21 research outputs found

    ANALISIS KOMBINASI PENGGUNAAN OBAT PADA PASIEN JANTUNG KORONER DI RUMAH SAKIT UNIVERSITAS HASANUDDIN MAKASSAR

    Get PDF
    Penyakit jantung koroner (PJK) merupakan penyebab kematian utama di dunia, sementara dislipidemia merupakan faktor risiko tersering dari penyakit jantung koroner. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui analisis kombinasi obat serta profil pengobatan yang digunakan pada pasien jantung koroner di RS Universitas Hasanuddin Makassar.  Jenis penelitian ini adalah penelitian observasional dengan menggunakan metode cross sectional yang bersifat deskriptif. Pengumpulan data dilakukan pada bulan Maret 2021-Mei 2021 di RS Universitas Hasanuddin Makassar. Hasil penelitian berdasarkan karakteristik pasien PJK menunjukkan jumlah pasien laki-laki lebih banyak dibandingkan perempuan yaitu sebesar 76 pasien (58,5%), jumlah pasien terbanyak pada kelompok usia 61-80 tahun sebesar 73 pasien (56,2%), dan pasien dilihat dari lama hari rawatnya 1-7 hari sebanyak 107 pasien (82,3%). Penyakit dislipidemia merupakan penyakit penyerta terbanyak yang ditemukan pada 109 pasien (83,3%). Kombinasi obat yang paling sering diberikan pada pasien jantung koroner yaitu antihipertensi, antitrombotik, penurun kolesterol (40,76%), serta ditemukan beberapa obat yang berinteraksi  secara farmakodinamik

    HUBUNGAN TEKANAN DARAH SISTOLIK DENGAN KADAR HBA1C PADA PASIEN HIPERTENSI DAN DIABETES MELLITUS TYPE 2 DI RS UNHAS MAKASSAR

    Get PDF
    Hipertensi adalah komorbiditas umum pada pasien diabetes mellitus, dengan prevalensi hingga dua pertiga dari populasi. Hipertensi ditemukan 1,5 sampai 3 kali lebih sering pada penderita diabetes mellitus. Penelitian ini bertujuan untuk  mengetahui hubungan antara tekanan darah sistolik dengan kadar HbA1c pada pasien hipertensi dan diabetes mellitus di Instalasi Rawat Inap RS UNHAS Makassar periode 2019-2020. Penelitian ini merupakan penelitian non eksperimental yang dilakukan dengan metode deskriptif menggunakan data retrospektif berupa penelusuran data rekam medis pasien hipertensi dan diabetes mellitus yang memilki data pemeriksaan tekanan darah dan kadar HbA1c. Subjek penelitian dipilih dari populasi terjangkau yang memenuhi kriteria inklusi yakni sebanyak 56 sampel. Pada penelitian ini didapatkan distribusi frekuensi jenis kelamin meliputi 35 orang (62,5%) perempuan dan 21 orang (37,5%) laki-laki. Distribusi frekuensi jumlah kelompok usia terbanyak yakni pada rentang 45-64 tahun yakni sebanyak 30 orang (56,6%), usia >65 tahun sebanyak 17 orang (30,4%), dan usia 26-45 tahun sebanyak 9 orang (16,1%). Distribusi frekuensi tekanan darah sistolik pada pasien hipertensi dengan diabetes mellitus tipe 2 dengan tekanan darah normal <140 mmhg yakni sebanyak 21 orang (41,1%), dan pasien dengan tekanan darah >140 mmhg yakni sebanyak 33 orang (58,9%).  Distribusi frekuensi kadar HbA1c dengan kategori baik <6,5 yakni 4 orang (7,1%), kategori sedang 6,5-8 yakni 17 orang (30,4%),  dan kategori buruk >8 yakni sebanyak 35 orang (62,5%).  Hasil analisis data menggunakan rumus chi-square dengan uji alternatif fisher exact melalui cross tabulasi dengan tingkat kesalahan (alpha) 0,05 didapatkan P value = 0,789 (P>0.05), maka dapat disimpulkan bahwa tidak ada hubungan yang signifikan antara tekanan darah sistolik dengan kadar HbA1c pada pasien hipertensi dan diabetes mellitus tipe 2

