28 research outputs found

    ANALISIS PRIORITAS WILAYAH PEGEMBANGAN INDUSTRI PENGOLAHAN PERIKANAN DI KABUPATEN PANGKEP

    Get PDF
    Penelitian  ini  bertujuan  menentukan  prioritas wilayah pengembangan industri pengolahan perikanan di Kabupaten Pangkep guna meningkatkan nilai tambah sektor perikanan dengan menentukan faktor – faktor pendukung pengembangan industri pengolahan perikanan di Kabupaten Pangkep dan Menentukan prioritas wilayah pengembangan industri pengolahan perikanan di Kabupaten Pangkep.  Metode yang digunakan dalam pengumpulan data adalah metode observasi dan wawancara mendalam menggunakan kuesioner yang selanjutnya dianalisis dengan  menggunakan alat analisis yang terdiri dari analisis Delphi yang digunakan untuk menentukan faktor-faktor pendukung pengembangan industri pengolahan perikanan, serta analisis AHP dan multi kriteria untuk menentukan prioritas wilayah pengembangan industri pengolahan perikanan.  Berdasarkan penelitian dan analisis yang dilakukan  maka diperoleh hasil yaitu faktor – faktor yang menentukan pengembangan industri pengolahan perikanan di Kabupaten Pangkep adalah : ketersediaan dan keberlanjutan bahan baku perikanan; aksesibilitas industri pengolahan perikanan; ketersediaan industri pengolahan perikanan; ketersediaan prasarana perikanan; ketersediaan tenaga kerja yaitu pengolah ikan; layanan jaringan listrik terhadap industri perikanan; layanan jaringan air bersih terhadap industri perikanan serta jumlah nelayan sebagai pendukung industri perikanan.  Berdasarkan kriteria dari faktor tersebut, maka diperoleh 3 kecamatan dari 13 kecamatan yang paling potensial untuk wilayah pengembangan industri pengolahan perikanan.  Kecamatan potensial tersebut adalah Kecamatan Labakkang (skor 2,81),  Kecamatan Ma’rang (skor 2,767), dan Kecamatan Pangkajene (Skor 2,688)

    Kajian Ekonomi Manfaat Hutan Mangrove di Kabupaten Barru

    Get PDF
    Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menyelidiki potensi hutan mangrove, untuk mengetahui nilai ekonomi total hutan mangrove, dan untuk mengetahui alokasi alternatif yang paling efisien penggunaan hutan mangrove. Penelitian ini menggunakan analisis deskriptif kuantitatif. Data diperoleh dengan menggunakan teknik survei dan wawancara langsung kepada responden. Analisis yang digunakan adalah analisis biaya manfaat dengan nilai sekarang bersih dan rasio biaya manfaat. Hasil penelitian mengungkapkan bahwa nilai ekonomi total hutan mangrove per tahun di Kabupaten Barru adalah Rp. 26.406.030.836. Mereka terdiri dari nilai manfaat langsung menangkap ikan, udang, kepiting, kerang, kelelawar, penggunaan hutan dan bibit bakau sebanyak Rp. 7.424.768.156. Manfaat tidak langsung adalah manfaat hutan mangrove sebagai pemecah gelombang dan nursery ground sebesar Rp. 18.697.233.200. Manfaat opsional konservasi dan farmasi adalah Rp. 368.580.223, dan manfaat eksistensial adalah Rp. 284.029.480. Hasil analisis alternatif penggunaan hutan mangrove menggunakan analisis biaya manfaat dengan tingkat diskon dari 12% dan 20% menunjukkan bahwa alternatif yang paling efisien secara sosial, ekonomi, dan ekologis adalah penggunaan alternatif III, yaitu tetap kondisi luas monokultur, sedangkan tambak polikultur dikonversi ke daerah yang luas hutan mangrove, sehingga menjadi 1.576,12 ha. Manfaat dari nilai sekarang (NPV) sebesar Rp. 41973889970 dengan BCR 9,58% (tingkat diskonto 12%), dan NPV adalah Rp. 39308673421 dengan BCR 7,01% (tingkat diskonto 20%).Kata kunci: Mangrove Forest, Total Nilai Ekonomi, penggunaan Alternatif.The aims of the research are to investigate the potency of mangrove forest, to find out the total economic value of mangrove forest, and to find out the most efficient alternative allocation of the use of mangrove forest. The research use descriptive quantitative analysis.  The data were obtained by using survey technique and direct interview to respondents.  The analysis used was cost benefit analysis with net present value and benefit cost ratio. The results of the research reveal that total economic value of mangrove forest per year in Barru Regency is Rp. 26.406.030.836.  They consist of the value of direct benefit catching fish, shrimps, crabs, shells, bats, the use of woods and mangrove seedling as much as Rp. 7.424.768.156.  The indirect benefit is the benefit of mangrove forest as wave breaker and nursery ground as much as Rp. 18.697.233.200.  The optional benefit of conservation and pharmacy is Rp. 368.580.223, and existential benefit is Rp. 284.029.480.  The results of alternative analysis of the use of mangrove forest using cost benefit analysis with a discount rate of 12% and 20% indicates that the most efficient alternative socially, economically, and ecologically is the use of alternative III, i.e. the remain condition of widespread monoculture, while pond polyculture is converted to a vast area of mangrove forest, so it becomes  1.576,12 ha.  The benefit of the present value (NPV) is Rp. 41,973,889,970 with BCR 9,58% (discount rate 12%), and NPV is Rp. 39,308,673,421 with BCR 7,01% (discount rate 20%).Keywords : Mangrove Forest, Total Economic Value,  Alternative use

