41 research outputs found
Biodiversity and sustainability in the Bulungan Research Forest, East Kalimantan, Indonesia: the response of plant species to logging
This study reports forest structure, regeneration and the soil properties from
unlogged and logged forest in the Bulungan Research Forest, Malinau District, East
Kalimantan, Indonesia. Four sites were compared by using four 1-ha replicate plots
in each of primary forest (PF), 5, 10 and 30-yr old logged forest (LF-5, LF-10, LF-
30).
The tree species composition differ among forest types, as it was shown that the mean value of similarity indices for all pairs were 0.215 (for the Jaccard index) and 0.353 (for the Sorensen index). The low values for similarities among forest types were most probably caused by low numbers of species shared between each forest type. Both correlation values, r = 0.023 for Jaccard index and r = 0.031 for Sorensen index, showed no strong correlation between the similarity index (C) and the distance between forest types. This supports the use of a chronosequence approach.
A total of 914 tree species with ³ 10 cm dbh were recorded from 223 genera and 65 families. There were no significant differences in mean species numbers (166 – 180/ha) among treatments. Mean density of species was lower in LF-5 and LF-10 (501/ha) than in PF or LF-30 (605/ha and 577/ha); similarly to mean basal area (LF-5, 28.5 m2/ha; LF-10, 32.6 m2/ha) vs. PF (45.8 m2/ha) and LF-30 (46.9 m2/ha). Dead wood on the forest floor was significantly higher in LF-10 (75 m3/ha) than in the other treatments.
Seedlings (2 – 9.9 cm dbh) of 802 species belonged to 241 genera and 65 families. There was a high variability in species richness across treatments (89 – 191/ha), but not in stem numbers. The Dipterocarpaceae family was dominant in all treatments, followed by the Euphorbiaceae.
The soils were acidic, low in nutrients and had low to very low fertility. Both primary and logged forest areas are marginal or not suitable for sustained production of plantation crops. Logging caused soil compaction in LF-30.
Although in terms of number of species and trees, amount of BA, number of saplings and seedlings LF-30 appeared to have satisfied prescriptions for a second harvest, ecologically the forest is far from mature.
The Indonesian Selective Cutting and Replanting (TPTI) system may need to be revised to a 35 – 45 year cycle to ensure long-term forest productivity in terms of not only timber but other goods and ecosystem services, the value of which are never quantified in monetary terms, but can be higher than the timber revenue
Kajian Aplikasi Kebijakan Hutan Kota di Kalimantan Timur
Dalam rangka mendukung upaya pengembangan dan pengelolaan hutan kota diperlukan sebuah tindakan dari pengawasan legal. Pemerintah telah mendukung USAha-USAha ini dengan menerbitkan Peraturan Pemerintah No.63/2002 tentang hutan kota dan kebijakan teknis berupa Peraturan Menteri Kehutanan No. P.71/2009 tentang pedoman penyelenggaraan hutan kota. Hasil penelitian pada empat kota di Kalimantan Timur (Samarinda, Balikpapan, Bontang dan Tarakan) menunjukkan bahwa, dasar legal (lingkup dan penegakan hukum) lebih banyak tentang rencana tata ruang wilayah sebagai isu strategis. Sebagai derivasi dari peraturan nasional, peraturan daerah diharapkan mendukung di dalam upaya pengembangan dan pengelolaan hutan kota pada level regional. Pemerintah daerah dapat mengeluarkan peraturan daerah untuk petunjuk teknis dalam strategi jangka pendek. Hingga tahun 2011, hanya kota Tarakan yang telah menetapkan peraturan daerah tentang hutan kota, tetapi semua kota tersebut telah menetapkan lahan berhutan sebagai hutan kota dari wilayah perkotaan meskipun belum mencapai target 10 persen. Selain itu, kebanyakan peraturan daerah dari empat kota tersebut relatif sedikit memberi perhatian bagi kebijakan kepemilikan lahan swasta. Dalam kajian ini, peraturan daerah tentang hutan kota yang ada di Kalimantan Timur dikaji, termasuk aspek hukum serta para pihak dan peranannya dalam pengelolaan hutan kota
