33 research outputs found

    Talaromycosis Marneffei pada Pasien HIV

    Get PDF
    Talaromycosis marneffei adalah infeksi jamur yang disebabkan Talaromyces marneffei. Talaromikosis adalah salah satu infeksi oportunistik yang sering mengenai orang dengan infeksi Human Immunodeficiency Virus (HIV) stadium akhir di Asia Tenggara, India timur laut, Cina Selatan, Hongkong, dan Taiwan. Gejala klinis talaromikosis tidak spesifik, seperti demam, anemia, penurunan berat badan, hepatomegali, splenomegali, gangguan pernapasan dan manifestasi kulit. Diagnosis ditegakkan berdasarkan kecurigaan klinis dengan konfirmasi pemeriksaan histopatologi. Dilaporkan pasien laki-laki berusia 29 tahun, dirawat di Bagian Penyakit Dalam RSUP Dr. M. Djamil Padang, dengan keluhan utama muncul bintil-bintil berwarna kehitaman hampir diseluruh wajah sejak 3 bulan yang lalu. Pasien sudah dikenal menderita HIV sejak 4 bulan yang lalu dan sudah mendapat terapi antiretroviral (ARV). Didapatkan plak hiperpigmentasi pada wajah dan hepatomegali. Laboratorium didapatkan kadar hemoglobin 8,9 gr/dl, CD4 8 sel/uL dan pemeriksaan histopatologi yang menunjukkan massa sporis eosinofilik di intraseluler dan diantara stroma jaringan ikat. Pemberian ARV dilanjutkan dan juga diberikan antijamur.Kata kunci: human immunodeficiency virus, talaromycosis, talaromyces marneffe

    Mixed Connective Tissue Disease

    Get PDF
    AbstrakMixed Connective Tissue Disease (MCTD) adalah penyakit yang gejala klinisnya tumpang tindih antara Lupus Eritematosus Sistemik (LES), Skleroderma, dan Polimiositis. Tidak ada obat khusus untuk MCTD. Rekomendasi untuk pengelolaan didasarkan pada perawatan konvensional untuk LES, polimyositis, RA dan skleroderma. Dilaporkan pasien wanita berusia 33 tahun, dirawat di Penyakit Dalam RSUP Dr M Djamil Padang dengan keluhan utama tangan dan kaki semakin kaku sejak 1 bulan yang lalu. Rambut rontok dan pada kulit terdapat Indurasi, skuama coklat kehitaman, hiperpigmentasi kedua tungkai dan wajah serta teleangiektasis. Laboratorium didapatkan albumin 1,8 mg/dl, ureum 60 mg/dl, kreatinin 1,3 mg/dl. Urinalisis: protein +++. Analisis cairan asites kesan transudat, rontgen thoraks dengan kesan fibrosis paru dan rontgen manus tampak kontraktur dari phalang media dan proximal. USG Ginjal kesan sesuai dengan gambaran akut di kedua ginjal. Pemeriksaan ANA Profil (RNP/Sm +, Sm +, Ro-52 Recombinant ++, Scl-70 +++, dsDNA +, Nucleosomes +, Ribosomal-P-Protein +++ ), ANA IF Positif Titer 1>1000. Biopsi kulit kesan skleroderma. Pasien didiagnosis dengan MCTD & Nefritis Lupus. Pasien diterapi methotrexate (MTX), kortikosteroid, dihydropyridine-type calcium antagonist dan dorner, teknik rehabilitasi seperti stretching dan peningkatan gerak yang berpengaruh terhadap kesembuhan dari sklerosis sistemik.

    THE ROLE OF INTERLEUKIN-4 GENE PROMOTER POLYMORPHISMS IN GRAVES’ DISEASE

    Get PDF
    Objective: This study was conducted to prove the role of interleukin-4 gene promoter polymorphisms in Graves’ disease patients in M Djamil General Hospital Padang, Indonesia. Methods: This study was conducted from August 2015 until December 2015 in the Internal Medicine Department in Dr. M. Djamil Hospital, Padang, West Sumatera, Indonesia. This study involved 15 patients with Graves’ disease and 15 normal subjects. We examined that IL-4 promoter gene polymorphism was examined with PCR. Results: Sequencing examination on IL-4 gene promoter resulted in 2 Single Nucleotide Polymorphism (SNP) motifs, which is rs2243250 and rs2070847. IL-4 SNP gene promoter polymorphisms rs2243250 and rs2070847 were found in both patient and control groups. TT is homozygous SNP polymorphisms. CT is heterozygous SNP polymorphisms. CC is wild type or no mutation SNP polymorphisms. Based on statistical tests, no difference in rs2243250 and rs2070847 SNP polymorphisms was found between patient and control group (p > 0.05). Conclusion: This study observed no difference in interleukin-4 gene promoter polymorphism between Graves’ disease patients and control group

