12 research outputs found

    FAKTOR- FAKTOR YANG BERASOSIASI PADA KEJADIAN STUNTING PADA BAYI DI BAWAH DUA TAHUN DI WILAYAH KERJA PUSKESMAS PANDRAH KABUPATEN BIREUEN

    Get PDF
    Stunting is a condition of physical growth failure characterized by height for age under -2 SD from the WHOchart growth standard. This study used adesign cross sectional with variables of birth weight, non-exclusive breastfeeding, maternal education, education. father, history of ANC visits, socio-economic history, and work history of parents.  This study used a sample of 56 baduta who were stunting. The sample in this study, namely mothers who have baduta. This study uses instruments in the form of a questionnaire and an infantometer. Data analysis used univariable analysis, bivariable analysis with chi square test and multivariable with logistic regression analysis.  The results showed that the prevalence of stunting in the study site was 31.8%, the factor most associated with stunting in the ANC visit was POR = 10.54 (95% CI: 4.20-25.03) p value

    Hubungan Pola Makan dan Pola Aktivitas Fisis dengan Obesitas pada Anak

    Full text link
    Perubahan gaya hidup yang juga berpengaruh terhadap Perubahan polakonsumsi pangan dan pola aktivitas fisis menyebabkan prevalensi obesitas padaanak di Indonesia cenderung meningkat. Tujuan penelitian ini adalah untukmenyelidiki hubungan antara pola makan dan pola aktivitas fisis denganterjadinya obesitas primer pada anak. Penelitian dilakukan pada 122 anak berusia4-12 tahun di Kota Bandung antara bulan Mei dan Juli 2000. Status obesitasditentukan berdasarkan klasifikasi indeks massa tubuh (IMT) dan berat badanterhadap tinggi badan (BBTB). Kepada 122 subjek ini dilakukan wawancara polamakan menurut pola kebiasaan (PK) dan rekaman diet 24 jam (RD) yang meliputiambilan kalori, makronutrien, dan mikronutrien yang dinyatakan dalam persenterhadap angka Kecukupan Gizi yang dianjurkan (KGA) untuk anak, jugawawancara skor aktivitas fisis (SAF) dan rekaman aktivitas fisis harian yangdinyatakn dalam keluaran energi (KE). Hasil penelitian menunjukkan bahwajumlah anak obes adalah sebanyak 81 orang dan non obes 41 orang berdasarkanklasifikasi IMT, sedangkan berdasarkan BB-TB didapatkan anak obes sebanyak 47orang dan non obes 75 orang. Ambilan kalori anak obes lebih besar dari anak nonobes dengan perbedaan sangat bermakna berdasarkan RD baik padapengklasifikasian status obesitas menurut IMT (p=0,0,026) dan BB-TB(p=0,0001). Ambilan makronutrien berdasarkan wawancara PK/RD antara anaknon obes dan obes menurut IMT/BB-TB tidak menunjukkan perbedaan bermakna,baik dalam ambilan karbohidrat, lemak, maupun protein (p.0,05). Hasil ANOVAmenunjukkan bahwa berdasarkan PK dan derajat obesitas IMT, lemak merupakanmakronutrien yang paling berperan (F=3,392; p=0,006) tetapi berdasarkan BBTB,kalori lebih berperan (F=2,557; p=0,042). Berdasarkan RD pada statusobesitas IMT maupun BB-TB, ambilan karbohidrat yang paling erat hubungannyadengan derajat obesitas (F=7,909; p=0,007 dan F=6,928; p=0.010). Ambilanmikronutrien tidak menunjukkan perbedaan bermakna antara anak non obes danobes (p>0,05), kecuali untuk masukan kalsium berdasarkan PK dan statusobesitas berdasarkan BB-TB (p=0,043). Hasil uji t terhadap aktivitas fisismenunjukkan bahwa anak non obes memiliki SAF lebih tinggi daripada anak obes(p=0,000), dan dengan korelasi Pearson, SAF berkorelasi negatif negatif secarabermakna dengan IMT (r=-0,615; p=0,000). Sementara itu selisih ambil kalori(PK/RD) dan keluaran energi (KE) anak non obes lebih besar daripada anak obespada klasifikasi status obesitas menurut IMT [p=0,001 (PK) dan p=0.0068 (RD)].Pola makan dengan ambilan kalori berlebih dan aktivitas fisis rendahberhubungan dengan terjadinya obesitas pada anak, sedangkan derajat obesitaslebih dipengaruhi oleh ambilan nutrien lemak dan karbohidrat

