27 research outputs found
INDONESIA PASCA RATIFIKASI PERJANJIAN PARIS 2015; ANTARA KOMITMEN DAN REALITAS
Sebagai bentuk komitmen terhadap persoalan perubahan iklim, Pemerintah Indonesia telah meratifikasi Perjanjian Paris 2015 melalui UU No. 16 Tahun 2016. Akan tetapi komitmen kontribusi pengurangan emisi GRK tersebut memiliki persoalan dalam pelaksanaannya. Atas dasar itu, artikel ini membahas isi dari Perjanjian Paris 2015 dan implikasinya, komitmen Indonesia serta kendala dalam pencapaian target emisinya. Penekanan utama akan difokuskan pada dua persoalan, yaitu kehutanan dan energi. 2 (dua) persoalan ini merupakan hambatan terbesar dalam memenuhi target komitmen Indonesia. Spesifikasi penelitian yang digunakan adalah deskriptif analitis dengan data utama berupa data sekunder (bahan-bahan hukum primer, sekunder dan tersier) yang dianalisis secara kualitatif. Berdasarkan diskusi dan pembahasan disimpulkan bahwa peraturan terkait perubahan iklim di Indonesia dinilai belum mampu melakukan transformasi secara substansial upaya pengurangan emisi GRK seperti yang diharapkan. Persoalan efektifitas khususnya penegakan hukum masih menjadi persoalan utama, bahkan beberapa kebijakan pemerintah memuat aturan yang bersifat kontradiktif dengan komitmen yang dicanangkan. Oleh karenanya, disarankan perlunya efektifitas aturan, penegakan hukum serta penyelarasan komitmen dengan kebijakan energi yang dijalankan
KEBIJAKSANAAN TENTANG PERUBAHAN IKLIM DI JAWA BARAT DALAM PEMBANGUNAN BERKELANJUTAN
Pemanasan global dan perubahan iklim di dunia mengakibatkan penurunan kualitas lingkungan. Otonomi daerah memberikan pula peluang dan tantangan dalam pelaksanaan upaya penanggulangan perubahan iklim. Komitmen pemerintah untuk menurunkan emisi gas rumah kaca dalam rangka perubahan iklim memerlukan kerjasama dan peran daerah (kabupaten/kota). Dalam implementasi permasalahan tersebut, kebijaksanaan daerah melalui perencanaan pembangunan memiliki peranan yang penting dalam upaya penanggulangan sumber-sumber perubahan iklim termasuk Provinsi Jawa Barat dalam kerangka negara kesatuan untuk menjamin pembangunan berkelanjutan bagi kepentingan generasi masa kini dan kepentingan generasi yang akan datang. Penelitian ini bersifat Deskriptif Analitis. Diawali dengan mendeskripsikan berbagai permasalahan perubahan iklim dan kalitannya dengan hukum lingkungan, dan kemudian menganalisinya secara sistematis. Teknik pengumpulan data melalui studi pustaka dan studi lapangan untuk mendapatkan data primer dan sekunder. Kebijaksanaan Provinsi Jawa Barat Berkenaan Dengan Permasalahan Perubahan Iklim sangat bergantung pada rumusan kebijaksanaan daerah (kabupaten/kota), mengingat sumber-sumber penyebab perubahan iklim dari berbagai sektor baik sebagian maupun seluruhnya menjadi urusan dan wewenang daerah, sehingga peranan daerah melalui kepala daerah maupun implementasinya dalam peraturan daerah menjadi sangat penting dalam memenuhi komitmen provinsi dan pemerintah pusat dalam upaya penangulangan perubahan iklim global. Permasalahan Perubahan Iklim Di Jawa Barat sangat bergantung kepada pelaksanaan Pembangunan Berkelanjutan, hal ini sangat ditentukan melalui Rencana Pembangunan Jangka Panjang Daerah dan penempatannya dlaam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah, Visi Misi daerah sebagai wujud kebijaksanaan pemerintah atau kepala daerah memengang peranan yang penting untuk mewujudkan pembangunan yang mendukung penanggulangan perubahan iklim untuk menjamin kepentingan generasi masa kini dan generasi yang akan datang
Kata Kunci : Perubahan Iklim, , Hukum Lingkungan, Kebijaksanaan, Pembangunan Berkelanjuta
An evaluation of COVID-19 surveillance system in New Juaben South Municipality of Ghana: a cross-sectional study
Introduction: among others, the objectives of Ghana’s COVID-19 surveillance system are to rapidly detect, test, isolate and manage cases, to monitor trends in COVID-19 deaths and to guide the implementation and adjustment of targeted control measures. We therefore aimed to examine the operations of the COVID-19 surveillance system in New Juaben South Municipality, describe its attributes and explore whether its objectives were being met.
