10 research outputs found

    PENGETAHUAN, SIKAP DAN KESIAPAN MAHASISWA PROGRAM PROFESI NERS DALAM PENERAPAN EVIDENCE BASED PRACTICE

    Get PDF
    Kebutuhan perawat profesional dapat dicapai melalui program profesi ners yang merupakan bagian dari program pendidikan keperawatan, dimana didalamnya terjadi proses pembelajaran klinik untuk menciptakan perawat profesional yang kompeten. Salah satu peran perawat professional adalah terus mengupdate keilmuan dengan cara menelaah jurnal terbaru untuk mengekplorasi intervensi keperawatan terbaik bagi pasien sehingga mendapat hasil yang optimal. Mahasiswa program profesi ners pada saat jenjang pendidikan perkuliahan telah terlatih untuk menelaah kasus dengan menggunakan metode EBP, namun belum terdapat evaluasi terkait pemahaman mahasiswa terhadap metode tersebut serta penerapannya pada tatanan praktik klinik. Dengan demikian, penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi bagaimana pengetahuan, sikap dan kesiapan mahasiswa dalam penerapan evidence based practice (EBP) pada pasien kelolaan di stase keperawatan medikal bedah.Penelitian ini adalah penelitian kuantitatif. Sampel pada penelitian ini adalah mahasiswa program profesi ners yang sedang menjalankan praktik klinik dengan menggunakan teknik pengambilan sampel total sampling, yaitu sebanyak 120 responden. Instrumen yang digunakan adalah kuesioner Evidence Based Practice Questionnaire (EBPQ) dengan menggunakan analisis deskriptif (frekuensi, persentase, rata-rata, dll)Hasil penelitian menunjukan bahwa pengetahuan mahasiswa pada konsep Evidence based practice adalah baik sebanyak (68%), sebagian besar responden memiliki sikap yang positif (85%) dan lebih dari setengah responden mempunyai kesiapan yang cukup sebanyak (59%). Temuan hasil penelitian ini adalah penting untuk rekomendasi masukan terkait mengembangkan bahan ajar pada lingkup pendidikan keperawatan terkait praktik keperawatan dalam memberikan pelayanan terbaik untuk pasie

    MOTIVASI KADER KESEHATAN DALAM MENGKAJI SELF-CARE PADA PASIEN HIPERTENSI

    Get PDF
    Penyakit kardiovaskular yang menjadi penyebab utama kematian nomor satu di dunia adalah hipertensi. Hipertensi yang tidak terkontrol akan menyebabkan terjadinya komplikasi sehingga salah satu upaya untuk mencegahnya adalah dengan pengendalian hipertensi. Upaya yang dapat dilakukan yaitu dengan perawatan diri (self-care) hipertensi sehingga kualitas hidup dan derajat kesehatan pasien akan meningkat. Dalam pelaksanaannya, pengendalian hipertensi ini memerlukan keterlibatan unsur masyarakat, salah satunya kader. Agar kader mampu berperan serta dalam mendampingi dan mendukung pasien dalam self-care hipertensi, diperlukan adanya suatu kemampuan dan motivasi yang kuat untuk melaksanakannya. Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi motivasi kader dalam mengkaji self-care pasien hipertensi. Desain penelitian ini adalah deskriptif kuantitatif. Sampel pada penelitian ini adalah 37 orang  kader kesehatan yang didapatkan dengan menggunakan teknik purposive sampling dengan kriteria inklusi aktif sebagai kader. Pengumpulan data dilakukan menggunakan kuisioner motivasi. Analisis data menggunakan distribusi frekuensi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa motivasi kader dalam mengkaji self-care pasien hipertensi hampir setengahnya berada pada kategori tinggi dan sebagian besar berada pada kategori rendah. Dari hasil penelitian, dapat disimpulkan bahwa sebagian besari dari kader memiliki motivasi yang rendah dalam mengkaji self-care pasien hipertensi. Sehingga perlu adanya pelatihan khusus dari pihak puskesmas mengenai self-care pada pasien hipertensi. Kata Kunci: Hipertensi, kader kesehatan, motivasi, self-care Abstract Motivation of health care in assessing self-care in hypertension patients. Hypertension is one of the cardiovascular diseases that causes death number one. Uncontrolled hypertension will cause complications, so that efforts are needed to prevent it, one of which is by controlling hypertension. Control of hypertension can be done with self-care, so that it can improve the health status and quality of life of patients.In its implementation, controlling hypertension involves community elements, one of which is a health cadre. There needs to be strong motivation and ability  from cadres to be able to participate in helping and supporting patients in self-care. This study aimed to identify health cadre motivation in studying self-care for hypertensive patients. It used a descriptive quantitative approach. Participant consisted of 37 health cadre, acquired through purposuve sampling with inclusion criteria is active as cadre. Motivation was measured using a questionnaire. Data were analyzed using frequency distribution. The results showed that cadre motivation in studying self-care for hypertensive patients wa in the high category (48.6%) and in the low category (51.4%). Can be concluded that most of cadres have low motivation in studying self-care for hypertensive patients. There needs to be training from health center regarding self-care in hypertensive patients. Keywords: Health Cadres, Hypertension, Motivation, Self-Car

