60 research outputs found

    Formulasi dan Stabilitas Mikroemulsi O/W dengan Metode Emulsifikasi Spontan Menggunakan VCO dan Minyak Sawit sebagai Fase Minyak: Pengaruh Rasio Surfaktan-Minyak

    Full text link
    Penelitian ini bertujuan untuk (1) formulasi mikroemulsi o/w dengan variasirasio surfaktan-minyak, (2) menentukan stabilitas mikroemulsiterhadap sentrifugasi, pemanasan dan penyimpanan suhu ruang, dan (3) karakterisasi mikroemulsi dengan stabilitas terbaik. Mikroemulsi dibuat menggunakan campuran tiga surfaktan food grade yaitu surfaktan HLB rendah (span 80), sedang (span 20 atau span 40), dan tinggi (tween 80), dengan rasio surfaktan minyak 2, 3, 4 dan 5. VCO dan minyak kelapa sawit digunakan sebagai fase minyak, 10 μM bufer fosfat pH 7 sebagai fase aqueous. Mikroemulsi o/w terbentuk pada rasio surfaktan minyak 3 atau lebih untuk penggunaan VCO dan pada rasio surfaktan minyak yang lebih tinggi (yaitu 4 atau 5) untuk penggunaan minyak sawit sebagai fase minyak. Mikroemulsi dengan fase minyak VCO yang stabil terhadap sentrifugasi, pemanasan maupun penyimpanan suhu ruang adalah mikroemulsi dengan rasio surfaktan-minyak 4 atau 5, sedangkan penggunaan minyak sawit sebagai fase minyak menghasilkan mikroemulsi yang stabil pada rasio surfaktan-minyak 4. Mikroemulsi dengan rasio surfaktan-minyak 4 memperlihatkan stabilitas terbaik. Mikroemulsi tersebut memiliki distribusi ukuran partikel monomodal, rerata diameter partikel dan viskositas mencapai 21,7 ± 0,02nm dan 6,0 ± 0,10cp (VCO), 22,9 ± 0,15nm dan 6,2 ± 0,05cp (minyak sawit)

    Evaluasi Potensi Kecap Manis sebagai Pembawa Fortifikan NaFeEDTA: Tinjauan Pengaruh Asupan Kecap Kedelai Manis Hasil Fortifikasi terhadap Peningkatan Bioavailabilitas Zat Besi Fortifikan

    Full text link
    Pengaruh kecap manis sebagai makanan pembawa terhadap peningkatan bioavailabilitas zat besi fortifikan �aFeEDTA, dievaluasi secara in vivo, untuk mengetahui potensi kecap manis sebagai pembawa fortifikan tersebut. Bioavailabilitas ditentukan pada tikus Sprague-Dawley, menggunakan metoda deplesi-replesi hemoglobin. Selama periode replesi, ti- kus yang sebelumnya dibuat anemia, diberi asupan NaFeEDTA (0,35 mg Fe/ekor/hari) sebagai sumber zat besi tunggalselama 14 hari, dengan kecap sebagai pembawa fortifikan. Volume asupan kecap bervariasi, dari 0,0 sampai dengan0,7 mL kecap/ekor/hari. Sebagai pembanding, digunakan sumber zat besi berupa fortifikan standar FeSO .7H O (0,3542mg Fe/hari) dengan H O sebagai pembawa. Bioavailabilitas zat besi dinyatakan sebagai nilai hemoglobin regenerationefficiency (HRE). Volume asupan kecap yang menghasilkan bioavailabilitas yang sama dengan standar FeSO .7H O,42digunakan dalam percobaan selanjutnyanya. Percobaan selanjutnya dilakukan untuk mengevaluasi bioavailabilitas zatbesi NaFeEDTA dengan dosis asupan yang bervariasi (dari 0,175 sampai dengan 1,40 mg Fe/ekor/hari), namun dengan volume pembawa yang tetap (0,2 mL/ekor/hari). Pembawa berupa kecap manis atau H O, sebagai kontrol. Sebagai standar, dipakai FeSO .7H O (0,35 mg Fe/ekor/hari), dengan H O sebagai pembawa. Bioavailabilitas zat besi diten-422tukan dengan metoda deplesi-replesi hemoglobin dan dinyatakan sebagai nilai HRE, absorpsi, dan retensi zat besi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kecap kedelai manis terbukti potensial sebagai pembawa fortifikan �aFeEDTA. Asupan 0,2 mL kecap manis/ekor/hari dapat menghasilkan HRE zat besi fortifikan �aFeEDTA yang sama besar den- gan HRE fortifikan standar. Dibanding dengan kontrol (H O), kecap sebagai makanan pembawa mampu menghasilkanHRE, absorpsi, dan retensi zat besi yang lebih besar. Sementara itu, asupan NaFeEDTA yang makin meningkat dapat menurunkan HRE, A/I, dan R/I yang diperoleh