    HUBUNGAN POLA MAKAN DAN POLA AKTIVITAS FISIS DENGAN OBESITAS PADA ANAK

    Get PDF
    Perubahan gaya hidup yang juga berpengaruh terhadap perubahan polakonsumsi pangan dan pola aktivitas fisis menyebabkan prevalensi obesitas padaanak di Indonesia cenderung meningkat. Tujuan penelitian ini adalah untukmenyelidiki hubungan antara pola makan dan pola aktivitas fisis denganterjadinya obesitas primer pada anak. Penelitian dilakukan pada 122 anak berusia4-12 tahun di Kota Bandung antara bulan Mei dan Juli 2000. Status obesitasditentukan berdasarkan klasifikasi indeks massa tubuh (IMT) dan berat badanterhadap tinggi badan (BBTB). Kepada 122 subjek ini dilakukan wawancara polamakan menurut pola kebiasaan (PK) dan rekaman diet 24 jam (RD) yang meliputiambilan kalori, makronutrien, dan mikronutrien yang dinyatakan dalam persenterhadap angka Kecukupan Gizi yang dianjurkan (KGA) untuk anak, jugawawancara skor aktivitas fisis (SAF) dan rekaman aktivitas fisis harian yangdinyatakn dalam keluaran energi (KE). Hasil penelitian menunjukkan bahwajumlah anak obes adalah sebanyak 81 orang dan non obes 41 orang berdasarkanklasifikasi IMT, sedangkan berdasarkan BB-TB didapatkan anak obes sebanyak 47orang dan non obes 75 orang. Ambilan kalori anak obes lebih besar dari anak nonobes dengan perbedaan sangat bermakna berdasarkan RD baik padapengklasifikasian status obesitas menurut IMT (p=0,0,026) dan BB-TB(p=0,0001). Ambilan makronutrien berdasarkan wawancara PK/RD antara anaknon obes dan obes menurut IMT/BB-TB tidak menunjukkan perbedaan bermakna,baik dalam ambilan karbohidrat, lemak, maupun protein (p.0,05). Hasil ANOVAmenunjukkan bahwa berdasarkan PK dan derajat obesitas IMT, lemak merupakanmakronutrien yang paling berperan (F=3,392; p=0,006) tetapi berdasarkan BBTB,kalori lebih berperan (F=2,557; p=0,042). Berdasarkan RD pada statusobesitas IMT maupun BB-TB, ambilan karbohidrat yang paling erat hubungannyadengan derajat obesitas (F=7,909; p=0,007 dan F=6,928; p=0.010). Ambilanmikronutrien tidak menunjukkan perbedaan bermakna antara anak non obes danobes (p>0,05), kecuali untuk masukan kalsium berdasarkan PK dan statusobesitas berdasarkan BB-TB (p=0,043). Hasil uji t terhadap aktivitas fisismenunjukkan bahwa anak non obes memiliki SAF lebih tinggi daripada anak obes(p=0,000), dan dengan korelasi Pearson, SAF berkorelasi negatif negatif secarabermakna dengan IMT (r=-0,615; p=0,000). Sementara itu selisih ambil kalori(PK/RD) dan keluaran energi (KE) anak non obes lebih besar daripada anak obespada klasifikasi status obesitas menurut IMT [p=0,001 (PK) dan p=0.0068 (RD)].Pola makan dengan ambilan kalori berlebih dan aktivitas fisis rendahberhubungan dengan terjadinya obesitas pada anak, sedangkan derajat obesitaslebih dipengaruhi oleh ambilan nutrien lemak dan karbohidrat.Kata kunci: Pola makan, pola Aktivitas, obesitas pada anak

