23 research outputs found

    Perbedaan kemampuan pemecahan masalah siswa yang menggunakan model pembelajaran kooperatif tipe teams games and tournament(tgt) dengan number head together(nht) pada materi pokok himpunan di kelas vii smp Negeri 3 Padangsidimpuan

    Get PDF
    Belajar bukan hanya berhadapan dengan teori dan konsep saja, melainkan harus melakukan sesuatu, mengetahui dan memecahkan masalah yang berkaitan dengan pembelajaran. Dalam Penelitian ini peneliti ingin melihat perbedaan kemampuan pemecahan masalah siswa yang menggunakan model pembelajaran kooperatif tipe Teams Games and Tournament(TGT) dengan Number Head Together(NHT) pada materi pokok himpunan di kelas VII SMP Negeri 3 Padangsidimpuan. Dengan model pembelajaran TGT dan NHT siswa dapat saling mengajari baik antara kelompok maupun antar kelompok. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui perbedaan kemampuan pemecahan masalah siswa yang menggunakan model pembelajaran kooperatif tipe Teams Games and Tournament(TGT) dengan Number Head Together (NHT) pada materi pokok himpunan di kelas VII SMP Negeri 3 Padangsidimpuan Penelitian ini dilaksanakan di SMP Negeri 3 Padangsidimpuan. Jenis penelitian ini adalah penelitian komparasi dengan menggunakan pendekatan eksperimen. Desain penelitian yang dipakai pada penelitian ini adalah Non Randomized Control Group Pre Test Post Test Design. Populasi penelitian ini berjumlah 234 siswa kemudian yang menjadi sampel adalah kelas VII-3 sebagai kelas eksperimen A yang berjumlah 28 orang dan diajarkan dengan model TGT kemudian kelas VII-4 sebagai kelas eksperimen B yang berumlah 24 orang dan diajarkan dengan NHT. Instrumen yang digunakan adalah tes berbentuk essay tes. Untukmelihat kemampuan pemecahan masalah siswa dipergunakan analisa statistik deskriptif kemudian untuk melihat perbedaan antara model pembelajaran kooperatif tipe TGT dan NHT dipergunakan uji-t.Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa ada peningkatan kemampuanpemecahan masalah siswa dengan menggunakan model pembelajaran TGT dan NHT, dimana nilai rata-rata kelas eksperimen A dari 66,64 menjadi 81,14. Begitu juga dengan kelas eksperimen B dari 66,37 menjadi 79,45. Dengan menggunakan uji-t diperoleh thitung= 0,697 < ttabel = 2,01. Berdasarkan hasil penelitian tersebut disimpulkan bahwa H0diterima dan Haditolak, bunyi hipotesis yang diterima adalah tidak ada perbedaan secara signifikan kemampuan pemecahan masalah siswa yang menggunakan model pembelajaran kooperatif tipe Teams Games and Tournament(TGT) dengan Number Head Together (NHT) pada materi pokok himpunan di kelas VII SMP Negeri 3 Padangsidimpuan

    Serum Zinc Level at Term Pregnancy and Newborn Anthropometry

    Get PDF
    Objective: To determine the relationship between serum zinc level at term pregnancy and newborn anthropometry. Methods: This study is an observational study with cross-sectional design. Serum zinc level at term pregnancy was measured and then anthropometric measurement was done to the newborn, including birth weight, birth length and head circumference at birth. The data were statistically analyzed using regression correlation test. Results: Mean serum zinc level at term pregnancy is 36.01 μg/dl (SD=18.34 μg/dl), the average birth weight is 3158 gr (SD=480.4 gr), the average birth length is 48.42 cm (SD=1.75 cm) and the average head circumference at birth is 33.13 cm (SD=1.14 cm). There was no statistically significant relationship between serum zinc levels at term pregnancy and birth weight (p-value=0.152). Meanwhile, there are statistically significant relationships between serum zinc level at term pregnancy with birth length and head circumference with pvalue 0.026 and 0.012, respectively. Conclusion: Serum zinc level at term pregnancy is correlated with birth length and head circumference, but is not correlated with birth weight. [Indones J Obstet Gynecol 2015; 3-4: 190-195] Keywords: birth length, birth weight, head circumference at birth, serum zinc level, term pregnanc

    Hubungan Pemberian Jenis Makanan Pendamping ASI dengan Perkembangan Bayi Umur 9-12 Bulan di Wilayah Kerja Puskesmas Lubuk Begalung Padang