    SWAMEDIKASI PEMAKAIAN ANTIBIOTIK PADA MAHASISWA FAKULTAS KEPERAWATAN UNIVERSITAS PADJADJARAN

    Get PDF
    Irrational use of antibiotics in self-medication often occurs in various groups, including students. Inappropriate use of antibiotics and self-medication can threaten health, such as unwanted drug reactions, risk of drug side effects, and antibiotic resistance. As future professional nurses, nursing students should be concerned about implementing rational self-medication before applying it to their patients. This descriptive study aims to identify the use of antibiotics among nursing students. Therefore, suitable implementation of self-medication is required. The sample in this study was the final year students of the Faculty of Nursing, Universitas Padjadjaran, recruited by purposive sampling technique, resulting in 188 students. The data were obtained quantitatively using google Forms. Then, the collected data were analyzed by descriptive analysis (frequency, percentage, average). The results showed the attitude of nursing students in self-medication using antibiotics. The majority of respondents used antibiotics when prescribed (88%), and more than half of respondents used antibiotics that had been prescribed (69%). The findings of this study can be used as primary data for further research related to the factors that influence students not to take antibiotics that have been prescribed to control the number of antibiotic resistance.Pemakaian antibiotik yang tidak rasional dalam swamedikasi sering terjadi di berbagai kalangan tidak terkecuali mahasiswa. Ketidaktepatan pemakaian antibiotik menyebabkan peningkatan resiko efek samping obat serta resistensi antibiotik. Mahasiswa keperawatan yang nantinya akan menjadi perawat professional perlu mendukung pelaksanaan swamedikasi secara rasional sebelum mengimplementasikannya kepada pasien. Penelitian deskriptif ini bertujuan untuk mengidentifikasi bagaimana Pemakaian antibiotik di kalangan mahasiswa keperawatan. sehingga diperlukan implementasi swamedikasi yang tepat. Sampel pada penelitian yaitu Mahasiswa Tingkat Akhir Fakultas Keperawatan Universitas Padjadjaran secara purposive sampling sebanyak 188 Metode pengumpulan diambil secara kuantitatif dengan menggunakan google form. Data yang terkumpul dianalisis dengan analisis deskriptif (frekuensi, persentase, rata-rata, dll). Hasil penelitian menunjukan bahwa swamedikasi pemakaian antibiotik yang dilakukan responden yaitu mayoritas responden menggunakan antibiotik ketika diresepkan (88%) dan lebih dari setengah responden menghabiskan antibiotik yang telah diresepkan (69%). Temuan hasil penelitian ini dapat menjadi data dasar untuk dilakukan penelitian selanjutnya terkait faktor-faktor yang mempengaruhi  mahasiswa tidak menghabiskan antibiotik yang telah diresepkan dalam upaya pengendalian angka resistensi antibiotik..