    POLA PERTUMBUHAN BAYI YANG MENDAPAT ASI EKSKLUSIF PADA BEBERAPA KECAMATAN DI WILAYAH KOTA MADYA BANDUNG

    Get PDF
    Pemberian makanan yang kurang pada bulan-bulan pertama kehidupan akan mempunyai dampak negatif paling besar terhadap pertumbuhan dan perkembangan anak. Saat ini direkomendasikan pemberian air susu ibu (ASI) secara eksklusif sampai bayi berusia 4 – 6 bulan. Untuk menjawab apakah ibuibu di Indonesia sanggup memproduksi dan memberikan kepada bayinya ASI yang cukup untuk menjamin tumbuh kembang optimal sekurang-kurangnya untuk 4 bulan pertama, dilakukan pemantauan berat badan dan panjang badan bayi-bayi yang mendapat ASI eksklusif. Dari 100 ibu bersalin yang diteliti, 56 bayinya (56%) diberi ASI eksklusif sampai usia 4 bulan, terdiri dari 27 bayi perempuan dan 29 bayi laki-laki. Median berat badan dan panjang badan bayi perempuan dari usia 0, 1, 2, 3, dan 4 bulan berturut-turut : 3000, 3800, 4200, 4500, 6000 gram dan 49,0; 52,5; 55,9; 58,5; 61,0 sentimeter. Bila dibandingkan dengan standar berat badan terhadap umur (BB/U) dan panjang badan terhadap umur (PB/U) dari WHO/NCHS, maka didapat ZSci-BB/U berturut-turut -0,50; - 0,43; -0,42; -0,40; -0,40 dan ZSci-PB/U berturut-turut -0,42; -0,43;, -0,38; -0,40; -0,40. Median berat badan dan panjang badan bayi laki-laki : 3150, 4050, 4900, 5700, 6300 gram dan 50,0; 53,8; 57,2; 60,0; 62,0 sentimeter. ZSci-BB/U berturut-turut : -0,30; -0,36; -0,37; -0,33; -0,36, dan ZSci-PB/U : -0,22; -0,33; - 0,35; -0,42; dan -0,63. Hasil penelitian ini memperlihatkan bahwa pemberian ASI secara eksklusif sampai usia 4 bulan dapat menjamin pertumbuhan bayi yang optimal (Z-score > -2 skor simpang baku). Kata kunci : ASI eksklusif, tumbuh kemban

    Factors Influencing Outcomes of Children Hospitalized with Acute Severe Malnutrition

    Get PDF
    Background: Nutrition is still a global health issue, and improving nutrition is among the targets of the Sustainable Developmental Goals (SDGs). One of Indonesia’s SDGs indicators is to reduce prevalence of malnutrition in children. Indonesia, as a developing country, implements a comprehensive malnutrition treatment program for children, including various aspects related to management of children with acute malnutrition. The purpose of this study was to identify factors associated with the outcome of children hospitalized with acute severe malnutrition. Methods: This cross sectional study enrolled 195 children with severe acute malnutrition, admitted to hospital from November 2016 to August 2017. Statistical Analysis was conducted using multivariable logistic regression to identify factors associated with the outcome. Adjusted Ratio with Confident Interval 95% and the value of P <0 .05 was considered significant. Result: A total of 195 children were diagnosed havings acute severe malnutrition. A history of complete immunization status (p value <0.001) was proved to be directly proportional to the recovery rate of patients with acute severe malnutrition. Provision of other types of antibiotic (p value 0.001) showed to increase recovery rates of patients with acute severe malnutrition. Several comorbid diseases reduced recovery rates such as pneumonia (Crude OR 0.619) tuberculosis (Crude OR 0.606) and HIV (p value 0.08). Conclusions: This study shows that although the provided treatments are appropriate with the standard treatment for severe malnutrition, they still encounter high levels of morbidity. Further large-scale studies should be conducted to develop better interventions and management of acute severe malnutrition, in order to achieve better outcome

