97 research outputs found
Effect of Kind and Dosage of Enrichment Materials on the Nutritional Quality of Rotifers Especially n3-HUFA
This experiment was conducted to evaluate the quality of rotifer enriched with four  kinds of enrichement materials from the stand point of essensial fatty acids. Rotifer was enriched at 24 - 25oC for 18 hours at a density of 1000 ind/ml. Rotifers were treated by four kinds of enrichment materials such as oleic acid (R-OA), two different density of Nannochloropsis oculata, (4x107 and 16x107 cell/ml; R-N18 and R-N42) two different levels of eicosapentaenoic acids (EPA) triglyceride type (EPA-TAG) (20 and 40 ml/ml; R-E20, R-E40) and two different level of EPA ethyl ester (EPA-EE) (R-EE25 and R-EE50%) respectively. Rotifers enriched with Nannochloropsis oculata and EPA-EE type have a similar profile of essensial fatty acid especially on n3-HUFA that dominated by EPA, while DHA was in a trace amount or not detected. In addition Nannochloropsis oculata as an enrichment material showed the highest population density of rotifers during enrichment periods. Rotifer enriched with EPA-TAG has a more complete of essential fatty acid profile compared to other enrichment materials due to their contained both of EPA and DHA. We conclude that rotifer enriched with EPA-TAG as enrichment material showed the best nutritional quality of rotifers from the stand point of essential fatty acid. Key words : Rotifers, enrichment, eicosapentaenoic acid, docosaheksaenoic acid, n3-HUFA  ABSTRAK Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui profil asam lemak rotifera yang diperkaya dengan berbagai macam jenis dan dosis pengkaya. Rotifera dengan kepadatan 1000 ind./ml diperkaya dengan bebagai bahan pengkaya seperti asam oleat (R-OA); Nannochloropsis oculata dengan kepadatan 4x107 dan 16x107 sel/ml (R-N18 dan R-N42); eicosapentaenoic acid (EPA) tipe triglicerida (EPA-TAG) dengan dosis 20 dan 40 μl (R-E20 dan R-E40) dan EPA tipe ethyl esther (EPA-EE) dengan dosis 25 dan 50 μl per liter (R-EE25 and R-EE50%). Rotifera diperkaya selama 18 jam pada suhu 24-25oC. Rotifera yang diperkaya dengan Nannochloropsis oculata serta EPA-EE memiliki kesamaan profil asam lemak terutama pada incorporasi EPA, sedangkan DHA terkandung pada jumlah yang kecil atau tidak terdeteksi. Adapun rotifera yang diperkaya dengan EPA-TAG memiliki profil asam lemak yang lebih lengkap terutama ditinjau dari kandunga EPA dan docosahexaenoic acid (DHA) nya. Selanjutnya rotifera yang diperkaya dengan Nannochloropsis oculata memiliki populasi yang tertinggi dibanding perlakuan lainnya. Dari penelitian ini dapat disimpulkan bahwa pengkayaan dengan EPA-TAG memiliki kualitas rotifera yang terbaik ditinjau dari sisi kelengkapan kandungan asam lemaknya. Kata kunci : Kualitas rotifera, pengkayaan, asam eikosapentaenoik, asam dokosaheksaenoik, n3-HUF
PRAKTIK PELATIHAN PENDIDIKAN SEKS PADA ANAK (Studi Kasus: Lembaga Swadaya Masyarakat Centra Mitra Muda )
Pendidikan seks masih dianggap tabu oleh masyarakat, sehingga banyak kalangan khususnya orang tua enggan memberikan pengetahuan seksualitas kepada anak-anaknya. Padahal telah banyak kasus kejahatan seksual yang terjadi pada anak oleh karena itu mereka harus diberikan bekal berupa pendidikan seks untuk menciptakan kontrol sosial agar tidak terjerumus dalam kejahatan seksual. Centra Mitra Muda merupakan salah satu aktor dalam pemberian pelatihan pendidikan seks di berbagai tingkat tingkat sekolah. Salah satunya yaitu SD Al-Azhar 20 Cibubur. Dalam praktiknya Centra Mitra Muda memberikan pelatihan pendidikan seks pada siswa kelas 4 SD, dan materi yang disajikan berupa pubertas, kesehatan reproduksi, dorongan seksual dan kekerasan seksual. Teknik pengumpulan data dalam penelitian ini adalah dengan melakukan wawancara dan pengamatan. Hasil penelitian ini menunjukan bahwa pendidikan seks yang diberikan oleh Centra Mitra Muda di SD Al-Azhar 20 Cibubur meningkatkan kognitif siswa tentang seksualitas, namun secara teknis penyelenggaraan pelatihan pendidikan seks hanya dilakukan satu tahun sekali tanpa adanya pendidikan keberlanjutan oleh pihak sekolah. Serta konten materi yang diberikan kepada siswa ada beberapa hal yang tidak kontekstual dengan usia merek