    Karakteristik dan Efikasi Diri Keluarga Pasien dengan Infark Miokard

    Get PDF
    Infark miokard menjadi salah satu penyakit yang menyebabkan tingginya angka kematian dan kecacatan di Indonesia. Perkembangan pengobatan telah banyak terbukti menurunkan angka kematian akibat infark mioard. Dukungan keluarga diperlukan untuk mengoptimalkan penderita patuh terhadap pengobatan dan menjalankan pola hidup sehat sebagai bagian dari rehabilitasi jantung. Efikasi diri menjadi penting dalam memberi dukungan keluarga. Penelitian ini bertujuan untuk memberikan gambaran karakteristik dan efikasi diri keluarga pasien dengan infark miokard di Indonesia. Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif kuantitatif yang melibatkan 60 anggota keluarga pasien dengan infark miokard yang dirawat di CICU dan HCCU Rumah Sakit Hasan Sadikin. Prosedur pengambilan sampel dalam penelitian ini menggunakan teknik convenience sampling dan responden diminta untuk mengisi kuesioner. Hasil penelitian ini, usia rata-rata anggota keluarga pasien adalah 45,58 tahun dan mayoritas berjenis kelamin  perempuan. Hampir setengah dari keluarga pasien memiliki tingkat pendidikan SMA dan lebih dari setengah pasien memiliki riwayat keluarga terkait dengan penyakit jantung. Mayoritas anggota keluarga pasien tidak memiliki pengalaman dalam merawat pasien penyakit jantung sebelumnya. Skor rata-rata efikasi diri anggota keluarga untuk merawat pasien adalah 6,55. Kesimpulannya, memberikan intervensi kepada pasien dan keluarga sangat penting untuk meningkatkan efikasi keluarga dalam merawat pasien infark miokard pasca serangan. Kata kunci: Efikasi diri, infark miokard, karakteristik keluarga  Abstract Characteristics and Self-Efficacy of Family Care Giver of Patient with Myocardial Infarction in Indonesia. Myocardial infarction is one of the diseases that cause high mortality and disability in Indonesia. The development of treatment has been shown to reduce the incidence of death due to myocardial infarction. Family support is essential to optimize the patient's adherence to treatment and promote a healthy lifestyle as part of cardiac rehabilitation. Self-efficacy is important in providing family support. This study aimed to provide an overview of the characteristics and self-efficacy of family of patients with myocardial infarction in Indonesia. This study was a quantitative descriptive study involving 60 family members of patients with myocardial infarction hospitalized at CICU and HCCU in Hasan Sadikin Hospital. The sampling procedure in this study used convenience sampling techniques and respondents were asked to fill out a questionnaire. The average age of the patient's family members was 45.58 years and the majority was female. Nearly half of patients' families have high school education levels and more than half of patients have a family history of heart disease. The majority of patients' family members have no experience in treating heart disease patient previously. The average score for self-efficacy of family members to treat patients is 6.55. Conclusions is giving intervention to patients and families is very important to improve family efficacy in treating patients with myocardial infarction after an attack. Keywords: Self-efficacy, myocardial infarction, family characteristic

    Studi Kasus: Status Pernafasan Pada Pasien Myasthenia Gravis di Ruang Azalea RSUP Dr. Hasan Sadikin Bandung

