12 research outputs found

    Asylum Seeker Protection under International Human Right Declarations: Case Study Malaysia and Australia

    Get PDF
    Most of the asylum seeker is the impact of armed conflict on the rise. While the setting status seekers were not enforced by the 1951 Convention relating participants to the Status of Refugees. Despite the fact that not a few conventions, declarations, resolutions are made on granting protection to asylum seekers. This is due to different points of view regarding the rights and obligations as well as the authority to maintain national security and public order of each state. Not only the problems in the receiving country but the searchers also rarely carry identity documents that can support the status and facilitate their continued life in the recipient country. The materials were obtained and analysed by describing the object of the study were analysed, namely the role of the implementation of the asylum seekers protection in Malaysia and Australia. Then the conclusion will be given to the material that has been analysed is or is based on the results of the discussion that has been done

    The Implementation Challenges Of The Law Concerning Sexual Violence In Indonesia

    Get PDF
    The law concerning the crime of sexual violence came into force on 22 April 2022 as law number 12, the year of 2022 has been waiting by most of the society in Indonesia with the hope that this regulation may reduce or even dispel the crime of sexual violence, which increased currently. However, some argue that some articles in the act contain a provision that contradicted religious norms and social morals even though some consider this act as a form of pure liberalization in Indonesia. The method of this research uses a normative juridical method and is supported by conceptual by analysing the view or concept of the jurist on and statute approach to defending the argumentation on the legal and data materials. The result shows that the act (UU TPKS) has a role as supplementary rules under Indonesian criminal code to settle the cases of sexual violence in Indonesia, and as legal protection to the victim of sexual violence. On the contrary, several challenge might occur in the implementation, such as internal problems from the legal enforcement itself, lack of implementing regulations and arises of the conservatism society which, holds a patriarchal understanding of how the populace considers sexual violence

    TANDA TANGAN ELEKTRONIK DALAM KONTRAK BISNIS INTERNASIONAL

    Get PDF
    An international business contract is a common guideline for the parties to bind themselves to certain rights and obligations across national boundaries. These guidelines are usually closely related to trade transactions, which at present can be carried out remotely or electronically. The process of electronic commerce was a means of transactions without face-to-face between buyers and sellers until the emergence of electronic signatures. The institution that until now has played a role in harmonizing the law of electronic commerce transactions is the United Nations Commission on International Trade Law (UNCITRAL), which is a subsidiary organ of the United Nations (UN). Special arrangements for electronic signatures internationally are found in the UNCITRAL Model Law on Electronic Commerce 1996 and the UNCITRAL Model Law on Electronic Signature 2001. Judging from the formation of these international regulations, this indicates that the international community is in dire need of regulations that are by technological developments, especially in the field of transactions. - international trade transactions. This study uses secondary data collected through the literature study method. The issue raised is how international contract law regulates electronic signatures and how is the legal protection for users of electronic signatures. From these two questions, it was found that the two Model Laws from UNCITRAL were not binding on the state. The state is free to follow the entire contents of the rules, in part, or even reject the whole. Model Law is a guideline to assist countries in making their national laws. Furthermore, the rules made by the ICC, ICSID, and UNCITRAL are believed to be able to solve problems related to international business contracts, including the topic of electronic signatures. Although the Model Law has also discussed how electronic signatures can apply to support electronic commerce.Kontrak bisnis internasional merupakan pedoman bersama para pihak yang mengikatkan diri atas hak dan kewajiban tertentu serta melintasi bats negara. Pedoman tersebut biasanya berhubungan erat dengan transaksi perdagangan, yang pada saat ini bisa dilakukan secara jarak jauh atau elektronik. Proses perdagangan secara elektronik sebagai sarana transaksi tanpa tatap muka antara pembeli dan penjual hingga munculnya tanda tangan elektronik. Lembaga yang sampai saat ini berperan dalam mengharmonisasi hukum transaksi perdagangan elektronik ialah United Nations Commission on International Trade Law (UNCITRAL) yang merupakan subsidiary organs Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). Pengaturan khusus terhadap tanda tangan elektronik secara internasional terdapat pada UNCITRAL Model Law on Electronic Commerce 1996 dan UNCITRAL Model Law on Electronic Signature 2001. Dilihat dari terbentuknya peraturan-peraturan secara internasional ini menandakan bahwa masyarakat internasional sangat membutuhkan peraturan yang sesuai dengan perkembangan teknologi terutama dibidang transaksi-transaksi perdagangan internasional. Penelitian ini menggunakan  data sekunder yang dikumpulkan melalui metode studi pustaka. Masalah yang diangkat adalah bagimana hukum kontrak internasional mengatur tanda tangan elektronik dan bagaimana perlindungan hukum bagi pengguna tanda tangan elektronik. Dari dua pertanyaan tersebut didapati kedua Model Law dari UNCITRAL tidak mengikat negara. Negara bebas untuk mengikuti seluruh isi aturan, sebagian, atau bahkan menolak keseluruhan. Model Law menjadi pedoman untuk membantu negara-negara di dalam membuat perundangan nasionalnya. Selanjutnya aturan yang dibuat oleh ICC, ICSID dan UNCITRAL diyakini dapat menjadi pemecah masalah terkait dengan kontrak bisnis internasional termasuk dengan topik tanda tangan elektronik. Meski dalam Model Law juga telah di bahas bagaimana tanda tangan elektronik dapat berlaku untuk mendukung perdagangan elektronik

