E-Journal Center for Plant Conservation Botanic Gardens-LIPI (Indonesian Institute of Sciences / Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia)
Not a member yet
573 research outputs found
Sort by
HUBUNGAN KARAKTERISTIK STOMATA DAN PRODUKTIVITAS UMBI PADA AKSESI LOKAL TERPILIH Dioscorea alata L.
The stomata have a relationship with plant physiological activities, such as photosynthesis, respiration, and transpiration, that affect plant productivity. Water yam (Dioscorea alata L.) is one of the underutilized tuber plants that contain essential nutrients but get less attention from the public. The insufficiency of adequate information related to overflowing production factors is one cause of the lack of interest in the cultivation of this species. This study aimed to identify stomata characteristics, tuber productivity, and the relationship between stomatal characteristics and tuber productivity. The research was conducted in Pasuruan Regency, using 57 and 86 accessions selected based on high excess productivity. The analysis used the T-test, Mann-Whitney test, and correlation test. The results showed that the stomatal number, density, tuber weight, width, and diameter of 86 accession were higher than 57 accessions but smaller in terms of stomatal size and tuber length. Stomata number and density were positively correlated with tuber weight. On the other hand, the stomatal size and tuber weight showed a negative correlation. The tuber weight of 86 accession was higher than 57 accessions, even though not significantly different statistically. Both of these accessions have the potential to be cultivated by focusing on their environmental conditions for the optimum tubers yield can be achieved, as well as supporting the national food diversification based on the local food community.
Stomata diketahui memiliki hubungan dengan aktivitas fisiologis tanaman seperti fotosintesis, respirasi, dan transpirasi yang berpengaruh terhadap produktivitas tanaman. Uwi (Dioscorea alata L.) merupakan salah satu tanaman umbi-umbian kurang termanfaatkan dengan nutrisi penting dan potensi hasil tinggi, namun kurang mendapatkan perhatian dari masyarakat. Minimnya informasi terkait faktor yang berperan dalam mendukung produksi yang melimpah, menjadi salah satu penyebab kurangnya minat budidaya jenis ini. Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi karakteristik stomata, produktivitas umbi, serta hubungan antara karakteristik stomata dan produktivitas umbi. Penelitian dilakukan di Kabupaten Pasuruan, menggunakan aksesi 57 dan 86 yang dipilih berdasarkan keunggulan produktivitas tinggi (bobot umbi). Analisis menggunakan uji T, Mann-Whitney, dan uji korelasi Spearman. Hasil studi menunjukkan aksesi 86 lebih tinggi dibandingkan aksesi 57 dalam hal jumlah stomata, kerapatan stomata, bobot umbi, lebar umbi, dan diameter umbi, meskipun pada ukuran keliling stomata dan panjang umbi aksesi 57 lebih tinggi. Jumlah dan kerapatan stomata memiliki korelasi positif dengan bobot umbi, sedangkan ukuran keliling stomata dengan bobot umbi menunjukkan korelasi negatif. Data bobot umbi aksesi 86 lebih besar nilainya dibandingkan aksesi 57, namun tidak berbeda nyata secara signifikan. Kedua aksesi ini berpotensi untuk dibudidayakan dengan memperhatikan kondisi lingkungan tanam agar produktivitas umbi uwi dapat dihasilkan secara optimal dan mendukung upaya diversifikasi pangan nasional berbasis komoditas lokal.
