25 research outputs found

    Gambang: Cikal Bakal Karawitan Bali Buah Karya I Wayan Sinti (Resensi Buku)

    Get PDF
    Buku yang berjudul Gambang: Cikal Bakal Karawitan Bali, merupakan hasil penelitian yang telah dilakukan selama bertahun-tahun oleh penulisnya, yaitu Bapak I Wayan Sinti. Buku setebal 160 halaman ini diterbitkan oleh TSPBOOKS yang beralamat di Jl. Tukad Irawadi 1A, Denpasar tahun 2011. Bagian depan buku diawali dengan persembahan kepada istri tercinta dan motto penulisnya “tidak kenal tidak cinta, kemauan yang kuat menembus gunung”, dilanjutkan dengan kata pengantar penerbit, kata pengantar penulis, sambutan Wali Kota Denpasar, sambutan Rektor ISI Denpasar, dan etnomusikolog dari Amerika Serikat, yaitu Michael Tenzer. Buku ini terdiri dari delapan bab yang secara umum membahas mengenai sejarah gambang, keberadaannya, pupuh, vokal tembang Bali, hubungan vokal dan instrumental, cara mengaitkan gambang dengan vokal, cara pembuatan gambang, serta cara membaca notasi gambang, dilengkapi dengan daftar pustaka, foto- foto, DVD dan CD. Sampul depan, diisi dengan foto penulis yang sedang memainkan salah satu gangsa gambang sedangkan pada sampul belakang diisi dengan riwayat hidup dari penulisnya dilengkapi dengan tiga foto masing-masing foto penulis dengan Ida Pedanda Made Sidemen, foto penulis dengan Guru Gede Rai Jadi, dan foto sekaa yang sedang menabuh gambang