    ANALISIS SEKTOR UNGGULAN BERDASARKAN POTENSI WILAYAH DI KABUPATEN BANTAENG SULAWESI SELATAN

    Get PDF
    Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui klasifikasi pertumbuhan sektor ekonomi di Kabupaten Bantaeng, untuk mengetahui sektor basis dan non basis pada pertumbuhan ekonomi wilayah Kabupaten Bantaeng,  dan untuk menentukan sektor ekonomi  unggulan di Kabupaten Bantaeng.  Metode yang digunakan adalah analisis Klassen Typology dan analisis  Location Quotient (LQ).  Berdasarkan hasil analisis yang diperoleh menunjukkan bahwa klasifikasi pertumbuhan sektor ekonomi di Kabupaten Bantaeng yang termasuk dalam sektor maju dan berkembang cepat  adalah Sektor Pertanian, Kehutanan dan Perikanan, Sektor Konstruksi, Sektor Administrasi Pemerintahan, Pertahanan dan Jamsos Wajib, Sektor Jasa Pendidikan dan Sektor Jasa Lainnya.  Sektor  maju tetapi tertekan yaitu Pertambangan dan Penggalian, Industri Pengolahan, serta Pengadaan Listrik dan Gas. Sektor potensial dan masih dapat berkembang yaitu sektor Perdagangan Besar dan Eceran, Real Estate serta Jasa Kesehatan dan Kegiatan Sosial.   Sektor relatif tertinggal yaitu Pengadaan Air, Pengelolaan Sampah, Limbah dan Daur Ulang, Transportasi dan Pergudangan, Penyediaan Akomodasi dan Makan Minum, Informasi dan Komunikasi, Jasa Keuangan dan Asuransi serta Jasa Perusahaan.   Yang termasuk dalam sektor basis di Kabupaten Bantaeng adalah sektor Pertanian, Kehutanan dan Perikanan, Real Estate dan Administrasi Pemeritahan, Pertahanan dan Jaminan Sosial Wajib.  Sektor unggulan di Kabupaten Bantaeng adalah sektor Pertanian, Kehutanan dan Perikanan utamanya sub sektor Perkebunan serta Sektor Administrasi dan Jasa

    STUDI PEMETAAN SEBARAN DAN LUASAN USAHA TAMBAK GARAM RAKYAT DI WILAYAH PESISIR KABUPATEN JENEPONTO PROVINSI SULAWESI SELATAN

