8 research outputs found

    Kinetika Degradasi Aktivitas Antioksidan Greenbean Robusta (Coffea canephora) dengan Penambahan Peppermint (Mentha piperita L)

    No full text
    Pertanian di Indonesia pada sektor perkebunan kopi memilki peranan strategis dalam perekonomian nasional. Pengolahan Kopi Robusta di Indonesia masih tergolong sederhana dan hanya mengandalkan hasil roasting. Sehingga diperlukan pengembangan suatu produk tanpa melalui proses roasting dan tetap mempertahankan kandungan antioksidan tanpa terdegradasi dengan cepat. Salah satu caranya adalah dengan mengembangkan produk Kopi Robusta dengan memanfaatkan greenbeannya dan dicampurkan menggunakan peppermint yang memiliki antioksidan yang sama-sama kuat. Penelitian ini dilakukan menggunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL) Faktorial yang terdiri atas dua faktor. Faktor pertama yaitu pemberian konsentrasi larutan induk filtrat greenbean-peppermint sebesar 100 ppm, 150 ppm, dan 200 ppm. Faktor kedua adalah waktu penyimpanan selama 0 jam, 2 jam, 4 jam, 6 jam, dan 8 jam. Sedangkan untuk mengukur kinetika degradasi antioksidan menggunakan rumus Arrhenius. Analisis statistik menggunakan ANOVA (Analysis Of Variance) pada α = 5% untuk mengetahui ada tidaknya perbedaan nyata pada setiap perlakuan yang di uji. Jika perlakuan menunjukkan perbadaan yang nyata, maka akan digunakan uji lanjut. Apabila perlakuan tidak menunjukkan perlakuan yang tidak berbeda nyata maka akan langsung menggunakan t-test untuk mengetahui perbedaan perlakuan dengan kontrol. Parameter yang diamati berupa absorbansi, inhibisi, aktivitas antioksidan, energi aktivasi, dan waktu paruh. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pengaruh konsentrasi dan waktu penyimpanan pada inkubator tidak memberikan pengaruh nyata terhadap absorbansi, inhibisi, aktivitas antioksidan, energi aktivasi, dan waktu paruh. Sehingga pada uji t-test menunjukkan bahwa aktivitas antioksidan greenbean-peppermint dengan penyimpanan selama 8 jam dengan suhu penyimpanan 350C menggunakan bahan greenbean yang dicampur dengan peppermint dimana aktivitas antioksidan terbaik mengikuti kinetika reaksi orde kedua dengan R2=0,605, Nilai pH yang baik dikonsumsi adalah pH<7, IC50 sebesar 71,2 dan inhibisi tertinggi sebesar 79%. Penyimpanan yang baik selama 6 jam. Energi aktivasi sebesar 41,57x103 KJ/mol, waktu paruh sebesar 2,74 menit

    Analisis Pengeringan Irisan Umbi Talas (Colocasia Esculenta L.) Menggunakan Alat Pengering Tungku Hibrid Dengan Perlakuan Blower Dan Tanpa Blower