    Get PDF
    AbstrakBayi berumur enam bulan ke atas sudah bisa diberikan Makanan Pendamping ASI (MP-ASI). Puskesmas Lubuk Begalung merupakan puskesmas yang terbanyak dilakukan pemeriksaan deteksi dini tumbuh kembang bayi (95,3 %). Tujuan: Menentukan hubungan jenis MP-ASI dan faktor lain yang mempengaruhi perkembangan bayi umur 9-12 bulan. Metode: Ini adalah studi mixed method yaitu tahap awal pengumpulan data dan analisis menggunakan metode kuantitatif, dilanjutkan metode kualitatif. Penelitian dilakukan di wilayah kerja Puskesmas Lubuk Begalung Padang pada bulan Agustus sampai Maret 2019. Sampel penelitian kuantitatif adalah bayi umur 9-12 bulan sebanyak 100 orang dengan teknik consecutive sampling dan sampel kualitatif sebanyak 9 orang diambil dengan purposive sampling. Pengumpulan data kuantitatif dengan mewawancara ibu bayi menggunakan food recall setelah itu melakukan Kuesioner Pra Skrining Perkembangan (KPSP) untuk melihat perkembangan bayi. Penelitian kualitatif dengan wawancara mendalam dan observasi. Hasil: Terdapat 19 % bayi mengalami perkembangan meragukan dan 37 % bayi diberi jenis makanan pendamping ASI lokal. Dari 37 orang bayi yang diberi MP-ASI lokal didapatkan kecukupan energi MP- ASI sesuai 51,4 % dan kecukupan protein MP-ASI sesuai 83,8 %. Simpulan: Terdapat hubungan yang significant antara kecukupan energi dan protein MP-ASI lokal dengan perkembangan sedangkan faktor lain yang mempengaruhi perkembangan adalah genetik/keturunan, ekonomi dan lingkungan.

    Hubungan Pemberian ASI Eksklusif dengan Angka Kejadian Diare Akut pada Bayi Usia 0-1 Tahun di Puskesmas Kuranji Kota Padang

    Get PDF
    AbstrakPemberian ASI eksklusif merupakan salah satu upaya untuk mencapai tumbuh kembang optimal dan terlindungi dari penyakit seperti diare. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui hubungan pemberian ASI eksklusif dengan angka kejadian diare akut pada bayi usia 0-1 tahun di Puskesmas Kuranji Kota Padang. Penelitian ini dilaksanakan secara observasional dengan pendekatan cross sectional. Sampel penelitian ini adalah bayi usia 0-1 tahun yang berkunjung ke posyandu di wilayah kerja Puskesmas Kuranji Kota Padang dengan menggunakan simple random sampling. Jumlah bayi dengan kelompok usia 0-5 bulan 29 hari sebanyak 69 orang (51,1%) dan usia 6-12 bulan sebanyak 66 orang (48,9%). Dari hasil penelitian didapatkan bayi usia 0-5 bulan 29 hari yang masih mendapat ASI saja sebanyak 41 bayi (30,4%) dan yang sudah mendapat campuran lain selain ASI sebanyak 28 bayi (20,7%). Jumlah bayi usia 6-12 bulan dengan ASI eksklusif sebanyak 34 bayi (25,2%) dan 32 bayi lainnya (23,7%) non ASI eksklusif. Sebanyak 57 bayi (42,2%) pernah diare dan 78 bayi lainnya (57,8%) tidak pernah. Analisis chi square mendapatkan p=0,001 dan hasil ini signifikan (p<0,5). Pemberian ASI eksklusif selama 6 bulan harus ditingkatkan karena mempunyai hubungan dengan angka kejadian diare akut.Kata kunci: Bayi, ASI Exclusif, diareAbstractExclusive breastfeeding is an effort to achieve optimal growth and development and can be protected from diarrhea. The purpose of this study was to determine the relationship of exclusive breastfeeding with the incidence of acute diarrhea in infants aged 0-1 years in the Kuranji Public Health Center Padang. This study conducted a cross sectional observational study. The sample was a baby aged 0-1 years who visited posyandu in the Kuranji Public Health Center working area using simple random sampling. The result showed 41 infants (30.4%) aged 0-5 months 29 days which is still breastfed only and other than breast milk were 28 infants (20.7%). Number of 6-12 months infants are exclusively breastfed as many as 34 babies (25.2%) while the other 32 babies (23.7%) were not exclusively breastfed. A total of 57 infants (42.2%) had suffered from diarrhea and the other 78 infants (57.8%) had never. Chi square analysis got p = 0.001 and the results are significant (p <0.5). Exclusive breastfeeding for 6 months should be improved because it has relation with diarrhea.Keywords:Baby, Exclusive breastfeeding, diarrhe