Kajian Kebijakan Hutan Kota: Studi Kasus di Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta (DKI)
Wilayah Daerah Khusus Ibukota (DKI) Jakarta merupakan salah satu daerah rawan bencana banjir dengan naiknya tinggi permukaan air laut akibat pemanasan global. Kondisi ini bertambah buruk dengan semakin menyusutnya ruang terbuka hijau (RTH) dari sekitar 35 persen (1965) menjadi sekitar 9,3 persen (2009). Oleh karena itu kajian kebijakan pembangunan hutan kota di DKI Jakarta sanagt diperlukan sebagai proses pembelajaran bagi para pengelola perkotaan di Indonesia. Kajian ini bertujuan untuk mengevaluasi pelaksanaan kebijakan pembangunan hutan kota yang dilakukan oleh pemerintah daerah (Pemda) provinsi DKI Jakarta. Hasil kajian menunjukkan bahwa pembangunan hutan kota merupakan suatu keniscayaan bagi pemda DKI Jakarta untuk mengurangi tingkat kerentanan terhadap bencana banjir dan sekaligus memperindah dan menjaga keasrian lingkungan perkotaan. Sejak keluarnya PP No. 63 Tahun 2002 tentang Hutan Kota dan UU No. 26 Tahun 2007 tentang Tata Ruang, pemda DKI Jakarta belum membuat peraturan-peraturan daerah terkait, tetapi sudah banyak upaya-upaya yang direalisasikan untuk mendukung pembangunan hutan kota melalui peningkatan luas RTH. Pemda DKI Jakarta terus berupaya meningkatkan luasan RTH secara konsisten dengan membongkar 93 bangunan di tepi sungai Kalibaru dan menutup 27 stasiun pengisian bahan bakar untuk umum(SPBU) yang berlokasi di jalur hijau dan mengalihfungsikannya sebagai RTH. Sumber-sumber pendanaan yang yang dapat dikumpulkan oleh Pemda DKI Jakarta untuk membiayai perluasan RTH adalah APBD, APBN, Pajak dan dana CSR dari Perusahan besar nasional dan multi nasional yang berkantor pusat di Jakarta serta lembaga donor Internasional yang peduli lingkungan
Analisis Potensi dan Kontribusi Pohon di Perkotaan dalam Menyerap Gas Rumah Kaca. Studi Kasus: Taman Kota Monumen Nasional, Jakarta
Upaya mitigasi Perubahan iklim, yaitu penurunan emisi gas rumah kaca dapat dilakukan, antara lain, dengan memanfaatkan keberadaan pohon-pohonan di perkotaan yang memiliki peran penting sebagai penyerap karbon. Hal ini menambah manfaat pohon di perkotaan, selain sebagai penyejuk tata ruang, penghasil oksigen, habitat satwa, serta daerah resapan air. Untuk mengetahui potensi jenis-jenis pohon dalam menyerap karbon dilakukan penelitian di Taman Kota Monas. Penelitian dilakukan dengan mengukur diameter, tinggi dan berat jenis pohon. Sebanyak 64 jenis pohon yang berumur rata-rata 5 tahun diukur dan dianalisis untuk dihitung kemampuannya dalam menyerap karbon. Hasil perhitungan menunjukkan kandungan rata-rata karbon per pohon adalah 0,33 ton sehingga rata-rata potensi karbon per hektar adalah 19,8 ton atau 39,6 ton biomas per hektar. Potensi ini masih akan meningkat karena pada umumnya jenis pohon yang ada di Taman Kota Monas masih dalam fase pertumbuhan (rata-rata umur 5 tahun)
An undescribed lowland natural forest at Bodogol, Gunung Gede Pangrango National Park, Cibodas Biosphere Reserve, West Java, Indonesia
An analysis of the structure and floristic composition of trees with diameters at breast height ? 10 cm in a one- hectare plot in a lowland natural forest at the elevation of 800 m at Bodogol, the Gunung Gede Pangrango National Park, Cibodas Biosphere Reserve, recorded 70 spesies and 30 families with a density of 350 trees/hectare and a total basal area of 23.36 m2. As high as 37 tree spesies (52.86 %) were not recorded in the flora of Mt.Gede Pangrango; they were species of upper lowland forest and dominated the plot. Among 10 main species, only Altingia excelsa and Ficus ribes are montane forest species. Thus the forest plot represents a transition between lowland forest and lower montane forest, which may be called an upper lowland forest. This is a new phenomenon which has not been recorded previ- ously at the Gunung Gede Pangrango National Park. The most prominent species with Importance Value (VI) > 10 % are Schima wallichii, Pternandra caerulescens, Neesia altissima, Luvunga sarmentosa and Maesopsis eminii; the latter is an exotic species invading the natural forest. Dipterocarpus hasseltii is present in the area