Growth Response and Feed Utilization of Giant Gourami (Osphronemus goramy) Juvenile Feeding Different Protein Levels of the Diets Supplemented with Recombinant Growth Hormone
The purpose of this study was to examine the effect of dietary supplementation with recombinant growth hormone (rGH) on the growth and dietary utility of juvenile giant gourami. The rGH was mixed with chicken egg yolk and sprayed on to artificial feed with different protein levels (34, 28, and 21%; isoenergy). Each treatment group of gourami was paired with a control group that received feed of the same protein level, but without rGH supplementation. Juvenile of giant gourami (weight 15.83 + 0.13 g) were fed diets containing rGH, to apparent satiation, 2 times a week. Fish were reared from less than 2 months old for 42 days in 100 L glass aquaria at an initial density of 10 fish per aquarium. At the end of this period, the biomass and daily growth rate (SGR) of the fish were measured and the feed conversion ratio calculated and compared. Our data showed that fish fed rGH-supplemented diets experienced higher growth than fish in the control groups and showed that fish with higher protein diets experienced higher growth than the groups with less protein diets. The group with the highest biomass gain, SGR, and lowest feed conversion ratio (FCR) was the group fed a 34% protein diet supplemented with rGH. Furthermore, biomass gain, SGR, and FCR in the rGH treatment group with a 28% protein diet matched the measurements of the non-rGH control group receiving a 34% protein diet (P > 0.05). We conclude that giant juvenile gourami given feed supplemented with recombinant growth hormone will experience increased growth and dietary utility compared with gourami given the same feed without supplementation
Phospholipids Effect on Survival and Molting Synchronicity of Larvae Mud Crab Scylla serrata
Effect of phospholipids on survival and molting synchronicity of mud crab larvae Scylla serrata were examined using Artemia enriched with five treatments of emulsion oil i.e. treatment with different level of soybean lecithin (SL) together with a level of DHA70G (referred to as DHA-SL0, 20 and 40) and treatment with SL and cuttle fish phospholipids (CPL) at 40 uL/L without DHA70G (referred to as WDHA-SL and WDHA-CPL). Survival rate, intermolt period, carapace width, and molting synchronicity were evaluated. Additionally, lipid classes and fatty acid composition of enriched Artemia were analyzed. Survival rate, intermolt period, and carapace width at the first crab (FC) stage of mud crab larvae fed DHA-SL0 to 40 were similar to that of WDHA-CPL but higher than that of WDHA-SL (P < 0.05). Moreover, mud crab larvae fed DHA-SL20, DHA-SL40, and WDHA-CPL had a significantly higher molting synchronicity index compared to that of larvae fed WDHA-SL and DHA-SL0. It can be concluded that combination of phospholipids and essential fatty acids exhibited an additive effect in improving molting synchronicity of mud crab larvae
Literature study of Zn supplementation in feed for optimizing Nile tilapia Oreochromis niloticus growth
Micro minerals play a crucial role in the physiological processes of fish, acting as enzyme cofactors and stabilizing enzyme and protein structures. One of the essential micro minerals needed in the body is zinc (Zn). Zinc is utilized for various physiological processes, including the maintenance of enzymatic processes within the fish's body. The aim of this literature review is to analyze the optimal level of zinc supplementation in feed to enhance the growth performance of Nile tilapia (Oreochromis niloticus), based on the reported findings of conducted research. The literature sources were obtained from accredited national journals, international journals, research outcomes, theses, and dissertations over the past 20 years. The results of this literature review indicate that zinc supplementation in feed can have a positive impact on overall fish growth by increasing digestive enzyme activity, particularly protease enzymes. The level of zinc supplementation in fish is influenced by several factors including, fish size, feed consumption quantity, and duration of maintenance. The optimal dietary zinc intake for Nile tilapia growth is reported to be in the range of 20–50 mg/kg.