    No full text
    Talas (Colocasia esculenta L.) merupakan salah satu tanaman pangan yang memiliki. kandungan air yang tinggi. Sehingga, perlu adanya pengeringan sebelum diolah menjadi bahan pangan. Salah satu contoh pengeringan adalah secara mekanis yang dapat dilakukan adalah dengan menggunakan alat pengering tungku hibrid. Alat pengering ini menggunakan biomassa sebagai bahan bakar untuk memanaskan ruang pengering tempat dimana talas akan dikeringkan. Tujuan dari penelitian ini adalah menganalisa proses pengeringan umbi talas dengan menggunakan alat pengering tungku hibrid dengan perlakuan blower dan tanpa blower serta mengetahui kombinasi pengeringan yang terbaik. Pengamatan yang dilakukan pada alat pengering yaitu analisa teknis dengan blower menggunakan parameter suhu, RH, serta perbandingannya dengan pengeringan tanpa alat yang ditentukan dari nilai kadar air, laju pengeringan, dan penurunan massa bahan. Pada penelitian ini, didapat hasil, laju pengeringan irisan yang didapat yaitu 2,23%bb/jam pada talas 3 mm tanpa blower, 2,99%bb/jam pada pengeringan irisan talas 3 mm dengan blower, 1,31%bb/jam pada x pengeringan irisan talas 5 mm tanpa blower, dan 0,84%bb/jam pada pengeringan irisan talas 5 mm dengan blower. Pada perlakuan 3 mm tanpa blower, mengeluarkan energi sebesar 623946,05 kJ dengan energi input pengeringan sebesar 59876,468 kJ, sedangkan pada perlakuan dengan 3 mm dengan blower energi yang dikeluarkan selama pengeringan sebesar 429548,74 kJ dengan energi input pengeringan sebesar 47133,35 kJ. Pada perlakuan 5 mm tanpa blower, mengeluarkan energi sebesar 436805,43 kJ dengan energi input pengeringan sebesar 56534,18 kJ, sedangkan pada perlakuan dengan 5 mm dengan blower energi yang dikeluarkan selama pengeringan sebesar 265405,14 kJ dengan energi input pengeringan sebesar 60725,31 kJ. Efisiensi perlakuan pengeringan irisan talas tanpa blower memiliki nilai yang lebih tinggi daripada pengeringan irisan talas dengan blower yaitu sebesar 10,42% pada pengeringan irisan talas 3 mm tanpa blower dan 7,91% pada pengeringan irisan talas 5 mm tanpa blower dan 7,91%. Sedangkan pengeringan irisan talas 3 mm dan 5 mm dengan blower memiliki nilai sebesar 6,99% dan 4,37%

    Uji Kinerja Mesin Penyangrai serbaguna DMP1 dengan Menggunakan Komoditi Biji Kopi Robusta

    No full text
    Kopi merupakan komoditas tropis yang dieprdagangkan diseluruh dunia dan Indonesia menjadi salah satu dari empat negara yang menjadi pemasok biji kopi dunia setelah Brazil, Vietnam dan Kolombia dengan kisaran 4,76 terhadap total ekspor dunia. Banyak petani Indonesia yang melakukan proses penyangraian biji kopi robusta masih menggunakan cara tradisional. Namun saat ini telah dikembangkan mesin penyangrai serbaguna yang juga dapat digunakan untuk menyangrai biji kopi robusta sehingga mempermudah proses pengeringan serta mempersingkat waktu. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kinerja mesin penyangrai DMP1 pada biji kopi robusta sehingga dapat diketahui apakah mesin ini efisien digunakan untuk biji kopi robusta. Kemudian dilakukan analisis ekonomi pengoperasian dilakukan untuk membandingkan keekonomisan penyangraian menggunakan mesin DMP1 dan pengeringan manual. Dalam pelaksanaan penelitian, digunakan biji kopi robusta sebanyak 1 kilogram setiap percobaan dengan perlakuan waktu 30 menit, 50 menit, 70 menit dengan pengulangan sebanyak 3 kali untuk setiap perlakuan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa nilai suhu bahan setelah proses penyangraian dan suhu ruang silinder sangrai paling tinggi terdapat pada perlakuan P3 dengan waktu 70 menit di mana suhu bahan setelah penyangraian sebesar 43,00ËšC dan suhu dinding sangrai sebesar 94,76ËšC. Nilai rata-rata RH dari ruang sangrai untuk waktu P1, P2, dan P3 berturut-turut adalah 61%, 61%, dan 62%, dimana RH pada ruang sangrai tidak terpengaruh oleh lama waktu penyangraian. Nilai rata-rata Torsi untuk waktu P1, P2, dan P3 berturut-turut adalah 69,44 (N.m), 67,06 (N.m), dan 67,53 (N.m). Rata-rata konsumsi bahan bakar gas pada perlakuan lama waktu penyangraian 30, 50 dan 70 menit secara berurutan 0,2 Kg, 0,24 Kg, dan 0,342 Kg. Nilai energi mesin pada 3 perlakuan lama waktu penyangraian P1 (30 menit), P2 (50 menit), P3 (70 menit) secara berurutan yaitu 65,88933 kJ/kg, 71,42 kJ/kg dan 157,5523 kJ/kg. Daya yang dipakai makin tinggi maka nilai energi mesin akan tinggi. Mesin penyangrai serbaguna untuk biji kopi beras sudah termasuk dalam kriteria mesin yang baik dikarenakan nilai rendemen penyangraian mencapai 97,1%, dimana dimana dapat disimpulkan bahwa nilai tersebut diasumsikan bahwa proses penyangraian pati ganyong masih baik dikarenakan mempunyai nilai range antara 80-100%. Penyangraian dengan waktu 30, 50, dan 70 menit rata-rata nilai kadar air secara berurutan yaitu 9,03%, 8,17%, dan 7,07%, dimana kadar biji kopi beras sesuain dengan SNI 3451:2011 yaitu 14-15%. Aroma biji kopi beras Dampit Kabupaten Malang menunjukan aroma yang agak kuat, maka dapat disimpulkan bahwa lama waktu sangrai mempengaruhi tingkat aroma pada biji kopi beras