Methods: we utilized a mixed method descriptive study design to evaluate the COVID-19 surveillance system in the New Juaben South Municipality of the Eastern Region of Ghana. Desk review and key informant interviews were carried out from 1st February to 31st March 2021 to measure nine surveillance system attributes as an approximation of its performance using the CDC’s 2013 updated surveillance system guidelines.
Results: while the COVID-19 surveillance system in New Juaben South (NJS) was highly representative of its population, it was rated ‘moderate’ for its stability, flexibility, sensitivity and acceptability. The system was however characterized by a low performance on data quality, simplicity, timeliness and predictive value positive. The sensitivity and predictive value positive (PVP) of the system were 55.6% and 31.3% respectfully.
Conclusion: while the surveillance system is only partially meeting its objectives, it is useful in the COVID-19 response in New Juaben South Municipality. System performance could improve with stigma reduction especially among health care workers, timely testing and simplification of surveillance forms and software
MODEL HARMONISASI HUKUM PENATAAN RUANG KAWASAN PESISIR DALAM PEMBANGUNAN BERKELANJUTAN
This dissertation, discuss the issues : How the harmonization of the legal constraints in the process of establishment of regulations; and How the harmonization of the legal constraints in implementation regulations in spatial scope in the coastal areas and How the harmonization model in the spatial law in coastal areas to ensure the realization of sustainable development ?Through a descriptive approach: in terms of assessment though interdisciplinary and multidisciplinary, and management approach across sectors, across regions and across stakeholders (integrated), then analyzed it through normative juridical. The conclusions is : 1) The harmonization of legal constraints in the process of establishment regulation of spatial in the coastal areas is  the Ministry of Justice and Human Rights just authorized to coordinate the process of harmonization 2) The harmonization of legal constraints in the implementation regulation of the coastal areas consist of the weakness of substance quality from Law of National Long term Development Plan and its derivatives, and also no sanction can be downed for everyone who against the plans. 3) The harmonization of legal model in environmental and spatial legal system based of theological, ecological and juridical element
Penyelenggaraan Umrah Dalam Perspektif Hukum Perlindungan Konsumen Pasca PMA No. 8 Tahun 2018
To give better protection to the prospective participant of the Islamic pilgrimage (‘umrah), the Minister of Religious Affairs has just added consideration to the Consumer Protection Law in enacting the Minister of Religious Affairs’ Regulation No. 8 of 2018. According to the Consumer Protection Law, this research studies the qualification of the Islamic Pilgrimage’s prospective participant and organizer. It also looks at the recourse obtained by the prospective participants from the perspective of the consumer protection law, after the enactment of the Minister of Religious Affairs’ Regulation No. 8 of 2018. This research is using a juridical-normative approach by specifying the study in a descriptive-analytical manner. The result shows that the Consumer Protection Law’s provision qualifies the prospective participant of Islamic pilgrimage (‘umrah) as a consumer, whereby its organizer as a business actor. From the perspective of the Consumer Protection Law, the enactment of the Minister of Religious Affairs’ Regulation No. 8 of 2018 has not yet fully safeguarded the prospective participant’s interests. In conclusion, after bearing into mind that their rights have not yet wholly fulfilled, particularly at the time of departure cancellation.
