa Kāḍiri adalah benang merah yang menghubungkan antara gaya seni Klasik Tua dengan gaya seni Klasik Muda. Tulisan ini bertujuan mengetahui ciri-ciri khusus arca-arca masa Kāḍiri (gaya seni peralihan). Untuk itu, perlu dilakukan penelitian terhadap arca-arca yang berasal dari Candi Gurah dan Candi Tondowongso. Kedua candi tersebut sudah diketahui pertanggalannya, baik secara relatif maupun absolut, yaitu dari masa Kāḍiri. Melalui penelitian ikonografi secara mendetil terhadap bagian-bagian arca didapatkan beberapa ciri yang selalu muncul, dan ciri tersebut dianggap sebagai ciri kuat arca-arca masa Kāḍiri
Gaya Seni Relief Yeh Pulu di Kabupaten Gianyar, Bali
The relationship between Indonesia and India manifested in various cultural forms that still survive today, one of which is in form of relief. Yeh Pulu is an archaeological site located in Banjar Batulumbang, Bedulu Village, Blahbatuh District, Gianyar Regency, Bali. To date, the relief in Yeh Pulu has not been studied intensely. The objective of this research is to reveal the characteristics of reliefs in Yeh Pulu Site. Data collection was carried out through direct observations in the field and also photographs. A comparative study was used for the analysis, by comparing Yeh Pulu Relief with the reliefs from temples in Java. The results showed that the Yeh Pulu Relief has nine scenes depicting various activities of past lives. One of the scenes depicted the story of Kresnayana, which perhaps was the inspiration for the reliefs. Yeh Pulu relief was developed around 14 – 15 AD or during late Majapahit era.Hubungan Indonesia dengan India melahirkan berbagai wujud budaya yang masih bertahan hingga sekarang, salah satunya relief. Relief merupakan salah satu wujud kebudayaan masa lalu yang menarik untuk diteliti. Selama ini, kajian terhadap Relief Yeh Pulu belum dilakukan secara mendalam. Oleh karena itu, penelitian ini bertujuan mengungkap ciri dan karakter seni relief yang terpahat di Situs Yeh Pulu. Situs Yeh Pulu terletak di Banjar Batulumbang, Desa Bedulu, Kecamatan Blahbatuh, Kabupaten Gianyar Pengumpulan data dilakukan melalui pengamatan secara langsung di lapangan dan, melalui foto-foto. Kemudian, hasil pengamatan dan foto-foto tersebut dideskripsikan. Analisis dilakukan dengan studi komparasi, yaitu membandingkan Relief Yeh Pulu dengan relief candi yang berada di Jawa. Hasil penelitian menunjukkan bahwa Relief Yeh Pulu memiliki sembilan adegan yang menggambarkan berbagai aktivitas kehidupan masa lalu. Salah satu acuan sumber cerita dari relief tersebut kemungkinan berasal dari kisah Kresnayana. Relief Yeh Pulu masuk dalam kategori gaya Akhir Majapahit yang berkembang pada abad XIV-XV Masehi
Perjalanan Panjang Paṭola Menjadi Jlamprang: Transformasi Motif Tenun Menjadi Motif Batik
The background of this research comes from the public's understanding that the jlamprang motif is a typical Pekalongan batik motif, besides that there are also those who state that this motif is an imitation of the paṭola motif. Therefore, this paper aims to determine the transformation process of the patola woven motif into the jlamprang batik motif, one of the characteristic batik motifs of Pekalongan. Why can the weaving motif turn into a batik motif? Why does the jlamprang batik motif become the hallmark of Pekalongan? The method used in this research is to trace the trade of paṭola motif cloth from India and its distribution in Java, both in the form of the distribution of decorative motifs on temples and on cloth. The search was carried out through literary texts, decorative motifs on temple walls, and motifs of cloth worn by statues. The results showed that in Java the paṭola motif has undergone a transformation from a woven motif to a decorative motif on the temple walls to a batik motif. Jlamprang became the signature batik motif of Pekalongan because it was in this city that the motif was first developed by Arab traders to overcome the scarcity of paṭola woven motifs from India. Thus, it can be concluded that the Javanese society is an adaptive society, with local genius capable of processing foreign decorative motifs into their own motifs and making them a local identity.Latar belakang penelitian ini berasal dari pemahaman masyarakat yang menyatakan bahwa motif jlamprang adalah motif batik khas Pekalongan. Selain itu, juga ada yang menyatakan bahwa motif ini adalah tiruan dari motif paṭola. Oleh karena itu, tulisan ini bertujuan untuk mengetahui proses transformasi motif tenun paṭola menjadi motif batik jlamprang, salah satu motif batik ciri khas Pekalongan. Mengapa motif tenun bisa berubah menjadi motif batik? Mengapa motif batik jlamprang menjadi ciri khas Pekalongan? Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah melakukan penelusuran pada perdagangan kain motif paṭola dari India dan persebarannya di Jawa, baik dalam bentuk persebaran motif hias pada candi maupun pada kain. Penelusuran itu dilakukan melalui naskah-naskah kesusasteraan, motif hias dinding candi, dan motif kain yang dikenakan arca. Hasil penelitian menunjukkan bahwa di Jawa motif paṭola telah mengalami transformasi dari motif tenun menjadi motif hias dinding candi kemudian menjadi motif batik. Jlamprang menjadi motif batik ciri khas Pekalongan karena di kota inilah motif itu pertama kali dikembangkan oleh pedagang Arab untuk mengatasi kelangkaan tenun motif paṭola dari India. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa masyarakat Jawa merupakan masyarakat yang adaptif, yang dengan lokal geniusnya mampu mengolah motif hias asing menjadi motifnya sendiri dan menjadikannya sebagai identitas lokal
Perkembangan Teknologi Tungku Lebur Logam Besi pada Zaman Kuno di Indonesia
Abstract. Technological knowledge of the use of metals is inseparable from human knowledge in the processing pyrotechnics of fire as a power in high temperature processes for producing objects. The fire is used for smelting and casting in melting furnaces. Metal smelting furnace is a heat production device, which is used to purify the metal, in this case iron. This paper aims to determine the development of ferrous metal smelting furnace technology in Indonesia with the library research method from the results of previous studies. Based on the results of the analysis, there are four technologies for smelting iron, namely pit kiln, bloomery furnace, blast furnace, and induction furnace. Of the four technologies, three are in use in Indonesia, namely bloomery furnace, blast furnace, and induction furnace.Abstrak. Pengetahuan teknologi penggunaan logam tidak terlepas dari pengetahuan manusia dalam memproses pyrotechnology api sebagai tenaga dalam proses suhu tinggi untuk produksi benda. Api digunakan dalam proses peleburan dan pengecoran logam dalam tungku peleburan. Tungku peleburan logam adalah alat untuk memproduksi panas yang digunakan untuk memurnikan logam, dalam hal ini besi. Tulisan ini bertujuan untuk mengetahui perkembangan teknologi tungku lebur logam besi di Indonesia dengan metode library research dari hasil-hasil penelitian terdahulu. Berdasarkan hasil analisis, terdapat empat teknologi tungku lebur besi, yaitu pit kiln, bloomery furnace blast furnace serta induction furnace. Dari keempat teknologi tersebut, tiga teknologi tungku lebur digunakan di Indonesia, yaitu bloomery furnace, blast furnace serta induction furnace