    Pengaruh Konsentrasi Karagenan dan Ekstrak Daun Kelor Terhadap Karakteristik Fisiko-Kimia Mie Shirataki Berbahan Dasar Tepung Porang

    No full text
    Mie shirataki merupakan salah satu jenis mie yang memiliki bahan dasar tepung porang. Tepung porang memiliki kadar glukomannan dalam jumlah yang tinggi, serta memiliki kadar karbohidrat dan kalori yang rendah. Glukomannan merupakan polisakarida mannan yang banyak dimanfaatkan, terutama sebagai bahan utama dalam pembuatan pangan dalam program diet. Tingkat kesukaan masyarakat yang rendah terhadap mie shirataki dikarenakan tekstur yang lembek dan nutrisi yang rendah maka mie shirataki dapat ditambahkan karagenan sebagai tambahan bahan baku dan ekstrak daun kelor sebagai bahan tambahan. Pemilihan karagenan sebagai bahan baku tambahan mie dikarenakan sinergitas karagenan dan glukomannan yang dapat menghasilkan tekstur mie yang lebih padat dan tidak lembek, sedangkan penambahan ekstrak daun kelor dikarenakan daun kelor dapat memperbaiki tekstur pada mie shirataki juga menambah kandungan nutrisi pada mie. Daun kelor memiliki kandungan utama berupa kalsium, vitamin B, vitamin A, vitamin C, protein, dan kalium. Daun kelor juga mengandung 18 asam amino yang terdiri dari 8 jenis asam amino esensial dan 10 jenis asam amino nonesensial. Tujuan dari penelitian ini yaitu untuk menganalisis pengaruh penambahan ekstrak daun kelor terhadap kandungan nutrisi pada mie shirataki, menganalisis pengaruh perbandingan karagenan terhadap tekstur pada mie shirataki, serta mengetahui perlakuan dengan kualitas terbaik pada mie shirataki dengan perbedaan konsentrasi karagenan dan ekstrak daun kelor. Penelitian ini menggunakan rancangan acak kelompok (RAK) dengan dua faktor yaitu konsentrasi karagenan dan konsentrasi ekstrak daun kelor dengan tiga kali pengulangan. Analisa data menggunakan ANOVA (Analysis of Variance) yang dilanjut dengan uji Duncan Multiple Range Test (DMRT) menggunakan taraf uji 0,05. Metode De Garmo digunakan untuk menentukan perlakuan terbaik, yang dilanjut dengan uji kimia. Hasil uji fisik menghasilkan mie shirataki dengan konsentrasi karagenan dan ekstrak daun kelor terbaik memiliki kadar air sebesar 96,42%, daya serap air sebesar 92,29%, warna +L* sebesar 52,29, warna +a* sebesar 3,55 +b* sebesar 27,83 dan nilai hardness sebesar 54,50 g. Uji kimia kalori mie shirataki perlakuan terbaik memiliki nilai protein sebesar 0,19 g dan kalori sebanyak 12 kkal

    Identifikasi Perubahan Warna pada Pengeringan Vakum Jamur Kancing (Agaricus bisporus)

    No full text
    Jamur kancing memiliki kandungan gizi yang cukup banyak, yaitu pada setiap 96 gramnya, jamur kancing mengandung 21 kkal kalori, karbohidrat (3 g), serat (1 g), protein (3 g), lemak (0 g), vitamin D, selenium, fosfor, dan folat (vitamin B9). Jamur kancing bersifat mudah rusak, oleh karena itu harus ditangani dengan metode yang tepat pada saat penanganan pasca panen yaitu salah satunya menggunakan pengeringan vakum. Pengeringan vakum merupakan salah satu jenis metode pengeringan mekanis yang menggunakan suatu alat yaitu pengering vakum (vacuum dryer) dimana tekanan parsial uap air udara dalam ruangan diturunkan, sehingga air yang terkandung dalam bahan dapat tertarik keluar. Untuk menentukan fenomena perubahan fisik selama pengeringan vakum yaitu perubahan warna dari putih menjadi kecoklatan. Dalam mengidentifikasi perubahan fenomenan tersebut dilakukan pendekatan pemodelan untuk memprediksi perubahan warna dengan menggunakan persamaan model matematika

