3,053 research outputs found
FAKTOR RISIKO PNEUMONIA PADA ANAK UMUR 1-3 TAHUN DI WILAYAH PUSKESMAS KEMRANJEN I KABUPATEN BANYUMAS TAHUN 2005
Infeksi saluran pernafasan akut merupakan salah satu penyebab kematian terbesar pada anak di negara sedang berkembang. Di Indonesia dari sekitar 450.000 kematian balita yang terjadi setiap tahun 150.000 diantaranya disebabkan oleh ISPA terutama karena pneumonia. Kasus pneumonia di Puskesmas I Kemranjen sejak tahun 2002 sampai tahun 2004 termasuk ke 10 besar penyakit. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui keterkaitan faktor risiko intrinsik (status gizi, status imunisasi, jenis kelamin dan pemberian ASI) dan faktor ekstrinsik (tipe rumah, ventilasi, jenis bahan bakar, kepadatan hunian, pendidikan ibu, umur ibu) dengan kejadian pneumonia pada umur 1-3 tahun di wilayah kerja Puskesmas Kemranjen I.
Penelitian ini dilaksanakan dari Bulan Januari sampai Maret 2005 dengan menggunakan metode kasus kontrol. Lokasi penelitian adalah wilayah Puskesmas Kemranjen I. Analisa data dilakukan dengan SPSS 10 menggunakan tabel 2x2, Cl 95% dan alfa= 0,05 serta dihitung besarnya kekuatan hubungan dengan menghitung nilai Odds ratio
Berdasarkan analisis didapatkan hasil sebagai berikut: lama pemberian ASI, 1 tahun berisiko dengan kejadian pneumonia pada anak umur 1-3 tahun dengan nilai p=0,46 dan OR=2,741 pada Cl (95%) = 1,107-6,787; tipe rumah non permanen dengan kejadian pneumonia pada anak umur 1-3 tahun dengan nilai p=0,001 dan OR=7,295 pada Cl (95%)= 2,245-23,706; luas ventilasi/jendela rumah < 10% dari luas lantai rumah berisiko dengankejadian pneumonia pada anak umur 1-3 tahun denga nilai p=0,001 dan OR=8,603pada Cl (95%)= 3,27-22,598; pemakaian kayu bakar berisiko dengan kejadian pneumonia pada anak umur 1-3 tahun dengan nilai p=0,003 dan OR=4,205 pada Cl (95%)= 2,21,704-10,377; kepadatan hunian rumah <0,7 berisiko dengan kejadian pneumonia pada anak umur 1-3 tahun dengan nilai p=0,005 dan OR=4,046 pada Cl (95%)= 1,605-10,201. kejadian pneumonia didominasi oleh faktor eksterm yaitu tipe rumah, ventilasi rumah, kepadatan hunian, pemakaian jenis bahan bakar dan faktor intern yaitu lama pemberian ASI.
Berdasarkan kesimpulan yang didapat penulis menyarankan agar kegiatan pamantauan kasus pneumonia dilaksanakan secara rutin, menggunakan hasil penelitian ini sebagai dasar untuk membuat desain kegiatan pencegahan dan pemberantasan pneumonia. Melakukan penyuluhan secara berkala untuk meningkatkan pengetahuan orang tua balita tantang ISPA dan pneumonia serta pencegahan kasus pneumonia dengan penekanan pada perbaikan lingkungan perumahan.
Kata Kunci: pneumonia, anak umur 1-3 tahun, faktor intrinsik dan ekstrinsi
Correlation between Emotional Intelligence and Work Engagement of Special School Teachers
Background: Optimal job performance of special school teachers is marked by high work engagement because engaged teachers showed perseverance, enthusiasm, and absorption at work. Work engagement is influenced by several factors, one of them is personal resources. Personal resource that considered important in people’s success is emotional intelligence. The purpose of this study was to examine the relationship between emotional intelligence and work engagement of teachers at a Sekolah Luar Biasa Negeri, a public special school in Semarang.
Method: Data from 60 teachers were collected using Work Engagement Scale (33 item; α = .93) and Emotional Intelligence Scale (32 item; α = .93)
Results: Simple linear regression analysis showed that there was a positive correlation between emotional intelligence and work engagement, r = .87; (p < .001)
Conclusion: Result indicated that higher emotional intelligence is likely to lead to higher work engagement. Emotional intelligence contributed to 74.8% of the variance in work engagement. Teachers are expected to manage emotion better in order to achieve high work engagement.
