30 research outputs found
Kriminalisasi Perilaku Penyimpangan Seksual Terhadap Hewan
Abstrak: Penulisan jurnal ini di latar belakangi dengan banyaknya kasus penyimpangan seksual yang dilakukan oleh manusia terhadap hewan di Indonesia, jika dilihat melalui peraturan hukum pidana belum ada pengaturan hukum yang lebih khusus mengatur mengenai penyimpangan seksual terhadap hewan ini, dari hal tersebut maka timbul permasalahan yang harus dianalisis yaitu: (1) Apa urgensi kriminalisasi perilaku penyimpangan seksual terhadap hewan; (2) Bagaimana pengaturan hukum pidana mengenai perilaku penyimpangan seksual terhadap hewan di masa yang akan datang. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian hukum normatif. Dari hasil penelitian menunjukkan bahwa, kriminalisasi perilaku penyimpangan seksual terhadap hewan sangat dibutuhkan dilihat dari segi filosofis yang bertentangan dengan pandangan hidup dan cita-cita bangsa, kemudian dari segi yuridis dimana untuk mengisi kekosongan hukum dan menjalankan Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2009 jo Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2014 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan serta Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya yang menjamin dan melindungi hak hidup dengan aman untuk hewan sebagai makhluk hidup. Pengaturan hukum pidana mengenai perilaku penyimpangan seksual terhadap hewan di masa yang akan datang sebaiknya tidak memberikan hukuman penjara melainkan rehabilitasi sosial dikarenakan perilaku penyimpangan seksual terhadap hewan dapat dikatakan sebagai penyakit, sehingga pelaku tidak seharusnya mendapatkan hukuman penjara.Kata Kunci: Bestiality, Hewan, Kriminalisas
Analisa Kebijakan Kriminal dan Filsafat Pemidanaan Non-Conviction Based Forfeiture of Stolen Assets Dalam Tindak Pidana Korupsi
Tindak pidana korupsi bertujuan menguntungkan diri sendiri berupa uang atau harta, yang oleh negara bermanfaat untuk memperbaiki kesejahteraan rakyatnya. Hampir semua koruptor membutuhkan sarana untuk menyembunyikan hasil korupsinya dengan cara mengalihkan hasil korupsinya melalui pencucian uang, baik di dalam negeri atau di luar negeri, sehingga sulit untuk dilacak. Sangat urgen untuk menerapkan Non-Conviction Based Forfeiture of Stolen Assets Recovery (NCB). NCB yang merupakan sebuah mekanisme untuk merampas hasil tindak pidana korupsi dari para koruptor tanpa melalui proses peradilan pidana. Tujuan artikel ini adalah untuk mendeskripsikan kebijakan kriminal dan filsafat pemidanaan dalam aplikasi NCB di Indonesia. Artikel ini berdasarkan penelitian, dengan studi doktrinal yang sepenuhnya menggunakan data sekunder seperti literature dan perundang-undangan. Hasil penelitian Pertama, pada kebijakan hukum pidana adalah urgen untuk menerapkan NCB dalam memulihkan aset negara yang dicuri melalui tindak pidana korupsi di Indonesia. Indonesia mengadopsi NCB dengan merumuskannya di dalam Rancangan Undang-Undang tentang Perampasan Hasil Tindak Pidana; Kedua, pada konteks filsafat pembenaran diterapkannya NCB mengacu pada asas crime doesn’t pay (pelaku kejahatan tidak mendapatkan keuntungan). Asas ini dianggap sebagai sarana efektif untuk mencegah tindak pidana korupsi, dengan mengambil keuntungan dari para koruptor. Kesimpulan dari artikel ini adalah NCB merupakan sarana non penal yang efektif untuk merampas aset yang dicuri/dikorupsi, dan dalam konteks filsafat NCB sebagai sarana efektif untuk mencegah tindak pidana korupsi
