101 research outputs found

    Besaran stok cadangan beras untuk Indonesia

    Get PDF
    Almost all Asian countries, including Indonesia, adopt rice reserve stock policy. The purpose of the policy is to reduce food insecurity risk due to natural calamity and man-made disaster, as well as to stabilize rice price. In the last 20 years, Bulog has maintained rice reserve stock to I million tons for those purposes. The last few years, the environments have changed rapidly due to expanding of transportation and telecommunication, rice trade now has became more transparent, and market information more perfectly. Rice policy in Indonesia has also changed rapidly since 1998. The objective of this paper is to evaluate the optimum size of rice reserve for Indonesia by applying 3 approaches, namely, NFA (National Food Authority) of the Philippines, Stock to Utilization Ratio of FAO, and Usual Marketing Requirement. It is found that the size of rice reserve should be 0.75 million tons at the lowest and 3.4 million ton at the highest. The results were compared to rice released for emergency and price stabilization purposes by Bulog, and released for emergency purposes by NGO, and bilateral (G to G. It is concluded that Indonesia only needs 0.750 million tons of rice for reserve stock. This size of reserve includes rice reserve stock for East Asian/ Asean Rice Reserve System. Key words: rice, reserve stock, food insecurity, natural calamity, man-made disaste

    Metodologi Penelitian Ekonomi Islam: Perlukah Berbeda?

    Full text link
    Islamic economics in Indonesia has been less developed rather than in other countries such as Malasysia and Pakistan. Even through, the mushrooming discussion about Islamic economics in many universities recently has been grateful. The article extends theories and models developed for doing research about Islamic economic

    Kebijakan Swasembada Gula: Apanya Yang Kurang?

    Full text link
    Swasembada gula dan peningkatan pendapatan petani tebu adalah salah satu tujuan pemerintah Kabinet Indonesia Bersatu (KIB) II. Banyak lembaga/kementerian terlibat untuk mewujudkannya, baik swasembada gula putih maupun gula rafinasi. Berbagai kebijakanpun dirancang untuk mempengaruhi keputusan petani tebu, industri pengolahan tebu, industri gula rafinasi, industri makanan dan minuman (mamin), industri farmasi, konsumen dan pelaku perdagangan untuk mencapai tujuan nasional tersebut. Karena kebijakan masing-masing instansi dan kementerian belum terkoordinasi dengan kuat, maka potensi konflik dalam mencapai tujuan diperkirakan tinggi. Tujuan tulisan ini adalah untuk: (i) menganalisis konflik antara tujuan swasembada gula putih dengan tujuan lainnya, (ii) menganalisis konflik antara pengembangan agroindustri gula rafinasi yang terpisah dengan pembangunan sektor pertanian, sehingga industri ini sepenuhnya bergantung pada bahan baku impor, dan (iii) mempelajari struktur pasar gula dalam negeri. Hasil penelitian memperlihatkan bahwa kebijakan gula tersebut belum terintegrasi dengan baik, belum mengarah ke tujuan yang sama. Pada umumnya, masing-masing kementerian/ lembaga lebih berorientasi pada kepentingan jangka pendek daripada jangka panjang, dan dirancang secara ad hoc, dan parsial. Demikian juga, kebijakan distribusi/perdagangan yang dirancang pemerintah belum mampu mengoreksi konsentrasi perdagangan gula, sehingga pasar gula semakin menjauhi struktur pasar persaingan dan pasar yang adil, dan yang muncul adalah pasar oligopoli/oligopsoni

    Praktek Subsidi Ekspor Beras Di Negara Lain: Mungkinkah Diterapkan Di Indonesia?

    Full text link
    Indonesiadiperkirakan akan mampu berproduksi beras melebihi tingkat konsumsi DN (dalam negeri). Kelebihan produksi tsb berdampak positif terhadap penguatan ketahanan pangan melalui rendahnya risiko impor beras yang harganya di pasar dunia tidak stabil. Di pihak lain, kelebihan produksi dapat menekan harga beras DN, mengurangi insentif petani produsen, sehingga akan berdampak negatif terhadap keberlanjutan kenaikan produksi gabah/beras nasional. Ekspor beras adalah salah satu solusinya. Namun, daya saing beras tidak selalu ditentukan oleh surplus produksi, umumnya ditentukan oleh disparitas harga beras DN vs LN (luar negeri). Manakala HPP (harga pembelian pemerintah) gabah/beras (kualitas medium) selalu dinaikkan misalnya, maka surplus produksi beras medium tidak cukup kompetitif untuk diekspor. Harga FOB Jakarta untuk beras IR III dan kualitas medium HPP jauh lebih tinggi dibandingkan dengan harga ekspor FOB dengan kualitas yang sepadan yaitu Viet25 persen, Pak25 persen atau Thai25 persen, khususnya setelah April 2009. Demikian juga harga beras super/premium Setra jauh lebih tinggi dari harga beras Viet5 persen dan Thai White 100 persen B, khususnya setelah Juli 2008.Namun,Indonesiamampu bersaing pada beras kualitas aromatik, seperti Cianjur Kepala setelah Nopember 2008. Pada Juni 2009 misalnya, harga Thai Fragrant USD 917/ton, bandingkan dengan harga beras Cianjur Kepala hanya USD 845/ton (FOB). Kalau Bulog/pemerintah kelebihan stok yang umumnya kualitas medium diekspor untuk mencegah penurunan harga gabah, serta eskses stok, maka pemerintah perlu mempertimbangkan subsidi ekspor sekitar USD 200/ton. Kalau ekspor beras mencapai 100 ribu ton misalnya, maka total subsidi ekspor menjadi sekitar USD 20 juta atau sekitar Rp 200 milyar. Mungkin subsidi ekspor beras diperkirakan sulit diterima DPR atau masyarakat luas. Kalau ingin memurahkan beras, mengapa harus diekspor, bukankah lebih baik disubsidi penduduk dalam negeri? Tampaknya, ekspor beras bukan sekedar perhitungan ekonomi
    • …
    corecore