7 research outputs found

    Review: Taxonomic Contribution for Ecotourism Development in Indonesia

    Full text link
    This paper describes about the role of taxonomic in ecotourism development in Indonesia. Development and management of ecotourism in Indonesia recently are still quite slow and inadequate. It is due to the lack of knowledge of local community about the information of flora and fauna which is used as ecotourism attraction. Therefore the taxonomical science needs to be applied to the development of ecotourism in Indonesia. In addition, some species which are used as tourist attractions needs to be identified and classified to preserve the resource. Implementation of taxonomy related to survey, documentation, data collection, identification and classification to establish the identity of a species for ecotourism attraction. Methods are commonly used for the implementation of taxonomy in the ecotourism development, i.e. (1) morphological observation, (2) vocalizations and (3) molecular analysis. Morphological observations can be applied by qualitative and quantitative observations. Qualitative observation is an observation of a species, which is related to morphology and coloration, and comparison with other species which are suspected related. Quantitative observation is a morphometric analysis, which is a concept of quantitative analysis of the species that related to the size and shape of a species. Vocalization method is applied by determining the vocal character of a species, by comparing the data, which has obtained, with the data vocals from other species which are suspected related. Molecular analysis is commonly used to support the identification of morphological and vocalization of the species. Molecular methods, which are commonly applied for species identification, are usually hybridization, DNA sequencing, restriction mapping, chromosome banding and immunological method Keywords: taxonomy, ecotourism, Indonesia, morphological observation, vocalization, molecular identificatio

    The Dynamic of Calcium Oxalate (CaOx) in Porang Corms (Amorphophallus muelleri Blume) at Different Harvest Time

    Get PDF
    The research aims toobserve the influence of harvestingtime onthe change of calcium oxalate (CaOx) content and crystal density in Porangcorms. The corms were harvested at different times, i.e.,(1) two weeks before the plants shed (R0-1), (2) when the plants shed (R0),and (3) two weeks after the plants shed (R0+1). CaOx was obtained using the modified extracting method. Microscopic observa-tions were obtained from the slices of the edge and centerpart of porangcorms. Parameter observed includingCaOx content, corm weight,shape,and density of CaOx crystal. CaOx content and crystal density in corms were analyzed using One way ANOVA. If the results are significant,it will be followed by Tukey Test α 0.05. In the meantime, the relation between CaOx content and corm weight was analyzed using Correlation Test Bivariate. The results showed that CaOx content was relatively higher in porangcorms, i.e.,15.98 ± 0.60g/100g.On the other hand, the increasing of CaOx content might improve corm weight. The total densi-ty of druse, styloid,and prism crystal was pretty high in corms obtained when the plants shed compared toanother harvest time, i.e.,1,494 ± 286; 31,280 ± 17,406 and 6,256 ± 1,533 crystals/cm2. Raphide crystal density, by contrast,increased in corms obtained after the plants shed, i.e.,1,656 ± 368 crystals/cm2. Total CaOx crystal density in the edge parts of corms harvested when the plants shed was pro-portionately higher than in the other harvest times, i.e.,12,292 ± 4,687.89 crys-tals/cm2.In contrast, CaOx crystal densities in the centerparts of corms werenot much different at three harvesting times. The density of druse and prism crystals was somewhat higher in the centerpart of corms thanin the edge parts. In opposi-tion to, the density of raphide and styloid crystals was fairly higher in the edge part of corms than it was in the centerparts. However, only raphide crystal density found in the edge and centerpart of corms was significantly affected by harvest time from all these results

    Effects of seeding material age, storage time, and tuber tissue zone on glucomannan content of Amorphophallus muelleri Blume