Kepastian Hukum Pemberian Rehabilitasi Oleh Tim Asesmen Terpadu Bagi Pengguna Narkotika Pada Tahap Pra-Ajudikasi BNN Sumatera Selatan
Abstrak: Pemberian rehabilitasi oleh tim asesmen terpadu harus melalui putusan hakim terlebih dahulu untuk rehabilitasi pengguna narkotika namun dilihat dalam segi waktu pemberian rehabilitasi membutuhkan waktu yang lama sehingga tidak efesien dalam segi waktu yang membuat tingkat kecanduan tidak di proses dengan cepat, dari hal tersebut timbul permasalahan yang harus dianalisa yaitu permasalahannya apa kriteria pemberian rekomendasi rehabilitasi bagi penyalahguna narkotika di lembaga rehabilitasi pengguna narkotika oleh Badan Narkotika Nasional Provinsi Sumatera Selatan dan apa kendala yang dihadapi oleh Tim Asesmen Terpadu Badan Narkotika Provinsi Sumatera Selatan dalam proses perumusan rekomendasi rehabilitasi dan bagaimana kepastian hukum dalam pemberian rehabilitasi oleh tim asesmen terpadu bagi pengguna narkotika yang dilakukan pada tahap pra-ajudikasi. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode hukum empiris. Bahan hukum yang diperoleh dari data primer dan data sekunder,bahan tersebut akan dianalisis dengan analisis kualitatif dan akan ditarik kesimpulan dengan cara induktif. Pembahasan Kriteria pemberian rekomendasi rehabilitasi dapat dilihat dari pemeriksaan riwayat hukum, riwayat penggunaan narkotika dugaan status hukum, pelacakan jaringan. Kendala yang dihadapi oleh tim asesmen terpadu adalah Surat Rekomendasi Tim Asesmen Terpadu hanya bersifat rekomendasi rekomendasi, pandangan yang berbeda antara tim asesmen terpadu, susahnya dalam mengundang tim asesmen terpadu untuk pelaksanaan pemeriksaan rehabilitasi, sarana dan prasarana kurang memadai. Kepastian Hukum dalam pemberian rehabilitasi diatur didalam Pasal 54 Undang-Undang Nomor. 35 Tahun 2009,Peraturan Bersama Nomor: PERBER/ 01/III/2014/BNN6, Peraturan Presiden Nomor 23 Tahun 2010. Kata Kunci: Kepastian Hukum, Pra Ajudikasi, Rekomendasi Rehabilitasi, Tim Asesmen Terpad
PERTANGGUNGJAWABAN TINDAK PIDANA KEKERASAN SEKSUAL TERHADAP ANAK YANG DILAKUKAN OLEH OKNUM GURU PUTUSAN NOMOR: 305/Pid.Sus/2017/PN.SKY
Kekerasan seksual memang bukan merupakan hal yang baru ditelinga masyarakat terlebih pada saat ini kekerasan seksual tidak hanya ditujukan kepada orang yang telah dewasa melainkan juga pada anak-anak, dalam perkara Nomor : 305/Pid.Sus/2017/PN Sky yaitu Seseorang tenaga pendidik atau guru hendaknya memberi contoh dan wibawa yang baik kepada muridnya, sebaliknya yang dilakukan Al (58) warga masyarakat Kecamatan Babat Toman Kab. Musi Banyuasin yang berprofesi sebagai guru SD, melakukan perbuatan tidak pantas dengan melakukan pelecehan seksual. Penelitian yang digunakan dalam tesis ini adalah Penelitian Normatif atau penelitian mengkaji studi dokumen, seperti peraturan perundang-undangan, keputusan pengadilan, teori hukum, dan dapat berupa pendapat para sarjana. Pertimbangan hakim dalam menjatuhkan sanksi pidana terhadap pelaku tindak pidana kekerasan nomor : 305/Pid.Sus/2017/PN.SKY, Hakim mengunakan dasar pertimbangan yang bersifat yuridis dan non-yudiris. Pertimbangan yang bersifat yuridis yaitu fakta -fakta yang terbukti di dalam persidangan sedangkan Pertimbangan non yuridis yaitu terdakwa belum pernah dihukum, terdakwa sopan di persidangan, terdakwa telah berusia lanjut dan mengidap komplikasi penyakit. Pertanggung