    Vaskulitis pada Lupus Eritematosus Sistemik

    Get PDF
    AbstrakLupus Eritematosus Sistemik (LES) merupakan penyakit autoimun kompleks yang menyerang berbagai sistem tubuh. Salah satu manifestasi LES adalah vaskulitis, yaitu inflamasi pada dinding pembuluh darah. Vaskulitis sekunder akibat LES terjadi pada beberapa pasien LES dengan gambaran yang bervariasi. Gambaran vaskulitis yang tersering pada LES adalah vaskulitis kutaneus. Dilaporkan seorang perempuan 26 tahun yang telah dikenal dengan LES, datang dengan keluhan bintik-bintik merah di kedua tungkai dan lengan yang tidak gatal dan tidak nyeri. Dilakukan biopsi pada lesi kulit dengan hasil tampak pada jaringan kulit dengan epidermis yang mengalami atrofi, hyperkeratosis, ketotik plague, terdapat daerah dengan penebalan membrana basalis. Dibawah dermis tampak sebukan sel radang perivasikuler, terdapat limfosit dan beberapa leukosit PMN. Gambaran tersebut sesuai dengan gambaran discoid lupus erythematosus dan vaskulitis. Discoid lupus erythematosus merupakan salah satu bentuk dari lupus eritematosus kutaneus dan merupakan bentuk yang tersering. Pada kasus ini vaskulitis muncul menunjukkan kambuh atau aktifnya penyakit LES yang telah diderita pasien selama 2 tahun. Hal tersebut ditunjukkan dengan jumlah skor MEX SLEDAI 6 dan skor SLEDAI 12. Pasien diberikan terapi dengan metil prednisolon intravena 2x125 mg selama 3 hari serta hidroksiklorokuin 1x200 mg per oral. Respon yang baik terlihat pada hari rawatan keenam dengan berkurangnya manifestasi vaskulitis secara signifikan.Kata kunci: lupus eritematosus sistemik, vaskulitisAbstractSystemic lupus erythematosus (SLE) is a complex autoimmune disease involving many systems in one’s body. One of SLE manifestations is vasculitis, an inflammation of the vessel wall. Secondary vasculitis caused by SLE happened in few SLE patients with various manifestations. The most common SLE vasculitis is cutaneous vasculitis. It has been reported a female patient (26 years old) who was known with SLE, with red spots on both her legs and arms without feeling itchy or painful. Skin biopsy was done to the patient and the result was an appearance in skin tissue with the atrophic epidermis, hyperkeratosis, ketotic plague, thickening area of membrana basalis. In dermis underneath, was distributed inflammation cells perivascular, with lymphocyte and numerous PMN leukocyte. This appearance corresponds with discoid lupus erythematosus and vasculitis. Discoid lupus erythematosus is one most common cutaneous lupus erythematosus. In this case, the occurrence of vasculitis demonstrated an active disease of SLE. Disease activity was assessed with MEX SLEDAI and SLEDAI scores, which are 6 and 12 consecutively. The patient was given intravenous methylprednisolone 125 mg twice a day for 3 days and oral hydroxychloroquine 200 mg once daily. A good response was found in the sixth day with significant improvement of her skin lesions.Keywords: systemic lupus erythematosus, vasculiti

    Drug Reaction With Eosinophilia and Systemic Symptom (DRESS) pada Tuberkulosis Payudara dalam Pengobatan