    Get PDF
    Myasthenia gravis (MG) merupakan penyakit autoimun kronis yang dimediasi oleh antibodi terhadap acetylcholin receptor (AChR)  pada membran postsynaptic dari tautan otot saraf. Hilangnya situs AchR mengakibatkan kelemahan pada otot rangka yang berhubungan dengan pernafasan serta pergerakan ekstrimitas. Sebanyak 15 % – 20 % pasien dengan MG setidaknya mengalami satu kali myasthenic crisis. Myasthenic crisis  merupakan keadaan darurat medis yang terjadi akibat kelemahan otot-otot pernafasan sehingga pasien mengalami penurunan status pernafasan. Tujuan : untuk mengetahui gambaran karakteristik dan menganalisis status pernafasan pasien MG. Metode : penelitian dekriptif dengan pendekatan observasi studi kasus. Teknik pengambilan sampel menggunakan  consecutive sampling. Pengumpulan data dan pengkajian menggunakan form pengkajian asuhan keperawatan RSHS dan lembar observasi status pernafasan nursing intervention clasification. Hasil : karakteristik  pasien dalam studi ini adalah pasien MG dengan riwayat gagal nafas,  jenis kelamin perempuan, dengan klasifikasi klinis MG IIb dan IIIb. Hasil Kedua pasien mengalami keluhan kesulitan bernafass namun saat diobservasi pasien kedua mengalami dua kali gagal nafas karena melakukan aktivitas seperti berbicara lama, mengedan, dan tertawa berlebih yang mengakibatkan kelemahan pada otot-otot pernafasan sehingga terjadi peningkatan frekuensi pernafasan dan penurunan saturasi oksigen. Simpulan : edukasi yang tepat mengenai aktivitas serta observasi status pernafasan secara berkala dibutuhkan pasien MG agar dapat mengontrol dan mencegah terjadinya gagal nafas yang dapat menyebabkan kematian. Case Study: Respiratory Status of Patients Myasthenia Gravis at Azalea Room Hasan Sadikin Bandung Hospital. Myasthenia gravis (MG) is a chronic autoimmune disease that is mediated by antibodies to the acetylcholine receptor (AChR) in the post-synapses membrane of the neural muscle tissues.  Loss of the AchR site results in weakness in skeletal muscle associated with breathing and limb movements. A total of 15%-20% of patients with MG have suffered a one-time crisis. The Myasthenic crisis is a medical emergency that occurs due to the weakness of the respiratory muscles so that the patient experiences decrease in respiratory status. Objective: to determine the characteristics and analyze the respiratory status of MG patients. Method: Descriptive research with an observation approach to case studies. The sampling technique uses consecutive sampling. Data collection and assessment used the RSHS nursing care assessment form and an observation sheet about the classification status of nursing interventions. Results: The characteristics of the patients in this study were MG patients with a history of respiratory failure, female sex, with clinical classification of MG IIb and IIIb. Both patients had a history of respiratory failure but when observed the second patient experienced two symptoms of respiratory failure due to activities such as prolonged talking, straining, and excessive laughter which resulted in weakness in the respiratory muscles which resulted in an increase in respiratory frequency and decreased oxygen saturation.  Conclusion: proper education about the activity and observation of respiratory status regularly is needed by MG patients to be able to control and prevent respiratory failure which can cause death

    Studi Kasus : Status Neurologi Pasien Space Occupying Lesion Dengan Hiv dan Toxoplasmosis Cerebri

