17 research outputs found

    An analysis of tourist carbon footprint in Indonesia – The case of D.I. Yogyakarta

    Get PDF
    Tourism is one of Indonesia’s largest economic sectors contributing significantly to the republic’s current development . However, there is a price to pay for developing tourism, namely, the increased generation of CO2 produced by touris and tourism activities which can lead to climate change. To gauge the extent to which this is happening in the country a field study was conducted in D.I. Yogyakarta to determine the amount of carbon produced by individual tourists through tourism activities, and to map the amount of carbon produced by tourists at a tourist destination. The results showed that a) of the total amount of 1,218,416.05 kg of CO2 produced by tourists in the Province of Yogyakarta about 45 percent or 542,971.48 kg CO2 was produced by foreign tourists as compared to 55 percent or 675,444.57 kg CO2 produced by domestic tourists; b) accommodation air conditioning was the biggest carbon contributor with respect to domestic tourists; c) at 5,728.17 kg of CO2 domestic tourists dominated the amount of transportation carbon produced during their stay in D.I. Yogyakarta; and d) the greatest amount of carbon, viz. 236,648.7 kg or 20% of the total CO2 generated by tourists was at the heritage tourism sites

    KESESUAIAN KEBERADAAN RUMAH TIDAK LAYAK HUNI (RTLH) TERHADAP TATA RUANG WILAYAH DI KOTA YOGYAKARTA

    Get PDF
    Residence is one of the basic rights of every person, meaning that every citizen has the right to reside and got a decent living environment. But in reality, not everyone can get a place to stay that is livable. This has been, is, and will became always a problem for communities and governments in developing residential areas with proper environmental quality. Therefore, this paper presents the results of research that aims to: (1) identification and mapping out where residence were un-inhabitable (RTLH); (2) analysis of the suitability of the location RTLH the spatial plan; and (3) analysis RTLH handling, to formulate strategies based on spatial policy. The study was conducted in the city of Yogyakarta, is based on a spatial approach using secondary data, data analysis using quantitative and qualitative descriptive methode. The results showed that the number of RTLH in Yogyakarta until the year 2014 as a whole is 3,304 residences, or 3.55 percent of the total number of residences (92 965 pieces), spread over 14 districts and 45 villages. Judging spatial, the majority (65.63%) RTLH is in a residential zone, while others (34.37%) RTLH are in non-residential zone. RTLH in non-residential zone, 13.09 percent are in protected areas, namely in the zone of green open space (RTH) of 9.42 percent, and 3.67 percent in the zones of nature reserves and cultural heritage. The remaining 21.28 percent RTLH contained in non-residential area of cultivation. RTLH handling can be done by way of demolition, relocation, land acquisition, as well as indemnity. RTLH for priority handling should be done in a protected area. Efforts that can be implemented to overcome the problems RTLH and slums, is to provide support for policy and program strategies appropriate, integrated and comprehensive

    Pengaruh Urbanisasi Terhadap Penurunan Kemiskinan di Indonesia

    Get PDF
    Urbanization and poverty are two important aspects closely linked to sustainable development goals. Urbanization in Indonesia is still far from improving migrant welfare as well as their destination regions. Every 1% growth of urbanization in Indonesia can only increase 4% of GDP per capita. Low economic benefits resulted from urbanization in Indonesia merely shift rural poor to become urban poor. The purpose of this study was to analyze the effect of urbanization on poverty reduction in Indonesia, both in the regional aggregate and at the rural and urban levels as the origin and destination regions of urbanization. This study used secondary data of population and poverty from Population Census (SP), the Inter-Census Population Survey (SUPAS), and the National Socio-Economic Survey (SUSENAS). Data analysis was performed using regionalization techniques, Primacy Index, Lorenz Curve, Geographic Information System (GIS), and simple linear regression. The results showed that the rate of urbanization had a positive relationship with per capita income and the population of urban poor, but had a negative relationship with the population of rural poor. A unit increase in urban population variable percentage would increase the average GDP/capita variable by 0,466. This would be followed by an increase in the average urban poor population variable by 0,447 and a reduction in the average rural poor population variable by 0,705

