13 research outputs found

    PERBEDAAN EKSPRESI PROFIL MEDIATOR INFLAMASI DARI MUKOSA DAN JARINGAN POLIP ANTARA RINOSINUSITIS KRONIS DENGAN RINOSINUSITIS KRONIS REKUREN

    Get PDF
    Prevalensi dan rekurensi polip yang tinggi pada Rinosinusitis kronis (RSK) merupakan masalah di bidang kesehatan Telinga Hidung Tenggorok, Bedah Kepala Leher. Penyakit ini menurunkan kualitas hidup penderita dan menimbulkan beban ekonomi tinggi. Upaya penelusuran etiologi timbulnya rekurensi polip perlu digiatkan. Pengkajian terhadap mediator inflamasi dapat menjadi peluang dalam menjawab tantangan ini. Penelitian ini bertujuan untuk membuktikan perbedaan ekspresi IL-5, IL-8, IL-17A dan TGF-β1 pada mukosa dan jaringan polip antara RSK polip dengan RSK polip rekuren dan mengetahui korelasi ekspresi IL-5, IL-8, IL-17A dan TGF-β1 antara mukosa dan jaringan pada RSK polip serta mencari ekspresi sitokin yang paling berperan di mukosa dan jaringan polip pada RSK polip rekuren. Penelitian ini merupakan penelitian observational dengan desain cross sectional komparatif. Responden adalah pasien RSK dengan polip hidung rekuren sebanyak 15 orang dan RSK polip yang belum pernah dilakukan operasi pengangkatan polip dengan jumlah yang sama. Pengambilan spesimen mukosa polip dengan cara brushing dan spesimen jaringan polip diambil saat operasi pengangkatan polip hidung. Spesimen dari mukosa polip dilakukan pemeriksaan ELISA sedangkan spesimen jaringan polip dilakukan pemeriksaan imunohistokimia (IHK). Terdapat perbedaan ekspresi IL-5 di mukosa polip yang bermakna antara RSK polip dengan RSK polip rekuren, dimana ekspresi lebih tinggi pada RSK polip rekuren. Ekspresi IL-8, IL-17 dan TGF-β1 lebih rendah pada RSK polip rekuren tetapi perbedaan tersebut tidak bermakna. Pada jaringan polip hidung terdapat perbedaan ekspresi TGF-β1 dan IL-8 yang bermakna antara RSK polip dengan RSK polip rekuren, dimana ekspresi kedua sitokin lebih rendah pada RSK polip rekuren. Ekspresi IL-5 lebih tinggi pada RS polip rekuren dibandingkan RSK polip namun perbedaannya tidak bermakna. Pada mukosa polip didapat interleukin-5 sebagai sitokin yang paling berperan pada RSK polip rekuren, sedangkan pada jaringan polip adalah TGF-β. Ditemukan hubungan bermakna IL-5 antara mukosa dan jaringan RSK polip rekuren (p=0,044) dengan korelasi positif sedang (r=0,527). Semakin tinggi ekspresi IL-5 di mukosa maka semakin tinggi juga ekspresi IL-5 di jaringan. Sementara untuk Interleukin-8 dan TGF-β1 memiliki korelasi positif rendah (IL-8, r=0,237) tetapi tidak memiliki hubungan bermakna (p<0,05). Interleukin-17A tidak ditemukan hubungan dan korelasi (r=-0,146). Penelitian menyimpulkan pada RSK polip rekuren pemeriksaan IL-5 pada mukosa dapat menggambarkan ekspresi IL-5 pada jaringan sehingga dapat dipakai sebagai kandidat prediktor rekurensi pada pasien RSK polip. Kata kunci : Rinosinusitis kronis dengan polip rekuren, IL-5, IL-8, IL-17A, TGF-β