    Get PDF
    Space occupying lesion merupakan desakan ruang yang diakibatkan peningkatan volume di dalam ruang intrakranial. Desakan ruang di intrakranial dapat mengakibatkan jaringan otak mengalami nekrosis sehingga dapat menyebabkan gangguan neurologik progresif. Pasien SOL dengan HIV dan Toxoplasmosis Cerebri menunjukkan hampir 80-90% ditemukan memiliki kelainan neurologik. Tujuan : menganalisis karakteristik pasien dan menganalisis status neurologi. Metode : penelitian dekriptif dengan pendekatan studi kasus observasi. Tehnik pengambilan sampel yang digunakan adalah consecutive sampling. Alat pengumpulan data menggunakan lembaran ceklis yang merupakan kriteria status neurologis berdasarkan Nanda, lembar observasi dan MMSE. Hasil : Durasi mulai sakit yang di alami kedua pasien lebih dari 3 bulan dengan lama hari perawatan lebih dari 7 hari. Kedua pasien mempunyai riwayat penyakit penyerta yang sama dan baru mendapatkan terapi Atiretroviral setelah dirawat di rumah sakit. Gangguan status neurologis yang paling dominan tampak pada pasien Space Occupying Lesion dengan HIV dan Toxoplasmosis Cerebri diantaranya : Keluhan sakit kepala, gangguan kognitif dan gangguan berbicara serta kelemahan otot. Saran : Monitoring status neurologi secara komprehensif merupakan bagian penting terutama pada pasien Space Occupying Lesion dengan HIV dan Toxoplasmosis Cerebri, agar pelayanan yang diberikan akan lebih optimal dan berkualitas. Sehingga dapat mengurangi angka morbiditas dan mortalitas yang diakibatkan oleh gangguan fungsi neurologi. Case Study : Neurology Status of Patients Space Occupying Lesion with HIV and Cerebri Toxoplasmosis. Space occupying lesion is the insistence of space caused by an increase in volume in the intracranial space. Pressure in the intracranial space can brain tissue to experience necrosis so that it can cause progressive neurologic disorders. SOL patients with HIV and Cerebri Toxoplasmosis show nearly 80-90% are found to have neurological abnormalities. Aims : To analyze patient characteristics and analyze neurological status. Method : Descriptive research with an observational case study approach. The sampling technique used was consecutive sampling. Data collection tools use checklist sheets which are neurological status criteria based on Nanda, observation sheets and MMSE. Results : Duration of pain started in both patients was more than 3 months with a length of treatment more than 7 days. Both patients had a history of the same comorbidities and had only received Atiretroviral therapy after being hospitalized. The most dominant neurological status disorders seen in Space Occupying Lesion patients with HIV and Cerebri Toxoplasmosis include: Complaints of headaches, cognitive disorders and speech disorders and muscle weakness. Suggestion: Monitoring Neurology Status comprehensively is an important part especially in the patient's occupying lesion with HIV, so that the service provided will be more optimal and quality. Thus, it can reduce the morbidity and mortality rates caused by impaired neurological functions.

    Pemberdayaan Kader Kesehatan dalam Mengkaji Self-Care pada Pasien Hipertensi

    No full text
     ABSTRAK Hipertensi merupakan merupakan penyakit kronis yang dapat dikendalikan salah satunya dengan perawatan diri (self-care). Sehingga diharapkan dengan self-care akan meningkatkan derajat kesehatan dan kualitas hidup. Untuk mencapai keberhasilan dalam mengendalikan hipertensi, diperlukan keterlibatan unsur masyarakat, salah satunya kader kesehatan. Kader kesehatan dapat berperan serta dalam mendampingi dan men-support pasien hipertensi dalam self-care hipertensi. Namun, belum ada program yang secara khusus melatih kader kesehatan dalam mengkaji self-care hipertensi. Sehingga program pengabdian masyarakat yang berorientasi pada pemberdayaan kader kesehatan dalam self-care hipertensi diperlukan guna mencegah komplikasi dan meningkatkan kualitas hidup pasien hipertensi. Kegiatan ini bertujuan meningkatkan pengetahuan kader dalam mengkaji self-care pada pasien hipertensi. Metode kegiatan berupa pendidikan masyarakat yaitu pelatihan kader kesehatan dalam mengkaji self-care pasien hipertensi. Target dan sasaran pada kegiatan ini adalah kader kesehatan di wilayah kerja Puskesmas Pasundan Kota Bandung sebanyak 37 orang. Luaran kegiatan ini adalah peningkatan pengetahuan kader dalam mengkaji self-care pada pasien hipertensi. Evaluasi dilaksanakan dengan mengukur pengetahuan kader kesehatan sebelum dan setelah dilakukan pelatihan. Hasil kegiatan didapatkan bahwa terdapat perbedaan pengetahuan (α 0.000) setelah mengikuti pelatihan. Kegiatan pengabdian pada masyarakat berupa pelatihan kader kesehatan dalam mengkaji self-care hipertensi ini efektif dalam meningkatkan pengetahuan kader kesehatan mengenai hipertensi dan self-care hipertensi. Kata Kunci: Hipertensi, Kader Kesehatan, Self-Care  ABSTRACT Hypertension is a chronic disease that can be controlled by self-care. It is hoped that self-care will improve the health and quality of life. To achieve success in controlling hypertension, it is necessary to involve one element of the community (health cadre). Health cadres can participate in assisting and supporting hypertensive patients in self-care hypertension. However, there is no program that specifically trains health cadres in assessing hypertension self-care. So that community service programs oriented to empowering health cadres in hypertension self-care are needed to prevent complications and improve the quality of life for hypertensive patients. The purpose of this activity is to increase health cadre knowledge in assessing self-care in hypertensive patients. The method of activity is the training of health cadres in assessing self-care for hypertensive patients.  The target of this activity was 37 health cadres in the work area of Pasundan Health Center in Bandung City. The outcome of activities is an increase in cadre knowledge in assessing self-care in hypertensive patients. Evaluation is seen from the knowledge of health cadres before and after training. The result of the activity was that there were differences in knowledge of health cadres (α 0.000) after attending the training. Health cadre training in assessing hypertension self-care is effective in increasing health cadres’ knowledge about hypertension and hypertension self-care. Keywords: Health Cadres, Hypertension, Self-Car