    Perbedaan Kadar Vitamin D antara Hipotiroid Kongenital dan Anak Sehat

    No full text
    Latar belakang. Pertumbuhan dan perkembangan yang optimal pada anak dengan hipotiroid kongenital ditunjang oleh nutrisi yang seimbang dan adekuat. Salah satu mikronutrien yang dibutuhkan adalah vitamin D. Di Indonesia, belum ada data kadar vitamin D pada anak dengan hipotiroid kongenital. Tujuan. menentukan perbedaan kadar vitamin D antara hipotiroid kongenital dan anak sehat. Metode. Studi comparative dengan rancangan potong lintang kriteria inklusi anak berusia 1 bulan–5 tahun yang tidak mendapat suplementasi vitamin D. Periode penelitian bulan Juli hingga Desember 2015. Pemeriksaan kadar vitamin D dilakukan dengan metode ELISA. Perbedaan kadar vitamin D pada kedua kelompok dianalisis dengan Mann Whitney. Hasil. Didapatkan 70 subjek yang memenuhi kriteria inklusi terdiri atas 35 anak dengan hipotiroid kongenital dan 35 anak sehat. Kadar vitamin D rerata pada kelompok hipotiroid kongenital adalah 85,87 nmol/L dan pada kelompok anak sehat adalah 97,74 nmol/L. Kadar vitamin D pada hipotiroid kongenital berbeda bermakna dengan anak sehat (p<0,001). Kesimpulan. Kadar vitamin D pada hipotiroid kongenital lebih rendah daripada anak sehat

    Perbandingan Kadar N-Acetyl-ß-D-Glucosaminidase Urin pada Thalassemia ß Mayor Anak yang Mendapat Deferipron dan Deferasiroks

    No full text
    Latar belakang. Gangguan fungsi ginjal pasien thalassemia ß dapat terjadi pada tingkat glomerulus ataupun tubulus. Kelainan tubulus ginjal merupakan kelainan patologi yang lebih banyak dijumpai pada biopsi ginjal thalassemia ß. Saat ini, penggunaan kelasi besi oral pada pasien thalassemia lebih disukai karena tingkat kepatuhan yang lebih tinggi. Tujuan. Menganalisis perbandingan aktivitas N-acetyl-β-D-glucosaminidase (NAG) urin sebagai penanda disfungsi tubulus ginjal pada thalassemia ß mayor anak yang mendapat kelasi besi oral deferipron dan deferasiroks. Metode. Penelitian analitik dengan metode potong lintang dilakukan sejak bulan Februari sampai dengan Juni 2013. Subjek terdiri atas anak usia 10-14 tahun dengan diagnosis klinis thalassemia ß mayor yang datang ke Poli Thalassemia Anak RS Dr. Hasan Sadikin Bandung yang mendapat deferipron atau deferasiroks. Pemeriksaan kadar NAG urin dilakukan pada saat kontrol. Data dianalisis dengan uji Mann Whitney dan analisis kovarian dilakukan untuk menyingkirkan variabel perancu. Hasil. Subjek terdiri atas 36 anak, 18 kelompok deferipron dan 18 deferasiroks. Terdapat peningkatan rerata kadar NAG/kreatinin urin pada kedua kelompok (deferipron 20,1 (SB 13,4) nkat/mmol; deferasiroks: 23,4 (SB 17,8) nkat/mmol). Analisis komparasi menunjukkan hubungan yang tidak bermakna antara kadar NAG/kreatinin urin pada kedua kelompok (p=0,743). Analisis multivariabel untuk mengetahui peranan variabel perancu terhadap kadar NAG/kreatinin urin juga menunjukkan hasil yang tidak bermakna (p>0,05). Kesimpulan. Penelitian ini menunjukkan bahwa terdapat peningkatan kadar NAG/kreatinin urin sebagai penanda gangguan fungsi tubulus ginjal pada thalassemia ß mayor yang mendapat kelasi besi oral, meskipun tidak terdapat perbedaan antara kelompok deferasiroks dan deferipron