    Korelasi Gambaran Ultrasonografi Arteri Karotis dan Aorta pada Foto Thorax Posisi PA dengan Renal Resistive Index pada Pasien Hipertensi

    Get PDF
    Penelitian ini bertujuan untuk menilai korelasi ketebalan tunika intima-media arteri karotis pada ultrasonografi, kalsifikasi dan dilatasi pada arkus aorta pada foto thorax posisi PA dengan nilai renal resistive index menggunakan ultrasonografi duplex pada pasien hipertensi. Penelitian ini dilaksanakan di Departemen Radiologi Rumah Sakit Umum Pemerintah Wahidin Sudirohusodo Makassar dan Rumah Sakit Pendidikan Universitas Hasanuddin Makassar mulai bulan Desember 2019 sampai bulan Maret 2020. Sampel sebanyak 60 pasien dengan usia ? 18 tahun. Metode yang digunakan adalah uji korelasi Spearman rho. Hasil penelitian menujukkan bahwa ada korelasi signifikan (p 0,05) antara kalsifikasi aorta p=0,0001 dan nilai CIMT p=0,0001 dengan nilai index resistive renal bilateral. Terdapat korelasi signifikan antara pasien hipertensi riwayat dislipidemia yang disertai penebalan tunika intima media arteri karotis p = 0,025, kalsifikasi pada arkus aorta p=0,001 dan dilatasi aorta p=0,003 dengan nilai index resistive renal bilateral. Tidak ada korelasi antara dilatasi aorta dengan dengan nilai index resistive renal bilateral

    KAJIAN PENGGUNAAN CAPTOPRIL DAN RAMIPRIL TERHADAP PARAMETER FUNGSI GINJAL PADA PASIEN CHF

    Get PDF
    Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji penggunaan inhibitor ACE (Angiotensin Converting Enzyme) yaitu captopril dan ramipril pada pasien CHF berdasarkan outcome terhadap parameter fungsi ginjal di bagian PJT (Pusat Jantung Terpadu) RSUP Dr. Wahidin Sudirohusodo Makassar. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui efek perubahan inhibitor ACE terhadap parameter fungsi ginjal yang terjadi pada pasien CHF. Desain penelitian yang digunakan adalah penelitian observasional non eksperimen dengan rancangan deskriptif-analitik, yang mencapai jumlah 40 orang sampel. Data yang dianalisis secara deskriptif dan statistik berupa parameter fungsi ginjal.  Hasil penelitian menunjukkan bahwa pasien yang menggunakan inhibitor ACE kerja singkat yaitu captopril (6,25mg/8jam) adalah 20 orang (50%) dan yang mengunakan inhibitor kerja lama yaitu ramipril (5mg/24jam) sebanyak 20 orang (50%). Data parameter fungsi ginjal dianalisis dengan menggunakan SPSS 23 melalui tes distribusi normalitas dengan menggunakan uji Normality Kolmogorov-Smirnov yang diikuti dengan uji t-tes sampel berpasangan dan uji Multivariate One Way ANOVA. Hasil menunjukkan adanya perbedaan nilai sebelum dan sesudah terapi. Kejadian peningkatan fungsi ginjal lebih besar pada data serum kreatinin p<0,05 dibandingkan pada data ureum p>0,05 pada kedua kelompok terap

    Studi Pengaruh Dosis Dan Lama Penggunaan Terapi Aminoglikosida Terhadap Fungsi Ginjal

