3 research outputs found

    INTERPRETASI MAHKAMAH AGUNG TERHADAP ALASAN PEMBATALAN PUTUSAN ARBITRASE DALAM PASAL 70 UU NO. 30/1999

    Get PDF
    Article 70 of Law No. 30 of 1999 on Arbitration and Alternative Dispute Resolution (Law No. 30/1999) establish three basic reasons limitedly as cancellation of the arbitration decision. In the case of PT.Comarindo Express Tama Tour against Yemen Airways, the Supreme Court considers the court decision based on the elucidation and cancels the arbitration award on the grounds out of Article 70 of Law No. 30/1999. This paper seeks to elaborate on the interpretation of the Supreme Court against the cancellation reason arbitration award in terms of universal principles in the practice of modern arbitration and the legislation laws to use the statute approach, conceptual approach and case approach and suggests some court decision both Indonesian court and foreign court. The Supreme Court in this case misapplied the law due to the fact that consideration of the elucidation is in contrast to the universal principles in the practice of arbitration. Keywords: arbitration, the reason for the cancellation decision

    PENGUATAN MODEL REGULASI DI BIDANG PEMBIAYAAN PENYEDIAAN INFRASTRUKTUR DI INDONESIA

    Get PDF
    Pembiayaan merupakan aspek terpenting yang mempengaruhi intensitas keterlibatan sektor swasta dalam proyek infrastruktur. Minimnya pembiayaan swasta dalam pembangunan infrastruktur, utamanya didasari faktor hukum, diantaranya perubahan kebijakan dan regulasi selama masa investasi yang diperparah dengan disharmonisasi regulasi terkait dengan prinsipprinsip hukum bisnis yang memberi kepastian berinvestasi, misalnya pemberian jaminan perbankan. Di sisi lain, jaminan pemerintah tidak dapat diberikan terhadap seluruh proyek infrastruktur, dan apabila terjadi dispute, tidak mudah dicairkan karena harus memperhatikan prinsip pengelolaan dan pengendalian risiko keuangan APBN. Sehingga konsep risk sharing sulit untuk terlaksana dan jelas menghalangi tujuan percepatan pembangunan infrastruktur. Tulisan ini mengelaborasi hambatan-hambatan hukum dalam proses penyediaan infrastruktur, termasuk mengevaluasi peraturan perundang-undangan terkait dan kesesuaiannya dengan prinsip hukum bisnis, khususnya hukum kontrak yang menjadi syarat utama hubungan hukum para pihak. Penulisan menerapkan metode penelitian hukum melalui pendekatan perundangundangan dan konseptual. Hasil penelitian menunjukkan risiko hukum dalam proyek infrastruktur berupa risiko lokasi, risiko desain, konstruksi, dan uji operasi, risiko finansial dan risiko operasional, sedangkan regulasi terkait belum menyediakan sistem pengawasan yang baik sehingga belum menjamin keberlanjutan skema kerjasama pemerintah dan swasta serta belum menjamin alokasi risiko yang tidak menyimpang dari prinsip pengelolaan dan pengendalian risiko keuangan APBN. Sehingga diperlukan payung hukum yang koheren antar sektor terkait pembangunan infrastruktu

    KEABSAHAN PERJANJIAN MELALUI AGEN ELEKTRONIK DALAM SISTEM HUKUM KONTRAK INDONESIA

    Get PDF
    Dalam pembentukan kontrak elektronik, salah satunya melalui media website, vendor (operator) selaku penyelenggara sistem elektronik, tidak dapat 24 (dua puluh empat) jam tanpa henti berada di depan komputer untuk mengecek dan mengonfirmasi setiap permintaan yang diterimanya dari konsumen (user). Dalam praktiknya, vendor (operator) atau yang diistilahkan dalam UU No. 11/2008 dan PP No. 82/2012 sebagai “penyelenggara sistem elektornik”, mengoperasikan sistem elektroniknya menggunakan suatu kecerdasan buatan (artificial intelligence) yang diistilahkan oleh UU No. 11/2008 dan PP No. 82/2012 sebagai “agen elektronik” yang dapat bekerja sendiri untuk melakukan penawaran dan penerimaan dalam transaksi elektronik, tanpa campur tangan atau intervensi dari manusia. Hal tersebut menimbulkan pertanyaan hukum terkait dengan keabsahan dari kontrak elektronik yang dibuat melalui agen elektronik ditinjau dari sistem hukum kontrak Indonesia, khususnya terkait syarat subjektif sebagaimana diatur dalam Pasal 1320 BW, yakni syarat sepakat dan syarat cakap. Terkait dengan hal tersebut, dalam praktik internasional telah terjadi perdebatan terkait status hukum dari agen elektronik dalam transaksi elektronik. Beberapa sarjana berpendapat bahwa agen elektronik hanya merupakan alat atau sistem komunikasi yang merepresentasikan kehendak dari vendor (operator)-nya. Namun terdapat pula pandangan yang menyatakan bahwa berdasarkan analogi kedudukan agen elektronik dapat dipersamakan dengan agen manusia karena merepresentasikan kehendak dari vendor (operator) selaku prinsipalnya. Pandangan lain menyatakan bahwa agen elektronik merupakan badan hukum berdasarkan analogi terhadap pemberian status badan hukum terhadap seorang wanita, budak, perusahaan, kapal dan candi oleh Hukum Inggris. Sedangkan pandangan terbaru menganggap bahwa agen elektronik harus mendapat status sebagai electronic person. Untuk itulah tesis ini berusaha mengelaborasi kedudukan agen elektronik dalam pembentukan kontrak elektronik dikaitkan dengan keabsahan dari perjanjian elektronik yang dibentuk melalui agen elektronik serta tanggunggugat dan/ atau tanggungjawab penyelenggara sistem elektronik atas kontrak elektronik yang dibuat melalui agen elektronik
    corecore