Keywords: growth, literature study, Nile tilapia, zinc
ABSTRAK
Mikro mineral memiliki peran yang sangat penting dalam fisiologi tubuh ikan yang berfungsi sebagai kofaktor enzim dan menjadi penstabil struktur enzim maupun protein. Salah satu mikro mineral yang memiliki fungsi penting dan diperlukan dalam tubuh adalah unsur seng (Zn). Unsur Zn digunakan untuk proses fisiologis termasuk pemeliharaan proses enzimatik dalam tubuh ikan. Tujuan studi pustaka ini adalah menganalisis tingkat suplementasi Zn yang optimum dalam pakan untuk meningkatkan performa pertumbuhan ikan nila Oreochromis niloticus berdasarkan laporan hasil-hasil penelitian yang telah dilakukan. Sumber pustaka didapatkan dari jurnal nasional terakreditasi, jurnal internasional, hasil penelitian, tesis, dan disertasi pada kurun waktu 20 tahun terakhir. Hasil studi pustaka ini menunjukkan bahwa suplementasi Zn dalam pakan dapat memberikan pengaruh positif pada pertumbuhan ikan secara umum melalui peningkatan aktivitas enzim pencernaan terutama enzim protease. Tingkat suplementasi Zn pada ikan dipengaruhi oleh beberapa faktor diantaranya, ukuran ikan, jumlah konsumsi pakan, dan lama pemeliharaan. Nilai asupan Zn yang memberikan pertumbuhan optimum pada ikan nila adalah sebesar 20–50 mg/kg.
Kata kunci: ikan nila, pertumbuhan, seng, studi pustak
Bone formation and growth of climbing perch Anabas testudinieus larvae fed with Zn enriched Artemia nauplii
ABSTRACT
The aim of this study was to determine the optimum level of Zinc (Zn) enrichment in Artemia sp. nauplii as a live feed to improve bone formation and growth of climbing perch Anabas testudinieus larvae. The study consisted of four different Zn enrichment levels (0.0, 0.05, 0.1, and 0.15 mg/mL) in Artemia sp.nauplii. The enrichment was performed for 12 hours with the nauplii density of 1 ind/mL. Climbing perch larvae with an average initial length of 1.65 ± 0.15 mm were fed four times daily with the enriched nauplii. For the first 5 days, all larvae were fed with rotifer followed by feeding with enriched Artemia nauplii ad libitum. The results showed that the application of Artemia sp. enrichment at 0.1 mg Zn/mL influenced the bone formation, increased the growth, and improved the fish survival of climbing perch larvae. Feeding with 0.1 mg/mL Zn enriched Artemia nauplii could be recommended as a strategy to improve the bone formation and growth performance of climbing perch larvae.
Keywords: Anabas testudineus, Artemia sp., climbing perch, live feed, zinc
ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan menentukan dosis optimum pengayaan seng (Zn) pada naupli Artemia sp. terhadap pembentukan tulang dan peningkatan pertumbuhan larva ikan betok. Penelitian dilakukan selama 18 hari dengan empat dosis pengayaan Zn yang berbeda (0, 0,05, 0,1, dan 0,15 mg/mL) pada naupli Artemia. Pengayaan dilakukan selama 12 jam dengan kepadatan naupli 1 ind/mL. Larva ikan betok dengan ukuran panjang awal rata-rata 1.65 ± 0.15 mm diberi pakan naupli yang diperkaya sebanyak 4 kali sehari. Pada lima hari pertama, semua larva diberi pakan rotifer, diikuti dengan pemberian naupli Artemia yang diperkaya secara ad libitum. Hasil yang diperoleh menunjukkan bahwa pengayaan naupli Artemia sp. dengan Zn 0,1 mg/mL berpengaruh terhadap pembentukan tulang belakang dan dapat meningkatkan pertumbuhan serta meningkatkan kelangsungan hidup larva ikan betok. Pemberian naupli Artemia dengan Zn sebanyak 0.1 mg Zn/mL dapat direkomendasikan untuk perbaikan pembentukan tulang dan pertumbuhan larva ikan betok.