Kajian Pengembangan Ruang Terbuka Hijau di Kota Bandung
Kota Bandung menghadapi masalah lingkungan yang serius. Sebagian wilayah kota dilanda banjir, kualitas udara di beberapa bagian kota telah melewati baku mutu dan suhu udara bertambah panas. Upaya mengatasi masalah tersebut sedang dilakukan dengan mengembangkan 10 jenis ruang terbuka hijau (RTH), termasuk RTH taman lingkungan berbasis demografi. Tujuan penelitian ini adalah mengkaji pengembangan RTH dan pengembangan RTH taman lingkungan berbasis demografi di kota Bandung. Kajian dilakukan dengan mengevaluasi kesesuaian antara rencana dan realisasi pengembangan RTH. Hasil penelitian adalah: Pertama, pada tahun 2004-2011 realisasi pengembangan RTH adalah seluas 1.663 ha. Hal ini 191 ha lebih rendah dibanding rencana pengembangannya. Kedua, dalam periode yang sama, pengembangan RTH taman lingkungan adalah seluas 101,04 ha. Hal ini 0,75 ha lebih rendah dibanding rencana pengembangannya. Ketiga, realisasi pengembangan RTH taman lingkungan tidak berbasis demografi, bervariasi mulai dari 0,05 m2 per penduduk di wilayah pengembangan Tegallega sampai 2,58 m2 per penduduk di wilayah pengembangan Ujungberung, dengan luas rata-rata 0,89 m2 per penduduk. Dalam rencana, pengembangan RTH taman lingkungan berbasis demografi dengan luas rata-rata 0,93 m2 per penduduk. Keempat, Pemerintah Kota Bandung masih perlu mengembangkan RTH seluas 3.108 ha untuk memenuhi ketentuan penyediaan RTH sebesar 30%. Hal ini dapat diupayakan dengan meningkatkan dan memasukkan dana pengembangan RTH dalam anggaran khusus APBD
Dinamika Potensi Biomassa Karbon pada Lanskap Hutan Bekas Tebangan di Hutan Penelitian Malinau
Indonesia diberkahi dengan banyaknya hutan alam meskipun sebagian dari hutan alam tersebut merupakan hutan bekas tebangan. Hutan-hutan alam tersebut berpotensi dapat mendukung Program Pemerintah untuk mengurangi emisi gas rumah kaca sebesar 26% sampai dengan tahun 2020 melalui kegiatan seperti Pengurangan Emisi dari Deforestasi dan Degradasi (REDD). Lanskap hutan bekas tebangan, dimana salah satunya terdapat di Kabupaten Malinau, Provinsi Kalimantan Timur, memiliki potensi biomasa karbon yang tinggi. Studi penelitian ini memperkirakan potensi biomasa karbon pada lanskap hutan bekas tebangan umur 5, 10 dan 30 tahun di Hutan Penelitian Malinau, Provinsi Kalimantan Timur, yang dikelola dengan skema pengelolaan lestari. Sampling tanah diambil secara random untuk mengukur kandungan karbon dalam tanah. Untuk analisis pendugaan biomassa karbon di atas permukaan tanah, telah ditempatkan tiga plot dimana setiap plot terdiri dari 25 subplot. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kandungan karbon tanah pada hutan bekas tebangan setelah 5, 10 dan 30 tahun masing-masing adalah 46 tonC/ ha, 47 tonC/ha dan 30 tonC/ha, sementara itu biomassa tegakan di atas permukaan tanah masingmasing adalah 343,61 ton/ha, 392,56 ton/ha dan 498,19 ton/ha. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa biomassa karbon pada hutan alam bekas tebangan setelah 30 tahun dibawah pengelolaan hutan lestari memiliki biomassa karbon hampir sama dengan biomasa karbon di hutan alam primer yaitu 529,4 ton/ha dan 264,70 tonC/ha. Implikasi hasil penelitian ini adalah dapat digunakannya kandungan biomassa karbon di hutan bekas tebangan sebagai indikator untuk penilaian pengelolaan hutan lestari (Sustainable Forest Management )
A TREE SPECIES INVENTORY IN A ONE-HECTARE PLOT AT THE BATANG GADIS NATIONAL PARK, NORTH SUMATRA, INDONESIA