KERAGAMAN JENIS AGATHIS DI DUNIA DAN RIAP TAHUNAN Agathis dammara (Lamb.) Poir. DAN Agathis borneensis Warb. DI KEBUN RAYA EKA KARYA, BALI
The success of botanic gardens in carrying out their duties and functions can be seen in their plant collections and conservation efforts, including restoration, reintroduction, and cultivation. As a scientific basis, the success needs to be supported by primary data, namely species diversity, growth and habitat suitability. This research aims to inventory the diversity of Agathis species in the world and obtain information on the growth of Agathis grown exsitu in the Eka Karya Botanic Garden, Bali. This research used a literature study and a census on A. borneensis and A. dammara tree collections. Observed parameters included measurements of growth, annual increments, and environment. The results of a literature study show that there are 17 species of Agathis in the world. The Eka Karya Bali Botanic Garden has only collected four species, namely A. australis, A. borneensis, A. dammara, and A. robusta, whereas seven collection numbers have not yet been identified in species level. A. borneensis and A. dammara are classified as endangered and vulnerable threatened species according to the IUCN Red List ver. 3.1. This research showed that the mean annual increments of A. borneensis were higher than that of A. dammara on trees aged 12 and 50 years. Both species' mean annual increments in height and diameter continued to increase at a young age (3–12 years) and stagnated at a mature age (50–64 years).Keberhasilan kebun raya dalam menjalankan tugas dan fungsinya dapat dilihat dari kelengkapan koleksi tumbuhan dan usaha konservasinya yang meliputi restorasi, reintroduksi, dan pembudidayaannya. Hal ini perlu didukung oleh adanya data dasar seperti keragaman jenis, pertumbuhan, dan kesesuaian habitat suatu jenis tumbuhan sebagai basis ilmiah. Penelitian ini bertujuan untuk menginventarisasi keragaman jenis Agathis yang ada di dunia dan memperoleh informasi pertumbuhan Agathis yang ditanam secara ex-situ di Kebun Raya Eka Karya, Bali. Metode penelitian yang digunakan adalah penelusuran pustaka dan sensus pada koleksi A. borneensis dan A. dammara. Parameter yang diamati meliputi pengukuran pertumbuhan, riap tahunan, dan lingkungan. Hasil penelusuran pustaka menunjukkan bahwa keragaman Agathis di dunia tercatat ada 17 jenis. Kebun Raya Eka Karya, Bali telah mengoleksi empat jenis yang terdiri dari A. australis, A. borneensis, A. dammara, dan A. robusta, sedangkan tujuh nomor koleksi masih belum teridentifikasi hingga jenis. A. borneensis dan A. dammara termasuk dalam jenis genting dan rentan, berdasarkan IUCN Red List ver. 3.1. Hasil pengamatan menunjukkan riap tahunan rata-rata A. borneensis lebih besar daripada riap tahunan rata-rata A. dammara pada pohon yang berumur 12 dan 50 tahun. Riap tinggi dan riap diameter kedua jenis Agathis terus bertambah pada usia muda (3–12 tahun) dan stagnan pada usia tua (50–64 tahun)
KEANEKARAGAMAN TUMBUHAN DAN KANDUNGAN KARBON DI HUTAN TEMBAWANG ALAK, SINTANG, KALIMANTAN BARAT
The production forest area in West Kalimantan has been fragmented as a result of plantations, industrial forest, mining, and others. This causes the loss of primary forests, leaving secondary forests, shrubberies, and open areas. Fragmented forests affect biodiversity. This study aimed to determine vegetation structure, composition, potential biomass, and carbon content in the secondary forests of Tembawang Alak Forest in West Kalimantan. Research on diversity and carbon content was conducted in the area in March 2020. Plots of one hectare (100x100 m2) were placed randomly in old and young secondary forest areas. Observation in the old secondary forest recorded 109 species of plants belonging to 43 families, trees (diameter >= 10 cm) comprised 103 species and 947 trees. Observation in the young secondary forest recorded 41 plants belonging to 24 families, trees consisted of 30 species and a total of 702 trees. The dominant species in the old secondary forest comprised Combretocarpus rotundatus, Porterandia sp., and Gironniera nervosa. Ilex cymosa, Ptychopyxis sp. and Knema cinerea dominated the young secondary forest. The biomass and carbon content of the old secondary forest stands (diameter >= 10 cm) were 306.54 tons/ha or 144.07 tons C/ha. In contrast, whereas the young secondary forest were 127.31 tons/ha or 59.83 tons C/ha.Kawasan hutan produksi di Kalimantan Barat sebagian telah terfragmentasi akibat dari usaha perkebunan, hutan tanaman industri, pertambangan, dan lain-lain. Hal ini mengakibatkan hilangnya hutan primer dan menyisakan hutan sekunder, semak belukar, dan areal terbuka. Hutan yang terfragmentasi mengakibatkan keanekaragaman terganggu. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui struktur, komposisi vegetasi, potensi biomassa, dan kandungan karbon hutan sekunder di hutan Tembawang Alak, Kalimantan Barat. Penelitian dilakukan pada bulan Maret 2020. Plot penelitian dibuat di hutan sekunder tua dan hutan sekunder muda, berbentuk bujur sangkar ukuran 100x100 m2 (1 ha). Hasil penelitian di hutan sekunder tua tercatat 109 jenis tumbuhan dari 43 suku, pohon berdiameter
