18 research outputs found

    Prinsip Estetika Pakaian Cosplay YOGYAKARTA: Fantasi dan Ekspresi Desain Masa Kini

    Full text link
    Pakaian, dress code, animasi, dan manga, merupakan unsur yang tidak terpisahkan dalam pakaian cosplay. Unsur-unsur tersebut merupakan wacana dunia digital dan fantasi pada dunia pakaian. Ranah spiritualnya berp?ak pada kebudayaan Jepang yang dibudayakan melalui pakaian. Ideologi cosplay salah satunya menggambarkan pencitraan diri komuni- tas sosial, sebagai usaha untuk aktualisasi diri. Entitas cosplay mampu menjembatani du- nia fantasi dan realita, yang membelenggu keinginan manusia untuk bergaya. Tulisan ini akan dianalisis dengan teori pokok berdasarkan pandangan Dewitt H. Parker, dalam The Principles of Aesthetics, yang membagi prinsip estetika menjadi tiga, yaitu: prinsip kesatu- an organik, prinsip unsur dominan, dan prinsip keseimbangan. Prinsip kesatuan organik menunjukkan, bahwa pakaian cosplay merupakan akumulasi dari unsur-unsur desain, un- tuk merujuk dan menandai tokoh. Prinsip unsur dominan, merupakan aksentuasi, atau pusat perhatian dari sebuah desain pakaian cosplay. Prinsip keseimbangan, melihat penem- patan dan pengaturan ornamentasi yang diaplikasikan pada pakaian cosplay

    Dimensi Rame: Gejala, Bentuk, Dan Ciri

    Full text link
    Umumnya rame dianggap sebagai hal wajar, biasa, dan lumrah. Namun di Balik itu, rame adalah sebuah kebutuhan hidup. Rame justru sengaja dibentuk untuk mengisi ruang-ruang hidup yang kosong, sepi, atau nirmakna. Ă‚ Kehadiran rame sendiri di(ter-) kondisikan, tidak pernah hadir tanpa sebab atau aksi. Sebaliknya, kehadirannya selalu ada di dalam hubungan peristiwa antara apa yang menjadi sebab dan apa akibatnya, atau apa aksinya dan apa reaksinya. Tulisan ini membahas Ă‚ dimensi rame berdasarkan atas gejala, bentuk, dan ciri-cirinya. Secara gejala, rame berbeda dengan noise, di dalam upacara justru ini disengaja untuk mempertebal lapis simbolis, ritus, agama sekaligus sosialnya. Bentuknya selalu dapat dialami dengan indera, dapat dilihat, didengar, dihirup, dicecap, disentuh/diraba, atau dirasakan.Ă‚ In general rame is considered a commonplace thing. Yet, beyond all this, rame is a life necessity. Rame is indeed created to fill up vacant, lonely, or meaningless living spaces. Rame is always present by some causes or actions. In other words, it is present because of cause and effect relationship, or action and reaction process. This article discusses the dimension of rame based on phenomena, form, and its characteristics. Phenomenologically, rame is different from noise, because in ceremonies rame functions to solidify symbolic, ritual, religious, and social layers. The form could always be experienced by senses it is perceivable, smellable, tasteable, and touchable

    Laras dan Rumpaka dalam Garap Karawitan Jaipongan Jugala

    Full text link
    Ă‚ Tulisan ini menguraikan ciri-ciri atau identitas musikal garap karawitan Jaipongan Ju- gala yang dititikberatkan pada identitas laras dan rumpaka. Identitas karawitan Jaipongan merupakan suatu genre karawitan Sunda kiwari yang berkembang tanpa pengaruh besar akulturasi. Bentuk verbal rumpaka pada garap karawitan Jaipongan Jugala sebagian besar merepresentasikan suatu pembicaraan atau teks yang menuntut pemahaman isi. Karakter- istik laras dan rumpaka yang bersifat verbal dan musikal dalam garap karawitan Jaipongan menunjukkan ekspresi artistik yang multidimensional.