Kata kunci: Naupli Artemia sp., ikan betok, pakan alami, sen
Effectivity of karamunting Melastoma malabathricum leaves in inhibiting ovarian development of Nile tilapia Oreochromis niloticus
ABSTRACT
Tilapia gonads mature quickly before reaching market size, caused by a diverting of feed energy from growth to reproduction. As a result, somatic growth is disrupted to achieve market size, the operational costs are high, and the rearing period is longer. This study aims to evaluate the ability of karamunting leaf extracts to inhibit the development of tilapia gonads. This study used a complete randomized design with four treatments and three replications, namely 0 mg/kg, 25 mg/kg, 50 mg/kg, and 100 mg/kg of karamunting leaf extract. Tilapia fish weighed 13–14 g were kept in an aquarium measuring 100×60×50 cm with a stocking density of 20 fish/ aquarium. Fish were fed twice a day at 8 a.m and 5 p.m in at satiation. Sampling was carried out at the beginning of the study, on day 30th and day 60th. On day 30th the result showed that the best dose in inhibiting the development of fish gonad was 100 mg/kg of karamunting leaf extract that was 1.15 ± 0.19% and the daily growth rate was increased at 2.22 ± 0.06%. On day 60th, the best dose in inhibiting gonad development was 25 mg/kg of karamunting leaf extract, which was 2.49 ± 1.24% and the daily growth rate was increased amount 3.26 ± 0.06%.
Keywords: extract, karamunting leaves, gonad development, tilapia
ABSTRAK
Gonad ikan nila cepat berkembang sebelum mencapai ukuran pasar, menyebabkan pengalihan energi pakan dari pertumbuhan ke reproduksi. Akibatnya, pertumbuhan somatik terganggu sehingga untuk mencapai ukuran pasar biaya operasional tinggi dan masa pemeliharaan lebih lama. Penelitian ini bertujuan untuk mengevaluasi ekstrak daun karamunting dalam menghambat perkembangan gonad ikan nila. Penelitian ini menggunakan rancangan acak lengkap dengan empat perlakuan dan tiga ulangan; yaitu 0 mg/kg, 25 mg/kg, 50 mg/kg, dan 100 mg/kg ekstrak daun karamunting. Ikan nila berukuran 13–14 g dipelihara di akuarium berukuran 100×60×50 cm dengan padat tebar 20 ikan/akuarium. Ikan diberi makan dua kali sehari pada jam 8 pagi dan 5 sore dengan at satiation. Pengambilan sampel dilakukan pada awal penelitian, hari ke-30 dan hari ke-60. Hasil pada hari ke-30 menunjukan bahwa dosis terbaik dalam menghambat perkembangan gonad pada ikan uji adalah 100 mg/kg ekstrak daun karamunting yaitu 1.15 ± 0.19% dan meningkatkan pertumbuhan harian 2.22 ± 0.06%. Pada hari ke-60 dosis terbaik dalam menghambat perkembangan gonad adalah 25 mg/kg ekstrak daun karamunting yaitu 2.49 ± 1.24% dan meningkatkan pertumbuhan harian 3.26 ± 0.06%.
Kata kunci: daun karamunting, ekstrak, ikan nila, pertumbuhan gona
Utilization of hydrolyzed corncob as a carbohydrate source in diets for red Nile tilapia Oreochromis niloticus
This study was aimed to evaluate the influence of corncob hydrolysis on its crude fiber content, digestibility level, and utilization in the red Nile tilapia diet. This study was performed in two steps, namely hydrolysis and digestibility test. The first study step was enzymatic hydrolysis using 0.4 g/kg cocktail enzyme, followed by chemical hydrolysis using hydrochloric acid (HCl) at different treatments, i.e. concentration, incubation period, and ratio. The second step was designed using a completely randomized design with five treatments, i.e. Rd (reference diet), TJt15% (15% unhydrolyzed corncob), TJt30% (30% unhydrolyzed corncob), TJh15% (15% corncob hydrolysis), and TJh30% (30% corncob hydrolysis). The average weight of tilapia was 15.86 ± 0.19 g/fish. The hydrolyzed corncob meal used for the second study step from the hydrolysis production could reduce 57.53% of crude fiber, 38.15% of NDF fiber fraction, 6.43% of ADF fiber fraction, and 61.96% of hemicellulose. The digestibility test results showed that the hydrolyzed corn cob diet obtained a higher digestibility level, digestive enzyme activity, and blood plasma protein than the unhydrolyzed corncob diet (P<0.05). This study concludes that the corncob hydrolysis eliminates the crude fiber content, fiber fraction contents (NDF, ADF, and hemicellulose), and improves the digestibility level of red Nile tilapia.