    Get PDF
    Among members of the genus Amorphophallus in Indonesia, Amorphophallus muelleri produces the highest amounts of glucomannan, which is a fiber carbohydrate that plays a significant role in controlling obesity and type 2 diabetes. Glucomannan in A. muelleri is stored in the tubers. Several internal and external factors affect the glucomannan content of the tubers. In this study, we only investigated the internal factors seeding material and tuber. The objectives were: i) to investigate the effect of the seeding material on tuber glucomannan levels; and ii) to assess the influence of the storage period and the tuber part on glucomannan contents. Glucomannan was extracted via centrifugation. The result showed that tubers, which yielded from the center bulbis, have slightly higher glucomannan content than tubers from side bulbis, even though insignificant. Our results indicate significant glucomannan losses at storage times of more than 3 months. Levels decreased by 90% after storage over 3.75 months since shoot collapse. Glucomannan levels of the central and the edge parts of the tubers did not differ significantly

    Bentuk Kristal Kalsium Oksalat (CaOx) Tanaman Porang (Amorphophallus muelleri Blume) serta Kerapatan Kristal pada Kondisi Terpapar dan Tidak Terpapar Cahaya Matahari

    Get PDF
    Cahaya matahari diduga berperan dalam proses pembentukan kristal CaOx pada tanaman porang. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui variasi bentuk kristal CaOx dan pengaruh naungan terhadap kerapatan kristal CaOx pada tanaman porang. Preparat untuk pengamatan mikroskopis berasal dari irisan daun, tangkai daun, dan umbi tanaman porang yang ditumbuhkan pada kondisi terpapar dan tidak terpapar cahaya matahari. Irisan organ dijernihkan dengan menggunakan metode clearing yang telah dimodifikasi. Parameter yang diamati meliputi bentuk, variasi bentuk, dan kerapatan kristal CaOx. Data kerapatan kristal CaOx dianalisis dengan ANOVA dan dilanjutkan dengan Tukey α 0,05. Perbedaan kerapatan kristal pada bagian tepi dan tengah organ dianalisis dengan Uji T Sampel Berpasangan. Dari hasil pengamatan mikroskopis diperoleh empat bentuk dasar kristal, yaitu druse, rafida, prisma dan stiloid dengan variasi jenis yang cukup beragam, masing-masing mempunyai 49, 10, 8, dan 5 variasi. Kristal CaOx dapat dikelompokkan menjadi kristal berukuran besar (20-710 μm) dan kecil (1-15 μm). Kerapatan kristal CaOx pada tanaman terpapar cahaya matahari 3 kali lebih tinggi daripada tanaman ternaungi. Organ daun memiliki jumlah kristal persatuan luas paling banyak dibandingkan organ lainnya. Organ umbi memiliki kerapatan kristal CaOx terendah tetapi keragaman jenis kristalnya paling tinggi diantara organ lainnya. Selain itu, adanya naungan atau tidak juga tidak berpengaruh pada kerapatan kristal CaOx pada bagian tepi atau tengah organ

    Dinamika Kandungan Glukomannan dan Kalsium Oksalat (CaOx) serta Kerapatan Kristal Kalsium Oksalat (CaOx) pada Umbi Porang (Amorphophallus muelleri Blume) Periode Tumbuh Ketiga

