Comparison between sensorial and instrumental measurements for mealiness assessment in apples

Definition and establishment of assessment procedures for mealiness of apple fruits using sensory and instrumental measurements were performed on ‘Boskoop', ‘Cox's Orange Pippin’ and ‘Jonagold’ samples with varying degrees of mealiness. The sensory procedure profiled mealiness as a loss of crispness, hardness, and juiciness, with an increase in the floury sensation in the mouth. High correlations between the sensory descriptors and instrumental parameters was shown through principal component analysis. The instrumental procedures (confined compression of fruit cylinders and acoustic impulse response) gave coefficients of determination for juiciness and crispness of 0.85 and 0.71, respectively. This level of accuracy indicates the possibility of establishin

La médecine de bienfaisance et d'assistance dans le Pas-de-Calais, 1856-1914

Among the actions taken by local authorities (« départements » city councils) in the Pas-de-Calais, charity relief medicine, organised by a series of bills and regulations, increased in importance over the years 1850-1914. Mostly organised in the rural areas, it yet concerns a very important number of patients and physicians, and represents a share of the local and county budgets not to be neglected. This accounts for its political weight, understood as early as the 1885's. Charity relief medicine is a local power. Its dépendance or indépendance is questionned. In the same manner the evolution of its costs, at the beginning of the xxth century, shows the necessity to look for other solutions to ensure the health of the French population.Parmi les interventions des communautés locales (département et municipalités) dans le Pas-de-Calais, la médecine de bienfaisance, définie par une série d'actes législatifs et réglementaires, se met en place entre 1850 et 1914. Essentiellement en milieu rural, elle concerne des effectifs importants de malades et de médecins. Elle représente une part non négligeable des budgets communaux et départementaux. Cet aspect explique l'enjeu politique, découvert dans les années 1885. La médecine de bienfaisance est aussi un pouvoir local. Sa dépendance ou son indépendance font alors question. De même, l'évolution des coûts indique, au début du xxe siècle, que d'autres solutions doivent être envisagées pour assurer la santé des Français.Een reeks wetten en reglementen bepaalt het verstrekken van geneeskundige zorgen door bijs- tandsorganen die onder de bevoegdheid van het département en de gemeenten vallen. Dit systeem wordt ingevoerd tussen 1850 en 1914. Vooral op het platteland zijn hierbij een groot aantal zieken en artsen betrokken en weegt het systeem door in de budgetten van gemeenten en département. In 1885 ontdekte men dat dit systeem — een lokale macht — met zijn budgettaire implicaties ook een politieke dimensie had. Er wordt getwist over de autonomie of de afhankelijkheid, van dit systeem, waarvan de kosten in het begin van de XXe eeuw zo hoog oplopen dat men naar andere oplossingen moet uitkijken om de gezondheid van de Fransen te verzorgen.Beyt Jean-Pierre. La médecine de bienfaisance et d'assistance dans le Pas-de-Calais, 1856-1914. In: Revue du Nord, tome 65, n°259, Octobre-décembre 1983. pp. 683-689

Enfleshing the Reign of God: Embodiment and Praxis in the Thought of Edward Schillebeeckx and Judith Butler

This dissertation argues for a potential solution to problem of violence and theological anthropology by using the logic of the Incarnation and Christian eschatology as a model for articulating categories of the human within Roman Catholic theology. Using the personalist thought of Karol Wojtyła/ Pope John Paul II as an example, Roman Catholic theological anthropology is presented as a dual-edged sword, one capable of defending marginalized communities through a robust solidaristic praxis but also capable of producing an unrelenting metaphysics of gender resulting in different types of violence. In drawing on the work of Edward Schillebeeckx and Judith Butler, this project explores two impulses within Catholic theology as a solution: the body as a signifier and the body in relation to the eschaton. The trajectory of Schillebeeckx’s account of the body follows a logic analogous to the Incarnation in describing our embeddedness in a network of relationality within creation mediated through human meaning making. Similarly, Butler’s work, deep in conversation with continental philosophy and contemporary political movements, explores how bodies materialize within human signification. In his mystical-political theology, Schillebeeckx argues that Christian discipleship ought to address the threatened humanum, his term for the eschatological flourishing announced by the life, death, and resurrection of Jesus of Nazareth. For Schillebeeckx, salvation, and subsequently grace, is a fragmentary instantiation of the Reign of God on earth. He therefore foregrounds the eschatological fulfillment of creation as the aim of Christian political praxis. Eschatological hope becomes the hermeneutical norm for Schillebeeckx’s mystical-political praxis, suggesting a self-critiquing and perpetually renewed account of solidaristic praxis for theological anthropology. Butler’s politics of nonviolence foregrounds worldbuilding based on a radical egalitarian imaginary. Focusing on a convergence of thought, this dissertation builds upon Schillebeeckx’s political theology and Butler’s work on nonviolence to describe Christian discipleship as a renewed commitment to mitigating violence done to human bodies