    Jenis-Jenis Kendang Bali

    Get PDF
    Istilah kendang telah disebut-sebut dalam piagam Jawa Kuno yang berangka tahun 821 dan 850 masehi dengan istilah padahi dan muraba. Dalam Prasasti Bebetin, sebuah prasasti Bali yang berasal dari abad ke-9, kendang disebut dengan istilah papadaha. Berbicara mengenai kendang dalam karawitan Bali, Asnawa dalam master tesisnya mengemukakan ada enam jenis kendang, yaitu kendang mebarung, kendang cedugan, kendang gupekan, kendang krumpungan, kendang nyalah dan kendang angklung. Sedangkan Sukerta juga mengemukakan adanya enam jenis kendang yaitu kendang bedug, kendang cedugan, kendang centungan, kendang gupekan, kendang krumpungan dan kendang penyalah. Namun, berdasarkan penelitian yang penulis lakukan ternyata ditemukan adanya sembilan jenis kendang dalam karawitan Bali. Adapun kesembilan jenis kendang yang dimaksud adalah sebagai di bawah ini, diurut dari ukuran yang terbesar hingga terkecil. Kendang mebarung merupakan jenis kendang dengan ukuran yang terbesar dalam karawitan Bali. Ukuran kendang ini bisa mencapai panjang 185-200cm dengan diameter antara 74-80cm. Kendang mebarung merupakan salah satu instrumen dari barungan Gamelan Angklung (selendro empat nada). Jenis kendang ini hanya dapat ditemukan di satu daerah saja yakni di Kabupaten Jembrana. Kendang tambur merupakan jenis kendang dengan ukuran terbesar kedua. Kendang tambur dapat dijumpai di Kabupaten Karangasem dan dipergunakan untuk dua hal yaitu sebagai pelengkap dalam konteks upacara Dewa Yadnya dan juga untuk mengiringi prajurit kerajaan yang akan berangkat ke medan perang. Kendang tambur ini mempunyai ukuran panjang sekitar 72cm, diameter tebokan besar 54cm dan diameter tebokan kecil 44cm. Cara mempermainkan kendang ini dengan mempergunakan dua buah panggul dengan memukul kedua belah sisinya. Kendang bedug atau bebedug adalah salah satu jenis kendang yang mirip bentuk dan cara permainannya dengan kendang tambur, akan tetapi memiliki ukuran yang lebih kecil. Jenis kendang ini merupakan salah satu instrumen dari barungan gamelan Gong Beri. Jenis gamelan ini dipergunakan untuk musik tarian sakral Baris Cina. Perangkat barungan gamelan Gong Beri hanya dapat ditemukan di Desa Renon dan Banjar Semawang, Denpasar Selatan. Kendang cedugan adalah kendang yang dalam teknik permainannya menggunakan panggul. Oleh karena itu, kendang ini juga disebut dengan nama kendang pepanggulan. Kendang pepanggulan ini mempunyai ukuran panjang antara 69-72cm, garis tengah tebokan besar 29-32cm dan garis tengah tebokan kecil 22-26cm. Jenis kendang ini biasanya dipergunakan pada beberapa perangkat gamelan, misalnya Gong Kebyar, Baleganjur, dan Gong Gede. Kendang pepanggulan dimainkan secara berpasangan yang terdiri dari kendang lanang dan wadon. Kendang gupekan merupakan salah satu jenis kendang yang cara memainkannya adalah dengan memukul memakai tangan. Kendang ini digunakan untuk mengiringi gamelan Gong Kebyar. Kendang ini selain dapat disajikan dengan berpasangan dapat juga dimainkan secara mandiri atau kendang tunggal. Kendang wadon mempunyai ukuran panjang antara 67-72cm, diameter tebokan besar 27-32cm dan diameter tebokan kecil 21-25cm. Kendang lanang mempunyai ukuran serta suaranya lebih kecil dari kendang wadon. Ukuran panjangnya antara 65-70cm, diameter tebokan besar 26-29cm dan diameter tebokan kecil 19-22cm. Kendang bebarongan adalah kendang yang secara khusus terdapat dalam barungan gamelan Bebarongan. Jenis kendang ini mempunyai panjang sekitar 62-65cm, garis tengah tebokan besar 26-28cm dan garis tengah tebokan kecil sekitar 21,5-23cm. Kendang bebarongan ini termasuk dalam ukuran kendang yang tanggung (nyalah:Bahasa Bali), karena ukurannya yang tidak terlalu besar maupun tidak terlalu kecil. Ada dua cara untuk memainkan kendang bebarongan, yakni bisa dengan mempergunakan panggul dan bisa juga dimainkan tanpa menggunakan panggul. Kendang krumpungan, kata krumpungan berasal dari kata pung yaitu menirukan suara kendang tersebut (onomatopea atau peniruan bunyi). Jenis kendang ini dipukul hanya menggunakan tangan. Kendang ini biasanya dipergunakan untuk mengiringi gamelan Pegambuhan dan gamelan Palegongan. Kendang krumpungan ini selalu dimainkan berpasangan yaitu kendang lanang dan kendang wadon. Kendang wadon mempunyai diameter tebokan besar 24,5-25cm, panjang antara 55-57cm dan diameter tebokan kecil 20cm. Sedangkan kendang lanang mempunyai diameter tebokan besar 23,5-24cm, panjang antara 55-57cm, diameter tebokan kecil 19,5-20cm. Kendang batel mempunyai banyak kesamaan dengan kendang krumpungan baik dari segi bentuk maupun cara memainkannya. Adapun perbedaan antara kendang batel dengan kendang krumpungan adalah kendang batel memiliki ukuran yang sedikit lebih kecil dari kendang krumpungan. Selain itu, kendang batel biasanya dipergunakan untuk mengiringi gamelan Pengarjan dan gamelan Batel Wayang. Kendang wadon mempunyai diameter tebokan besar 23-24cm, panjang 52-55cm dan diameter tebokan kecil 19cm. Sedangkan kendang lanang mempunyai diameter tebokan besar 22-22,5cm, panjang 52-55cm dan diameter tebokan kecil 18cm. Kendang angklung merupakan jenis kendang terkecil dari semua jenis kendang di Bali. Kendang ini mempunyai ukuran panjang antara 25-27cm, diameter tebokan besar 12-17cm dan diameter tebokan kecil antara 7-12cm. Karena ukuran dari kendang angklung ini kecil, maka mempergunakan panggul yang kecil pula. Kendang ini ditabuh secara berpasangan dengan teknik memukul dan menutup hanya dengan satu permukaan saja yaitu pada permukaan yang lebih besar (tebokan besar)

