11 research outputs found

    Pencemaran Coliform pada Air Sumur di Sekitar Sungai Ciliwung

    Full text link
    - Kondisi pemukiman masyarakat sekitar DAS Ciliwung yang terlihat cukup padat menjadi salah satu faktor penyebab pencemaran air sumur. Selain itu tidak teraturnya jarak antara rumah dengan sungai ataupun jarak antara satu rumah dengan rumah lainya juga berdampak pada kelestarian sungai. Ketentuan yang ideal jarak pemukiman warga dengan tepi sungai diatur dalam Peraturan Pemeritah (PP) No 38 Pasal 9 Tahun 2011 yaitu paling sedikit berjarak 30 m dari tepi kiri dan kanan palung sungai sepanjang alur sungai, dalam hal kedalaman sungai lebih dari 20 m. Dari ketentuan di atas dapat diketahui kemungkinan adanya kontaminasi bakteri Coliform pada air sumur yang bersumber dari sumur di sekitar DAS Ciliwung. Oleh karena itu perlu dilakukan pengujian kualitas air sumur untuk mengetahui kelayakan dan keamanan air untuk dikonsumsi masyarakat. Penelitian ini bertujuan untuk menguji keberadaan Coliform pada air sumur di sekitar DAS Ciliwung wilayah Pejaten Timur hingga Kalibata. Metode yang dilakukan pada penelitian ini adalah penentuan jumlah koloni berdasarkan Total Plate Account (TPC) dari sumber sampel air sumur tanah warga. Berdasarkan hasil pengujian didapatkan bahwa air sumur positif mengandung bakteri Coliform. Jumlah Coliform tertinggi ditemukan di wilayah Pejaten Timur dan Condet sebanyak 9.4 x 104 cfu/ml dan 8.9 x 104 cfu/ml. Sementara itu jarak sumur terdekat dengan sungai yaitu < 10 m juga terdapat di wilayah Pejaten Timur dan CondetKata Kunci – Ciliwung, Air Tanah, Colifor

    Sodium Benzoate is Associated with Salmonella Typhi Resistant to Chloramphenicol

    Full text link
    Background: There are many factors that govern growth and resistant of Salmonella typhi. A study had reported that the use of sodium benzoate caused antibiotic resistant. However, no study has directly evaluated the effect of sodium benzoate exposure on S. typhi sensitivity to chloramphenicol. The aim of this study was to evaluate the resistance or sensitivity of S. typhi to chloramphenicol after sodium benzoate exposure. Methods: The study was conducted in seven groups: three treatment groups (sodium benzoate insensitive S. typhi+8 µg/mL, 16 µg/mL, and 32 µg/mL of chloramphenicol), three positive control groups (sodium benzoate sensitive S. typhi+8 µg/mL, 16 µg/mL, and 32 µg/mL of chloramphenicol), and one negative control groups (sodium benzoate sensitive S. typhi+0 µg/mL of chloramphenicol). The effect of sodium benzoate exposure to S. typhi sensitivity to chloramphenicol was measured after 24 hours. Spearman test was used to analyzed this association. Results: In this study, we found that the average S. typhi growth in the treatment groups (A, B, C) was 445 CFU/mL, 385 CFU/mL, and 171 CFU/mL, respectively. While in the positive control group (D, E, F) was not obtained any S. typhi growth. Average S. typhi growth in the negative control group was 430 CFU/mL. Discussion: We found that sodium benzoate exposure inhibited S. typhi growth and affected S. typhi sensitivity to chloramphenicol (p<0.05). In addition, we found that 32 µg/mL chloramphenicol had the highest mean difference value, so this showed that the dose 32 µg/mL of chloramphenicol had the best effectiveness of various treatment groups (p<0.05). Conclusions: Sodium benzoate exposure can inhibit S. typhi growth and cause S. typhi resistant to chloramphenicol.&nbsp

    Studi Kualitas Air Sungai Ciliwung Berdasarkan Bakteri Indikator Pencemaran Pasca Kegiatan Bersih Ciliwung 2015