    Perbandingan Fungsi Kognitif Bayi Usia 6 Bulan yang Mendapat dan yang Tidak Mendapat ASI Eksklusif

    No full text
    Latar belakang. Salah satu faktor yang mempengaruhi tumbuh kembang anak adalah faktor nutrisi terutama pemberian ASI eksklusif. Hubungan antara ASI eksklusif dan perkembangan kognitif telah diketahui pada anak usia sekolah tetapi pada bayi belum banyak diketahui dan belum ada penelitian yang mengukur IQ pada bayi khususnya di Indonesia. Tujuan penelitian. Membandingkan fungsi kognitif bayi berusia 6 bulan yang diberi ASI eksklusi dan bukan ASI eksklusif. Metode. Penelitian cohort ini dilakukan pada bulan Mei-Juli 2007. Subjek penelitian bayi usia 4 bulan yang mendapat ASI eksklusif dan noneksklusif yang bertempat tinggal di lingkungan Puskesmas Cigondewah Bandung diikuti sampai usia 6 bulan. Perkembangan kognitif dinilai dengan skala Griffith dan dikonversikan menjadi nilai IQ. Dampak ASI eksklusif terhadap perkembangan kognitif dianalisis dengan uji t. Hasil. Dari 86 bayi yang diteliti, 8 bayi drop out, 39 ASI eksklusif dan 39 bayi noneksklusif. Tidak ada perbedaan karakteristik subjek dan karakteristik orangtua subjek. Rata-rata IQ bayi ASI eksklusif 128,3 (8,8), rentang IQ bayi ASI eksklusif 112-142 sedangkan bayi ASI noneksklusif rata-rata 114,4 (12,1), rentang IQ 82-137. Kelompok ASI eksklusif IQ di atas rata-rata 32 bayi dan di bawah rata-rata 7 bayi sedangkan ASI noneksklusif IQ di atas rata-rata 19 bayi dan di bawah rata-rata 20 bayi. Pemberian ASI noneksklusif berpeluang terjadinya IQ di bawah rata-rata 1,68 kali lebih besar dibandingkan di atas rata-rata (x2=9,57; p=0,002). Kesimpulan. Dari aspek fungsi kognitif pemberian ASI eksklusif memberikan hasil lebih baik dibanding dengan yang tidak mendapat ASI eksklusi

    Pengaruh Zat Besi dan Seng terhadap Perkembangan Balita serta Implementasinya

    No full text
    Angka kejadian gangguan perkembangan balita di Indonesia cukup tinggi. Gangguan perkembangan pada balita, terutama pada 1000 hari pertama kehidupan dapat menurunkan produktivitas anak tersebut sampai dewasa. Akibatnya, kemampuan belajar tahap pendidikan selanjutnya tidak tercapai secara optimal dan berkaitan dengan penghasilan di masa depan. Beberapa faktor dapat memengaruhi perkembangan balita, diantaranya adalah defisiensi seng dan zat besi. Defisiensi zat besi dapat menyebabkan hipomyelinasi, gangguan pertumbuhan, diferensiasi, dan elektrofisiologi neuron, serta perubahan regulasi neurotransmiter di otak. Seng berperan dalam neurotransmiter di area neuron presinaptik dan postsinaptik serta berperan dalam neurogenesis, maturasi dan migrasi neuron dan pembentukan sinapsis otak. Defisiensi kedua mineral ini akan menyebabkan perkembangan balita terganggu atau tidak optimal. Guna mencegah anemia, WHO merekomendasikan pemberian suplementasi zat besi setiap hari selama 3 bulan berturut-turut setiap tahun untuk anak 6 bulan hingga 5 tahun.&nbsp; Pemberian seng rutin untuk balita sampai saat ini belum menjadi rekomendasi dari WHO. Rekomendasi yang telah dikeluarkan terkait seng masih terbatas pada pemberian seng sebagai terapi tambahan pada anak dengan diare