    Get PDF
    Konsumsi garam yang terus meningkat tidak sejalan dengan pertambahan luas lahan tambak garam yang ada. Usaha tambak garam ini dilakukan mulai dari usaha kecil, menengah hingga berskala besar tetapi kebutuhan garam nasional masih belumterpenuhi. Luas lokasi usaha  tambak garam sangat menentukan jumlah produksi garam yang didukung dengan faktor lingkungan yang seimbang. Luas lahan tambak garam dari tahun ke tahun terjadi perubahan yang dinamis dan perubahan ini adalah suatu perubahan yang mengarah pada luas sebaran lahan tambak garam oleh karena itu diperlukan suatu analisis tentang perubahan luas lokasi tambak garam tersebut dan metode untuk mengetahui luas tambak garam adalah dengan menggunakan citra satelit Sentinel 2A dimana metode ini dapat diketahui perubahan luas lahan tambak garam (Jaya, 2010). Penelitian bertujuan mengetahui potensi dan membandingkan luas tambak garam di Wilayah Pesisir Kabupaten Jeneponto Sulawesi Selatan. Metode penelitian menggunakan citra satelit Sentinel 2A yang dianalisis berdasarkan survey pengambilan koordinat. Hasil Analisis menunjukkan bahwa pesisir pesisir yang ada di Kabupaten Jeneponto yang memiliki luas potensi tambak garam yaitu Kecamatan Bangkala 434,16 Ha, Kecamatan Arungkeke 256,59 Ha, Kecamatan Tamalatea 104,72 Ha, dan Kecamatan Bangkala Barat 31,83 Ha.  Konsumsi garam yang terus meningkat tidak sejalan dengan pertambahan luas lahan tambak garam yang ada. Usaha tambak garam ini dilakukan mulai dari usaha kecil, menengah hingga berskala besar tetapi kebutuhan garam nasional masih belumterpenuhi. Luas lokasi usaha  tambak garam sangat menentukan jumlah produksi garam yang didukung dengan faktor lingkungan yang seimbang. Luas lahan tambak garam dari tahun ke tahun terjadi perubahan yang dinamis dan perubahan ini adalah suatu perubahan yang mengarah pada luas sebaran lahan tambak garam oleh karena itu diperlukan suatu analisis tentang perubahan luas lokasi tambak garam tersebut dan metode untuk mengetahui luas tambak garam adalah dengan menggunakan citra satelit Sentinel 2A dimana metode ini dapat diketahui perubahan luas lahan tambak garam (Jaya, 2010). Penelitian bertujuan mengetahui potensi dan membandingkan luas tambak garam di Wilayah Pesisir Kabupaten Jeneponto Sulawesi Selatan. Metode penelitian menggunakan citra satelit Sentinel 2A yang dianalisis berdasarkan survey pengambilan koordinat. Hasil Analisis menunjukkan bahwa pesisir pesisir yang ada di Kabupaten Jeneponto yang memiliki luas potensi tambak garam yaitu Kecamatan Bangkala 434,16 Ha, Kecamatan Arungkeke 256,59 Ha, Kecamatan Tamalatea 104,72 Ha, dan Kecamatan Bangkala Barat 31,83 Ha

    STRATEGI PENGEMBANGAN INDUSTRI PELABUHAN PERIKANAN NUSANTARA (PPN) UNTIA DI KOTA MAKASSAR

    Get PDF
    Kondisi PPN Untia yang tidak optimal saat ini perlu penerapan strategi bagi pengembangannya agar PPN ini mampu menjadi ikon industri perikanan berbasis pelabuhan di Kota Makassar dan memberikan kontribusi sesuai harapan pemerintah yaitu menjadi pusat pertumbuhan ekonomi perikanan termasuk industri dan jasa – jasa terkait dengan usaha perikanan.  Tujuan Penelitian ini adalah memaparkan kondisi terkini kegiatan perikanan yang ada di PPN Untia, mengidentifikasi faktor – faktor pengelolaan yang berpengaruh signifikan terhadap pengembangan industri perikanan di PPN Untia, merumuskan strategi pengembangan industri perikanan PPN Untia. Metode yang digunakan adalah metode deskriptif kualitatif dengan cara observasi dan analisis SWOT melalui penggalian informasi secara mendalam terhadap responden serta FGD. Hasil yang diperoleh adalah Fasilitas yang mendukung operasional pelabuhan untia sudah baik tapi belum beroperasi secara maksimal.  Fasilitas yang paling mendasar bagi nelayan yaitu Air, BBM dan Pabrik Es belum berjalan sehingga menjadi kendala bagi kapal yang singgah di pelabuhan Untia, dimana kapal tersebut membawa bahan baku untuk industri perikanan yang ada di pelabuhan untia.  Penetapan kelas pelabuhan yang belum jelas dan hanya dikelola oleh 3 orang yaitu 1 kepala Unit dan 2 Kepala Sub Unit menyebabkan pengelolaan PPN Untia tidak mampu untuk optimal sebagaimana PPN yang lain di Indonesia.  Mendukung Pengusaha Industri untuk menjalankan kegiatan industri perikanan dengan membuat kebijakan untuk mendatangkan kapal perikanan lebih banyak adalah prioritas strategi yang paling penting untuk menumbuhkan industri perikanan yang ada di pelabuhan untia