    Hubungan Pemberian Makanan Pendamping Asi (MP-ASI) dengan Status Gizi Anak Usia 1-3 Tahun di Kota Padang Tahun 2012

    Get PDF
    AbstrakMakanan pendamping ASI (MP-ASI) adalah makanan padat yang mengandung nutrien lengkap yang diberikan kepada bayi mulai usia 6 bulan disamping ASI eksklusif untuk mencapai tumbuh kembang yang optimal. Tujuan penelitian adalah untuk mengetahui hubungan antara usia pemberian MP-ASI dan jenis MP-ASI dengan status gizi. Penelitian ini merupakan studi cross sectional yang dilaksanakan pada bulan Mei-November 2012 pada anak usia 1-3 tahun yang berdomisili di Kota Padang. Pengumpulan data karakteristik responden, usia pemberian MP-ASI, dan jenis MP-ASI dilakukan dengan wawancara terpimpin. Pengukuran status gizi dilakukan berdasarkan BB/TB Z-score. Analisis statistik yang digunakan adalah uji chi square. Hasil penelitian menunjukan dari 200 anak, 51% anak diberi diberi MP-ASI sesuai jadwal dengan jenis MP-ASI buatan pabrik. Status gizi kurang, lebih banyak didapatkan pada anak yang diberi MP-ASI dini (33%). Tidak ditemukan anak dengan status gizi buruk.Terdapat hubungan antara usia pemberian MP-ASI dengan status gizi p= 0,001 (P 0,05).Kata kunci: MP-ASI, Status gizi, Anak usia 1-3 tahunAbstractComplementary feeding is a solid and nutrient dense foods that contain complete given to infants from 6 months of age are exclusively breastfed in addition to achieve optimal growth and development. The research objective was to determine the relationship between the age of complementary feeding and provision of complementary feeding types with nutritional status. This study is a cross-sectional study that was conducted in May-November 2012 on children aged 1-3 years who live in Padang. The characteristics of the respondents, aged giving complementary feeding, and the type of complementary feeding by the guided interview. Measurement of nutritional status is based on weight / height Z-score.The statistical analysis used was chi square test. The results showed that of 200 children, 51% children were given complementary feeding schedule. The type was given is complementary feeding of factory. Nutritional status is much less than was found in children who were given complementary feeding early (33%). There are no children with poor nutritional status. There is a significant association between age of Complementary feeding with nutritional status p = 0.001 (P 0.05).Keywords:Complementary feeding, nutritional status, children aged 1-3 year

    The Effect of Pediococcus Pentosaceus on Stool Frequency, TNF-α Level, Gut Microflora Balance in Diarrhea-induced Mice

    Full text link
    Background: Enteropathogenic Escherichia coli (EPEC) are pathogenic microorganisms causing inflammation and imbalanced gut microflora that may result in diarrhea. Pediococcus pentosaceus (P. pentosaceus) isolated from “dadih” (milk curd) are used as probiotics containing lactic acid bacteria (LAB), which are useful to improve the balance of intestinal microflora and inhibit the growth of pathogenic microorganisms. This study was aimed to recognize the effect of P. pentosaceus supplementation on stool frequency, tumor necrosis factor-α (TNF-α) and gut microflora balance in experimental mice with EPEC-induced diarrhea. Method: The study was conducted in 60 white mice (Mus muscullus) at Biomedical Laboratory, Biotechnology/Production and Animal Husbandry Technology Institute, University of Andalas, Padang in April 2012. The frequency of stool, TNF-α level and microflora balance of the mice were measured before and after the EPEC-induced diarrhea and following the administration of antibiotics. Statistical analysis was performed using ANOVA and Duncan test. Results: The highest mean stool frequency was found in positive control group, i.e. 55 times, which was reduced significantly after 12-hour P. pentosaceus supplementation in a dose of 2 x 108 cfu/g into 18 times. The mean TNF-α level in positive control group was 128.17 pg/mL that lowered significantly to 48.0 pg/mL. The highest mean total number of LAB was 97.0 x 107 cfu/g, which was significantly different from positive control group of 7 x 107 cfu/g. Conclusion: P. pentosaceus supplementation in a dose of 2 x 108 cfu/g may reduce the stool frequency, lower TNF-α and improve the gut microflora balance following 12-hour supplementation in diarrhea-induced mice