    Full text link
    - Kegiatan Bersih Ciliwung dilaksanakan untuk menanggulangi dan mengurangi pencemaran Sungai Ciliwung, kegiatan tersebut dilaksanakan sejak bulan Oktober 2014. Kondisi Sungai Ciliwung saat ini menunjukan kondisi yang lebih baik, sehingga perlu dilakukanya studi lebih lanjut mengenai bakteri indikator pencemaran air Sungai Ciliwung dan resistensinya terhadap antibiotik yang dapat memberikan dampak secara langsung atau tidak langsung kepada penduduk yang tinggal di daerah aliran sungai (DAS). Pengujian terhadap kualitas air sungai Ciliwung berdasarkan faktor fisika dan kimanya serta keberadaan bakteri indikator pencemar terutama coliform masih perlu dilakukan. Tujuan penelitian ini adalah untuk menngetahui kualitas air sungai Ciliwung berdasarkan faktor fisika, kimia, dan menentukan faktor biologi indikator pencemaran. Sampel air Ciliwung didapat dari titik di sekitar Rindam Jaya. Waktu pengambilan adalah pagi hari. Hasil penelitian menunjukkan bahwa sungai Ciliwung tergolong sungai yang tercemar. Hal tersebut ditandai dengan rendahnya nilai oksigen terlarut dan tingginya nilai total padatan. Perbedaan suhu air sungai disebabkan oleh faktor aktivitas manusia dengan membuang sampah ke sungai sehingga proses penyerapan panas matahari berbeda-beda. Secara biologi, kualitas air sungai ciliwung menunjukkan adanya pertumbuhan bakteri coliform yang ditandai dengan nilai MPN/100 ml sebanyak ≤ 1100 yang tergolong tinggi bila dibandingkan dengan standar coliform air minum. Kata Kunci – Sungai Ciliwung, Kualitas Air, colifor

    Pencemaran Coliform pada Air Sumur di Sekitar Sungai Ciliwung

    Get PDF
    Abstrak - Kondisi pemukiman masyarakat sekitar DAS Ciliwung yang terlihat cukup  padat menjadi salah satu faktor penyebab pencemaran air sumur. Selain itu tidak teraturnya  jarak antara rumah dengan sungai ataupun jarak antara satu rumah dengan rumah lainya juga berdampak pada kelestarian sungai.  Ketentuan yang ideal jarak pemukiman warga dengan tepi sungai diatur dalam Peraturan Pemeritah (PP) No 38 Pasal 9 Tahun 2011 yaitu paling sedikit berjarak 30 m dari tepi kiri dan kanan palung sungai sepanjang alur sungai, dalam hal kedalaman sungai lebih dari 20 m. Dari ketentuan  di atas dapat diketahui kemungkinan adanya kontaminasi bakteri Coliform pada air sumur yang bersumber dari sumur di sekitar DAS Ciliwung. Oleh karena itu perlu dilakukan pengujian kualitas air sumur untuk mengetahui kelayakan dan keamanan air untuk dikonsumsi masyarakat. Penelitian ini bertujuan untuk menguji keberadaan Coliform pada air sumur di sekitar DAS Ciliwung wilayah Pejaten Timur hingga Kalibata. Metode yang dilakukan pada penelitian ini adalah penentuan jumlah koloni berdasarkan Total Plate Account (TPC) dari sumber sampel air sumur tanah warga. Berdasarkan hasil pengujian didapatkan bahwa air sumur positif mengandung bakteri Coliform. Jumlah Coliform tertinggi ditemukan di wilayah Pejaten Timur dan Condet sebanyak 9.4 x 104 cfu/ml dan 8.9 x 104 cfu/ml.  Sementara itu jarak sumur terdekat dengan sungai  yaitu < 10 m juga terdapat di wilayah Pejaten Timur dan CondetKata Kunci – Ciliwung, Air Tanah, ColiformAbstract - The crowd of people’s residentials around Ciliwung river were known to be one of the factors that caused groundwater pollution. Beside that, the lay out of houses were also participated to the river sustainability. People built their houses without any environment considerations. They built houses near to the river. According to the local government rules Peraturan Pemeritah (PP) No 38 Pasal 9 Tahun 2011, people could built houses approximately 30 m to the river if it had 20 m in depth. Based on river pollution data, we assumed that the groundwaters probably contaminated by Coliform bacteria. This hyphotese could be analyzed using several tests in order to examine the groundwater quality. If the water quality data could be gained, so it should be informed about the appropriateness to consume their groundwater. The research was aim to analyze the Coliform that collected from groundwater around Pejaten Timur to Kalibata. The metholodology of research were using Total Plate Count (TPC) in order to quantify colony number. The microbes were isolated from 51 groundwaters around areas. Based on results, all samples from groundwaters were positively contaminated by Coliform founded in Pejaten Timur and Condet. This finding indicated that contamination level in groundwater could affect people’s integument and digestive system health.Keywords - Ciliwung, Groundwater, Colifor

    Pengaruh Penambahan Tepung Kentang (Solanum Tuberosum) Pada Sosis Ayam Petelur Afkir Ditinjau Dari Whc, Cooking Loss, Dan Mutu Organoleptik