    No full text
    Waktu panen umbi porang diduga berpengaruh terhadap tinggi rendahnya kandungan glukomannan, kalsium oksalat (CaOx) dan kristal kalsium oksalat (CaOx). Tanaman porang umumnya dipanen pada periode tumbuh ketiga saat tanaman rebah karena diduga pada saat itu glukomannan pada umbi mencapai kandungan tertinggi dibandingkan dengan kandungan glukomannan pada umbi porang sebelum tanaman rebah. Namun tingginya permintaan konsumen terhadap umbi porang menyebabkan pemanenan umbi porang seringkali dilakukan lebih awal yaitu sebelum tanaman porang rebah. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui: 1) pengaruh waktu panen umbi porang periode tumbuh ketiga terhadap kandungan glukomannan dan kalsium oksalat serta kerapatan kristal CaOx, kerapatan masing-masing bentuk kristal CaOx dan variasi ukuran kristal CaOx, 2) hubungan antara kandungan glukomannan atau CaOx atau kerapatan kristal CaOx terhadap berat umbi porang, 3) hubungan antara kandungan CaOx terhadap kerapatan kristal CaOx, 4) Variasi jenis kristal CaOx di ketiga waktu panen dan 5) hubungan antara kandungan glukomannan terhadap kandungan CaOx atau kerapatan kristal CaOx. Umbi porang pada periode tumbuh kedua, yang berasal dari Kecamatan Saradan, Kabupaten Madiun ditumbuhkan di kebun Biologi hingga akhir fase vegetatif yaitu saat tanaman rebah. Umbi dipanen pada tiga waktu berbeda yaitu 2 minggu sebelum tanaman rebah (R0-1), saat tanaman rebah (R0) dan dua minggu setelah tanaman rebah (R0+1). Pada masing-masing waktu tersebut diukur kandungan glukomannan, kandungan CaOx dan kristal CaOx sebanyak tiga ulangan yang diperoleh dari tiga umbi. Ekstraksi glukomannan diawali dengan menimbang umbi segar seberat 30 g, kemudian umbi diparut, digerus dan ditambah 200 ml larutan aluminium sulfat 30 ppm. Selanjutnya larutan diinkubasi pada suhu 55 °C selama 15 menit, diencerkan dengan penambahan 600 ml akuades, disaring dan filtratnya disentrifugasi pada 1500 rpm, suhu 25 °C selama 30 menit. Supernatan yang dihasilkan dipresipitasi dengan menggunakan isopropyl alcohol 95 % (1:1). Gumpalan glukomannan yang terbentuk disaring, dikeringkan dalam oven pada suhu 45 °C selama semalam kemudian ditimbang untuk menentukan kandungan glukomannan per berat kering umbi. Pengukuran kandungan CaOx per berat kering umbi porang dilakukan dengan tiga tahap, yaitu proses digest , presipitasi CaOx, dan titrasi permanganat. Kristal CaOx dari irisan umbi tanaman porang yang diperoleh pada waktu panen yang berbeda diamati secara mikroskopis. Irisan umbi dijernihkan dengan metode clearing yang telah dimodifikasi. Parameter yang diamati meliputi bentuk, variasi bentuk, dan kerapatan kristal CaOx. Data yang diperoleh dianalisis dengan menggunakan ANOVA untuk mengetahui pengaruh waktu panen umbi terhadap kandungan glukomannan dan kandungan CaOx serta kerapatan kristal CaOx. Jika terdapat pengaruh yang nyata maka dilanjutkan dengan Uji Tukey α 0,05. Uji Korelasi Bivariate dilakukan untuk mengetahui hubungan antara kandungan glukomannan atau CaOx atau kerapatan kristal CaOx terhadap berat umbi porang, hubungan antara kandungan CaOx terhadap kerapatan kristal CaOx dan hubungan antara kandungan glukomannan terhadap kandungan CaOx atau kerapatan kristal CaOx. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kandungan glukomannan, kandungan CaOx, kerapatan total kristal CaOx cenderung lebih tinggi pada umbi porang yang dipanen saat tanaman rebah, masing-masing sebesar 29,10 ± 4,57 g/100 g, 15,98 ± 0,60 g/100 g dan 40.020 ± 16.554 kristal/cm 2 . Hal tersebut dikarenakan pada saat tanaman rebah akumulasi kandungan glukomannan, CaOx dan kristal CaOx sudah mencapai optimal dan tidak digunakan lagi untuk proses pertumbuhan. Berdasarkan nilai determinasi hasil uji korelasi diketahui bahwa berat umbi porang dipengaruhi oleh adanya kandungan glukomanan dan CaOx serta kerapatan kristal CaOx, masing-masing sebesar 11 %, 41 % dan 19,6 %. Hal tersebut dikarenakan akumulasi senyawa kimia, yang dihasilkan selama proses metabolisme, pada umbi porang mampu meningkatkan berat umbi. Kerapatan kristal CaOx dipengaruhi oleh adanya kandungan CaOx dan kandungan glukomannan, masing-masing sebesar 33 % dan 24,7 %. Hal tersebut dikarenakan senyawa CaOx merupakan senyawa yang membentuk kristal CaOx sedangkan glukomannan diduga dapat menstimulasi pembentukan dan pertumbuhan kristal CaOx. Kandungan CaOx dipengaruhi oleh adanya kandungan glukomannan sebesar 39 %. Hal tersebut diduga karena glukomannan memicu agregasi CaOx dan meningkatkan konsentrasi ion. Kristal druse, stiloid dan prisma cenderung memiliki kerapatan tertinggi pada umbi yang dipanen saat tanaman rebah, masing-masing sebanyak 1.494 ± 286, 31.280 ± 17.406 dan 6.256 ± 1.533 kristal/cm 2 , dan kerapatannya menurun bila dipanen setelah tanaman rebah karena adanya penurunan aktivitas metabolisme dan oksidasi senyawa oksalat. Kerapatan kristal rafida justru mengalami peningkatan pada umbi yang dipanen setelah tanaman rebah atau saat dormansi, yaitu sebesar 1.656 ± 368 kristal/cm 2 diduga karena adanya pengaruh faktor biotik berupa serangan hama dan kapang. Dari hasil pengamatan mikroskopis, variasi bentuk kristal stiloid, prisma druse dan rafida di ketiga umur panen cenderung seragam, masing-masing mempunyai 1, 2, 3 dan 37 variasi. Kristal rafida tunggal panjang dan rafida berkas pendek menunjukkan perbedaan ukuran di ketiga waktu panen sedangkan bentuk yang lain tidak berbeda. Hasil tersebut menunjukkan bahwa kandungan glukomannan, kerapatan kristal CaOx, variasi bentuk dan ukuran dari beberapa kristal CaOx cenderung statis atau tidak dipengaruhi oleh waktu panen. Waktu panen berpengaruh signifikan terhadap kandungan kalsium oksalat (CaOx), ukuran kristal rafida tunggal dan rafida berkas pendek. Peningkatan kandungan glukomannan, CaOx dan kerapatan kristal CaOx dapat meningkatkan berat umbi porang. Peningkatan kandungan CaOx dan glukomannan dapat menyebabkan bertambahnya jumlah kristal CaOx. Peningkatan kandungan glukomannan dapat meningkatkan kandungan CaO