    Gangguan Fungsi Penghidu dan Pemeriksaannya

    Get PDF
    AbstrakLatar belakang: Fungsi penghidu pada manusia memegang peranan penting. Gangguan penghidu dapat mempengaruhi keselamatan dan kualitas hidup seseorang. Tujuan: Untuk mengetahui jenis gangguan penghidu, penyebab gangguan penghidu, dan pemeriksaannya. Tinjauan Pustaka: Gangguan penghidu dapat berupa anosmia yaitu hilangnya kemampuan penghidu, atau hiposmia yaitu berkurangnya kemampuan penghidu. Gangguan penghidu disebabkan gangguan konduksi, gangguan sensoria dan gangguan neural. Penyakit tersering penyebab gangguan penghidu yaitu rinosinusitis kronis, rinitis alergi, infeksi saluran nafas atas dan trauma kepala. Ada beberapa modalitas pemeriksaan kemosensoris fungsi penghidu diantaranya Tes “Sniffin sticks”. Dengan tes „Sniffin sticks” dapat diketahui ambang penghidu, diskriminasi penghidu dan identifikasi penghidu seseorang. Kesimpulan: Gangguan penghidu memerlukan perhatian khusus. Diantara beberapa modalitas pemeriksaan kemosensoris penghidu, tes “Sniffin sticks” mempunyai beberapa kelebihan.Kata kunci: Gangguan penghidu, anosmia, hiposmia, tes “Sniffin sticks”.AbstractBackground: Olfactory function in humans plays an important role. Olfactory disorders can affect the safety and quality of life. Objective: To determine the type of olfactory disorder, the causes of olfactory disorders, and the examination. Literature Review: Olfactory disorder can be not smell anything or anosmia, and reduced of smell or hyposmia. Olfactory disorders caused by conduction disturbances, neural disturbances and sensoris disturbances. Disease that often causes disturbances of olfactory function is, chronic rhinosinusitis, allergic rhinitis, upper respiratory tract infections and head trauma. There are several modalities to examine chemosensoris smelling function, one of them is “Sniffin sticks” test. This test can examine threshold, discrimination, and identification of smelling. Conclusions: Impaired smelling require special attention. Between some modalities to examine chemosensors smelling function, “Sniffin sticks” test has several advantages.Keywords: Olfactory disorders, anosmia, hyposmia, “Sniffin sticks” test

    PARAMEDIAN FOREHEAD FLAP FOR RECONSTRUCTION OF THE NOSE

    Get PDF
    AbstrakPenutupan defek yang ditimbulkan akibat operasi di daerah kepala dan leher umumnya dapat dilakukan dengan penjahitan langsung. Untuk defek yang lebih luas, atau apabila metode penjahitan langsung tidak memungkinkan untuk dilakukan, maka dapat digunakan flap kulit. Laporan kasus ini bertujuan untuk mendemonstrasikan ke ahli THT-KL, bagaimana forehead flap dapat memperbaiki estetika dan fungsi hidung pada kasus deformitas hidung. Satu kasus deformitas pada hidung, seorang laki-laki berusia 69 tahun dengan riwayat basalioma di daerah hidung. Pada pasien dilakukan rekonstruksi hidung dengan menggunakan forehead flap. Rekonstruksi hidung menggunakan forehead flap dapat mengurangi defek pada deformitas hidung. Diperlukan analisis wajah terutama daerah hidung untuk menentukan jenis dan posisi dari flap kulit yang tepat.AbstractA Defect following head and neck surgery can often be closed using the technique of direct suture. For larger defects or in situations where direct suture is neither applicable, surgical defect in the head and neck especially at the nose, can be filled by local skin flaps. The case was reported in order to demonstrate to Otorhinolaryngology Head and Neck surgeons on how the forehead flap could restore the aesthetic and function of the nose in nasal deformity case. One case of the nasal deformity was reported in a 69 years old man with history of basal cell carcinoma on the nose. This patient was managed using the forehead flap for nasal reconstruction purpose. The employment of this technique could reduce the defects of nasal deformity. Facial analysis particularly nasal area is necessary to determine the exact kind and position of skin flap.<br /

    PARAMEDIAN FOREHEAD FLAP FOR RECONSTRUCTION OF THE NOSE

    Get PDF
    AbstrakPenutupan defek yang ditimbulkan akibat operasi di daerah kepala dan leher umumnya dapat dilakukan dengan penjahitan langsung. Untuk defek yang lebih luas, atau apabila metode penjahitan langsung tidak memungkinkan untuk dilakukan, maka dapat digunakan flap kulit. Laporan kasus ini bertujuan untuk mendemonstrasikan ke ahli THT-KL, bagaimana forehead flap dapat memperbaiki estetika dan fungsi hidung pada kasus deformitas hidung. Satu kasus deformitas pada hidung, seorang laki-laki berusia 69 tahun dengan riwayat basalioma di daerah hidung. Pada pasien dilakukan rekonstruksi hidung dengan menggunakan forehead flap. Rekonstruksi hidung menggunakan forehead flap dapat mengurangi defek pada deformitas hidung. Diperlukan analisis wajah terutama daerah hidung untuk menentukan jenis dan posisi dari flap kulit yang tepat.AbstractA Defect following head and neck surgery can often be closed using the technique of direct suture. For larger defects or in situations where direct suture is neither applicable, surgical defect in the head and neck especially at the nose, can be filled by local skin flaps. The case was reported in order to demonstrate to Otorhinolaryngology Head and Neck surgeons on how the forehead flap could restore the aesthetic and function of the nose in nasal deformity case. One case of the nasal deformity was reported in a 69 years old man with history of basal cell carcinoma on the nose. This patient was managed using the forehead flap for nasal reconstruction purpose. The employment of this technique could reduce the defects of nasal deformity. Facial analysis particularly nasal area is necessary to determine the exact kind and position of skin flap