Keywords: Corn cobs, crude fiber, digestibility, hydrolysis, tilapia.
ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan mengevaluasi pengaruh hidrolisis tongkol jagung terhadap kandungan serat kasar, kecernaan, dan pemanfaatannya dalam pakan ikan nila merah. Penelitian dilakukan dalam dua tahap, yaitu hidrolisis bahan dan uji kecernaan. Penelitian tahap pertama yaitu hidrolisis secara enzimatik menggunakan koktail enzim 0,4 g/kg dan dilanjutkan dengan hidrolisis kimiawi menggunakan asam klorida (HCl) dengan perlakuan yang berbeda yaitu konsentrasi, lama waktu inkubasi, dan rasio. Penelitian tahap kedua dirancang dengan menggunakan rancangan acak lengkap dengan lima perlakuan yaitu Rd, TJt15% (tongkol jagung tidak dihidrolisis 15%), TJt30% (tongkol jagung tidak dihidrolisis 30%), TJh15% (tongkol jagung dihidrolisis 15%), dan TJh30% (tongkol jagung dihidrolisis 30%). Ikan uji dengan bobot rata-rata sebesar 15,86±0,19 g/ekor. Hidrolisis tepung tongkol jagung dengan konsentrasi HCl 0.1 N, lama waktu inkubasi 8 jam, dan dengan rasio 1:4 yang digunakan untuk penelitian selanjutnya. Hidrolisis terhadap tepung tongkol jagung dapat menurunkan serat kasar 57,53%, fraksi serat NDF 38,15%, ADF 6,43%, dan hemiselulosa 61,96%. Hasil penelitian uji kecernaan menunjukkan bahwan pakan yang mengandung tongkol jagung terhidrolisis menghasilkan nilai kecernaan, aktivitas enzim pencernaan dan protein plasma darah yang lebih tinggi dibandingkan dengan yang tidak dihidrolisis (P<0.05). Kesimpulanya, hidrolisis tongkol jagung menggunakan asam klorida (HCl) 0,1 N, lama waktu inkubasi 8 jam, dan rasio 1:4 dapat menurunkan serat kasar, fraksi serat (NDF, ADF, dan hemiselulosa), serta meningkatkan nilai kecernaan pakan ikan nila merah.
Kata kunci : Hidrolisis, kecernaan, nila, serat kasar, tongkol jagun
PENGARUH PEMBERIAN PAKAN BUATAN PADA UMUR YANG BERBEDA PADA LARVA IKAN BETOK Anabas testudineus BLOCH
Penelitian untuk mengetahui pengaruh pakan buatan yang diberikan pada umur yang berbeda dilakukan pada larva ikan Betok Anabas testudineus Bloch. Studi ini terdiri dari lima perlakuan dan tiga ulangan. Larva mendapat terapi pakan yang sama dengan perbedaan awal pemberian pakan buatan pada hari ke-15, ke-20, dan ke-25 setelah menetas (masing-masing W15, W20, dan W25). Artemia (AR) dan pakan buatan saja (MD) diberikan pada larva pada perlakuan kontrol sampai akhir penelitian (35 hari setelah menetas). Larva ikan yang berumur lebih dari 10 hari dibesarkan di 15 akuarium dengan volume masing-masing 10 liter, masing-masing menampung 10 L-1 ikan. Larva ikan berumur 10 hari dipelihara pada 15 akuarium (volume 10 liter) dengan kepadatan 10 ekor L-1. Pengaruh pemberian pakan buatan mikrodiet pada larva ikan Betok (A. testudineus) pada umur yang berbeda menunjukkan pertumbuhan yang tidak berbeda nyata pada umur 20 dan 25 hari setelah menetas berdasarkan nilai rasio DNA:RNA. Sedangkan yang diberi mikrodiet sejak awal memiliki rasio DNA:RNA tertinggi yang diduga menunjukkan kondisi stres fisiologi karena terhambatnya perkembangan saluran pencernaan
Growth and Feed Efficiency of Red Tilapia (Oreochromis sp.) Reared in Different Salinities
The objective of this research was to know the effect of salinity on the growth and utilized of feed energy by red tilapia, Oreochromis sp.  Four fishes with 4,15-4,42 g initial body weights were cultured in a 50x40x35 cm aquarium for 40 days. Fish were fed on these diets three times a day at satiation. Dietary growth rate, feed efficiency, protein and lipid retention increased with increasing salinity (
- …