    Empat Koreografer Tari Kontemporer Indonesia Periode 1990-2008

    Get PDF
    Ă‚ Penelitian ini membahas empat koreografer, dalam membuka wacana proses ketubuhan penari di Indonesia. Empat koreografer tersebut, Martinus Miroto, Mugiyono Kasido, Hartati, dan Jecko Siompo, memperlihatkan betapa kompleksitas proses ketubuhan mereka berbeda dengan penari dan koreografer pada umumnya, terutama dari luar Indonesia. Mereka mem- berikan pengalaman yang detail tentang pendisiplinan tubuh mereka untuk mencapai sebuah capaian dan keunggulan. Dengan kompleksitas disiplin dan training ketubuhan, keempat penari dan koreografer ini menggukuhkan betapa proses pencapaian dan kemuktahiran tubuh terletak pada beberapa proses penting: Training, Latihan, dan Pementasan. Jika ditilik secara ke- seluruhan, keempat penari ini mempunyai pengalaman belajar, atau setidaknya pernah men- galami proses menari bersama Sardono W. Kusumo. Ketubuhan yang yang dieksplorasi adalah ciri khas dari Sardono yang dikenal dengan laku dalam bahasa Jawa. Walaupun belajar dari Sar- dono, keempat koreografer tersebut mengembangkan tarian yang berbeda dengan Sardono.

    Spiritualitas Budaya Jawa dalam Seni Tari Klasik Gaya Surakarta

    Full text link
     Seni tari klasik Jawa telah berkembang secara dinamis seiring dengan sejarah perkembang- an keraton-keraton di Jawa Tengah, terutama setelah abad XV yang dimulai pada era kerajaan Demak. Seni tari klasik Jawa hidup dan berkembang di lingkungan istana Mataram Islam sejak periode Panembahan Senapati di Kotagede, atau jaman Sultan Agung di keraton Plered sampai dengan berpindahnya keraton Mataram ke Kartasura.Metode penelitian ini konsentrasi utamanya pada penggunaan data kualitatif dengan per- tanyaan-pertanyaan ’mengapa’ dan ’bagaimana’ untuk mengungkap misteri yang berada di belakang fenomena yang ada. Tindakannya dilakukan dengan pendekatan multi disiplin dari ilmu-ilmu sejarah, sosial, dan koreografi.Peristiwa perjanjian Gianti pada tahun 1755 tidak saja berpengaruh dan berdampak pada kekuasaan raja Mataram yang harus membagi menjadi dua wilayah, yaitu wilayah Kasunanan Surakarta dan wilayah Kasultanan Yogyakarta, tetapi juga berimplikasi pada kehidupan ke- budayaan Jawa. Kebudayaan Jawa yang semula bersumber dari satu kerajaan, yaitu Mataram Kasunanan, kemudian menjadi dua corak, yaitu kebudayaan Jawa Surakarta dan Yogyakarta. Namun demikian, baik di istana Kasunanan Surakarta maupun istana Kasultanan Yogyakarta tetap mengembangkan kesenian klasik Jawa berdasarkan nilai-nilai budaya adiluhung walau- pun dalam corak atau gaya yang berbeda. Nilai-nilai spiritualitas ‘kejawen’ tetap menjadi sum- ber acuannya.

    Tinjauan Perkembangan Keris Tangguh Ngentha-Entha YOGYAKARTA 1975-2015

    Get PDF
    Setiap keris memiliki ciri tersendiri yang disebut tangguh, seperti tangguhngéntha- énthayang diciptakan di lingkungan masyarakat Desa Ngéntha-Éntha. Tokoh penting yang membuat keris dengan tangguh ini adalah Empu Wayang. Pada tahun 1963, Empu Supowinangun, pewaris Empu Wayang, meninggal dunia. Akibatnya, sejak saat itu pembuatan keris dengan gaya ngéntha-éntha tidak lagi dilakukan. Pada tahun 1975 ada upaya untuk merevitalisasinya dan berhasil. Penelitian ini bermaksud meneliti revitalisasi keberadaan keris Tangguh Ngenta-entha tersebut dengan menggunakan metode historis. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa revitalisasi ini telah diakukan oleh dua empu keris bernama Yosopangarso dan Jeno Harumbrojo. Dewasa ini, dua orang empu keris t e r s e b ut t e l a h m e n i n g g a l d un i a d a n pr o s e s pe m b ua t a n k e r i s d e n g a n c i r i - c i r i tangguhngéntha-énthadiambil alih oleh Empu Sungkowo, anak angkat Empu JenoHarumbrojo dengan metode rekonstruksi pola-pola pewarisan yang tetap dan tidak meninggalkan pakem-pakem tradisi yang ada
    corecore