    Breastfeeding Self-Efficacy pada Ibu Menyusui di Kecamatan Soreang, Kabupaten Bandung Tahun 2019

    No full text
    Pengetahuan dan kesadaran ibu yang baik mengenai pentingnya air susu ibu (ASI) eksklusif dapat meningkatkan angka pemberian ASI eksklusif. Ibu yang memiliki dukungan sosial, pengetahuan, sikap dan self-efficacy yang tinggi akan meningkatkan kesiapan ibu dalam memberikan ASI eksklusif dan menyelesaikan masalah menyusui dengan baik. Penelitian ini bertujuan untuk memberikan gambaran breastfeeding selfefficacy (BSE) pada ibu menyusui di Kecamatan Soreang. Desain penelitian ini adalah potong lintang, dilakukan di Kecamatan Soreang pada Bulan Oktober 2019. Dari 50 ibu menyusui, dipilih responden dengan cluster random sampling. Data diambil menggunakan kuesioner breastfeeding self-efficacy scale (BSES) yang terdiri atas 33 pernyataan dengan jawaban merasa tidak mampu, kadang-kadang merasa mampu, merasa cukup mampu, dan merasa sangat mampu. Komponen BSES adalah dimensi teknik, keyakinan intrapersonal dan dukungan. Data diolah menggunakan SPSS versi 20 dengan menampilkan distribusi frekuensi. Rerata skor BSE pada dimensi teknik adalah 66,46 (SD 10,12), keyakinan intrapersonal 37,76 (SD 5,81), dan dimensi dukungan 6,62 (SD 1,53). Total nilai BSE pada BSES menunjukkan rerata skor 110,84 (SD 16,62) yang memperlihatkan bahwa responden memiliki BSE yang baik 83,96% dari skor maksimal 132. Dimensi teknik lebih tinggi dibandingkan dimensi keyakinan intrapersonal dan dimensi dukungan.&nbsp;Breastfeeding Self-Efficacy among Breastfeeding Mothers in Soreang District, Bandung Regency in 2019Knowledge and awareness of mothers about the importance of exclusive breastfeeding (ASI) can increase exclusive breastfeeding rates. Mothers who have high social support, knowledge, attitudes, and self-efficacy will increase their readiness to provide exclusive breastfeeding and solve breastfeeding problems well. This study aims to provide an overview of breastfeeding self-efficacy (BSE) in breastfeeding mothers in Soreang District. This study&rsquo;s design was a cross-sectional study and was conducted in Soreang District in October 2019. From 50 breastfeeding mothers, respondents were selected using random cluster sampling. Data were collected using a breastfeeding self-efficacy scale (BSES) questionnaire consisting of 33 statements with incapable, frequently capable, capable, and highly capable answers. The components of the BSES are the dimensions of technique, intrapersonal belief, and support. The data is processed using SPSS version 20 by displaying the frequency distribution. The mean BSE score on the technical dimension was 66.46 (SD 10.12), intrapersonal confidence 37.76 (SD 5.81), and support dimension 6.62 (SD 1.53). The total BSE score on BSES shows a mean score of 110.84 (SD 16.62), which indicates that the respondent has a good BSE of 83.96% of the maximum score of 132. The technical dimension is higher than the dimensions of intrapersonal belief and the dimensions of support
    corecore