    Sifat Prooksidatif Fortifikan NaFeEDTA Dan Fe-SULFAT Pada Kecap Hasil Fortifikasi

    Full text link
    Iron in iron-fortified soy sauce may have oxidative effect in both oil and amino acids or protein component. In order to evaluate the possible oxidative properties of both NaFeEDTA and FeSO fortificants, a study of oxidation in soy sauce fortified with the fortificants was conducted. Level of fortificant was 266 mg Fe/L of soy sauce. The extent of oxidation was measured by the level of peroxide value and TBARS value of oil component of fortified soy sauce, as well as car- bonyls content of soy sauce model. The effect of H O addition on level of oxidation was also evaluated. It was found that in soy sauce fortified with either NaFeEDTA or FeSO , the fortificants did not promote oxidation of oil and amino acids components. However, addition of H O made peroxide value, TBARS value, and carbonyls content of fortified samples increased

    Studi Gambaran Histopatologis Hepar, Pulmo, Lien dan Otak Serta Uji Serologis pada Tikus (Rattus Norvegicus) yang Diinfeksi Toxoplasma Gondii

    Full text link
    Toxoplasmosis is a parasitic disease caused by the intracellular obligate parasite of Toxoplasma gondii. Toxoplasma gondii (T. gondii) causes severe infections in infants or children who are congenitally infected and immunocompromised individuals. Rats are one source of natural transmission of toxoplasmosis in cats and cats will release oosysts with feces that will contaminate the environment that can be a source of transmission for other animals and humans. This study aims to determine the histopathological features of hepatic, pulmo, lienand cerebellum organ and serological tests in mice infected with T. gondii. Twenty rats of Wistar strains infected T. gondii strain RH stadium takizoit (107). On days 1, 3, 5, 7 and 15 post infection, mice were drawn blood forserological tests using commercial kit PastorexTM Toxo (Biorad, France). After the blood is taken, the rats are dietanized for liver organ samples, pulmo, lien and brain for histopathologic examination. The results showed thatserologic test was positive after the 5th postoperative day. The histopathologic results of day 1 postinfection appear to be takizoit T. gondii in the liver and brain. The formation of takizoit in the pulmo appears on the 7th day postinfection

    Sifat Prooksidatif Fortifikan NaFeEDTA, Dengan Kecap Kedelai Manis Sebagai Makanan Pembawa, Dalam Sistem Biologis (Tikus)

    Full text link
    In vivo study about the effect of NaFeEDTA fortificant in sweet soy sauce on TBARS value of plasma and liver, as well as on histopathologic changes of liver, intestine, and stomach of Sprague Dawley rats was conducted. The oxida- tive properties were determined using hemoglobin depletion-repletion method. During 42 days of repletion periode, iron-depleted rats were fed iron-free diet. NaFeEDTA was ingested in varied dosage, i.e. from 0.175 to 1.4 mg Fe/day for each rat. Sweet soy sauce H O (0.2 mL/day) was used as fortification vehicle and H O (0.2 mL/day) as a control.22FeSO .7H O fortificant (0.35 mg Fe/day, with H O as vehicle) was used as reference standard. At the end of the reple-422tion period, TBARS value of either plasma or liver was analized. The histopathologic changes of liver, intestine, and stomach were also evaluated. The data showed that NaFeEDTA fortificant in sweet soy sauce had no effect on TBARS value of plasma, but it resulted in increased TBARS value of liver. The histopathologic data showed that NaFeEDTA intake up to 0.35 mg Fe/day did not result in histopathologic changes of liver, intestine, and stomach, as well