    Analisis perbedaan jenis pembungkus terhadap kadar proksimat dan daya terima tempe biji lamtoro (Leucaena Leucocephala)

    No full text
    Indonesia merupakan negara dengan kekayaan sumber daya alam pangan  yang berlimpah salah satunya adalah biji-bijian yang memiliki zat gizi untuk memenuhi kebutuhan gizi dalam diet atau menu sehari-hari. Pada saat ini sudah banyak olahan dari biji-bijian salah satunya adalah tempe. Biji-bijian yang biasa digunakan dalam pembuatan tempe adalah biji kedelai. Jenis biji-bijian lain yaitu biji lamtoro dapat digunakan dalam pembuatan tempe. Plastik dan daun biasanya digunakan sebagai pembungkus tempe selama proses fermentasi. Tujuan penelitian ini dilakukan adalah untuk mengetahui perbedaan penggunaan jenis pembungkus terhadap kadar proksimat dan organoleptik tempe biji lamtoro. Metode yang digunakan adalah eksperimental dengan rancangan acak lengkap 1 faktor. Analisis statistik yang digunakan independent T-test jika berdistribusi normal dan mann whitneyjika tidak berdistribusi normal dengan drajat kepercayaan 95 %. Hasil penelitian menunjukkan bahwa perbedaan jenis pembungkus pada tempe biji lamtoro berbeda nyata terhadap kadar lemak, karbohidrat, air dan serat kasar (p < 0,05) namun tidak berbeda nyata terhadap kadar abu dan protein (p>0,05). Perbedaan jenis pembungkus tidak berbeda nyata terhadap organoleptik parameter warna, aroma, tekstur (p>0,05) dan berbeda nyata pada parameter rasa (p<0,05). Tempe yang dibungkus daun pisang memilki tingkat kesukaan lebih tinggi dari pada tempe yang dibungkus plastik. 
    corecore