    Get PDF
    Drug Reaction With Eosinophilia and Systemic Symptom (DRESS) atau sindroma DRESS merupakan suatu reaksi idiosinkratik yang terjadi setelah pemberian obat dalam dosis terapi yang ditandai dengan manifestasi klinis berupa adanya erupsi eritematosa, demam, kelainan hematologi terutama adanya eosinofilia dan adanya keterlibatan organ dalam seperti hepatitis, nefritis, limfadenopati, pneumonitis dan miokarditis. Sindroma DRESS sering disebabkan oleh obat seperti trimetropim, allopurinol, metronidazol, dapson dan abacavir. Penyaki ini juga dapat terjadi akibat reaksi silang obat, seperti obat anti konvulsan (carbamazepin, fenitoin, fenobarbital) dan obat anti inflamasi non steroid (piroksikam). Dilaporkan pasien wanita 34 tahun dengan keluhan utama kuning pada mata yang disertai bercak kemerahan pada wajah, badan, lengan dan tungkai. Manifestasi klinis muncul setelah pasien mengkonsumsi obat anti tuberkulosis selama 1,5 bulan. Pada pemeriksaan penunjang yang khas tampak eosinophilia dengan limfositik atipik dan keterlibatan organ dalam berupa hepatitis setelah menyingkirkan penyebab lain dari hepatitis. Setelah dilakukan penghentian obat anti tuberkulosis selama 2 mingga tampak perbaikan yang signifikan pada manifestasi kulit dan hematologi. Pasien kemudian dilakukan tes provokasi untuk menentukan obat yang menjadi penyebab terjadinya sindroma DRESS

    Hiper IgE dengan Nekrolisis Epidermal Toksik

    Get PDF
    Hiper IgE (HIES) disebut juga sindroma Ayub adalah gangguan komplek imun primer yang ditandai dengan dermatitis atopik seperti dikulit yang berhubungan dengan peningkatan IgE serum yang sangat tinggi, dan kerentanan terhadap infeksi bakteri dan jamur. Kelainan non imun yang terjadi termasuk tampilan wajah yang khas, fraktur setelah truma ringan, skoliosis, hiperextensive sendi, dan retensi gigi sulung. Penelitian terbaru menunjukkan bahwa mutasi dominan terjadi pada sinyal tranduser dan aktivator transkripsi 3 (STAT 3), sedangkan defisiensi gen tirosin kinase 2 (TYK2) menyebabkan HIES autosomal resesif terkait dengan virus dan infeksi mikrobakteri. Dalam kedua kondisi tersebut, sinyal transduksi untuk beberapa toksin, termasuk IL-6 dan IL-23 adalah cacat, sehingga fungsi TH17 terganggu. Temuan ini menunjukkan bahwa cacat dalam sinyal sitokin merupakan dasar molekuler untuk kelainan imunologi dan nonimunologi yang diamati pada HIES. Nekrolisis epidermal toksik ditemukan pertama kali pada tahun 1956, sebanyak 4 kasus oleh Alana Lyell, penyakit ini biasanya juga disebut sindrom Lyell. Lyell menggunakan istilah ‘nekrolisis’ dengan menggabungkan gejala klinis epidermolisis dengan gambaran histopatologi ‘nekrosis’. Penyebab NET belum jelas, tetapi obat-obatan (sulfonamid dan butazones) dan spesies Staphylococcus merupakan penyebab utama. Akibatnya, istilah-istilah seperti ‘staphylococcal-induced toxic epidermal necrolysis’ dan ‘drug-induced scalded skin syndrome’ menang selama beberapa dekade, tetapi sekarang dipisahkan karena terapi dan prognosisnya berbeda. Oleh karena itu nekrolisis epidermal toksik atau NET merupakan penyakit erupsi kulit yang umumnya timbul akibat obat-obatan dengan lesi berupa bulla, dengan penampakan kulit seperti terbakar yang menyeluruh

    Imunopatogenesis dan Implikasi Klinis Alergi Makanan pada Dewasa

    Get PDF
    Alergi makanan adalah gangguan kesehatan yang timbul akibat respon imun spesifik terhadap makanan. Prevalensi alergi makanan pada anak adalah 6%, sementara pada dewasa 3 – 4%. Strategi pencegahan alergi makanan yang belum optimal menjadi salah satu penyebab insiden yang terus meningkat. Imunopatogenesis pada alergi makanan melibatkan reaksi antara alergen dengan antibodi yang dimediasi oleh immunoglobulin E, non-immunoglobulin E, atau kedua-duanya. Implikasi klinis alergi makanan pada dewasa bisa mengenai sistem gastrointestinal, kutaneus, respirasi, dan sistemik. Standar baku emas diagnosis alergi makanan adalah oral food challenge. Tatalaksana yang paling tepat adalah menghindari faktor pencetus. Terapi spesifik dan nonspesifik terhadap alergen dapat diberikan walaupun masih dalam perdebatan

    Correlation between Interleukin-4 Gene Promoter Polymorphisms with Thyrotropin Receptor Antibody and Transforming Growth Factor-β