    Cemaran aflatoksin pada produksi jagung di daerah Jawa Timur=(aflatoxin contamination during corn production in East Java)

    Get PDF
    Penelitian ini ditujuan untuk mengindentifikasi tingkat cemaran aflatoksin pada produksi jagung di Propinsi Jawa Timur =la, dart lingkat petani, pengecer maupun pedagang sena mendapatkan data tentang praktek pasca-panen melalui kuesioner maul, 1111 peninjauan lapangan. Pemantauan dilakukan di 4 (empat) kabupaten penghasil jagung terbesar di Propinsi Jawa Thrum yaitu Malang, Tuban, Kediri dan Sï´ï´enep. Uji infeksi jamur menunjukkan bahwa hampir 100% biji yang diambil balk dart petani. pengumpul maupun pedagang di empat kabupaten terinfeksi oleh jaunt)⢠bermiselia putih dan hitam (tidak dilakukan identifikasi lanjut), Aspergillus dan Penicillium. Kadar air jagung yang diuji berkisar antara 12.60% â 20.84%. Hal ini merupakan indikator bahwa proses pasca panen beim. berlangsung dengan balk. Data uji infeksi jamur aflatoksigenik menggunakan media AFPA menunjukkan bahwa sampel dengan cemaran aflatoksin tinggi (>100 ppb), rata-rata terinfeksi dengan jamur aflatoksigenik >50 %. Hasil uji aflatoksin menunjukkan bahwa dart 115 sampel yang diambil dart petani, pengumpul dan pedagang. 27 sampel (23%) tidak terdeteksi aflatoksin, sedang 48 sampel (42%) dengan cemaran aflatoksin 100 ppb. Dart hash uji diperoleh bahwa 6 sampel memiliki cemaran aflatoksin > 300 ppb, dengan cemaran tertinggi adalah sekitar 350 ppb. Secara urnum dapat disimpulkan bahwa praktek produksi jagung yang kurang balk dapat memberi peluang terhadap tingginya cemaran aflatoksin. Rekomendasi cara bercocok tanam yang tepat, pengeringan hingga kadar air 13% yang tidak boleti ditunda, penyimpanan pada ruang yang. kering dan bersih perlu disampaikan untuk petani, pengecer dan pedagang, maupun penterintah. Demikian pula insentif bagi petani, pengumpul dan pedagang yang mampu mempertahankan kebersihan bpi dart infeksi jamur Aspergillus flavus dan cemaran aflatoksin perlu ditingkatkan

    Aspergillus proteolitik indigenous dari K0.11 dan kemampuannya mendegradasi aflatoksin B1 = indigenous proteolytic Aspergillus isolated from koji and its ability to degrade aflatoxin BI

    Get PDF
    ABSTRACT Legume and cereals are always exposed to the danger of fungal contamination. Among such fungi, some species of the genus Aspergillus are potential of aflatoxins producer. Aflatoxin BI (AFB1) which is the most carcinogenic mycotoxins , known very stable under cooking condition and other processing factors. The removal of AFB1 by degradation or detoxification is critical to reduce risk to human health. Microbiological degradation is a promising method for AFB1 degradation compared to others. The aim of this research was to isolate the proteolytic Aspergillus strain from "koji" and to determine its ability to degrade AFB). Out of 18 strains of Aspergillus, 16 strains were found proteolytic and only 5 strains had no afiatoxigenic properties, but all of them were able to degrade AFB1. There were no spesific pattern of the rate of AFBI degradation. Strain of KKB4 was identified as Aspergillus oryzae, that possess the highest ability to degrade AFB1. Two kind of substances were formed after degradation which were more polar than AFB1. The rate of AFB) uptake by Aspergillus oryzae KKB4 was similar with that of mycelia! growth. Aflatoxin BI inhibits mycelium growth, vesicle and conidial head formation. Keywords Proteolytic Aspergillus, Aspergillus oryzae, koji, degradation, qflatoxin