jawaban tindak pidananya terdakwa telah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan suatu tindak pidana yang diatur dan diancam dalam Pasal 76E jo Pasal 82 ayat (2) Undang-Undang Nomor 35 tahun 2014 Tentang Perlindungan Anak dan menjalankan hukumam kurungan badan selama 5 (lima) Tahun lebih. perlindungan ideal bagi anak yang menjadi korban kekerasan seksual melalui penegakan hukum atau tanggungjawab pidana pada pelaku dengan cara memberikan hak-hak anak seperti bantuan hokum, rehabilitasi, serta pencegahan dengan peran bersama antara pemerintah, orang tua, dan masyarakat untuk melindungi kesejahteraan dan keselamatan anak. Tanggungjawab orang tua, keluarga, masyarakat, pemerintah dilaksanakan secara terus menerus, terintegrasi dan terkoordinasi antara lembaga yang memiliki wewenang dalam upaya pelaksanaan pemenuhan hak anak khususnya anak korban kekerasan seksual demi untuk melindungi hak-hak anak
GATEKEEPER DALAM SKEMA KORUPSI DAN PRAKTIK PENCUCIAN UANG
Pola kejahatan terus mengalami pembaharuan guna menghindari terendusnya praktik kejahatan, pola ini tidak jarang melibatkan para aktor profesional hingga para praktisi tujuan utamanya untuk mengecoh penegak hukum agar skema ini sulit dilacak dan kejahatan menjadi kabur. Modusnya dengan melibatkan pelaku kejahatan pencucian uang yakni dengan menggunakan jasa para profesional hukum, perbankan dan ekonomi. Cara ini digunakan untuk memutus nexus agar skema tampak sempurna, semua aktor mengambil peran serta bekerja secara profesional guna menciptakan ilusi kejahatan agar tampak legal. Keterlibatan para aktor tersebut dikenal sebagai gatekeeper. Gatekeeper akan memanfaatkan semua kemampuan dan keahlian yang dimiliki guna menskenariokan pola kejahatan serta mengamankan hasil kejahatan untuk dapat dinikmati kemudian menjadi hasil yang bersih, kemampuan yang dimiliki tidak hanya mengenai pengetahuan normatif saja melainkan kemampuan praktik menjadi modal utama untuk membuat semua tampak sempurna. Meskipun demikian, pemerintah melalui regulasinya telah membuat aturan untuk mencegah para gatekeeper bertindak terlalu jauh, melalui regulasi di PPATK mengenai pihak pelapor dalam pencucian uang maka pemerintah berupaya menempatkan para profesi tersebut sebagai mitra guna memberantas praktik pencucian uang.Kata Kunci: Gatekeeper, Nexus, Pencucian Uang, Skema Kejahata
Immaterial Compensation Not Criminal Losing Lives as an Implementation of Victim Protection
Immaterial compensation is compensation that cannot be calculated with money, such as pain, loss, and psychic, but the compensation can be replaced with some money. The existence of immaterial compensation aims to protect victims of loss of life from other people such as children and wives, families, and parents. Based on the Criminal Code, hereinafter referred to as the Criminal Code, the regulation of the crime of taking life is regulated in Articles 338 to 340. The most severe threat of punishment is contained in Article 340 of the Criminal Code, namely the death penalty, or can be said to be life imprisonment, or for a while. certain period, with a maximum period of 20 (twenty) years. Therefore, the existence of liability for compensation from the defendant to the victim can reduce the defendant's sentence or can replace the main sentence of the defendant.T he research method uses a type of qualitative research sourced from the various scientific literature.