    No full text
    Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menentukan persentase penambahan tepung kentang (Solanum tuberosum) terbaik pada sosis ayam berdasarkan daya ikat air, susut masak, dan evaluasi sensori. Bahan yang digunakan adalah daging ayam petelur bekas, tepung kentang, tapioka, bawang putih, garam, gula pasir, minyak sayur, merica bubuk, pala bubuk, jahe bubuk, susu skim, bumbu jamur bubuk, dan es batu. Metode dalam penelitian ini adalah eksperimen laboratorium menggunakan Rancangan Acak Lengkap dengan 4 perlakuan dan 4 ulangan. Tepung kentang ditambahkan pada formulasi sosis menggunakan kontrol tanpa penambahan (P0), P1 (1%), P2 (2%), dan P3 (3%) dari total berat daging. Data dianalisis menggunakan uji ANOVA dan jika terdapat pengaruh yang nyata dilanjutkan dengan Duncan's Multiple Range Test (DMRT). Hasil penelitian menunjukkan bahwa penambahan tepung kentang memberikan pengaruh berbeda sangat nyata (P<0,01) terhadap daya ikat air, susut masak, dan sifat sensoris (warna dan rasa), serta memberikan pengaruh nyata (P<0,05) untuk sifat sensori (aroma). Nilai rata-rata daya ikat air berkisar antara 95,22% - 96,02%, hasil susut masak 0,94% - 2,12%, dan nilai sensori evaluasi warna 2,75 - 4,65, aroma 3,25 - 4,55, dan rasa 3,55-4,70. Perlakuan terbaik pada penelitian ini adalah sosis dengan penambahan tepung kentang 3% menjadi perlakuan terbaik berdasarkan nilai daya ikat air, susut masak, dan evaluasi sensori

    Kualitas Fisikokimia Sosis Ayam Petelur Afkir dengan Penambahan Tepung Kentang (Solanum tuberosum).

    No full text
    Sosis adalah salah satu produk pangan dari daging giling yang dalam olahannya diberi berbagai macam bumbu serta olahan tersebut dimasukkan ke dalam selongsong yang berbentuk silindris. Daging yang digunakan dalam pembuatan sosis dapat berupa daging ayam, sapi, dan lain-lain. Ayam petelur afkir selain dapat dimanfaatkan telurnya, juga dapat dimanfaatkan dagingnya setelah produksi telur menurun yang bertujuan sebagai salah satu alternatif sumber daging karena memiliki nilai gizi yang cukup tinggi. Proses pembuatan sosis membutuhkan banyak bahan tambahan lain sebagai pengisinya. Pemanfaatan pati dari komoditas lokal berupa umbi-umbian dapat dijadikan solusi menjadi kualitas produk. Kentang (Solanum tuberosum) merupakan umbi-umbian yang memiliki karakteristik sebagai bahan pengisi. Kentang dapat menjadi bahan pokok makanan yang dikonsumsi oleh manusia dan menjadi salah satu sumber nutrisi paling besar dan dapat dijadikan upaya untuk meningkatkan kualitas sosis ayam petelur afkir. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui persentase penambahan tepung kentang (Solanum tuberosum) yang tepat pada proses pembuatan sosis ayam petelur afkir ditinjau dari kadar protein, kadar lemak, kadar karbohidrat, dan tekstur. Penelitian ini dilaksanakan pada 25 Juli 2022 hingga 1 November 2022 yang bertempat di Laboratorium Teknologi Hasil Ternak untuk pembuatan sosis ayam petelur afkir serta pengujian kadar protein, lemak, karbohidrat, dan tekstur dilaksanakan di Laboratorium Pengujian Mutu dan Keamanan Pangan, Fakultas Teknologi Pertanian, Universitas Brawijaya. Materi yang digunakan pada penelitian ini yaitu daging ayam petelur afkir, tepung kentang, tepung tapioka, lada bubuk, pala bubuk, jahe bubuk, bawang putih, garam, gula, es batu, susu skim, dan minyak nabati. Metode yang digunakan dalam penelitian ini yaitu menggunakan metode percobaan laboratorium dengan Rancangan Acak Lengkap (RAL) dengan 4 perlakuan dan 4 ulangan. Perlakuan yang digunakan dalam penambahan tepung kentang pada pembuatan sosis ayam petelur afkir yaitu dengan persentase P0 (tanpa penambahan tepung kentang), P1 (penambahan 1% tepung kentang), P2 (penambahan 2% tepung kentang) and P3 (penambahan 3% tepung kentang) dari daging yang digunakan. Variabel yang diuji adalah kadar protein, kadar lemak, kadar karbohidrat, dan tekstur. Data yang telah diperoleh akan dianalisis menggunakan analisis of variance (ANOVA) kemudian dianjutkan dengan Uji Jarak Berganda Duncan (UJBD) jika analisa yang diperoleh hasilnya berbeda nyata atau sangat berbeda nyata. Hasil penelitian menunjukkan bahwa penambahan tepung kentang (Solanum tuberosum) pada sosis ayam petelur afkir memperoleh hasil berbeda sangat nyata (P<0,01) pada kadar protein, kadar lemak, kadar karbohidrat, dan tekstur. Rata-rata kadar protein 14,72±0,05 sampai 15,79±0,07, kadar lemak 14,57±0,09 sampai 13,46±0,52, kadar karbohidrat 26,16±1,31 sampai 31,8 ±0,68, dan tekstur 17,41±0,52 sampai 19,55±0,47. Berdasarkan pada penelitian ini dapat disimpulkan bahwa dengan penambahan tepung kentang (Solanum tuberosum) pada sosis ayam petelur afkir sebanyak 3% menghasilkan kualitas sosis daging ayam petelur afkir terbaik dengan rataan kadar protein 15,79%, kadar lemak 13,46%, kadar karbohidrat 31,8%, dan tekstur 19,55N