>= 10 cm ada 103 jenis, berjumlah 947 pohon. Pada hutan sekunder muda tercatat 41 jenis tumbuhan dari 24 suku, pohon berdiameter >= 10 cm ada 30 jenis, berjumlah 702 pohon. Jenis yang dominan berturut-turut di hutan sekunder tua adalah prepat (Combretocarpus rotundatus), penduk (Porterandia sp.), dan pelai (Gironniera nervosa). Pada hutan sekunder muda jenis yang dominan berturut-turut adalah ubah (Ilex cymosa), medang (Ptychopyxis sp.), dan kumpang (Knema cinerea). Biomassa dan kandungan karbon tegakan hutan sekunder tua yang berdiameter >= 10 cm yaitu sebesar 306,54 ton/ha atau 144,07 ton C/ha, sedangkan pada hutan sekunder muda sebesar 127,31 ton/ha atau 59,83 ton C/ha
Petunjuk Teknis Budidaya Sorgum di Lahan Alang-alang atau Lahan Marginal
Kata Pengantar
Puji syukur kami panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa, berkat Rahmat-Nya sehingga penulisan Buku dengan judul “Petunjuk Teknis Budidaya Sorgum di Lahan Alang-alang atau Lahan Marginal” telah dapat diselesaikan. Penulis mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah mendukung penerbitan buku ini, khususnya kepada Japan International Cooperation Agency (JICA), serta para pimpinan di Organisasi Riset Ilmu Pengetahuan Hayati, Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN).
Buku ini merupakan salah satu capaian dari kegiatan Proyek Kerjasama Science and Technology Research Partnership for Sustainable Development (SATREPS) antara Kyoto University dan Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) yang berlangsung sejak tahun 2016 sampai dengan 2022 dengan judul “Project for Producing Biomass Energy and Material Through Revegetation of Alang-alang (Imperata cylindrica) Field”. Melalui kegiatan Proyek SATREPS ini diharapkan akan dikembangkan teknologi yang mampu mengubah lahan alang-alang/lahan marginal menjadi areal yang lebih produktif. Di lahan yang produktif tersebut diharapkan akan menghasilkan dan juga memanfaatkan biomassa untuk produksi energi dan material terbarukan yang ramah lingkungan.
Tanaman sorgum terpilih karena mampu tumbuh di lahan kering ataupun kurang subur, serta dapat dimanfaatkan tidak hanya untuk pangan tetapi juga untuk pakan, energi dan bahan industri. Tanaman ini bisa dibudidayakan secara intercropping system dengan tanaman lainnya termasuk tanaman revegetasi yang memiliki nilai ekonomi maupun merupakan tanaman langka serta bisa beradaptasi dengan kondisi lahan yang akan dimanfaatkan tersebut.
Akhir kata, tim penulis berharap buku petunjuk teknis ini bisa bermanfaat bagi para pembacanya. Penulis juga memohon masukan dan saran jika masih ada kekurangan yang perlu ditambahkan untuk kesempurnaan buku ini. Terima kasih
Technical Guideline Sorghum Cultivation on Imperata Grassland or Marginal Lands
Foreword
All praise and gratitude be upon the One True Almighty God, who has given our health and blessing, so that we have finished writing the booklet of “Technical Guideline for Sorghum Cultivation on Imperata Grassland or Marginal Lands”. The authors also thank all who have supported in publishing this booklet, especially the leaders of the Indonesian Institute of Sciences (LIPI)/National Research and Innovation Agency (BRIN), Japan International Cooperation Agency (JICA), and also to all colleagues including researchers and technicians, who have been working in the fields, and all many others, who could not be mentioned in this foreword.
The book is one of the activity achievements of the Science and Technology Research Partnership for Sustainable Development (SATREPS) Project, a collaboration between Kyoto University and Indonesian Institute of Sciences (LIPI)/National Research and Innovation Agency (BRIN), that has been conducted from 2016 to 2022, with the topic “The Project for Producing Biomass Energy and Material through Revegetation of Alangalang (Imperata cylindrica) Fields (2016-2022)”. Through this SATREPS Project, technology will be developed to convert the grassland/Alangalang/marginal fields into more productive lands, and to generate and utilize the biomass for renewable energy production and environmentally friendly material.
Sorghum plant is selected to be cultivated, since it could grow on dry and unfertile lands. The plant could be utilized for many purposes, i.e., food, livestock feed, energy sources, and industrial raw materials. The plant also could be cultivated using an intercropping system with other plants, which have economic potential, are rare/endangered, and could adapt to local land and climate condition.