    PENYELESAIAN SENGKETA MELALUI WTO DISPUTE SETTLEMENT MECHANISM DALAM MENJAGA STABILITAS PEREKONOMIAN INTERNASIONAL

    Get PDF
    Anti-dumping adalah pengenaan bea masuk tambahan terhadap barang yang diimpor dengan tingkat harga ekspor yang lebih rendah dari nilai normalnya di negara pengekspor (barang dumping). Sehingga hanya dumping yang merugikan industri sejenis di negara pengimporlah yang dapat dikenakan tindakan anti-dumping. Kriteria untuk penggunaan sistem dumping maupun anti-dumping telah diatur pada Agreement on Implementation of Article VI GATT dan Agreement on Subsidies and Countervailing Duties. Namun, hal ini akan menjadi suatu sengketa apabila penentuan kebijakan tidak sesuai dengan pengaturan ataupun perjanjian hukum internasional yang dapat merugikan negara lain. Dispute Settlement Mechanism merupakan salah satu penyelesaian sengketa Internasional melalui WTO guna memberikan prediktabilitas dan keamanan dalam perdagangan internasional. Penelitian ini bertujuan menganalisis bagaimana penyelesaian sengketa terkait kebijakan anti-dumping melalui WTO menggunakan dispute settlement mechanism menggunakan metode penelitian normatif dengan pendekatan perundang undangan dan studi kasus negara Indonesia dan Uni Eropa terkait kebijakan anti-dumping Uni Eropa yang diduga melemahkan sektor ekspor baja nirkarat Indonesia. Penyelesaian sengketa melalui WTO dinilai tepat dikarenakan memiliki tahapan yang jelas dan memiliki prinsip yang mengikat, sehingga penyelesaian sengketa melalui WTO ini dapat menjadi upaya yang baik dalam menjaga stabilitas perekonomian dunia dengan menyelesaikan sengketa antara negara-negara anggota

    LANGKAH PENANGGULANGAN KEUANGAN NEGARA DAN MENGHINDARI PENYALAHGUNAAN DANA BENCANA ALAM DI INDONESIA

    Get PDF
    Dalam situasi tanggap darurat bencana, banyak sekali permasalahan yang terjadi meskipun telah banyak pedoman-pedoman yang diatur secara resmi baik dalam bentuk undang-undang atau peraturan dibawahnya. Namun dalam pelaksanaannya tetap saja terjadi kealfaan atau kesalahan seperti terkait alokasi dana bantuan kurang akurat atau penumpukan dana bantuan karena simpang siurnya data informasi dan kurangnya koordinasi atau pantauan. Dengan banyaknya bantuan, nampak jelas dalam situasi bencana solidaritas relawan maupun lembaga pemerintah dan donor secara naluri kemanusiaanya berusaha untuk membantu. Dalam situasi bencana, misalnya kondisi tanggap darurat, dengan banyaknya bantuan dana tak lepas dari indikasi-indikasi penyimpangan dana, yang berlandaskan “cepat” dan yang terpenting adalah “tepat”. Namun kemudian banyak celah titik rawan korupsi dalam pengelolaan dana bantuan bencana alam seperti pengadaan barang dan jasa, sumbangan pihak ketiga, refocusing dan realokasi, laporan pertanggung jawaban keuangan serta pemulihan ekonomi nasional melalui penyelenggaraan bansos. Celah ini sering digunakan oleh pemangku kepentingan untuk curang sebab ada kelemahan dalam kontrol keuangan negara yang lebih mengutamakan keselamatan jiwa. Sehingga markup harga barang kebutuhan dasar pasca bencana digunakan guna mengakali dan mendapatkan keuntungan ditengah kesempitan. Penelitian ini adalah penelitian normatif yang memfokuskan pada data-data literatur. Jenis penelitian ini merupakan suatu penelitian ilmiah untuk menemukan kebenaran berdasarkan logika keilmuan hukum berdasarkan sisi normatifnya

    Anomali Asas Non-Retroaktif dalam Kejahatan Genosida, Bertentangan dengan HAM?