    Soluble transferrin receptor levels in obese and non obese adolescents

    Get PDF
    Background Iron deficiency in children and adolescents maybe due to an inadequate supply of iron as well as increased iron requirements for growth and developmental processes. The incr easing prevalence of obesity puts children at risk of iron deficiency. Studies on the effects of obesity on iron deficiency have focused on low grade systemic inflammation as well as examining soluble transferrin receptor levels (sTfR) as an indicator ofiron deficiency. Objective To compare sT fR levels in obese and non-obese adolescents, assess for correlations between BMI, sTfR and obesity, and determine the risk of iron deficiency in obese adolescents . Method T his cross sectional study was conducted on 20 obese and 20 non-obese adolescents aged 15-17 in East Aceh District, from September to December 20 11. Subject were chosen through cluster sampling. The obese subjects had BMI > 95th percentile and the non-obese subjects had BMI s:851h percentile based on the 2000 National Center for Health Statistics (NCHS). Exclusion criteria were blood disorders, chronic diseases, and a history of bleeding. Data were analyzed by Chi-square test and T test with a significance level of P < 0.05, and Pearson's correlation. Results The mean s TfR levels in obese adolescents was higher than in non-obese adolescents, [2.59 (SD 0.76) vs 2.14 (SD 0.45) μg/mL (P = 0.030)]. Iron deficiency (sTfR> 2.5 μgimL) was more common in obese than in non-obese adolescents [ (55% vs . 15%, respectively, (P = 0.019) ]. Analysis of the relationship between obesity according to BMI andsTfRrevealedan OR of 6.93; 95% CI 1.53 to3 1.38. The r elationship between the BMI and sTfR levels indicated a positive, moderate strength of association (r = 0.392) . Conclusion The mean sT fR levels in obese adolescents is significantly higher than in non-obese individuals. Obese adolescents have a 6.93 times higher risk of iron deficiency than non-obese adolescents. Body mass index has a positive and moderate association with sTfR

    Hubungan Lingkar Pinggang dengan Faktor Risiko Penyakit Kardiovaskular pada Anak Obesitas Usia Sekolah Dasar

    No full text
    Latar belakang. Obesitas pada masa anak cenderung menetap sampai dewasa dan meningkatnya kemungkinan menderita penyakit kardiovaskuler (PKV) di kemudian hari. Oleh karena itu perlu parameter praktis untuk mendeteksi faktor risiko tersebut lebih dini. Lingkar pinggang (LP) merupakan prediktor yang lebih baik untuk mendeteksi faktor risiko PKV pada dewasa; data epidemiologis hubungan ini pada anak masih sedikit. Tujuan penelitian. Untuk mencari apakah ada hubungan antara lingkar pinggang dengan faktor risiko penyakit kardiovaskuler pada anak obesitas usia Sekolah Dasar. Metoda. Penelitian dilakukan secara cross sectional analitik pada 100 anak obes usia SD yang berasal dari empat SD favorit di Kota Padang bulan Desember 2003 sampai dengan Januari 2004. Subyek dipilih secara consecutif sampling. Subyek penelitian yaitu anak obes terjaring ( Indeks massa tubuh > persentase 95, CDC 2000 ) yang telah mendapat persetujuan orangtuanya untuk mengikuti penelitian. Data dianalisis dengan mencari korelasi bivariat koefisien Pearson, uji t, ANOVA dan X2 dengan á 0,05 dan power 80%. Hasil. Subyek terdiri dari 59 anak laki-laki dan 41 perempuan, usia 5-13 tahun, 58 anak dengan LP > persentil 90 dan 42 anak dengan LP < persentil 90. Peningkatan LP diikuti peningkatan GDP (r=0,24), ApoB (r=0,20), Kol/HDL (r=0,25) dan LDL/HDL (r=0,25). Tujuh puluh lima persen anak obes dengan LP > p90 sudah terdapat minimal 1 faktor risiko dan 58% minimal 2 faktor risiko PKV. Anak obes dengan LP >p90 kemungkinan menderita hipertensi sistolik adalah 1,8 kali (p= 0,000 ), hipertensi diastolik 1,5 kali (p = 0,001). Kesimpulan. Terdapat hubungan LP dengan beberapa faktor risiko PKV pada anak obesitas usia sekolah dasar. Ukuran LP dapat dipakai sebagai parameter untuk mendeteksi faktor risiko PKV pada kelompok anak tersebut