    Edukasi Kesehatan Diet Tinggi Kalori Tingki Protein pada Pasien Pasca Operasi di Ruang Jasmin RSU Sumedang

    No full text
    ABSTRAK  Dalam proses penyembuhan luka diperlukan Kebutuhan nutrisi yang adekuat agar masa penyembuhan singkat dan tidak terjadi perburukan. Kadar nutrisi yang kurang baik akan menyebabkan proses penyembuhan luka yang lebih lama dengan adanya proses inflamasi yang berkepanjangan, penurunan daya tahan tubuh, peningkatan angka kejadian infeksi luka. Oleh sebab itu tujuan dari kegiatan pengabdian kepada masyarakat ini adalah untuk melakukan pendidikan kesehatan mengenai Diet tinggi kalori dan tinggi protein pada pasca operasi. Adapun metode yang digunakan dalam kegiatan ini adalah pemberian edukasi mengenai diet tinggi kalori dan tinggi protein pada pasien pasca operasi. Jumlah peserta yang hadir sebanyak 13 orang yang terdiri dari pasien pasca operasi dan keluarga. Hasil yang didapatkan dari nilai pretest penyuluhan yaitu nilai tertinggi 80, nilai terendah 50, nilai rata-rata 65,8. Hasil yang didapatkan nilai posttest penyuluhan yaitu nilai tertinggi 100, nilai terendah 60 dengan nilai rata-rata 77. 15. Berdasarkan hasil posttest kegiatan pengabdian masyarakat, pengetahuan responden tentang Diet Tinggi Kalori dan Tinggi Protein meningkat, maka dapat disimpulkan bahwa responden dapat memahami dari apa yang sudah dijelaskan pada saat pendidikan Kesehatan. Pendidikan kesehatan terkait Nutrisi yang tepat untuk mempercepat penyembuhan luka pasca operasi sangat bermanfaat untuk pasien dan keluarga pasien yang merawat sehingga dapat mencegah timbulnya beberapa masalah seperti perburukan luka, penyembuhan luka yang lebih lama dengan adanya proses inflamasi yang berkepanjangan, penurunan daya tahan tubuh, peningkatan angka kejadian infeksi luka Kata kunci: Pasca Operasi, TKTP, Tinggi Kalori Tinggi Protein ABSTRACT In the process of wound healing, adequate nutritional needs are needed so that the healing period is short and no worsening occurs. Poor nutritional levels will lead to a longer wound healing process with a prolonged inflammatory process, decreased body resistance, increased incidence of wound infections. Therefore the purpose of this community service activity is to conduct health education regarding a high-calorie and high-protein diet post-surgery. The method used in this activity is the provision of education regarding a high-calorie and high-protein diet in postoperative patients. The number of participants who attended were 13 people consisting of postoperative patients and their families. The results obtained from the counseling pretest score are the highest score 80, the lowest score 50, the average value is 65.8. The results obtained for the counseling posttest score are the highest score 100, the lowest score 60 with an average value of 77. 15. Based on the posttest results of community service activities, the respondent's knowledge about the High Calorie and High Protein Diet increased, it means that the respondent can understand what which has been explained in health education. Health education related to proper nutrition to accelerate wound healing after surgery is very beneficial for patients and their families so that they can prevent the emergence of several problems such as worsening of wounds, longer wound healing in the presence of a prolonged inflammatory process, decreased immune system, increased mortality. wound infection Keywords: Postoperative, TKTP, High Calorie, High Protei