    Sekilas tentang Gamelan Gambang Kromong

    Get PDF
    Gambang Kromong merupakan salah satu jenis perangkat musik yang berasal dari DKI Jakarta. Perangkat musik ini dapat digolongkan ke dalam perangkat gamelan. Sebutan Gambang Kromong di ambil dari nama dua buah alat perkusi, yaitu gambang dan kromong. Bilahan Gambang yang berjumlah 18 buah, biasa terbuat dari kayu suangking, huru batu, atau kayu jenis lain yang empuk bunyinya bila dipukul. Kromong biasanya dibuat dari perunggu atau besi, berjumlah 10 buah (sepuluh pencon).Perangkat musik ini merupakan sebuah produk hasil akulturasi dari budaya Tionghoa dengan pribumi. Hal ini bisa dilihat pada instrumen-instrumen yang digunakan pada perangkat musik Gambang Kromong. Secara umum, Gambang Kromong disajikan pada pesta-pesta rakyat, perkawinan, pesta tahun baru Cina, serta pada acara Tapekong (tempat peribadatan Cina). Jumlah pemain Gambang Kromong terdiri dari 8 sampai 12 orang pemusik ditambah beberapa penyanyi, penari, bahkan pemain lenong. Gambang Kromong telah mengalami banyak perkembangan pada repertoar lagunya. Hingga sekarang terdapat tiga jenis lagu yang disajikan pada musik Gambang Kromong, yakni lagu Pobin, lagu Dalem, dan lagu sayur

    Musik Tradisi Pulau Nusa Tenggara Timur

    Get PDF
    Pengantar Tidak bisa dipungkiri bahwa Indonesia menyimpan berbagai macam kekayaan kesenian. Tiap pulau dari Sabang hingga Merauke memiliki keunikannya tersendiri. Salah satu pulau di bagian timur Indonesia yang memiliki alat musik yang khas terdapat di Pulau Nusa Tenggara Timur. Jenis alat musik yang cukup dikenal di daerah tersebut adalah alat musik Sasando. Perangkat musik ini tergolong dalam perangkat dawai petik. Hal ini disebabkan karena perangkat ini mempergunakan dawai yang dimainkan dengan cara dipetik. Walaupun dalam permainan musik ini menggunakan vokal, akan tetapi tetap digolongkan dalam perangkat dawai petik sebab kategori vokal nanti akan menjelaskan musik-musik yang memang khusus suara manusia saja tanpa melibatkan instrumen dan jenis-jenis instrumen yang mengiringi dan menjadi bingkai dari lagu vokal itu.[1] Perangkat Musik Sasando Perangkat musik Sasando merupakan salah satu jenis alat musik yang cukup dikenal di Pulau Nusa Tenggara Timur. Setidaknya ada dua jenis Sasando, yaitu yang berasal dari daerah Rote dan Sabu.[2] Kedua daerah tersebut merupakan daerah yang kering dan gersang. Hanya bisa ditumbuhi oleh beberapa jenis tumbuhan saja, salah satunya adalah pohon lontar. Oleh masyarakat setempat, pohon lontar banyak dimanfaatkan. Buahnya dibuat gula dan minuman, daunnya dapat dibuat sebagai atap, tempayan, ember, dan juga salah satu yang menarik adalah dibuat sebagai resonator dari Sasando itu sendiri. Daun lontar yang telah cukup berumur akan dimasak untuk membuat resonator Sasando. Daun akan diikatkan satu sama lainnya. Rangkaian dari daun-daun tersebut akan menghasilkan bentuk menyerupai separo bejana yang tengahnya menggembung seperti periuk. Di tengah rangkaian daun tersebut akan dipasangkan sebuah bambu atau kayu yang panjangnya sekitar 40cm, dengan diameter selitar 11cm, dan dipasangkan dengan sepuluh hingga 12 dawai. Agar dapat berbunyi, setiap dawai diberikan senda yang terbuat dari kayu atau bambu dan berfungsi untuk menegangkan dan mengangkat dawai