    Kajian Aktivitas Enzim Diastase dan Sifat Fisik Madu Bubuk Pasca Proses Pengeringan Vakum

    No full text
    Tujuan penelitian ini adalah aktivitas enzim diastase dan sifat fisik dari madu akasia bubuk dan madu karet bubuk yang dihasilkan melalui metode pengeringan vakum. Metode yang digunakan adalah pengujian skala laboratorium terhadap madu bubuk akasia dan madu bubuk karet dengan mengkuantitatifkan angka aktivitas enzim diastase, kadar air, flowability, dan massa jenis. Hasilnya ditemukan bahwa madu bubuk karet dengan rasio madu segar : bahan pengisi 6:4 memiliki nilai diastase paling tinggi sebesar 2,157 dan sifat fisik yang paling ideal karena rendahnya kadar air 7,33% (b/b), massa jenis tinggi sebesar 0,604gr/cm3, dan flowability yang bagus dengan sudut tenang

    Pengaruh Perbedaan Warna Light Emitting Diode (LED) dan Lama Penyinaran Terhadap Tanaman Selada (Lactuca sativa L. var. Grand Rapids) Dengan sistem Hidroponik Sumbu (Wick System)

    No full text
    Beralih fungsinya lahan pertanian menjadi bangunan perumahan dan perkantoran menyebabkan menurunnya lahan yang dapat dimanfaatkan sebagai tempat bercocok tanam. Untuk dapat meningkatkan kembali produktivitas tanaman bisa dilakukan dengan hidroponik. Hidroponik sistem wick merupakan hidroponik yang paling sederhana yang tidak membutuhkan listrik, pompa dan aerator. Pada prinsipnya, hidroponik sistem wick memanfaatkan daya kapilaritas air melalui perantara sumbu. Sumbu tersebut akan menghubungkan antara nutrisi dengan media tanam agar tanaman tetap tumbuh. Selada termasuk tanaman yang dapat dibudidaya menggunakan sistem hidroponik dan termasuk tanaman hari panjang yang memerlukan penyinaran selama 14-16 jam setiap hari ntuk mendapatkan pertumbuhan yang maksimal. Salah satu upaya yang dapat dilakukan untuk mendapatkan penyinaran yang cukup dapat dilakukan dengan penambahan LED. LED atau Light Emitting Diode dapat menjadi salah satu alternatif yang dapat membantu mengoptimalkan pertumbuhan tanaman karena memiliki cahaya cerah dengan spektrum sesuai yang dibutuhkan oleh tanaman. Selain itu, penggunaan lampu LED juga dapat menghemat energi dan panas yang dihasilkan tidak akan merusak tanaman. Pada penelitian ini akan dirancang bagaimana penggunaan LED pada hidroponik sistem wick dan pengaruhnya terhadap tanaman selada karena adanya penambahan cahaya untuk pertumbuhan tanaman. Pada penelitian ini menggunakan metode pengolahan data Rancangan Acak Kelompok Faktorial 2 faktorial, faktor pertama yaitu warna lampu LED ((merah 100%, biru 100%, putih 100% dan gabungan (merah 75%, biru 10% dan putih 15%)) dan faktor kedua yaitu lama penyinaran selama 3 jam dan 12 jam. Tanaman perlakuan tersebut akan dibandingkan dengan tanaman kontrol. Parameter yang diamati yaitu indeks kehijauan daun, tinggi tanaman, lebar daun, luas daun, jumlah daun, bobot segar panen dan panjang akar. Berdasarkan hasil pengamatan, warna lampu LED dan lama penyinaran memberikan pengaruh yang baik terhadap pertumbuhan tanaman selada pada beberapa parameter. Pada indeks kehijauan penambahan LED dan lama penyinaran tidak berpengaruh nyata, perlakuan warna putih selama 3 jam menghasilkan 22.77 unit dibandingkan dengan kontrol sebesar 20.81 unit. Perlakuan warna memberikan pengaruh nyata pada tinggi tanaman pada hari ke 10 HST, 15 HST dan 20 HST dan perlakuan lama penyinaran memberikan pengaruh nyata pada umur 20 HST, namun perlakuan kontrol memiliki rata-rata lebih tinggi yaitu 10.73 cm dibandingkan dengan perlakuan. Pada lebar daun juga tidak memberikan pengaruh nyata, perlakuan warna biru selama 12 jam menghasilkan 11.48 cm dibandingkan kontrol sebesar 11.37 cm. Perlakuan warna dan interaksi antara warna dan lama penyinaran memberikan pengaruh nyata pada luas daun, pada kontrol memberikan nilai lebih tinggi dibandingkan perlakuan lain sebesar 142.51 cm2. Perlakuan warna dan lama penyinaran memberikan pengaruh sangat nyata pada jumlah daun, pada perlakuan warna memberikan pengaruh pada sat umur selada 30 HST sedangkan lama penyinaran memberikan pengaruh pada saat umur 20 HST dan 30 HST dengan jumlah daun lebih banyak dibandingkan dengan kontrol 6.32 helai. Pada parameter bobot segar panen, warna memberikan pengaruh nyata pada perlakuan warna gabungan (merah 75%, biru 10% dan putih 15%) selama 3 jam memberikan hasil paling besar yaitu 28.07 gram dibandingkan dengan kontrol sebesar 26.07 gram. Pada panjang akar penambahan warna memberikan pengaruh yang berbeda nyata, namun nilai panjang akar tertinggi terdapat pada perlakuan kontrol sebesar 25.99 cm dibandingkan dengan perlakuan