    Ketahanan Pangan Berkelanjutan di Kabupaten Sukoharjo

    No full text
    Abstrak Kabupaten Sukoharjo merupakan kota satelit yang memberi daya dukung bagi kota utamanya (Kota Solo). Pembangunan Kawasan Solo Baru dan Kartasuro sebagai kota satelit mandiri dengan konsep permukiman yang didukung oleh ketersediaan fasilitas penunjang akan berimbas pada perubahan pemanfaatan lahan. Kabupaten Sukoharjo sebagai salah satu lumbung beras nasional justru perlu diperhatikan dan dijaga. Keberadaan lahan pertanian (pangan) di Kabupaten Sukoharjo menjadi terancam oleh intensitas pembangunan kota yang mengarah pada alih fungsi lahan non terbangun (lahan pertanian) menjadi terbangun. Penelitian ini bertujuan: (1) menganalisis kebutuhan dan ketersediaan pangan, (2) menganalisis daya dukung (Carrying Capacity) lahan pertanian dalam mendukung ketahanan pangan, dan (3) melakukan estimasi kebutuhan lahan pertanian pangan di Kabupaten Sukoharjo. Sebesar 44,16% (20.617 ha) lahan di Sukoharjo diperuntukkan untuk sawah. Daya dukung pangan secara keseluruhan di Kabupaten Sukoharjo mampu tercukupi ditunjukkan dengan nilai 1,62 yang berarti bahwa kebutuhan pangan mampu dicukupi dengan luas lahan pertanian dan produksi padi yang dihasilkan saat ini. Kebutuhan lahan pertanian pangan berkelanjutan (KLP2B) menurut kecamatan di Kabupaten Sukoharjo yang masih belum dapat dipenuhi kebutuhan pangan di wilayahnya adalah Kecamatan Kartasura. Hingga 20 tahun ke depan (2031), KLP2B yang tinggi di Kabupaten Sukoharjo masih berada di Kecamatan Grogol, Kecamatan Kartosuro, Kecamatan Mojolaban dan Kecamatan Sukoharjo. Kata kunci: ketahanan pangan, daya dukung, pembangunan wilayah   Abstract Sukoharjo Regency is a satellite city that provides support for its main city (Solo City). The development of Solo Baru and Kartasuro areas as self-contained satellite cities with the concept of settlements supported by the availability of supporting facilities will impact on land use change. Sukoharjo Regency as one of the national rice granary precisely needs to be considered and maintained. The existence of agricultural land (food) in Sukoharjo Regency becomes threatened by the intensity of urban development that leads to the conversion of non-built land (agricultural land) to be built. This study aims to: (1) analyze the need and availability of food, (2) analyze the carrying capacity of agricultural land in supporting food security, and (3) estimate the needs of food agriculture land in Sukoharjo Regency. A total of 44.16% (20,617 ha) of land in Sukoharjo is reserved for rice fields. The food carrying capacity in Sukoharjo Regency as a whole is sufficiently indicated by a value of 1.62 which means that food needs can be satisfied with the existing area of agricultural land and rice production. The need for sustainable agricultural land (KLP2B) in Sukoharjo Regency that has not been fulfilled by the needs of food in its area is Kartasura District. Until the next 20 years (2031), high KLP2B in Sukoharjo Regency is still in Grogol District, Kartosuro District, Mojolaban District and Sukoharjo District. Keywords: food security, carrying capacity, regional developmen