Finally, the authors hope this technical guideline booklet will be useful for a wide range of readers. The authors also welcome any suggestions and comments to improve the quality of this book. Thank you
KERAGAMAN MORFOLOGI HIBRID Begonia sageaensis Wiriad. x Begonia galeolepis Ardi & D.C. Thomas HASIL IRADIASI SINAR GAMMA
Hybridization and gamma ray irradiation have been used in several ornamental plant species to increase genetic variability. This study aimed to determine the effect of gamma ray irradiation on seed germination and determine the effect of hybridization and gamma ray irradiation on the morphological variability of Begonia from a hybrid of B. sageaensis Ardi x B. galeolepis D.C.Thomas. Gamma ray irradiation doses applied were 0, 15, 30, and 45 Gy. Observation of seed germination was carried out on the trait's first day of germination and the number of germinated seeds. Morphological observations were applied to vegetative characters and included eight quantitative dan 33 qualitative variables. Results showed that the dose of gamma rays used did not significantly affect the seed germination and the survival rate of seeds. Hybridization and gamma ray irradiation formed a new diversity grouped into nine: Begonia HM 1–HM 9. The analysis of variance showed that the dose of gamma ray irradiation had no significant effect on all observed quantitative vegetative characters. Results of the analysis of variance showed that the Begonia hybrid had a significant effect on plant height, stem diameter, plant width, leaf length, leaf width, petiole length, petiole diameter, and the number of leaves. Qualitative changes due to gamma ray irradiation include changes in variegated leaf colour. New variability was estimated both in hybridization and gamma ray irradiation.
Hibridisasi dan iradiasi sinar gamma telah banyak digunakan untuk meningkatkan keragaman genetik pada beberapa tanaman hias. Tujuan penelitian ini untuk mengetahui pengaruh iradiasi sinar gamma pada perkecambahan biji dan pengaruh hibridisasi dan iradiasi sinar gamma terhadap keragaman morfologi tanaman Begonia hibrid dari biji hasil silangan B. sageaensis Wiriad x B. galeolepis Ardi & D.C. Thomas. Dosis iradiasi sinar gamma yang digunakan adalah 0, 15, 30, dan 45 Gy. Pengamatan perkecambahan biji dilakukan untuk mengetahui perkecambahan biji pada hari pertama berkecambah dan jumlah biji yang berkecambah. Pengamatan morfologi dilakukan pada karakter vegetatif yang meliputi delapan peubah kuantitatif dan 33 peubah kualitatif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa dosis sinar gamma yang digunakan tidak berpengaruh nyata pada hari pertama berkecambah dan persentase jumlah biji yang berkecambah. Perlakuan iradiasi sinar gamma dan persilangan membentuk keragaman baru yang dikelompokkan menjadi sembilan grup yaitu Begonia HM 1–HM 9. Hasil analisis ragam memperlihatkan bahwa dosis iradiasi sinar gamma tidak berpengaruh nyata pada semua karakter kuantitatif vegetatif yang diamati. Selanjutnya hasil analisis ragam menunjukkan bahwa Begonia hibrid berpengaruh nyata pada karakter kuantitatif yaitu tinggi tanaman, diameter batang, lebar tajuk, panjang daun, lebar daun, panjang tangkai daun, diameter tangkai daun, dan jumlah daun. Perubahan kualitatif akibat iradiasi sinar gamma antara lain daun menjadi variegata. Keragaman baru diduga terbentuk dari perpaduan iradiasi sinar gamma dan persilangan
INISIASI KALUS SECARA IN VITRO DARI DAUN Talinum paniculatum (Jacq.) Gaertn.