    Get PDF
    Penelitian ini bertujuan untuk menganalisa pengaruh penggunaan aminoglikosida, yaitu streptomisin, gentamisin, dan kanamisin, terhadap fungsi ginjal pasien rawat inap di RSUP Dr. Wahidin Sudirohusodo Makassar dengan melihat parameter fungsi ginjal yaitu kadar kreatinin dan ureum serum pasien. Metode untuk penelitian ini adalah penelitian observasional  non eksperimen dengan rancangan deskriptif-analitik. Pengambilan sampel dilakukan secara retrospektif, dan didapatkan 32 orang sampel yang memenuhi kriteria inklusi.Berdasarkan uji statistik One Way ANOVA kadar kreatinin dan ureum dari ketiga kelompok obat tersebut tidak menunjukkan perbedaan yang signifikan nilai (Ur, p=0.133 > 0,05; Cr, p=0.246 > 0,05). Dalam penelitian ini terlihat bahwa pada dosis penggunaan sekali sehari pada streptomisin dan kanamisin tidak terjadi peningkatan kadar kreatinin pasien, sedangkan pada kelompok pasien gentamisin yang diterapi dengan dosis terbagi (tiap 12 jam) terjadi peningkatan kadar kreatinin. Untuk lama penggunaan terapi, pada streptomisin hanya kelompok streptomisin kategori D (penggunaan terapi >31 hari) dan semua kelompok terapi gentamisin yang menunjukkan peningkatan kreatinin. Hal ini tampaknya diakibatkan oleh sifat nefrotoksik dari aminoglikosida meningkat seiring dengan lama terapi dan penggunaan dosis terbagi. Selain itu gentamisin juga merupakan jenis aminoglikosida yang lebih toksik dibandingkan dengan streptomisin dan kanamisin karena memiliki sifat kationik yang lebih tinggi.Kata kunci :  Aminoglikosida, streptomisin, gentamisin, kanamisin, kadar kreatinin, kadar ureum, fungsi ginjal

    Renal Resistive Index in Hypertensive Patients: One Centre Study

    Get PDF
    Introduction: Hypertension is a leading cause of kidney dysfunction. Renal resistive index (RRI) was an index to evaluate arterial compliance and/or resistance, reflecting the reduction of kidney function and microalbuminuria. We investigated the relationship of RRI in hypertensive patients to detect kidney dysfunction early detection. Methods: This was a cross-sectional study at Wahidin Sudirohusodo hospital in Juni-November 2022. All hypertensive patient was evaluated for RRI. RRI was examined with intrarenal doppler ultrasound, and a cut-off ≥0.70 were used. Results: This study included 61 subjects. Thirty-five subjects were female, and 26 subjects were male. 90.2% of subjects were below 60 years. eGFR level was 90,29±25,19 in RRI <0,7 and 64,91±31,79 in RRI >0,7. Our study found there was a significant difference between anti-hypertensive treatment and eGFR level with the RRI group (P value <0.05). There was no significant difference in sex, age, proteinuria, and hypertension control status in both RRI groups. Conclusion: The renal resistive index is a useful marker for early renal dysfunction in hypertensive patients despite normal eGFR

    ANALISIS EFEKTIVITAS TERAPI PADA PASIEN ANEMIA GAGAL GINJAL HEMODIALISIS DI RSUP DR. WAHIDIN SUDIROHUSODO MAKASSAR

    Get PDF
    Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis efektivitas terapi anemia penggunaan EPO,PRC pada pasien gagal ginjal hemodialisis berdasarkan outcome terhadap parameter hematologi meliputi kadar RBC,Hgb,Hct,MCV,MCH,MCHC pasien selama rawat inap di RSUP Dr. Wahidin Sudirohusodo Makassar.Desain penelitian yang digunakan adalah penelitian prospektif dengan rancangan deskriptif. Pengambilan sampel dilakukan dengan teknik non-probability sampling dengan cara purposive sampling, yang mencapai jumlah 27 orang sampel. Data yang dianalisis secara deskriptif berupa parameter hematologi. Hasil penelitian menunjukkan terapi EPO efektif meningkatkan kadar RBC,Hgb,Hct dan MCV pada pasien anemia hemodialisis. Terapi PRC efektif meningkatkan kadar RBC,Hgb,Hct pada pasien anemia hemodialisis. Interaksi obat potensial bermakna yang terjadi antara EPO dengan obat lain yaitu antihipertensi golongan angiotensin receptor blocker