    Hubungan Pola Makan dengan Status Gizi Anak Usia 3-5 tahun di Wilayah Kerja Puskesmas Nanggalo Padang 2014

    Get PDF
    AbstrakStatus gizi yang buruk merupakan salah satu penyebab kematian pada anak. Jumlah anak dengan status gizi kurang dari tahun 2011 ke tahun 2012 di wilayah kerja Puskesmas Nanggalo mengalami peningkatan. Tujuan penelitian ini adalah menentukan hubungan pola makan dengan status gizi pada anak usia 3-5 tahun di wilayah kerja Puskesmas Nanggalo. Desain penelitian ini adalah cross sectional study dengan pola makan sebagai variabel independen dan status gizi sebagai variabel dependen. Populasi penelitian ini adalah semua anak usia 3-5 tahun yang berdomisili di wilayah kerja Puskesmas Nanggalo. Pengambilan subjek menggunakan teknik simple random sampling yang dibuat secara proporsional. Analisis data menggunakan uji Fisher. Hasil penelitian yang didapatkan 68% anak dengan pola makan yang baik mempunyai status gizi normal, dan 11% anak dengan pola makan tidak baik mengalami kekurusan. Hasil uji statistik menunjukkan pola makan mempunyai hubungan dengan status gizi (p=0,000). Dapat disimpulkan bahwa terdapat hubungan yang antara pola makan dengan status gizi. Penerapan pola makan yang baik pada anak maka status gizi anak akan menjadi baik.Kata kunci: pola makan, status gizi, anak usia 3-5 tahun AbstractMalnutrition is one of the cause of childhood deaths. The year of 2011 until 2012, the cases of children with malnutrition in area of Nanggalo Health Center was increased. The objective of this study was to determine the correlation  diet on nutritional status in children aged 3-5 years old in area of Nanggalo Health Center. This research used cross-sectional study, the diet as the independent variable and nutritional status as the dependent variable. The population was all of children aged 3-5 years in area of Nanggalo Health Center. Subjects was taken by using simple random sampling technique with proportionally. The data analysis was Fisher test. The results of the study found 68% of children with a good diet have normal nutritional status, and 11% of children with a bad diet have a stunting. The Statistic results showed that diet has a relationship on nutritional status (p = 0.000). Keywords: diet, nutritional status, children aged 3-5 year old</em

    Hubungan Pemberian Enteral Makanan Dini dan Pertambahan Berat Badan pada Bayi Prematur

    No full text
    Latar belakang. Prematuritas berkaitan erat dengan mortalitas dan morbiditas pada masa neonatal. Pemberian enteral feeding dini merupakan salah satu upaya meningkatkan kemampuan adaptasi saluran cerna sehingga bayi dapat bertahan hidup dan tumbuh dan kembang dengan baik. Tujuan Penelitian. Mengetahui hubungan pemberian enteral feeding dini dan pertambahan berat badan pada bayi prematur serta faktor yang mempengaruhinya. Metode. Penelitian prospektif observasional dilakukan terhadap bayi prematur yang dirawat di Sub Bagian Perinatologi Bagian Anak RS Dr. M. Djamil Padang selama periode 1 April 2005 sampai dengan 31 Maret 2006. Enteral feeding segera diberikan setelah bayi stabil. Data dianalisis dengan uji korelasi Pearson dan regresi linear dengan nilai bermakna p<0,05. Hasil. Subjek 75 bayi, rerata usia 17,23±13,88 jam. Rerata pertambahan berat badan adalah 7,82 ± 6,31 gram/kgBB/hari. Didapatkan korelasi negatif antara enteral feeding dini dengan rerata pertambahan berat badan (r=-0,387, p=0,001). Rerata pertambahan berat badan berkurang 0,176 kali setiap jam penundaan pemberian enteral feeding. Hubungan antara enteral feeding dini dengan rerata pertambahan berat badan lebih kuat pada pasien dengan usia gestasi dan berat badan lahir yang sama (r=-0,993 dan r=-0,4076, p=0,001). Hubungan tersebut berkurang pada pasien dengan tingkat pertumbuhan intra uterin yang sama (r=-0,3737, p=0,001) dan bayi yang menderita penyakit penyerta (r=-0,2918, p=0,011). Kesimpulan. Semakin dini enteral feeding diberikan maka pertambahan berat badan semakin besar. Hubungan enteral feeding dini dengan rerata pertambahan berat badan dipengaruhi oleh usia gestasi, berat badan lahir, tingkat pertumbuhan intra uterin serta adanya penyakit penyerta
    corecore