Javanese ginseng (Talinum paniculatum (Jacq.) Gaertn.) is a herbaceous plant with secondary metabolites in leaves that could be used as medicine. The sterilization and addition of growth regulators of Javanese ginseng in tissue culture have yet to be extensively studied. This study aimed to determine the appropriate sterilization method and to optimize the growth regulators of Naphthalene Acetic Acid (NAA) and Benzylaminopurine (BAP) for callus initiation of Javanese ginseng. The research was conducted at Cibodas Botanic Gardens Tissue Culture Laboratory – BRIN from August to November 2021. The experiments were non-factorial in a Completely Randomized Design with nine combinations of NAA and BAP treatments and three replications. Leaf explants with a diameter of 7 mm were planted in Murashige and Skoog medium, which contained the combination of growth regulators concentrations of NAA (0.5, 1, and 1.5 ppm) and BAP (0.5, 1, and 1.5 ppm). The results showed that the explants produced callus within 11-14 days after initiation and had a compact texture in all treatments. Four callus colours resulted from this treatment, i.e., light olive brown, olive-gray, gray-brown, and olive. The best combination was obtained in the N2B2 treatment (1 ppm NAA + 1 ppm BAP) that gave optimal growth at the callus length parameter of 3.13 cm and the callus wet weight parameter of 2.27 g.Ginseng Jawa (Talinum paniculatum (Jacq.) Gaertn.) merupakan terna yang daunnya memiliki kandungan metabolit sekunder dan dapat digunakan sebagai obat. Beberapa penelitian kultur jaringan terkait sterilisasi dan penambahan zat pengatur tumbuh pada ginseng Jawa masih belum banyak dilakukan. Tujuan penelitian ini adalah mengetahui metode sterilisasi yang tepat serta melakukan optimalisasi zat pengatur tumbuh Naphthalene Acetic Acid (NAA) dan Benzylaminopurine (BAP) untuk menginisiasi kalus ginseng Jawa. Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Kultur Jaringan Kebun Raya Cibodas – BRIN pada bulan Agustus sampai November 2021. Metode penelitian yang digunakan adalah metode eksperimental menggunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL) non faktorial dengan sembilan kombinasi perlakuan penambahan NAA dan BAP yang diulang sebanyak tiga kali. Eksplan daun berdiameter 7 mm ditanam pada botol kultur berisi media Murashige and Skoog yang mengandung kombinasi konsentrasi zat pengatur tumbuh NAA (0,5; 1; dan 1,5 ppm) dan BAP (0,5; 1; dan 1,5 ppm). Hasil penelitian menunjukkan bahwa eksplan yang ditanaman mampu menghasilkan kalus. Waktu kemunculan kalus antara 11-14 hari setelah inisiasi dan memiliki tekstur kompak pada semua perlakuan. Selain itu, empat warna kalus yang dihasilkan dari perlakuan ini, yaitu light olive brown, olive gray, gray brown, dan olive. Kombinasi konsentrasi terbaik diperoleh pada perlakuan N2B2 (1 ppm NAA + 1 ppm BAP). Perlakuan tersebut memberikan pertumbuhan optimal pada parameter panjang kalus sebesar 3,13 cm dan berat basah kalus sebesar 2,27 g
KESEHATAN AREAL HUTAN PASCA KEBAKARAN DI TAMAN NASIONAL GUNUNG CIREMAI, KUNINGAN, JAWA BARAT
The condition of forests in Indonesia needs more attention because they are constantly disturbed, one of which is fires. Gunung Ciremai National Park (TNGC) is a forest area that often experiences fires, so efforts to control forest fires are needed to minimize the adverse effects of forest fires. One of the activities to control forest fires is post-fire handling by monitoring the post-fire area. The aims of this study were (1) to analyze the health condition of burned forest areas in TNGC in various cluster plots and (2) to analyze the differences in the health conditions of areas with different burning frequencies and the differences in the health conditions of burned and unburned areas. Observation of forest health conditions in TNGC is carried out by measuring the impact of fires on vegetation using the Forest Health Monitoring method using three indicators: productivity, biodiversity, and canopy conditions. The number of plot clusters built is four in burned areas and one in unburned areas. The results of this study indicate that the impact of forest fires is lower in areas burned once than in areas burned more than five times. Overall, the unburned areas showed better health conditions than the burnt areas. It is necessary to restore the ecosystem by planting native species that have high adaptability to fire and are suitable for land conditions