    Get PDF
    AIM: The aim of this study was to determine the correlation between interleukin-4 (IL-4) gene promoter polymorphisms with thyrotropin receptor antibody (TRAb) and transforming growth factor-β (TGF-β). METHODS: This study was conducted from August 2015 until December 2015 in the internal medicine department in Dr. M. Djamil Hospital, Padang, West Sumatera, Indonesia. Graves’ disease was confirmed by measuring free thyroxine, thyroid-stimulating hormone, and TRAb. We examined that IL-4 promotor gene polymorphism was examined with a polymerase chain reaction. Graves’ disease serum patients will be used to check levels of TGFβ and TRAb antibodies using the enzyme-linked immunoassay method. RESULTS: There are 15 patients in this study. The average of age in patients group is 40.87 (11.23) years. The number of female patients in this study is more than male patients, with the percentage of women are 73.3%, and men are 26.7%. The sequencing examination on IL-4 gene promoter resulted in 2 single nucleotide polymorphism motifs, which are rs2243250 and rs2070847. The mean TRAb level in wild type and mutant group is 6.77 (5.73) IU/L and 4.66 (3.91) IU/L, respectively. The mean TGF-β levels in wild type and mutant group are 1168.89 (438.91) pg/mL and 1114.79 (296.02) pg/mL, respectively. Statistical tests showed no association between IL-4 gene promoter polymorphisms with TRAb and TGF-β levels (p > 0.05). CONCLUSION: There is no correlation between IL-4 gene promoter polymorphisms with TRAb and TGF-β

    Study of Antibiotic Using on Septic Patients with Kidney Disorder)

    Full text link
    Prospective observational study was conducted to investigate antibiotic using, by evaluating clinical pharmacokinetic and antibiotic quality on septic patient with kidney disorder in Interne Department at Hospital X. Septic patients with kidney disorder treated with antibiotic for 4 months. The evaluated antibiotic are excreted by kidney mainly. The clinical aspects of evaluation are kinds of antibiotic, dosage, frequency, period of treatment, and clinical drug interaction. The evaluation of antibiotic quality used Gyssens method. Total respondens were 40 patients, treated with 8 kinds of antibiotic. Among 8 of them, there were 5 antibiotic which were excreted mainly by kidney. From five antibiotics, it was found that the accurate dosage adjustment on 29 patients (74,3%), and unproperly adjustment in 10 patients (10,25%) that adjust upper individual dosage that calculate pharmacokinetically. There were five interactions that clinically significant. The evaluation of antibiotic using qualitatively by Gyssens method found that 4 patients (10%) as incomplete therapy/VI category, two patients (5%) were ineffective category IVa, 1 patient (2,5%) as unsafe category IVb, 9 patients (22,5%) as inappropriate dosage adjustment, and 23 patients (57,5%) as appropriate antibiotic category 0. Conclusion: Using antibiotic that mainly excreted by kidney in septic patients with kidney disorder, generally doesn't show bad impact in kidney of patient

    Multiple Autoimmune Syndrome pada Pasien Erupsi Obat Alergi akibat Obat Antituberkulosis dengan Hyper IgE

    Get PDF
    Multiple Autoimmune Syndrome (MAS) merupakan koeksistensi dari tiga atau lebih penyakit autoimun. Kejadian MAS ini cenderung tinggi pada pasien dengan riwayat penyakit autoimun sebelumnya. Perkembangan kondisi ini dicurigai berhubungan dengan faktor genetik familial, infeksi, imunologi serta faktor psikologis. Telah dilaporkan pasien laki-laki 49 tahun dengan keluhan utama lemah letih dan pucat yang disertai bercak kemerahan pada leher, dada, perut, kedua lengan dan paha. Keluhan juga disertai telinga berdenging dan rasa tidak nyaman di perut kanan atas. Manifestasi klinis muncul setelah pasien mengkonsumsi obat anti tuberkulosis selama dua minggu. Pasien juga memiliki riwayat transfusi darah berulang sejak satu tahun yang lalu. Pada pemeriksaan penunjang ditemukan adanya anemia berat dengan gambaran hemolitik dengan Cold Autoantibody Hemolytic Anemia (CAHA), eosinofilia dengan limfosistosis, hyper IgE, hepatosplenomegali akibat hepatitis autoimun, sensorineural hearing loss, serta erupsi kulit eksantema makulopapular. Setelah dilakukan penghentian obat anti tuberkulosis selama lebih dari dua minggu, disertai pemberian imunosupresan, tampak perbaikan yang signifikan pada manifestasi kulit dan hematologi. Pasien dilakukan tes provokasi untuk menentukan obat yang menjadi penyebab erupsi obat alergi
    corecore