    ANALISIS EFEKTIVITAS DAN EFEK SAMPING PENGGUNAAN ANTIBIOTIK PADA PASIEN INFEKSI SALURAN KEMIH DI INSTALASI RAWAT INAP RSUP DR. WAHIDIN SUDIROHUSODO MAKASSAR

    Get PDF
    Infeksi saluran kemih dapat muncul sebagai beberapa sindrom yang terkait dengan respon inflamasi terhadap invasi mikroba dan dapat berkisar dari bakteriuria asimtomatik hingga pielonefritis dengan bakteremia atau sepsis. Pilihan lini pertama terapi antibiotik pada pasien infeksi saluran kemih adalah trimethoprim–sulfamethoxazole (TMP–SMX) dan atau golongan fluoroquinolone, lini kedua golongan nitrofurantion, dan lini ketiga golongan beta-laktam. Namun pada penelitian ini, antibiotik yang paling banyak digunakan adalah antibiotik beta-laktam golongan sefalosporin generasi ketiga yaitu ceftriaxone. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis efektivitas penggunaan obat antibiotik,interaksi antara obat antibiotik dengan obat lain, dan efek samping yang ditimbulkan dalam pemberian antibiotik pada pasien ISK dalam mengurangi infeksi pada pasien ISKdi RSUP Dr. Wahidin Sudirohusodo Makassar. Data yang diperoleh diuji deskriptif antara penggunaan antibiotik terhadap penurunan bakteri, WBC, dan neutrofil. Penggunaan dan dosis obat antibiotik pada pasien infeksi saluran kemih di instalasi rawat inap RSUP DR. Wahidin Sudirohusodo Makassar menunjukkan hasil yang efektif dalam mengurangi dan atau menyembuhkan infeksi saluran kemih. Efek samping yang terjadi setelah pemberian antibiotik ceftriaxone yaitu mual 9%, nyeri perut 4,5%, dan pemberian antibiotik ceftazidime mengalami diare 4,5%. Interaksi yang terjadi pada pemberia antibiotik yaitu antara ceftriaxon dan furosemid, Penggunaan ceftriaxone (sefalosporin) bersamaan dengan furosemid (diuretik) dapat meningkatkan konsentrasi plasma atau menurunkan klirens dari ceftriaxon. Manajemen yang sebaiknya dilakukan adalah memonitoring fungsi ginja

    KORELASI UKURAN KETEBALAN KORTEKS DAN RESISTIVE INDEX GINJAL BERDASARKAN PEMERIKSAAN ULTRASONOGRAFI PADA PASIEN HIDRONEFROSIS