    Augmentasi Silikon pada Hidung Pelana

    Get PDF
    AbstrakHidung pelana merupakan salah satu tantangan dalam bedah rinoplasti. Hidung pelana dapat disebabkan oleh beberapa faktor seperti trauma, infeksi dan iatrogenik. Pembedahan bertujuan untuk mengoreksi kelainan bentuk fisiologi serta meningkatkan aspek estetik dan emosional. Metode: Satu kasus hidung pelana pada anak perempuan usia 14 tahun yang yang telah ditatalaksana dengan rinoplasti eksterna dan augmentasi silikon. Hasil: Terdapat perbaikan kosmetik pada hidung pelana. Diskusi: Tujuan utama penatalaksanaan hidung pelana adalah meningkatkan penampilan hidung dengan mempertahankan fungsi hidung.Kata kunci: hidung pelana, rinoplasti eksterna, silikonAbstractSaddle nose is one of the most challenging in all of rhinoplasty surgery. Saddle nose may be caused by many factors: traumatism, infection and iatrogenic. Surgical intervention is required to correct the anatomic and physiologic disorder andd improve the aesthetic and emotional aspect. Methods: A case of saddle nose in a 14 years olg girl had been treated by external rhinoplasyi and augmentation of of silicone. Results: There cosmetic repairs on the saddle nose . Discussion: The main objective the management of saddle nose was to improve the appearance of the nose and maintain nasal function.Keywords: saddle nose, open rhinoplasty, silicon

    Diagnosis dan Penatalaksanaan Fraktur Le Fort I-II disertai Fraktur Palatoalveolar Sederhana

    Get PDF
    Pendahuluan: Fraktur pada sepertiga tengah wajah (midface) memerlukan pemeriksaan yang teliti dan penatalaksanaan yang tepat. Fraktur palatoalveolar jarang terjadi dan dapat terjadi bersamaan dengan fraktur lain pada trauma wajah. Pada beberapa dekade terakhir, berbagai modalitas penatalaksanaan fraktur sepertiga tengah wajah telah dicoba. Penatalaksanaan fraktur sepertiga tengah wajah dengan menggunakan fiksasi dengan miniplate dan screw mengungguli teknik-teknik terdahulu. Laporan Kasus: Dilaporkan satu kasus fraktur Le fort I-II dan fraktur palatoalveolar sederhana pada seorang laki-laki umur 19 tahun. Telah dilakukan Open Reduction Internal Fixation (ORIF) dengan miniplate dan screw serta pemasangan wire. Simpulan: ORIF dengan miniplate dan screw telah menjadi pilihan pada fraktur maksilofasial karena lebih stabil dalam hal fungsi dan fiksasi tulang yang lebih baik. Berdasarkan indikasi, fiksasi intermaksila, palatum splint, dan wire dapat digunakan secara tersendiri atau kombinasi untuk penatalaksanaan fraktur palatoalveolar