Pemberlakuan PMA No. 8 Tahun 2018 dengan mempertimbangan ketentuan Undang-Undang Perlindungan Konsumen merupakan hal baru diharapkan dapat lebih memberikan perlindungan terhadap calon jemaah umrah. Penelitian ini mengkaji bagaimanakan kualifikasi calon jemaah umrah serta PPIU berdasarkan Undang-Undang Perlindungan Konsumen serta bagaimanakah perlindungan calon jemaah umrah dalam perspektif perlindungan konsumen pasca pemberlakuan PMA No. 8 Tahun 2018. Penelitian ini merupakan penelitian yurudis normatif dengan spesifikasi penelitian deskriptif analitis. Hasil penelitian menunjukkan bahwa calon jemaah umrah dapat dikualifikasikan sebagai konsumen dan PPIU juga dapat dikualifikasikan sebagai pelaku usaha berdasarkan Ketentuan Undang-Undang Perlindungan Konsumen. Perlindungan calon jemaah umrah dalam perspektif perlindungan konsumen pasca pemberlakuan PMA No. 8 Tahun 2018 belum sepenuhnya memberikan perlindungan bagi calon jemaah umrah, mengingat pemenuhan akan hak-hak para calon jemaah umrah tidak dapat terpenuhi terlebih dalam hal terjadinya gagal berangkatnya calon jemaah umrah
Hukum penataan ruang kawasan pesisir; harmonisasi dalam pembangunan berkelanjutan
xiv.; 153 hal.; ill.; 19 c
ASPEK HUKUM SURROGATE MOTHER DALAM PERSPEKTIF HUKUM INDONESIA
AbstrakSurrogate Mother, ibu yang menyewakan rahimnya, adalah seorang wanita yang mengandung anak yang benihnya berasal dari pasangan lain dan setelah wanita tersebut melahirkan, maka wanita tersebut akan memberikan anak tersebut kepada pasangan darimana benih tersebut berasal. Artikel ini menguraikan kedudukan surrogacy agreement menurut Hukum perjanjian di Indonesia dan status hukum anak yang lahir dari surrogate mother, pengaturan pelaksanaan surrogate mother di beberapa negara sebagai perbandingan dan untuk memahami dan mengkaji perlunya pengaturan surrogate mother di Indonesia. Metode pendekatan yang digunakan adalah yuridis normatif dan data diperoleh melalui studi kepustakaan dan studi lapangan yang dianalisis secara normatif kualitatif. Hasil penelitian bahwa Indonesia belum memiliki aturan yang spesifik mengenai surrogate mother, dalam pelaksanaan surrogate mother yang terkait dengan surrogacy agreement tidak dimungkinkan dilakukan di wilayah hukum Indonesia, status anak yang lahir dari surrogate mother dalam kaitan dengan pengaturan Undang-undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, bahwa anak tersebut merupakan anak sah dari surrogate mother, bukan anak dari orang tua yang menitipkan benih di rahim surrogate mother. Banyaknya praktik yang dilakukan oleh masyarakat terkait dengan surrogate mother, maka perlu dibuat aturan sebagai panduan dalam pelaksanaan surrogate mother yang dimaksudkan untuk ketertiban dan kepastian hukum.Kata kunci: aspek hukum; surrogate mother; surrogacy
AbstractSurrogate mother is defined as woman carrying another person’s embryo and gives birth to a baby for the person who donors the embryo. The unique characteristic arises from who will be called as the parent. Surrogate mother exists because the wife usually obtain something wrong in her uterus thus cannot carrying a child, subsequently the role of the wife to carry and give birth is transferred to another woman, either voluntarily or because of the money. The purpose of this research is to comprehend and analyse the status of surrogacy agreement in Indonesian contract law; the status of child born through surrogacy; the regulations regarding surrogate mother implemented in several countries as comparison; lastly, to formulate a suitable regulation of surrogate mother in Indonesia. The method used by the author in discussing problems in this research is normative. Specifications research used is by analyzing juridical analysis or the problem based on the statutory provisions related to family law and contract law, literature, other sources related to this research. To obtain the necessary data through the study of literature and field studies were obtained for onward normative data is analyzed normative qualitatively. The results of the research are, Indonesia do not have specific regulationns regarding surrogate mother,thus surrogacy can not be implemented in Indonesia. In relation with Law Number 1 of 1974 concerning marriage, the status of child born through surrogacy is the legitimate child of the surrogate mother, not the intended parent. As a result of comparison with several countries, many countries reject and many accept the existence of surrogate mother. Lastly, due to rampant practice of surrogacy in the society, the writer concludes the government need to promptly draft a regulation as a guidance of surrogacy practice to maintain order and legal certainty in the society.Keywords: gestational surrogacy; legal status; surrogate mother; traditional surrogacy