    Informasi Spasial Pewilayahan dan Sejarah Nama Kampung Kota Yogyakarta

    No full text
    Sejarah pemaknaan perkampungan di Kota Yogyakarta dapat diidentifikasi berdasarkan keahlian abdi dalem kraton dan tempat tinggal prajurit kraton, masing-masing berjumlah 38 dan 12 nama perkampungan. Regionalisasi perkampungan di Kota Yogyakarta yang dilakukan berupa pengelompokkan perkampungan berdasarkan keahlian abdi dalem kraton, tempat tinggal prajurit kraton, serta kondisi nama dalem (rumah) pangeran dan bangsawan. Keterbukaan informasi di era industrialisasi 4.0 memiliki peran yang sangat penting dan dapat dimanfaatkan untuk menyebarluaskan pengetahuan nilai-nilai budaya maupun sejarah suatu tempat. Manfaat dari media online salah satunya adalah menyimpan informasi sejarah kampung, lokasi, foto, dan landmark dari Kampung di Kota Yogyakarta secara digital dan mudah diakses dari manapun. Informasi spasial pewilayahan dan pemaknaan sejarah nama kampung di Kota Yogyakarta yang disebarluaskan melalui berbagai media dapat meningkatkan pengetahuan dan pemahaman masyarakat terhadap sejarah maupun budaya yang tersirat dalam kampung

    KETAHANAN PANGAN BERKELANJUTAN DI KABUPATEN SUKOHARJO

    No full text
    Kabupaten Sukoharjo merupakan kota satelit yang memberi daya dukung bagi kota utamanya (Kota Solo). Pembangunan Kawasan Solo Baru dan Kartasuro sebagai kota satelit mandiri dengan konsep permukiman yang didukung oleh ketersediaan fasilitas penunjang akan berimbas pada perubahan pemanfaatan lahan. Kabupaten Sukoharjo sebagai salah satu lumbung beras nasional justru perlu diperhatikan dan dijaga. Keberadaan lahan pertanian (pangan) di Kabupaten Sukoharjo menjadi terancam oleh intensitas pembangunan kota yang mengarah pada alih fungsi lahan non terbangun (lahan pertanian) menjadi terbangun. Penelitian ini bertujuan: (1) menganalisis kebutuhan dan ketersediaan pangan, (2) menganalisis daya dukung (Carrying Capacity) lahan pertanian dalam mendukung ketahanan pangan, dan (3) melakukan estimasi kebutuhan lahan pertanian pangan di Kabupaten Sukoharjo. Sebesar 44,16% (20.617 ha) lahan di Sukoharjo diperuntukkan untuk sawah. Daya dukung pangan secara keseluruhan di Kabupaten Sukoharjo mampu tercukupi ditunjukkan dengan nilai 1,62 yang berarti bahwa kebutuhan pangan mampu dicukupi dengan luas lahan pertanian dan produksi padi yang dihasilkan saat ini. Kebutuhan lahan pertanian pangan berkelanjutan (KLP2B) menurut kecamatan di Kabupaten Sukoharjo yang masih belum dapat dipenuhi kebutuhan pangan di wilayahnya adalah Kecamatan Kartasura. Hingga 20 tahun ke depan (2031), KLP2B yang tinggi di Kabupaten Sukoharjo masih berada di Kecamatan Grogol, Kecamatan Kartosuro, Kecamatan Mojolaban dan Kecamatan Sukoharjo