PENYULUHAN TENTANG PENCEGAHAN CONTEMPT OF COURT DI LEMBAGA PEMBINAAN KHUSUS ANAK PALEMBANG
Kasus penghinaan terhadap marwah pengadilan di Indonesia sudah sangat sering terjadi baik dilakukan oleh oknum penegak hukum sendiri maupun tindakan tindakan anarkis yang dilakukan oleh Pencari keadilan. Dalam rangka upaya pencegahan terhadap Penghinaan terhadap Pengadilanempt of Court), pengusul mengajukan usulan Pengabdian Kepada Masyarakat di wilayah Palembang dengan mentargetkan Anak binaan pada Lembaga Pembinaan Khusus Anak Palembang sebagai sasaran penyuluhan hukum. Adapun penyuluhan hukum dan kampanye bertema : “Penyuluhan tentang pencegahan Contempt of Court di Lembaga Pembinaan Khusus Anak Palembang“.Kegiatan ini bertujuan untuk meningkatkan pemahaman kepada Andikpas LPKA Palembang tentang pencegahan Contempt Of Court agar terciptaya peradilan yang aman dan terjaga marwahnya . Pada penelitian tersebut didapat data bahwa pengetahuan dan kesadaran masyarakat pada umumnya dan Warga binaan pada khususnya tentang Contempt of Court masih kurang sehingga dirancang suatu pengabdian masyarakat yaitu berupa penyuluhan pencegahan Contempt of Court yang dilakukan di Lembaga pemasyarakatanBerdasarkan fakta di lapangan bahwa sosialisasi dan penyuluhan hukum yang di laksanakan di Lembaga Pembinaan Khusus Anak (LPKA) Palembang pada hari Selasa, 3 November 2020 dengan tema “Penyuluhan tentang pencegahan Contempt of Court di Lembaga Pembinaan Khusus Anak Palembang”, dapat dipahami bahwa Andikpas LPKA Palembang sangat membutuhkan tentang informasi akibat hukum jika melakukan Penghinaan terhadap pengadilan (Contempt of Court) . Penyuluhan dilaksanakan dengan 3 cara yaitu : Penyuluhan langsung kepada Andikpas LPKA, Penyuluhan virtual melaui video Pembelajaran dan Penyuluhan dengan membagikan alat kampanye pencegahan Contempt of Court seperti buku ajar, Sticker dan standing banner
Reconstruction to Prove Elements of Detrimental to State Finances in the Criminal Act of Corruption in Indonesia
AbstractState financial loss is one of the elements of the criminal act of corruption in Article 2 paragraph (1) and Article 3 of Law No. 31 of 1999 in conjunction with Law No. 20 of 2001 concerning the Eradication of Corruption Crime. The formulation of the element of detrimental to state finances in the two articles at the level of evidence still raises various obstacles because it is an obscure norm and is multi-interpretative. The results of the research show that proving that the element of detrimental to state finances in the criminal act of corruption is still understood as a formal crime so that the proof is sufficient by fulfilling the act and there is no need for consequences, whether potential loss of state finances or actual loss, the perpetrator can be convicted. After the Constitutional Court through its decision Number 25/PUU-XIV/2016 stated that the word "can" in Article 2 paragraph (1) and Article 3 is unconstitutional and has fundamentally changed the qualification of corruption to become a material crime, but in its application there are different views of law enforcement officials in proving that the element is detrimental to state finances, giving rise to legal uncertainty. In the upcoming reform of the criminal law of corruption, a more appropriate model of proof is to use the concept of state financial loss in the sense of the material crime. Through this concept, a new act can be seen as fulfilling the elements of a corruption crime on the condition that there must be an effect that the state loss is real and occurs (actual loss). The concept of proving state financial losses in a material sense ensures fair legal certainty.Keywords: Reconstruction, Evidence, State Financial Losses, Corruption Crime. Abstrak Kerugian keuangan negara merupakan salah satu unsur tindak pidana korupsi dalam Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3 Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 Jo Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Rumusan unsur merugikan keuangan negara pada kedua pasal tersebut dalam tataran pembuktian masih menimbulkan berbagai hambatan karena merupakan norma kabur dan bersifat multi tafsir. Hasil penelitian menunjukan, meskipun Mahkamah Konstitusi dalam putusannya Nomor 25/PUU-XIV/2016 telah menyatakan kata “dapat” pada kedua pasal tersebut inkonstitusional, telah merubah secara mendasar tindak pidana korupsi menjadi tindak pidana materiel, namun dalam penerapannya terdapat ketidakseragaman pandangan aparat penegak hukum dalam membuktikan unsur tersebut sehingga telah menimbukan ketidakpastian hukum. Model pembuktian yang lebih tepat adalah menggunakan konsep kerugian keuangan negara dalam arti tindak pidana materiel. Melalui konsep ini, suatu perbuatan baru bisa dipandang memenuhi unsur tindak pidana korupsi dengan syarat harus adanya akibat bahwa kerugian negara benar-benar nyata dan terjadi (actual loss). Konsep pembuktian kerugian keuangan negara dalam arti materiel lebih menjamin kepastian hukum yang adil.Kata Kunci: Rekonstruksi, Pembuktian, Kerugian Keuangan Negara, Tindak Pidana Korupsi.