    Get PDF
    The crime of genocide is one of the most serious international crimes stipulated in the Rome Statute. Previously, genocide was regulated in the Convention on Genocide entered into force on 12 January 1951. The convention and the Rome Statute do not allow retroactivity. However, retroactivity appears in the Indonesian Law on the Human Rights Court and is strengthened through the Indonesian Constitutional Court's Decision. This study focuses on the neglect of the non-retroactive principle in the Law on Human Rights Courts and the extent to which the retroactive period. This research uses normative-legal method with a statutory and case approaches. The result shows that ignoring the non-retoactive principle is contrary to international law and international human rights regulations. Hence, the Constitutional Court's decision that strengthens retroactivity can be interpreted that the Court maintains human rights while at the same time violates human rights by not accurately interpreting the word “derogation” and “restriction” in Article 28J of the 1945 Constitution

    STUDI KOMPARASI TUGAS DAN WEWENANG NOTARIS DI INDONESIA DAN MALAYSIA

    Get PDF
    Kenotariatan mengenal dua stelsel hukum yakni Kontinental dengan sistem Civil Law dan Anglo-Saxon dengan sistem Common Law. Praktik notaris telah berkembang sesuai dengan waktu, tempat serta politik hukum dan kesadaran hukum di negara masing-masing. Indonesia dengan sistem hukum Civil Law, mengatur tugas dan wewenang notaris sesuai Undang-Undang Nomor  2  Tahun  2014 tentang Perubahan atas Undang-Undang No 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris. Hal ini akan dikomparasikan dengan peraturan terkait Notary Public di Malaysia dalam hal tugas dan wewenang. Malaysia sebagai negara dengan system hukum Common Law memiliki perbedaan dalam mengatur tugas dan kewenangan Notary Public dan hal ini tertuang dalam Notaries Public Act 1959 (Revised 1973). Pada penelitian ini akan dianalisis bagaimana pengaturan jabatan notaris di Indonesia dan Malaysia serta bagaimana perbedaan tugas dan wewenang notaris di Indonesia dan Malaysia. Penelitian ini merupakan penelitian normative yang mempelajari tujuan hukum, nilai-nilai keadilan, validitas aturan hukum, konsep-konsep hukum, dan norma-norma hukum. Penelitian hukum normatif dapat juga dikatakan sebagai suatu proses untuk menemukan aturan hukum, prinsip-prinsip hukum, maupun doktrin-doktrin hukum guna menjawab isu hukum yang dihadapi. Dari penelitian ini dihasilkan bahwa perbedaan tugas dan wewenang notaris di Indonesia dan Malaysia berkaitan dengan sistem hukum yg ditetapkan di dalam konstitusi dan disesuikan dengan kondisi masing-masing negara yang salah satunya adalah faktor kolonialisasi.