    Peran Kemokin dalam Patogenesis Rinitis Alergi

    Get PDF
    AbstrakLatar belakang: Rinitis alergi merupakan penyakit dengan insiden yang cukup tinggi diseluruh dunia dengan prevalensi yang semakin meningkat setiap tahun. Patogenesis rinitis alergi melibatkan reaksi imun yang cukup komplek. Tujuan: Mengetahui peranan kemotaktik sitokin (Kemokin) dalam patogenesis rinitis alergi. Tinjauan pustaka: Kemokin sebagai kemotaktik sitokin berperan dalam semua tahap reaksi alergi. CC kemokin merupakan subfamili kemokin yang berperan dalam reaksi alergi. Kemokin bekerja pada permukaan sel-sel inflamasi berikatan dengan reseptor. CCR3 merupakan reseptor dengan kadar tertinggi yang ditemukan pada permukaan eosinofil dan eotaxin sebagai ligand yang spesifik bagi CCR3. Kesimpulan: Eotaxin dan reseptor CCR3 adalah faktor yang paling menonjol dalam patogenesis rinitis alergi yang melibatkan eosinophilKata kunci: Reaksi alergi, Th2, CC Kemokin, eosinofil, CCR3 AbstractBackground: Allergic rhinitis such a disease with high incidence among the world and its prevalence appears to be increasing every year. The pathogenesis of allergic rhinitis commit complex imunological reaction. Purpose: To know the role of chemotactic cytokine (chemokine) in pathogenesis of allergic rhinitis. Literature review: Chemokine as a chemotactics cytokine participate to all allergic reaction stage. CC chemokines were subfamilial chemokines which have role in allergic reaction. They working by binding with receptor on the surface of inflamatory cells. CCR3 is the receptor with the highes level could be found on eosinophil cell membran and eotaxin was the spesific ligand to itt. Conclusion: Eotaxin and CCR3 are the major factor in pathogenesis of allergic rhinitis which is involve eosinophil.Keywords: Allergic reaction, Th2, CC Chemokines, eosinophil, CCR

    Rinosinusitis Kronis dengan Komplikasi Abses Periorbita

    Get PDF
    AbstrakAbses periorbita merupakan salah satu komplikasi dari rinosinusitis baik akut ataupun kronis. Beberapa faktor sangat berperan pada penyebab penyebaran rinosinusitis ke orbita. Diagnosis dapat ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik baik THT ataupun Mata, pemeriksaan nasoendoskopi, pemeriksaan penunjang tomografi komputer dengan gambaran perselubungan pada sinus paranasal dan orbita serta MRI. Penatalaksanaan konservatif berupa pemberian antibiotik intravena spektrum luas dan atau kombinasi, dekongestan serta kortikosteroid. Sedangkan pembedahan dapat melalui pendekatan eksternal atau pendekatan bedah sinus endoskopi fungsional (BSEF). Dilaporkan satu kasus rinosinusitis kronis dengan komplikasi abses periorbita pada laki-laki umur 16 tahun dan telah diberikan terapi konservatif selama 48 jam tetapi tidak ada perbaikan sehingga dilanjutkan dengan pembedahan melalui pendekatan BSEFKata kunci: abses periorbita, rinosinusitis kronis, bedah sinus endoskopiAbstractPeriorbital abscess is a complication of acute or chronic rhinosinusitis. There was some factors can caused the spread of rhinosinusitis into orbital region. Diagnosis can be confirmed by anamnesis, physical examination either ENT department or Opthalmic department, nasoendoscopic, computer tomographic that showed homogenous appearence on the orbital and paranasal sinuses and also MRI. Conservative management with the provision of broad-spectrum and or combination intravenous antibiotics, decongestants and corticosteroid. The surgery management can be performed with esternal approach or functional endoscopic sinus surgery (FESS). One case of chronic rhinosinusitis with complications periorbital abscess in boy aged 16 years old had presented and had given conservative therapy for 48 hours, since there is no improvement, the management then continued with FESS.Keywords: periorbital abscess, chronic rhinosinusitis, endoscopic sinus surger

    Association of Inflammation Mediator in Mucosal and Tissue of Chronic Rhinosinusitis with Recurrent Nasal Polyp

    Get PDF
    BACKGROUND: Chronic rhinosinusitis with polyps (CRSwNP) have a high risk of recurrence and patients often experience repeated surgery. There are several types of inflammatory patterns in CRSwNP, such as Th2 inflammation (eosinophilic) and Th1/Th17 inflammation (neutrophilic). AIM: This study aims to determine the expression of IL-5, IL-8, IL-17A and TGF-β in recurrent CRSwNP using the most convenient and non-invasive examination tool such as brushing the mucosal polyp and find out its correlation with polyp tissues. MATERIAL AND METHODS: A cross-sectional comparative study was carried out on 15 samples of mucosal brushing and polyp tissue. Expressions of IL-5, IL-8, IL-17A and TGF-β on mucosa were measured using the Enzyme-Linked Immunosorbent Assay (ELISA) examination and tissues using Immunohistochemical (IHC) examination. RESULT: The result showed that Only IL-5 has a significant relationship between mucosa and tissue with moderate positive correlation (p &lt; 0.05; r = 0.527). CONCLUSION: This study concluded that mucosa brushing could be used as a simple and non-invasive examination to observe the expression of IL-5 in recurrent CRSwNP. IL-5 is one of the cytokines that mark the Th2 (eosinophilic) inflammatory pattern where eosinophilic polyps are closely related to recurrence
    corecore