АннотацияФинансовые убытки государства являются одним из элементов коррупции в пункте (1) статьи 2 и в статье 3 Закона № 31 от 1999 г. в сочетании с Законом № 20 от 2001 г. Об Искоренении коррупционных преступлений. Расположение элементов, наносящих ущерб государственным финансам, в двух статьях на уровне доказательств по-прежнему создает различные препятствия, поскольку эта норма расплывчата и имеет множество толкований. Результаты исследования показывают, что доказательства элементов, которые наносят ущерб государственным финансам в преступном акте коррупции, по-прежнему понимаются как формальное преступление, так что доказательства являются достаточными путем совершения действия, и нет необходимости в последствиях, будь то потенциальный ущерб государственных финансов или фактических ущерб, виновный может быть осужден. После того, как Конституционный суд через его решение № 25/PUU-XIV/2016 заявил, что слово «может» в статье 2 (1) и статьи 3 является неконституционным и коренным образом изменил квалификацию коррупции в материальное преступление, но в естественном применении существуют различные точки зрения сотрудников правоохранительных органов в доказательстве того, что эти элементы наносят ущерб государственным финансам , вызывая юридическую неопределенность. В рамках предстоящей реформы уголовного законодательства о коррупции более подходящей моделью доказательства является использование концепции финансовых потерь государства в смысле материального преступления. В рамках этой концепции новый закон может рассматриваться как выполнение элементов преступного коррупционного деяния при условии существования реальных и возникающих потерь государства (фактическая потеря).Ключевые Слова: Реконструкция, Доказательства, Финансовые Потери Государства, Коррупционная Преступност
PRAKTIK PERSIDANGAN ONLINE PADA MASA PANDEMI COVID-19 DI WILAYAH KEJAKSAAN NEGERI PRABUMULIH
Pandemi COVID-19 mengakibatkan penyesuaian pola persidangan yang dilaksanakan secara online sehingga menimbulkan pro dan kontra karena persidangan online belum diatur di dalam KUHAP. Hal yang paling krusial adalah terkait pembuktian untuk menemukan kebenaran materiil melalui alat-alat bukti yang diajukan di persidangan. Isu yang dibahas dalam dalam penelitian ini adalah bagaimana praktik pembuktian pidana pada persidangan online di masa pandemic COVID-19 di wilayah hukum Prabumulih serta bagaimana kekuatan pembuktiannya. Jenis penelitian tesis ini bersifat empiris dengan pendekatan yuridis empiris melalui pendekatan perundang-undangan dan pendekatan kasus.Dari penelitian diperoleh kesimpulan bahwa praktik pembuktian dalam persidangan online adalah pemeriksaan Saksi dan Ahli dilakukan secara online melalui kantor penutut umum. Keterangan terdakwa didengarkan dari tempat ia ditahan. Alat bukti surat diserahkan oleh penuntut umum kepada hakim sebelum dibacakan secara online. Legalitas dan kekuatan alat bukti tersebut sama dengan yang diajukan pada sidang yang dilakukan secara offline karena diajukan ke persidangan secara sah oleh Penuntut Umum dengan memenuhi syarat alat bukti yang ditentukan dalam KUHAP
ANALISIS TANGGUNG JAWAB PIDANA PADA PELAKU TINDAK PIDANA PERCOBAAN ABORSI YANG MELIBATKAN JASA OKNUM DOKTER (STUDI PUTUSAN NO. 1106/PID.SUS/2018/PN.PLG)
Abortion is a problem that has violated ethics, laws and religions of various parties. Based on this, the problems of the thesis included the following aspects: (1) the judges considerations of imposing criminal sanctions on individual doctors, (2) criminal responsibility, (3) the perspective of medical ethics in conducting attempted abortion in the Decision No. 1106/Pid Sus/2018/PN.Plg. and (4) regulating abortion in the future The research method used was juridical normative (legal research). The results of the research showed that in imposing criminal sanctions, the judges considered juridical decisions more than non-juridical ones, criminal responsibility in which individual doctors conducted attempted abortion in the Decision No 1106/Pid Sus/2018/PN Plg had the elements of dualist view which fulfilled subjective and objective clements, regarding the ethical perspective of medical profession towards the crime of committing attempted abortion in the Decision No. 1106 Pid Sus 2018 PN Plg, the individual doctors had violated the code of ethics and doctor's oath, regarding eriminal-abortion laws in the future, it is necessary to reform criminal law with the policy-oriented approach as well as the value-onented approach. Keywords:Criminal Responsibility, Attempted Abortion, Medical Profession Code Of Ethic