    KEBERADAAN TARI PAKARENA DI SULAWESI SELATAN

    Get PDF
    Pendahuluan Keberadaan suatu jenis kesenian di Indonesia nampaknya tidak bisa dijauhkan dari cerita-cerita mitologi. Hal tersebut juga dapat dilihat pada sebuah kesenian dari daerah Sulawesi Selatan yakni tari Pakarena. Awal kemunculannya tidak dapat diperkirakan dengan pasti sebab hanya terdapat cerita lisan yang diwariskan secara turun-temurun. Konon diceritakan bahwa tari Pakarena berawal dari kisah mitos perpisahan penghuni boting langi (negeri kahyangan) dengan penghuni lino (bumi) zaman dulu. Sebelum perpisahan, boting langi mengajarkan penghuni lino mengenai tata cara hidup, bercocok tanam, beternak hingga cara berburu lewat gerakan-gerakan tangan, badan dan kaki. Gerakan-gerakan inilah yang kemudian menjadi tarian ritual saat penduduk lino menyampaikan rasa syukurnya kepada penghuni boting langi. Cerita lain menyebutkan bahwa tari Pakarena dihubungkan dengan legenda Tumanurung ri Tamalate sebagai Somba (raja) pertama kerajaan Gowa. Dikisahkan bahwa Pakarena pertama kali muncul bersamaan dengan Putri Tumanurung ri Tamalate. Menurut kisah, Pakarena merupakan pengiring dan pelengkap kebesaran Tumanurung ri Tamalate. Sebelum menjadi bentuk tari Pakarena yang sekarang, dahulu disebut dengan nama sere jaga yang berfungsi sebagai bagian upacara ritual sebelum menanam padi dan usai menanam padi. Para penari memegang seikat padi pilihan (padi bibit yang telah dipilih melalui upacara) yang dianggap dewi padi. Kemudian tari sere jaga berkembang menjadi bagian upacara ritual yang dilakukan semalam suntuk. Upacara tersebut antara lain: ammata-mata jene, ammata-mata benteng, dan lain-lain. Taripun mengalami perkembangan dalam bentuk penyajian dan piranti. Padi yang dipegang sekarang diganti dengan kipas. Pertunjukan Tari Pakarena Secara garis besar pelaku pertunjukan tari Pakarena dapat dibagi menjadi dua, yakni penari dengan pemusik. Penari memperagakan gerakan yang sangat lembut dan halus yang dianggap sebagai cerminan wanita Sulawesi Selatan. Tarian ini dibagi ke dalam 12 babak, akan tetapi sangat sulit untuk mengidentifikasi pembabakan tersebut karena gerakannya tetap lembut dan monoton. Adapun beberapa gerakan yang menjadi penanda dalam tarian tersebut seperti gerakan pada posisi duduk adalah sebagai pertanda awal dan akhir dari tarian tersebut, dan ada gerakan berputar mengikuti arah jarum jam yang diibaratkan seperti siklus kehidupan manusia. Sementara gerakan naik turun, tak ubahnya cermin irama kehidupan. Aturan mainnya, seorang penari Pakarena tidak diperkenankan membuka matanya terlalu lebar. Demikian pula dengan gerakan kaki, tidak boleh diangkat terlalu tinggi. Tiap jenis tari Pakarena mempunyai pola iringan yang harus diketahui oleh penari dan pemusik. Penyusunan iringan ditentukan secara kreatif oleh seorang sutradara yang disebut Anrong Guru. Dalam hal gerak, penari berpatokan pada penari terdepan sebelah kanan Anrong Guru yang disebut Pauluang. Selain itu, judul dan jenis tari Pakarena sangat ditentukan oleh nyanyian dalam tari tersebut. Nyanyian tersebut disebut Lelle dan Dondo. Misalnya Lelle dan Dondo Samboritta hanya akan dibawakan pada tari Pakarena Samboritta. Selain itu ada juga Kelong atau nyanyian yang disajikan berdasarkan pilihan anrong guru. Jika melihat aksi dari pemusik tari Pakarena maka akan terlihat suatu sajian yang sangat kontradiktif dengan tari. Para pemusik akan bermain dengan sangat kencang dan keras. Hal tersebut sangat nampak pada pemain gendang yang menghentakkan alat musik membranofon dengan sangat energik dan bersemangat secara sepintas terlihat tidak ada kaitannya dengan tarian. Ini merupakan cerminan dari kaum pria masyarakat Sulawesi Selatan yang keras dan tegas. Pemain gendang adalah pemimpin dari kelompok musik ini karena ia yang menentukan irama dan tempo dari jalannya suatu lagu. Ada dua jenis pukulan yang dikenal dalam tabuhan Gendang. Pertama, adalah pukulan Gundrung, yaitu pukulan Gendang dengan menggunakan stik atau bambu yang terbuat dari tanduk kerbau. Kedua adalah pukulan tumbu yang dipukul hanya dengan tangan. Selain instrumen gendang, adapun beberapa instrumen lainnya pada kelompok musik ini adalah gong, katto-katto, dan puik-puik. Khusus untuk pemain puik-puik (sejenis alat musik tiup menyerupai preret), harus memiliki keahlian meniup secara terus menerus (circular breathing) atau disebut juga dengan a’mai lalang