    Pemetaan dan Perencanaan Sanitasi Kota Yogyakarta

    No full text
    Millenium Development Goals (MDGs) menempatkan manusia sebagai fokus utama pembangunan yang mencakup kelestarian lingkungan. Salah satu target yang harus dicapai adalah akses berkelanjutan terhadap air minum layak serta akses terhadap sanitasi layak di perkotaan dan perdesaan. Salah satu upaya untuk meningkatkan akses terhadap sanitasi layak Kota Yogyakarta mengadopsi Program Percepatan Pembangunan Sanitasi Pemukiman (PPSP). Tujuan pertama dari penelitian ini adalah memetakan area beresiko berdasarkan tingkat resiko sanitasi. Proses penentuan area beresiko terhadap kondisi sanitasi dilakukan melalui Indeks Resiko (Risk Index), skoring dan pembobotan, analisis frekuensi (mean weighted) serta diskusi kelompok terfokus (FGD). Penetapan area beresiko dilakukan berdasarkan kriteria: (1) Kepadatan penduduk, (2) Tingkat kemiskinan, (3) Kelurahan yang berada di sepanjang aliran sungai, dan (4) Daerah yang terkena banjir/terdapat genangan air. Tujuan kedua adalah menyusun perencanaan yang sesuai terutama untuk area yang sangat beresiko dan beresiko. Data yang dikumpulkan dalam penelitian ini meliputi data primer dan data sekunder. Data primer diperoleh dari hasil wawancara (interview) dengan masyarakat Kota Yogyakarta dan, pengamatan/observasi lapangan. Selain data primer, juga dikumpulkan data sekunder yaitu data yang diperoleh dari instansi pemerintahan yang terkait dengan sanitasi. Data-data yang diperoleh selanjutnya diolah dengan menggunakan software SPSS dan ArcGiss dan dianalisis dengan menggunakan pendekatan deskriptif kuantitatif serta analisis spasial untuk mengetahui kondisi sanitasi wilayah secara keruangan. Hasil dari penelitian ini adalah area beresiko sanitasi Kota Yogyakarta yang dibagi ke dalam 3 area beresiko antara lain area beresiko sangat tinggi meliputi Kelurahan Klutren, Ngampilan, Matrijeron dan Prenggan. Area beresiko sedang antara lain Kelurahan Kricak, Brontokusuman, Bumijo, Pringgokusuman, dan Sorosutan. Area kurang beresiko antara lain Kelurahan Kadipaten. Berdasarkan kondisi ini, selanjutnya disusun program-program perencanaan pembangunan sanitasi khusunya untuk wilayah-wilayah yang sangat beresiko tinggi dan beresiko sedang sehingga dapat mengurangi keberadaan kawasan kumuh perkotaan serta mewujudkan kondisi sanitasi yang sehat di masa mendatang

    Pemanfaatan Analisis Spasial Hot Spot (Getis Ord Gi*) untuk Pemetaan Klaster Industri di Pulau Jawa dengan Memanfaatkan Sistem Informasi Geografi

    No full text
    Perkembangan industri di Indonesi terus mengalami kemajuan yang ditandai dengan semakin banyaknya jumlah industri dan semakin meningkatnya kontribusi bagi pertumbuhan ekonomi. Dalam perkembangannya, banyak industri yang didirikan dan dikembangkan dalam satu kawasan tertentu membentuk klaster agar memiliki keuntungan aglomerasi dan komplementaritas produksi. Klaster-klaster industri di Indonesia mulai menyebar ke berbagai daerah, terutama di Pulau Jawa. Oleh karena itu, diperlukan kajian dinamika pola perkembangan dan pergeseran spasial klaster industri untuk mengidentifikasi dan melakukan pemetaan klaster industri. Pemetaan klaster industri dilakukan dengan dukungan analisis spasial memanfaatkan analisis spasial Hot Spot (Getis Ord Gi*) dari Sistem Informasi Geografi. Tujuan dari penelitian ini adalah: (1) Penentuan Klaster Industri di Pulau Jawa melalui Pemanfaatan Analisis Spasial Hot Spot (Getis Ord Gi*), (2) Melakukan analisis perbandingan pola spasial klaster industri menurut klasifikasi industri, dan (3) Menganalisis pergeseran spasial klaster industri di Pulau Jawa selama 20 tahun terakhir. Penelitian ini menggunakan metode penelitian kuantitatif dengan data sekunder sebagai data utama dan dianalisis secara deskriptif. Hasil penelitian ini utamanya diharapkan mampu melihat pola spasial industri dan klaster industri serta pergeserannya dalam 20 tahun terakhir, sehingga dapat dimanfaatkan oleh para akademisi, praktisi, pemerintah, swasta maupun masyarakat dalam mengembangankan industri
    corecore