    KEWENANGAN MAJELIS KEHORMATAN NOTARIS PADA PROSES PENYELIDIKAN SUATU PERKARA TINDAK PIDANA YANG MELIBATKAN NOTARIS

    Get PDF
    Penelitian ini mengkaji tentang kewenangan Majelis Kehormatan Notaris pada proses penyelidikan suatu perkara tindak pidana yang melibatkan Notaris. Majelis Kehormatan Notaris adalah suatu badan yang mempunyai kewenangan untuk melaksanakan pembinaan Notaris dan kewajiban memberikan persetujuan atau penolakan untuk kepentingan penyidikan dan proses peradilan, atas pengambilan fotokopi Minuta Akta dan pemanggilan Notaris untuk hadir dalam pemeriksaan yang berkaitan dengan Akta atau Protokol Notaris yang berada dalam penyimpanan Notaris. Penelitian hukum yang digunakan dalam penelitian ini bersifat normatif dengan menggunakan pendekatan perundang-undangan, pendekatan sejarah, dan pendekatan konseptual. Kewenangan Majelis Kewenangan Notaris adalah memberikan persetujuan/penolakan untuk pemanggilan Notaris oleh aparat penegak hukum atau meminta fotokopi minuta akta Notaris dalam proses Penyidikan, Penuntutan dan Proses Peradilan dalam suatu perkara tindak pidana. Yang menjadi suatu permasalahan disini adalah jika aparat penegak hukum dalam tahap penyelidikan memerlukan keterangan Notaris / memerlukan fotokopi minuta akta dari Notaris, apakah Majelis Kehormatan Notaris berwenang untuk “menilai” setuju atau menolak” permohonan pemanggilan dari aparat kepolisian untuk memanggil Notaris dalam hal perkara tindak pidana tersebut. Hal tersebut menyebabkan kepastian hukum menjadi “tidak jelas” pada saat Penegak Hukum hendak meminta keterangan dari Notaris atau fotokopi minuta akta di Notaris dalam kaitan perkara tindak pidana yang sedang mereka tangani dalam proses penyelidikan. Kewenangan Majelis Kehormatan Notaris yang ideal pada tahap penyelidikan suatu perkara tindak pidana yang melibatkan Notaris yang dapat disampaikan dalam permasalahan ini adalah dengan memasukkan tahap penyelidikan perkara tindak pidana kedalam kewenangan dari Majelis Kehormatan Notaris, dengan cara mengubah norma dari Peraturan Perundang-undangan yang mengatur tentang tugas dan wewenang dari Majelis Kehormatan Notaris dengan menambahkan tahap “penyelidikan”, yang terdapat didalam Pasal 18 ayat (1) dan Pasal20 Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asai Manusia Nomor 7 Tahun 2016 tentang Majelis Kehormatan Notaris

    KEPAILITAN PERSEROAN TERBATAS DI BIDANG USAHA E – COMMERCE

    Get PDF
    Pada dasarnya perusahaan yang bergerak di bidang e – commerce ini sama seperti perusahaan yang kegiatan bisnisnya masih menggunakan cara – cara konvensional. Di samping itu perusahaan tersebut juga membutuhkan dana untuk melaksanakan kegiatan operasional perusahaan itu sendiri. Perusahaan yang bergerak di bidang e – commerce meskipun kegiatan biaya yang dikeluarkan untuk kegiatan bisnisnya tidak sebesar dengan perusahaan konvensional, namun perusahaan tersebut tetap saja membutuhkan anggaran untuk menjamin kelangsungan bisnis tersebut. Perusahaan yang bergerak bidang e – commerce tentunya selain mengandalkan kepada modal dasar yang dimiliki, namun perusahaan  pasti juga bergantung kepada sumber anggaran lainnya yaitu melalui kegiatan utang. Perusahaan apabila memanfaatkan pola utang ini, ada kemungkinan perusahaan di bidang e – commerce tersebut akan dapat dipailitkan jika ternyata perusahaan tersebut memenuhi syarat untuk dipailitkan sebagaimana diatur dalam Pasal 2 ayat (1) UU No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang. Masalah selanjutnya tentunya mengenai mekanisme penentuan harta kekayaan perusahaan di bidang e-commerce tersebut untuk dijadikan boedel/harta pailit. Hal ini mengingat aset perusahaan di bidang e-commerce selain berupa benda yang berwujud seperti gedung kantor, uang, kendaraan perusahaan dan semcamnya. Di sisi lain perusahaan juga mempunyai aset dalam bentuk yang tidak berwujud yaitu aplikasi sistem e-commerce itu sendiri

    Tanda Tangan Elektronik Dalam Kontrak Bisnis Internasional

    Full text link
    An International business contract is a common guideline for the parties to bind themselves to certain rights and obligations across national boundaries. These guidelines are usually closely related to trade transactions, which at present can be carried out remotely or electronically. The process of electronic commerce was a means of transactions without face-to-face between buyers and sellers until the emergence of electronic signatures. The institution that until now has played a role in harmonizing the law of electronic commerce transactions is the United Nations Commission on International Trade Law (UNCITRAL), which is a subsidiary organ of the United Nations (UN). Special arrangements for electronic signatures Internationally are found in the UNCITRAL Model Law on Electronic Commerce 1996 and the UNCITRAL Model Law on Electronic Signature 2001. Judging from the formation of these International regulations, this indicates that the International community is in dire need of regulations that are by technological developments, especially in the field of transactions. - International trade transactions. This study uses secondary data collected through the literature study method. The issue raised is how International contract law regulates electronic signatures and how is the legal protection for users of electronic signatures. From these two questions, it was found that the two Model Laws from UNCITRAL were not binding on the state. The state is free to follow the entire contents of the rules, in part, or even reject the whole. Model Law is a guideline to assist countries in making their national laws. Furthermore, the rules made by the ICC, ICSID, and UNCITRAL are believed to be able to solve problems related to International business contracts, including the topic of electronic signatures. Although the Model Law has also discussed how electronic signatures can apply to support electronic commerce
    corecore