    Formulasi Mikroemulsi Minyak dalam Air (O/W) yang Stabil Menggunakan Kombinasi Tiga Surfaktan Non Ionik dengan Nilai Hlb Rendah, Tinggi dan Sedang

    Full text link
    Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menentukan proporsi minyak, surfaktan dan air yang dapat menghasilkan mik- roemulsi minyak dalam air yang stabil menggunakan kombinasi tiga surfaktan non ionik dengan nilai HLB rendah, tinggi dan sedang; dan mengetahui peran surfaktan dengan nilai HLB sedang dalam formulasi mikroemulsi minyak da- lam air. Kelompok mikroemulsi yang pertama disiapkan dengan kombinasi surfaktan Tween 80, Span 80 dan Span 40 (80 %:10 %:10 %) dan variasi proporsi VCO:surfaktan 1:3, 1:3,5 dan 1:4. Kelompok mikroemulsi yang kedua disiap- kan dengan kombinasi surfaktan Tween 80, Span 80 dan Span 40 (90 %:5 %:5 %) dan variasi proporsi VCO:surfaktan1:4, 1:4,5 dan 1:5. Uji stabilitas mikroemulsi dilakukan dengan disimpan pada suhu kamar, dioven 105 0C selama 5 jam dan disentrifuge 2300 g selama 15 menit. Pengamatan stabilitas mikroemulsi dilakukan dengan mengukur absorbansi mikroemulsi pada λ 502 nm yang dikonversi menjadi persen turbiditas. Untuk mengetahui peran surfaktan dengan HLB sedang maka dibuat mikroemulsi tanpa surfaktan HLB sedang, dan juga dibuat mikroemulsi dengan variasi rasio surfaktan HLB rendah dan sedang yaitu 1:1, 2:1 dan 1:2. Mikroemulsi paling stabil diperoleh dari formula dengan proporsi VCO:surfaktan:air = 4:20:76 dengan kombinasi surfaktan Tween 80:Span 80:Span 40 = 90:3,33:6,67. Pe- nambahan surfaktan HLB sedang pada formulasi mikroemulsi minyak dalam air lebih menstabilkan mikroemulsi yang dihasilkan. Surfaktan HLB sedang menjembatani fase minyak dan air dengan lapisan surfaktan sehingga meningkatkan interaksi surfaktan-air dan surfaktan-minyak, transisi antara fase minyak dan fase air menjadi lebih halus dan mikro- emulsi menjadi lebih stabil

    Mikroemulsi Minyak dalam Air (O/W) sebagai Pembawa Α-Tokoferol untuk Menghambat Sunlight Flavor pada Susu Full Cream Akibat Fotooksidasi

    Get PDF
    Tujuan penelitian ini adalah menentukan konsentrasi tertinggi α-tokoferol yang dapat ditambahkan ke mikroemulsi O/W yang stabil dan mengevaluasi kemampuan α tokoferol dalam mikroemulsi O/W untuk menghambat sunlight flavor pada susu full cream akibat fotooksidasi. Konsentrasi α -tokoferol yang ditambahkan ke dalam mikroemulsi O/W adalah 5.000 – 10.000 ppm. Konsentrasi α-tokoferol tertinggi yang dapat ditambahkan ke dalam mikroemulsi O/W ditentukan dengan uji stabilitas terhadap panas dengan pengovenan 105 oC selama 5 jam. Susu full cream tanpa atau ditambah 2 % mikroemulsi O/W yang mengandung α -tokoferol dipapar cahaya fl uorosens 2000 Lux dalam lemari pajang pada 10 oC selama 8 jam. Sampel susu full cream yang lain dibungkus dengan alumunium foil untuk melindungi dari cahaya. Keberadaan dimetil disulfi da ditentukan dengan metode headspace-SPME/SIM GCMS, dan sunlight flavor diuji secara sensoris dengan metode triangle test menggunakan 18 panelis terseleksi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa konsentrasi α-tokoferol tertinggi yang dapat ditambahkan ke dalam mikroemulsi O/W adalah 5.000 ppm. Penambahan 2 % mikroemulsi O/W yang mengandung α -tokoferol dapat menghambat pembentukan dimetil disulfida dan sunlight flavor pada susu full cream yang terpapar cahaya
    corecore