    ANALISIS NILAI TUKAR NELAYAN BAGAN PERAHU (NTN) DI KECAMATAN POLEWALI KABUPATEN POLEWALI MANDAR SULAWESI BARAT

    Get PDF
    Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui tingkat kesejahteraan nelayan bagan perahu dengan menggunakan analisis Nilai Tukar Nelayan dan mengetahui faktor – faktor yang mempengaruhi indeks nilai tukar nelayan bagan perahu.Penelitian ini dilaksanakan selama tiga bulan yaitu pada bulan Januari sampai Maret dan dilaksanakan di Kecamatan Polewali, Kabupaten Polewali Mandar, Sulawesi Barat.Metode yang digunakan dalam penelitian adalah menggunakan metode deskriptif kuantitatif.Teknik pengambilan sampel pada penelitian ini adalah teknik sampel sensus yang berjumlah 69 orang nelayan bagan perahu. Teknik pengumpulan data dilakukan dengan cara wawancara, observasi, kuesioner dan studi pustaka. Analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisis nilai tukar nelayan (NTN).Hasil penelitian menunjukkan Tingkat kesejahteraan nelayan Bagan Perahu dapat dibagi menjadi dua kategori. Pertama, Nilai NTN Punggawa tergolong dalam kategori sejahtera dengan nilai NTN di atas 100 Kedua, Nilai NTN ABK nelayan bagan perahu tergolong dalam kategori kurang sejahtera dengan nilai NTN di bawah 100. Adapun faktor- faktor yang mempengaruhi indeks nilai tukar nelayan bagan perahu adalah keterbatasan pengetahuan dan teknologi penangkapan, pemerintah belum mampu memberikan informasi yang berhubungan dengan kegiatan penangkapan, tidak adanya penetapan harga ikan dan tidak adanya sumbangsi pendapatan dari istri nelayan

    PENGARUH KINERJA PENYULUH PERIKANAN TERHADAP PENGEMBANGAN USAHA BUDIDAYA UDANG WINDU (Penaeus monodon) PADA PELAKU UTAMA DI KABUPATEN MAROS PROVINSI SULAWESI SELATAN