Kinerja Tim Koordinasi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Dalam Percepatan Penanganan Korupsi Di Indonesia

Beyt Stefan Habibie, 200610115034, Kinerja Tim Koordinasi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Dalam Percepatan Penanganan Korupsi Di Indonesia. Praktek korupsi yang terjadi dari waktu ke waktu mengalami perkembangan terutama dalam modus, pelaku dan besaran nilai yang dikorupsi. Untuk menangani praktek tindak pidana korupsi yang semakin canggih tersebut diperlukan upaya-upaya penegakan hukum secara efektif dan efisien. Hambatan birokrasi merupakan salah satu hambatan dalam penanganan kasus korupsi yaitu masalah koordinasi antara instansi penegak hukum harus diupayakan pemecahannya. Dalam rangka mempercepat pemberantasan tindak pidana korupsi serta untuk menghilangkan hambatan birokrasi, Presiden Republik Indonesia dengan Keputusan Presiden Nomor 11 Tahun 2005 membentuk Tim Koordinasi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Tim Tastipikor) yang terdiri dari unsur Kepolisian Negara Republik Indonesia, Kejaksaan Republik Indonesia dan Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP). Keberhasilan Tim Tastipikor dalam kegiatan penanganan kasus-kasus yang berindikasi korupsi, tidak terlepas daripada komitmen yang kuat dan kerjasama yang baik sesama anggota Tim Tastipikor, serta dukungan berbagai pihak terutama masyarakat yang perhatian di dalam pemberantasan dan pencegahan tindak pidana korupsi. Selain itu, pencegahan terjadinya korupsi harus dilakukan dengan penyadaran masyarakat melalui kampanye anti korupsi, menumbuhkan budaya malu korup, dan melakukan tindakan-tindakan terhadap koruptor melalui adat atau budaya setempat Ada beberapa masalah yang dirumuskan sebagai masalah penelitian ini . Pertama, Bagaimana Kinerja Tim Koordinasi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dalam percepatan penanganan korupsi di Indonesia? kedua, Bagaimana pencegahan agar tidak terjadi Tindak Pidana Korupsi ? Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui peran serta masyarakat dalam mencegah terjadinya Tindak Pidana Korupsi dan untuk mengetahui kinerja TIM TASTIPIKOR dalam menangani perkara korupsi. Dalam penelitian ini menggunakan metode penelitian yuridis- normatif (yuridis-dogmatis). Penelitian yuridis normatif merupakan penelitian kepustakaan yaitu penelitian terhadap data sekunder. Kesimpulan dari penelitian ini adalah sebagai berikut: Pertama, dalam pencegahan Tindak Pidana Korupsi, haruslah dimulai dari diri sendiri, keluarga, masyarakat dan seterusnya. Selain itu, pencegahan tersebut harus dilakukan dengan penyadaran masyarakat melalui kampanye anti korupsi, menumbuhkan budaya malu untuk berbuat korupsi, dan melakukan tindakan-tindakan terhadap koruptor. Dalam Undang­-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Pasal 41 jo. Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, mengatur peran serta masyarakat dalam upaya pencegahan dan pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dan Peraturan Pemerintah Nomor 71 Tahun 2000 tentang Tata Cara Pelaksanaan Peran Serta Masyarakat dan Pemberian Penghargaan dalam Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Kedua, sistem peradilan TIPIKOR seharusnya di dahulukan dari tindak pidana lainnya. Karena mengingat kerugian negara yang sangat besar