    Sodium Benzoate is Associated with Salmonella typhi Resistant to Chloramphenicol

    No full text
    Background: There are many factors that govern growth and resistant of Salmonella typhi. A study had reported that the use of sodium benzoate caused antibiotic resistant. However, no study has directly evaluated the effect of sodium benzoate exposure on S. typhi sensitivity to chloramphenicol. The aim of this study was to evaluate the resistance or sensitivity of S. typhi to chloramphenicol after sodium benzoate exposure. Methods: The study was conducted in seven groups: three treatment groups (sodium benzoate insensitive S. typhi+8 &micro;g/mL, 16 &micro;g/mL, and 32 &micro;g/mL of chloramphenicol), three positive control groups (sodium benzoate sensitive S. typhi+8 &micro;g/mL, 16 &micro;g/mL, and 32 &micro;g/mL of chloramphenicol), and one negative control groups (sodium benzoate sensitive S. typhi+0 &micro;g/mL of chloramphenicol). The effect of sodium benzoate exposure to S. typhi sensitivity to chloramphenicol was measured after 24 hours. Spearman test was used to analyzed this association. Results: In this study, we found that the average S. typhi growth in the treatment groups (A, B, C) was 445 CFU/mL, 385 CFU/mL, and 171 CFU/mL, respectively. While in the positive control group (D, E, F) was not obtained any S. typhi growth. Average S. typhi growth in the negative control group was 430 CFU/mL. Discussion: We found that sodium benzoate exposure inhibited S. typhi growth and affected S. typhi sensitivity to chloramphenicol (p&lt;0.05). In addition, we found that 32 &micro;g/mL chloramphenicol had the highest mean difference value, so this showed that the dose 32 &micro;g/mL of chloramphenicol had the best effectiveness of various treatment groups (p&lt;0.05). Conclusions: Sodium benzoate exposure can inhibit S. typhi growth and cause S. typhi resistant to chloramphenicol.&nbsp

    Sodium Benzoate is Associated with Salmonella typhi Resistant to Chloramphenicol

    No full text
    Background: There are many factors that govern growth and resistant of Salmonella typhi. A study had reported that the use of sodium benzoate caused antibiotic resistant. However, no study has directly evaluated the effect of sodium benzoate exposure on S. typhi sensitivity to chloramphenicol. The aim of this study was to evaluate the resistance or sensitivity of S. typhi to chloramphenicol after sodium benzoate exposure. Methods: The study was conducted in seven groups: three treatment groups (sodium benzoate insensitive S. typhi+8 μg/mL, 16 μg/mL, and 32 μg/mL of chloramphenicol), three positive control groups (sodium benzoate sensitive S. typhi+8 μg/mL, 16 μg/mL, and 32 μg/mL of chloramphenicol), and one negative control groups (sodium benzoate sensitive S. typhi+0 μg/mL of chloramphenicol). The effect of sodium benzoate exposure to S. typhi sensitivity to chloramphenicol was measured after 24 hours. Spearman test was used to analyzed this association. Results: In this study, we found that the average S. typhi growth in the treatment groups (A, B, C) was 445 CFU/mL, 385 CFU/mL, and 171 CFU/mL, respectively. While in the positive control group (D, E, F) was not obtained any S. typhi growth. Average S. typhi growth in the negative control group was 430 CFU/mL. Discussion: We found that sodium benzoate exposure inhibited S. typhi growth and affected S. typhi sensitivity to chloramphenicol (p<0.05). In addition, we found that 32 μg/mL chloramphenicol had the highest mean difference value, so this showed that the dose 32 &micro;g/mL of chloramphenicol had the best effectiveness of various treatment groups (p<0.05). Conclusions: Sodium benzoate exposure can inhibit S. typhi growth and cause S. typhi resistant to chloramphenicol
    corecore