    Get PDF
    Usaha budidaya Udang Windu (Penaeus monodon) di daerah Maros mengalami berbagai permasalahan, diantaranya sistem budidaya masih tradisional, pelaku utama kebanyakan tidak melakukan seleksi benur dengan baik, dan pelaku utama belum menguasai cara-cara budidaya yang baik. Keberhasilan pembangunan pada bidang perikanan terkendala permasalahan tersebut, juga diduga dipengaruhi oleh kinerja penyuluh perikanan yang belum optimal. Tujuan penelitian adalah untuk mendeskripsikan kinerja penyuluh perikanan; dan menganalisis pengaruh informasi pasar, teknologi dan permodalan masing-masing terhadap pengembangan usaha budidaya udang windu (P. monodon) di Kabupaten Maros. Hasil penelitian kinerja penyuluh perikanan menunjukkan bahwa rata rata pendapat penyuluh perikanan dan pelaku utama terhadap kinerja penyuluh perikanan tinggi, informasi pasar 3,5 (sedang), teknologi 4,3 (tinggi) dan permodalan 3,5 (sedang). Menurut pendapat penyuluh dan pelaku utama keberhasilan pelaku utama rata rata 3,5 (sedang). Pengaruh informasi pasar, teknologi dan permodalan masing masing berpengaruh terhadap pengembangan usaha budidaya Udang Windu (P. monodon) dilihat nilai t hitung lebih besar dari t tabel, t hitung informasi pasar 7,638, teknologi 3,506 dan permodalan 5,597 sedangkan t tabel 1,659.Usaha budidaya Udang Windu (Penaeus monodon) di daerah Maros mengalami berbagai permasalahan, diantaranya sistem budidaya masih tradisional, pelaku utama kebanyakan tidak melakukan seleksi benur dengan baik, dan pelaku utama belum menguasai cara-cara budidaya yang baik. Keberhasilan pembangunan pada bidang perikanan terkendala permasalahan tersebut, juga diduga dipengaruhi oleh kinerja penyuluh perikanan yang belum optimal. Tujuan penelitian adalah untuk mendeskripsikan kinerja penyuluh perikanan; dan menganalisis pengaruh informasi pasar, teknologi dan permodalan masing-masing terhadap pengembangan usaha budidaya udang windu (P. monodon) di Kabupaten Maros. Hasil penelitian kinerja penyuluh perikanan menunjukkan bahwa rata rata pendapat penyuluh perikanan dan pelaku utama terhadap kinerja penyuluh perikanan tinggi, informasi pasar 3,5 (sedang), teknologi 4,3 (tinggi) dan permodalan 3,5 (sedang). Menurut pendapat penyuluh dan pelaku utama keberhasilan pelaku utama rata rata 3,5 (sedang). Pengaruh informasi pasar, teknologi dan permodalan masing masing berpengaruh terhadap pengembangan usaha budidaya Udang Windu (P. monodon) dilihat nilai t hitung lebih besar dari t tabel, t hitung informasi pasar 7,638, teknologi 3,506 dan permodalan 5,597 sedangkan t tabel 1,659

    Development Strategy of Babana Mangrove Ecotourism in Larompong Selatan District, Luwu Regency

    Get PDF
    The mangrove ecosystem in the Babana area has the potential for developing ecotourism activities. This study aims to identify the potential of the Babana mangrove ecotourism in Larompong Selatan District, and to analyze the Babana mangrove ecotourism development strategy in Larompong Selatan District. This research was conducted from May to July 2022 and was carried out in the Babana mangrove ecotourism area, Larompong Selatan District, Luwu Regency, South Sulawesi Province. Data collection was carried out through field surveys and interviews using a questionnaire. The method used in this study was SWOT analysis. The results of this study indicate that the potential for Babana mangrove ecotourism is the uniqueness of the mangrove ecosystem lies in the presence of a rainbow bridge which is the main attraction for Babana mangrove ecotourism. The Babana mangrove ecotourism development strategy has great opportunities but also has weaknesses. The strategy for developing the Babana mangrove ecotourism in Larompong Selatan District, Luwu Regency, is to create complex concepts related to the development of mangrove ecotourism by the interests of visitors and involve the community to participate in it, improve facilities and infrastructure and increase human resources for the development of mangrove ecotourism, increase the attractiveness and cleanliness and safety of ecotourism mangroves, and optimizing promotion and interpretation for visitors

    The Status of Diversity of Coral Reefs and Reef Fish Supporting Marine Tourism on Kodingareng Keke Island, Makassar City

    Get PDF
    This study aimed to determine the potential diversity of the coral reef and coral reef fish ecosystems of Kodingareng Keke Island and the development strategies and priorities of Kodingareng Keke Island as a marine tourism destination. This research used purposive sampling with 50 respondents. The coral data collection method was Line Intercept Transect (LIT), with a transect line length of 50 meters and depth of 5 meters. The process used to obtain coral reef fish data was the Underwater Visual Census (UVC). The analysis showed that the average coral ranged from 63,6% to 77,8%. The average abundance of fish at 3 observation stations, namely Station I (17,65%), station II (14,78%) and Station III (18,67%), thus it can be concluded that this location is feasible for snorkelling and diving tourism. The priority programs for the development of the marine tourism area of Kodingareng Keke Island include increasing supervision, creating periodical Object Development Master Plans (RIPO), implementing local regulations on the use of coastal resources, involving local communities, the general public and the government in nature conservation activities, setting labour standards and improving the quality of local human resources through training
    corecore