    Pasteurisasi Jus Buah Sirsak (Annona muricata L): Optimasi Proses, Analisis Ekonomi dan Scale Up

    No full text
    Minat pada buah sirsak dan turunannya telah meningkat dari waktu ke waktu dengan banyak artikel ilmiah melaporkan manfaat kesehatannya. Beberapa penelitian terbaru melaporkan adanya senyawa bioaktif dan fitokimia dari sari buah sirsak. Namun buah tropis cenderung memiliki penanganan pasca panen yang berbeda dari yang lain. Serangkaian proses dari panen hingga ekstraksi memainkan peran penting untuk produk akhirnya. inaktivasi termal enzim PPO yang menyebabkan warna kecoklatan dapat digunakan untuk meningkatkan kualitas sari buah sirsak. Proses ini dapat dilakukan dengan menggunakan pasteurisasi dengan mempertimbangkan sifat resisten pada panas senyawa bioaktif pada sari buah sirsak. Penelitian ini bertujuan untuk menentukan formulasi yang optimal untuk parameter proses, analisa ekonomi kemudian penggandaan skala alat dengan pembuatan desain gambar teknik alat. Response Surface Metodhology (RSM) merupakan metode yang digunakan untuk mengoptimalkan proses dan formulasi sari buah sirsak. Dalam penelitian ini digunakan dua faktor yaitu suhu pasteurisasi dan waktu pemanasan untuk menentukan total fenol dan flavonoid paling optimal, perubahan warna dan inaktivasi enzim PPO. Proses verifikasi diperlukan untuk memeriksa kecukupan model dengan membandingkan nilai eksperimen dan nilai prediksi. Hasil dari proses optimasi akan digunakan sebagai acuan untuk proses evaluasi kelayakan ekonomi jus buah sirsak dan menentukan kelayakan dari proses penggandaan skala alat pasteurisator. Penelitian menemukan bahwa kondisi optimum proses pasteurisasi adalah suhu 71,92 0C dan waktu 10,085 menit dengan nilai desirability atau derajat ketepatan sebesar 0,809. Analisis kelayakan ekonomi memberikan hasil bahwa skala 50 liter memberikan keuntungan yang lebih di masa depan secara analisis ekonomi. Hasil analisis dan pengukuran dari desain pasteurisator skala 50 liter didapatkan dengan ratio diameter : tinggi tangki pemanasan yaitu 0, 31 meter : 0,93 meter dengan tipe pengaduk low pitch propeller
    corecore