in the Pajaten Block. It is necessary to plant species that can be used as green belts in the Gibug Block.Kondisi hutan di Indonesia perlu mendapat perhatian lebih karena terus menerus mendapat gangguan, salah satunya adalah kebakaran. Taman Nasional Gunung Ciremai (TNGC) merupakan kawasan hutan yang sering mengalami kebakaran sehingga perlu dilakukan upaya pengendalian kebakaran hutan guna meminimalisir dampak buruk dari kebakaran hutan. Salah satu kegiatan dalam upaya pengendalian kebakaran hutan adalah penanganan pasca kebakaran dengan melakukan monitoring pada areal pasca kebakaran. Tujuan dari penelitian ini adalah (1) menganalisis kondisi kesehatan areal hutan bekas terbakar di TNGC pada berbagai klaster plot dan (2) menganalisis perbedaan kondisi kesehatan areal dengan frekuensi terbakar yang berbeda serta perbedaan kondisi kesehatan areal yang terbakar dan tidak terbakar. Pengamatan kondisi kesehatan hutan di TNGC dilakukan dengan pengukuran dampak kebakaran terhadap vegetasi menggunakan metode Forest Health Monitoring dengan menggunakan tiga indikator, yaitu produktivitas, biodiversitas, dan kondisi tajuk. Jumlah klaster plot yang dibangun yaitu empat klaster plot pada areal terbakar dan satu klaster plot di areal tidak terbakar. Hasil penelitian menunjukkan bahwa dampak kebakaran hutan lebih rendah pada areal 1 kali terbakar dibandingkan pada areal lebih dari 5 kali terbakar. Secara keseluruhan, areal tidak terbakar menunjukkan kondisi kesehatan yang lebih baik dibandingkan areal bekas terbakar. Upaya pemulihan ekosistem perlu dilakukan dengan menanam jenis asli yang cocok dengan kondisi lahan di Blok Pajaten dan memiliki daya adaptasi terhadap api dan perlu dilakukan penanaman jenis yang dapat dimanfaatkan sebagai sekat bakar hijau di Blok Gibug
RESPONS PERTUMBUHAN DAN PERKEMBANGAN Rubus rosifolius Sm. DAN Rubus fraxinifolius Poir. TERHADAP KOMBINASI DOSIS DAN WAKTU PEMBERIAN PUPUK
Cibodas Botanic Gardens has 13 species of Rubus or wild raspberry collections from Indonesian mountain forests. R. rosifolius and R. fraxinifolius are Indonesian native species with high potential to be developed as fruit crops. Currently, an effort to domesticate and cultivate Rubus spp. is still ongoing. This research aimed to study the effect of the combination of doses and fertilizer application time on R. rosifolius and R. fraxinifolius growth and development. The research was conducted in Cibodas Botanic Garden. Four combinations of treatments, i.e., K1 (4.74 g/pot of NPK fertilizer with one-time application), K2 (9.48 g/pot of fertilizer with two times application), K3 (14.22 g/pot of fertilizer with three times application), K4 (18.96 g/pot of fertilizer with four times application) were used in this experiment. The results show that doses and time applications of fertilizers were not significantly affecting R. rosifolius and R. fraxinifolius growth. Moreover, the factor of Rubus species has a more significant effect on R. rosifolius and R. fraxinifolius growth. The combinations of R. rosifolius + K3 and R. fraxinifolius + K4 produced the highest value in the number of fruits per plant, fruit size, and fruit weight.Kebun Raya Cibodas memiliki 13 jenis koleksi Rubus atau raspberry liar yang berasal dari hutan pegunungan Indonesia. R. rosifolius dan R. fraxinifolius merupakan dua jenis Rubus asli Indonesia yang berpotensi tinggi untuk dikembangkan sebagai tanaman buah. Saat ini, upaya mendomestikasi dan membudidayakan jenis-jenis Rubus terus dilakukan. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh dosis dan waktu pemberian pupuk terhadap pertumbuhan dan perkembangan R. rosifolius dan R. fraxinifolius. Penelitian dilakukan di Kebun Raya Cibodas menggunakan empat kombinasi perlakukan yaitu K1 (pupuk NPK 4,74 g/pot dengan 1 kali waktu pemberian), K2 (pupuk NPK 9,48 g/pot dengan 2 kali waktu pemberian), K3 (pupuk NPK 14,22 g/pot dengan 3 kali waktu pemberian), K4 (pupuk NPK 18,96 g/pot dengan 4 kali waktu pemberian) dan disusun dengan menggunakan rancangan acak kelompok lengkap. Hasil penelitian menunjukkan bahwa dosis dan waktu pemberian pupuk tidak berpengaruh signifikan terhadap pertumbuhan R. rosifolius dan R. fraxinifolius, sedangkan faktor jenis Rubus lebih berpengaruh terhadap parameter pertumbuhan R. rosifolius dan R. fraxinifolius. Kombinasi R. rosifolius + K3 dan R. fraxinifolius + K4 menghasilkan nilai rata-rata jumlah buah per tanaman, ukuran, dan bobot buah tertinggi