KARTAWINATA, KUSWATA; SAMSOEDIN, ISMAYADI; HERIYANTO, M. AND AFRIASTINI, J. J. 2004. A tree species inventory in a one-hectare plot at the Batang Gadis National Park, North Sumatra, Indonesia. Reinwardtia 12 (2): 145 – 157. The results of the inventory of trees with DBH = 10 cm shows that 184 species in 41 families, represented by 583 individuals with the total basal areas of 40.56 m² occurred in the one-hectare plot sampled. Together with the saplings and shrubs the number of species was 240 belonging to 47 families. The forest is richer in tree species than other lowland forests in North Sumatra, but poorer than those in Borneo and the Malay Peninsula. Dipterocarps constituted 18.42 % of total species with basal area of 18.99 m² or 46.82 % of the total basal area in the plot. The most prominent species was Shorea gibbosa. Hopea nigra, reported to be rare in Bangka and Belitung, occurred here as one of the ten leading species. The species-area curve shows that a considerable number of additional species was encountered more or less steadily up to one hectare and there was no indication of levelling off. A simulated profile diagram shows the forest may be stratified into five layers: (1) emergent layer, (2) upper canopy, (3) middle canopy, (4) lower canopy and (5) ground canopy. Dipterocarps were leading species in the emergent layer, upper canopy and middle canopy. Only 82 species were regenerating as represented by their presence in the sapling stage ranging from 5 to 50 plants/hectare. Macaranga lowii King ex Hook. f. dominated the section which seemed to be previously occupied by gaps
KEANEKARAGAMAN TUMBUHAN DAN KANDUNGAN KARBON DI HUTAN TEMBAWANG ALAK, SINTANG, KALIMANTAN BARAT
The production forest area in West Kalimantan has been fragmented as a result of plantations, industrial forest, mining, and others. This causes the loss of primary forests, leaving secondary forests, shrubberies, and open areas. Fragmented forests affect biodiversity. This study aimed to determine vegetation structure, composition, potential biomass, and carbon content in the secondary forests of Tembawang Alak Forest in West Kalimantan. Research on diversity and carbon content was conducted in the area in March 2020. Plots of one hectare (100x100 m2) were placed randomly in old and young secondary forest areas. Observation in the old secondary forest recorded 109 species of plants belonging to 43 families, trees (diameter >= 10 cm) comprised 103 species and 947 trees. Observation in the young secondary forest recorded 41 plants belonging to 24 families, trees consisted of 30 species and a total of 702 trees. The dominant species in the old secondary forest comprised Combretocarpus rotundatus, Porterandia sp., and Gironniera nervosa. Ilex cymosa, Ptychopyxis sp. and Knema cinerea dominated the young secondary forest. The biomass and carbon content of the old secondary forest stands (diameter >= 10 cm) were 306.54 tons/ha or 144.07 tons C/ha. In contrast, whereas the young secondary forest were 127.31 tons/ha or 59.83 tons C/ha.Kawasan hutan produksi di Kalimantan Barat sebagian telah terfragmentasi akibat dari usaha perkebunan, hutan tanaman industri, pertambangan, dan lain-lain. Hal ini mengakibatkan hilangnya hutan primer dan menyisakan hutan sekunder, semak belukar, dan areal terbuka. Hutan yang terfragmentasi mengakibatkan keanekaragaman terganggu. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui struktur, komposisi vegetasi, potensi biomassa, dan kandungan karbon hutan sekunder di hutan Tembawang Alak, Kalimantan Barat. Penelitian dilakukan pada bulan Maret 2020. Plot penelitian dibuat di hutan sekunder tua dan hutan sekunder muda, berbentuk bujur sangkar ukuran 100x100 m2 (1 ha). Hasil penelitian di hutan sekunder tua tercatat 109 jenis tumbuhan dari 43 suku, pohon berdiameter
>= 10 cm ada 103 jenis, berjumlah 947 pohon. Pada hutan sekunder muda tercatat 41 jenis tumbuhan dari 24 suku, pohon berdiameter >= 10 cm ada 30 jenis, berjumlah 702 pohon. Jenis yang dominan berturut-turut di hutan sekunder tua adalah prepat (Combretocarpus rotundatus), penduk (Porterandia sp.), dan pelai (Gironniera nervosa). Pada hutan sekunder muda jenis yang dominan berturut-turut adalah ubah (Ilex cymosa), medang (Ptychopyxis sp.), dan kumpang (Knema cinerea). Biomassa dan kandungan karbon tegakan hutan sekunder tua yang berdiameter >= 10 cm yaitu sebesar 306,54 ton/ha atau 144,07 ton C/ha, sedangkan pada hutan sekunder muda sebesar 127,31 ton/ha atau 59,83 ton C/ha