    Get PDF
    Hidronefrosis dapat terjadi pada satu atau kedua ginjal yang menyebabkan aliran urine menjadi lemah dan mengganggu fungsi dari ginjal itu sendiri.Penelitian ini bertujuan mengetahui korelasi ketebalan korteks ginjal dan resistive index ginjal berdasarkan pemeriksaan ultrasonografi pada pasien hidronefrosis. Penelitian ini dilakukan di bagian Radiologi Rumah Sakit Umum Pusat Dr. Wahidin Sudirohusodo Makassar dari Mei sampai dengan Agustus 2018. Desain penelitian yang digunakan adalah observasional dengan rancangan potong lintang.Sampel penelitian sebanyak empat puluh orang yang memiliki klinis hidronefrosis. Pemeriksaan ultrasonografi grayscale terhadap pasien dilakukan untuk mengukur ketebalan korteks ginjal yang dilakukan di bagian tengah ginjal pada potongan longitudinal dan diukur dari puncak piramid tegak lurus ke arah kapsul, kemudian dilanjutkan pemeriksaan ultrasonografi doppler di arteri interlobar atau arcuata pada pole superior, median, dan inferior ginjal untuk menilai  renal resistiveindex. Data dianalisis dengan analisis statistik melalui uji korelasi Spearman dan Pearson.Hasil penelitian menunjukkan bahwa rerata sampel penelitian mengalami hidronefrosis derajat ringan. Mean tebal korteks ginjal kanan pada penelitian ini 0,9 cm (0,26-1,79cm) dan ginjal kiri 0,84 cm (0,22-1,57cm). Terdapat korelasi yang bermakna antara derajat hidronefrosis dengan ketebalan korteks ginjal kanan dan kiri dengan arah korelasi negatif (p=0,0001). Kecenderungan peningkatan derajat hidronefrosis, meningkatkan nilai resistive index meskipun secara statistik tidak bermakna. Tidak terdapat korelasi antara ketebalan korteks dan resistive index  ginjal berdasarkan pemeriksaan ultrasonografi.   Hydronephrosis can occur in one or both kidneys which causes the flow of urine to become weak and interfere with the function of the kidney. This research aimed to investigate the correlation between the cortex thickness and the resistive index of kidney based on the ultrasonography examination in hydronephrosis patients.  The research was conducted in Radiology Department of Dr. Wahidin Sudirohusodo General Hospital, Makassar from May through August 2018. The research design used was observational using the cross sectional design. The total samples comprised 40 samples with clinical hydronephrosis. The examination of ultrasonography grayscale was carried out in order to measure the cortex thickness of the kidneys in the central parts of kidneys and the longitudinal cut was measured from the pyramid top straight down the capsule, then it was continued with the Doppler ultrasonography examination in the interlobare artery or arcute at superior pole, median and inferior kidney in order to evaluate the renal resistive index. The data were analyzed using the statistical analysis through the correlation tests of Spearman and Pearson. The research results indicated that the mean research samples had experienced the light hydronephrosis. The mean cortex thickness of the right kidney was 0.9 cm (0.26 - 1.79 cm), and that of the left kidnet was 0.84 cm (0.22 - 1.57 cm). There was a significant correlation between the degree of hydronephrosis and the cortex thickness of the right and the left kidneys, with the direction of the negative correlation (p=0.0001). There was a tendency of the increase of hydronephrosis degree to increase the value of resistive index, though statistically it was insignificant. There was no correlation between the cortex thickness and the resistive index of kidney based on the ultrasonogrphy examination. &nbsp

    Korelasi resistive index ginjal dengan proteinuria pada pasien diabetes melitus tipe 2

    Get PDF
    Tujuan: Penelitian ini bertujuan mengetahui korelasi resistive index ginjal dengan proteinuria pada pasien diabetes melitus tipe 2. Metode: Penelitian ini dilakukan di Bagian Radiologi RS Pendidikan Universitas Hasanuddin Makassar pada Maret s/d Juni 2019. Penelitian ini adalah penelitian deskriptif dengan kajian potong lintang. Pertama dilakukan penilaian proteinuria, perhitungan eGFR, dan melakukan ultrasonografi Doppler sehingga mendapatkan nilai resistive index. Analisis data statistik melalui uji korelasi Spearman. Sampel penelitian ini sebanyak 82 sampel dengan 41 sampel disertai proteinuria dan dengan 41 sampel tanpa disertai proteinuria. Hasil: Penelitian menunjukkan korelasi kuat antara resistive index ginjal dengan proteinuria (r=0,449 dan r=0,551) dan memiliki hubungan yang signifikan (p<0,0001). Untuk korelasi resistive index ginjal dengan eGFR terdapat korelasi yang kuat (r=0,604 dan r=0,666) serta hubungan yang signifikan (p<0,0001). Dan terdapat korelasi yang cukup antara proteinuria dengan eGFR serta memiliki hubungan yang signifikan (r=0,449; p<0,0001). Simpulan: Semakin tinggi kadar proteinuria, maka semakin tinggi nilai resistive index ginjal pada pasien diabetes melitus tipe 2. Terdapat hubungan yang cukup kuat antara resistive index ginjal kanan dan kiri dengan eGFR pada pasien diabetes melitus tipe 2. Dimana semakin tinggi nilai resistive index ginjal, maka semakin rendah nilai eGFR (semakin tinggi stadium PGK)
    corecore