Keywords: work engagement, emotional intelligence, teacher, special schoo
HUBUNGAN ANTARA DUKUNGAN SOSIAL PELATIH DENGAN KECEMASAN BERTANDING PADA ATLET KARATE
Kejuaraan-kejuaraan dalam dunia olahraga banyak dipertandingkan dalam berbagai jenis atau tingkatan. Atlet-atlet yang mengikuti sebuah kejuaraan dapat merasakan adanya kecemasan bertanding. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara dukungan sosial pelatih dengan kecemasan bertanding pada atlet karate. Subjek penelitian ini adalah atlet karate yang pernah mengikuti Kejuaraan Provinsi Karate FORKI Jawa Tengah Tahun 2016. Sampel penelitian berjumlah 90 orang, dengan teknik pengambilan sampel convenience sampling. Pengambilan data penelitian menggunakan Skala Dukungan Sosial Pelatih (44 aitem valid; α = .96) dan Skala Kecemasan Bertanding (31 aitem valid; α = .90) yang telah diujicobakan pada 35 atlet karate. Analisis regresi sederhana menunjukkan adanya hubungan yang negatif dan signifikan antara dukungan sosial pelatih dengan kecemasan bertanding yang ditunjukkan melalui koefisien korelasi rxy = -.31 dengan p = .002 (p<.01). Semakin tinggi dukungan sosial pelatih yang dirasakan oleh atlet, maka kecemasan bertanding semakin rendah, dan sebaliknya. Dukungan sosial pelatih memberikan sumbangan efektif sebesar 9.3% pada kecemasan bertanding. Penelitian ini diharapkan dapat menjadi pertimbangan bagi atlet dan pelatih, maupun referensi pendukung bagi peneliti selanjutnya.
Kata kunci: dukungan sosial pelatih; kecemasan bertanding; atlet karat
KONGRUENSI KARIR DENGAN ORANG TUA DAN KOPING STRES PADA MAHASISWA TAHUN PERTAMA DAN KEDUA DI PROGRAM D3 KEPERAWATAN POLTEKKES KEMENKES SEMARANG
Mahasiswa tahun pertama dan kedua berada pada masa mereka harus berusaha mencapai kemandirian emosi dan mempersiapkan karir ekonomi. Adanya tuntutan dan tanggung jawab mahasiswa di Program D3 membuat mereka harus pandai dalam melakukan koping stres. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara kongruensi karir remaja-orang tua dengan koping stres pada mahasiswa tahun pertama dan kedua di program D3 Keperawatan Poltekkes Kemenkes Semarang. Populasi penelitian ini adalah mahasiswa tahun pertama dan tahun kedua di program D3 Keperawatan Poltekkes Kemenkes Semarang yang berjumlah 186. Sampel penelitian sebanyak 92 mahasiswa (91.3% subjek perempuan, M usia = 19.05 tahun, SD usia = .63) diperoleh dengan cluster random sampling. Pengambilan data menggunakan Skala Koping Stres (30 item, α = .91) dan Skala Kongruensi Karir Remaja-Orang Tua (12 item, α = .90) yang telah diujicobakan pada 44 mahasiswa. Analisis regresi sederhana menunjukkan ada hubungan positif yang signifikan antara kongruensi karir remaja-orang tua dengan koping stres (yang ditunjukkan oleh nilai rxy = .39 (p < .001). Artinya semakin tinggi kongruensi karir remaja-orang tua maka semakin baik koping stres yang dimiliki. Kongruensi karir remaja-orang tua memberikan sumbangan efektif sebesar 15.5% pada koping stres
Academic Fit, Adolescent-Parent Career Congruence, and Career Exploration in University Students
Early Childhood Environmental Education in Tropical and Coastal Areas: A Meta-Analysis
Early childhood years are the period of the greatest and most significant
developments in ones’ life, and are generally regarded as the basis upon which the rest of their
life is constructed. However, these early years are those that traditionally have received the
least attention from environmental education. This paper was aimed to summarize several dayto-day
activities that can be conducted to educate children in their early years about
environment. Environmental education is an educational process that deals with the human
interrelationships with the environment, and that uses an interdisciplinary problem solving
approach with value clarification. Environmental education is aimed at producing a community
that is knowledgeable about the biophysical environment and its associated problems, aware of
how to solve these problems, and enthusiastic to work toward their solution. It highlights the
progress of knowledge, understanding, attitudes, skills, and commitment for environmental
problems and considerations. Further, environmental education can help children expand their
ecological worldview, promote active care to the environment, and explain the relationship
between modern life style and current environmental problems. Several types of environmental
education have been identified from the literature, such as outdoor activities in natural outdoor
setting, school gardening, play-based learning, and drawing activities. Each of these activities
has its own characteristics and effects on children’s environmental-related attitudes and
behaviors. Through these activities, the unique characteristics of tropical and coastal areas can
potentially be used to facilitate children to learn about nature and environment.