    Musik Eksperimental: Angkep Wilang

    Get PDF
    Musik eksperimental sering dikatakan sebagai musik kontemporer atau musik yang berbeda dari konvensi musik tradisional. Perbedaannya, dalam musik eksperimental mengedepankan pengalaman auditif yang ‘tidak biasa’. Hal tersebut bisa dilihat dari bermacam elemen, seperti dari pemilihan alat, cara memainkan alat yang non-konvensional sehingga menghasilkan timbre yang tidak lazim, serta pola garap musik yang memfokuskan pada eksplorasi bunyidalam pembangun suara sehingga menghasilkan output yang kadangkala tidak familiar di telinga. Berpijak dari penjelasan mengenai musik eksperimental tersebut, timbul ketertarikan penulis untuk menciptakan sebuah karya musik kontemporer dengan mengadopsi salah satu rumus/sistem kerja matematika yaitu pencarian KPK (Kelipatan persekutuan terkecil), dengan menggunakan metode pohon faktor (faktorisasi prima) sebagai cara kerja dalam penciptaan karya musik eksperimental yang berjudul Angkep Wilang. Formulasi serta cara kerja aritmatika ini penulis transformasikan ke dalam media ansambel gamelan Bali, dengan memadukan dua jenis laras yang terdapat pada gamelan Bali yaitu laras pelog dan laras slendro. Jenis gamelan yang digunakan sebagai perwakilan dari laras pelog adalah Semar Pagulingan Saih Pitu, sedangkan untuk laras sle­ndro menggunakan gamelan Angklung Saih Lima. Metode penciptaan karya yang digunakan dalam komposisi musik ini mengacu pada konsep kekaryaan yang dikemukakan oleh Alma M. Hawkins,yaitu exploration, improvisation, dan forming.AbstractExperimental Music: Angkep Wilang. Experimental music is often said to be contemporary music or music that is different from traditional music conventions. The difference is that experimental music puts forward an 'unusual' auditive experience. This can be seen from various elements, such as the selection of instruments, unconventional ways of playing instruments that produce unusual timbres, and patterns of musical compositions that focus on sound exploration in sound construction to produce output that is sometimes unfamiliar to the ear. Based on this explanation of experimental music, the author's interest arose in creating a contemporary piece of music by adopting one of the mathematical formulas/work systems, namely the search for the LCM (least common multiple), using the factor tree method (prime factorisation) as a way of working in creation. An experimental piece of music is entitled Angkep Wilang. The writer transforms the formulation and the practice of working this arithmetic into a Balinese gamelan ensemble medium by combining the two types of tunings found in Balinese gamelan, namely the pelog tunings and the slendro tunings. The kind of gamelan used to represent the pelog tunings is Semar Pagulingan Saih Pitu, while for the slendro tunings, the gamelan Angklung Saih Lima is used. The numbers used in the search are 28 and 20; these two numbers are obtained through the media used to realise the concepts that have been designed. The work creation method used in this musical composition refers to the creative idea put forward by Alma M. Hawkins, namely exploration, improvisation, and forming.Keywords: Angkep Wilang; Experimental; LC
    corecore