    The Optimization of HIV Testing in Eastern Indonesia: Findings from the 2017 Indonesian Demographic and Health Survey

    No full text
    There is a concerning increase in human immunodeficiency virus (HIV) incidence in eastern Indonesia. HIV testing rates in this area are the lowest in the country. This study aimed to analyze the determinants of HIV testing in the Public Health Centers (PHCs) in eastern Indonesia. A cross-sectional study design was utilized using secondary data from the 2017 Indonesian Demographic and Health Survey (IDHS). We focused the survey on eastern Indonesia (Sulawesi, Maluku, and Papua) with PHC settings. After we weighted and removed missing data, we obtained 2118 surveys (425 males and 1693 females aged 14–54 years). Chi-square and binary logistic regression were used to analyze the determinants of HIV testing optimization in eastern Indonesia with a significance level of p < 0.05. The HIV testing coverage at the PHCs in eastern Indonesia was found to be 28.28%. From the survey, we found that respondents from the province of Papua (AOR: 1.45; 95% CI: 1.09–1.91), those who were female (AOR: 2.37; 95% CI: 1.75–3.12), and those with more information on HIV (AOR: 1.88; 95% CI: 1.41–2.51) were more likely to undergo HIV testing at the PHCs. Meanwhile, the wealthiest respondents (AOR: 0.61; 95% CI: 0.42–0.89) and the respondents who engaged in the perpetuation of stigmatization (AOR: 0.65; 95% CI: 0.42–1.02) were less likely to undergo HIV testing at the PHCs. The coverage of HIV testing in eastern Indonesia needs special attention from the Indonesian government. Increasing equity, distributing information regarding HIV and acquired immunodeficiency syndrome (AIDS) through social media, and creating accessible HIV testing in rural areas are vital for developing appropriate interventions

    HIV‑related knowledge, information, and their contribution to stigmatization attitudes among females aged 15–24 years: regional disparities in Indonesia

    No full text
    Background: Stigmatization attitudes among youths toward people living with HIV (PLWH) is still an issue and concern in Indonesia. The purpose of this study was to determine the regional disparities, levels of HIV-related knowledge, information, and contributions related to stigmatization attitudes among females aged 15–24 years in Indonesia. Methods: A cross-sectional study with The 2017 Indonesian Demographic Health Survey (IDHS) was used. A total of 12,691individual records of females aged 15–24 years were recruited through two-stage stratified cluster sampling. The endpoint was stigmatization attitude. Then, bivariate and multivariate binary logistics were performed. Results: The findings showed that female youths who have no HIV-related knowledge (62.15%) and some source of information (52.39%). The highest prevalence of stigmatizing attitude was 59.82%, on Java Island. Multivariate analysis showed that females living in Sulawesi and Kalimantan; those living in a rural area; and those with more HIV-related knowledge were less likely to have a stigmatizing attitude. Conversely, females with the middle- to richest-wealth index and had some HIV-related information were more likely to have a stigmatizing attitude. Conclusion: An understanding of stigmatizing attitudes should be considered through demographic factors, knowledge, and source of HIV-related information. The Indonesian government should pay more attention to indicators of HIV-related knowledge and information. Moreover, we suggest that the government collaborates with youths to disseminate information and restructure and reanalyze policies about HIV
    corecore