Recommendations for childhood education practitioners and future researchers are discussed
Gambaran Persepsi Petugas Puskesmas Dan Petugas Kantor Urusan Agama (Kua) Dalam Pelaksanaan Program Imunisasi Tetanus Toxoid (Tt) Pada Calon Pengantin Wanita Di Kota Tangerang Selatan Tahun 2011
Latar belakang: Salah satu strategi untuk mencapai eliminasi tetanus neonatorum adalah mengembangkan intensifikasi imunisasi tetanus toxoid (TT) pada wanita usia subur khususnya para calon pengantin. Tujuan: Mengetahui gambaran persepsi petugas kesehatan dan petugas KUA terhadap pelaksanaan program imunisasi TT bagi calon pengantin. Metode: Merupakan penelitian kualitatif dengan pendekatan fenomenologi, yang dilakukan di 3 Kecamatan di Tangerang Selatan tahun 2011, yaitu Kecamatan Ciputat, Pamulang dan Serpong Utara. Informan terdiri dari 6 informan kunci (3 petugas puskesmas dan 3 petugas KUA) dan 4 informan pendukung (calon pengantin). Pengumpulan data dilakukan dengan wawancara mendalam dan observasi. Hasil: Persepsi petugas puskesmas dan petugas KUA tentang manfaat imunisasi TT sudah baik, tetapi proses sosialisasi program belum efektif. Hambatan pelaksanaan program yang berasal dari calon pengantin diantaranya karena kurangnya pengetahuan, takut disuntik, dan persepsi yang salah tentang imunisasi TT yang dianggap sebagai kontrasepsi. Hambatan dari petugas yaitu masih kurangnya petugas, beban kerja terlalu banyak, dan terbatasnya petugas yang paham tentang program tersebut. Kesimpulan: Pelaksanaan program imunisasi TT belum optimal dikarenakan terdapat beberapa hambatan dari petugas puskesmas, petugas KUA maupun dari calon pengantin
Cultivating the Research Environment to Enhance Quality of Life of Academics in An University Setting
Background: Organizational climate is defined as a set of measurable properties of the work environment, perceived directly or indirectly by the people who live and work in this environment and assumed to influence their motivation and behavior. In a university setting, one of the most important organizational climate which affects academics’ behavior is research environment, which is defined as all those forces in the university education programs that reflect attitude toward research and science. This study aimed to examine the relationships between perceived research environment, research self-efficacy, and quality of life of academics.
Method: We surveyed 100 academics from a state university in Semarang, Central Java, Indonesia, using measures of research environment, research self-efficacy, research burn-out, and life satisfaction. We examined whether the relationships between perceived research environment and research burn-out and life satisfaction was mediated by research self-efficacy.
Results: Structural equation modelling demonstrated that a good support for a model that revealed significant ways by which individual and contextual variables were associated with quality of life. The measurement model, χ2(108) = 204.57, p < .001, χ2/df = 1.79, CFI = .94, RMSEA = .06 demonstrated good fit statistics, with factor loadings ranging from .40 to .85 (p < .001). The hypothesized structural model also showed good fit statistics, χ2(153) = 270.87, p < .001, χ2/df = 1.57, CFI = .95, RMSEA = .05. Perceived research environment was positively associated with research self-efficacy (β = .34, p < .001), research self-efficacy was associated negatively with research burn-out (β = -.33 p < .001), and research self-efficacy was associated positively with life satisfaction (β = .40 p < .001).
Conclusion: The findings demonstrate that perceived research environment is an important variable that can have positive effects in developing research self-efficacy, enhancing life satisfaction, and reducing research burn-out.
Keywords: perceived research environment, quality of life, research self-efficacy, stress, academic
- …
