11 research outputs found
Pengaruh Pengobatan Herbal Spray Berbasis Bioaktif dari Spirulina (Spirulina SP.) terhadap Profil Protein Luka dan Histologi Pankreas Tikus (Rattus Norvegicus) Terpapar Multiple Low Dose Streptozotocin (Mld-stz)
This research aims to determine the effect of Spirulina sp. extracts in the form of spray on pancreatic tissue histology, and protein profiles of skin wound rats (Rattus norvegicus) induced by Multiple Low Dose streptozotocin (MLD-STZ). The injection of MLD-STZ at a dose of 20 mg/kg BW causes Diabetes Mellitus (DM) type 1. In this study, rats were divided into 3 groups: negative control (no STZ induction), positive control (MLD-STZ-induced), and therapy group (MLD-STZ-induced and therapy). Therapy was given in the form of spray-based herbal bioactive Spirulina sp. with a dose of ± 200 μL right on rat wound 3 times/day during 2 weeks after being DM as a result of MLD-STZ induced. The method used for the analysis of protein is SDS-PAGE and pancreatic tissue histology using hematoxylin-eosin staining methods (HE). The results of the study showed that post-therapy causes the difference of protein band profiles of the three treatment groups, emergence a new protein band with a molecular weight of 93 kDa in skin wounds of diabetic rats, and this protein bands disappear in skin wound rats after treated by herbal spray of Spirulina sp.. In addition, results of histological pancreatic tissue diabetic group has reduction of pancreatic β cells and islet of Langerhans in the cavity width. As well, there is improvement in the therapy group of pancreatic histology
Studi Pemberian Ekstrak Rumput Laut Coklat (Sargassum Prismaticum) Terhadap Kadar Malondialdehid Dan Gambaran Histologi Jaringan Ginjal Pada Tikus (Rattus Norvegicus) Diabetes Melitus Tipe 1
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh pemberian ekstrak rumput laut coklat (Sargassum prismaticum) terhadap kadar malondialdehid dan gambaran histologi jaringan ginjal tikus diabetes hasil induksi multiple low dose-streptozotocin (MLD-STZ) dengan dosis 20 mg/kgBB. Pada penelitian ini tikus putih dikelompokkan menjadi 6 kelompok yaitu kelompok kontrol tanpa terpapar MLD-STZ, kelompok diabetes melitus yang dipapar MLD-STZ, kelompok diabetes melitus yang dipapar MLD-STZ yang mendapat terapi ekstrak rumput laut coklat (Sargassum perismaticum) yang diberikan secara oral dengan variasi hari pemberian yaitu satu, tiga, lima dan tujuh hari. Pada penelitian ini dilakukan pengukuran kadar malondialdehid dengan menggunakan metode TBA (Thiobarbituric Acid) dengan pengukuran menggunakan spektrofotometri UV-Vis pada panjang gelombang 530 nm, dan gambaran histologi menggunakan metode pewarnaan Hematoksilin-Eosin. Hasil penelitian ini didapatkan kadar Malondialdehid berturut-turut berdasarkan pengelompokan perlakuan adalah 0,527; 0,93; 0,893; 0,803; 0,77 dan 0,676 µg/ml. Pemberian ekstrak rumput laut coklat dapat menurunkan profil malondialdehid pada ginjal tikus terapi dengan variasi hari 1, 3, 5 dan 7 berturut-turut adalah 3,98; 13,65; 17,2 dan 27,31%. Serta dapat memperbaiki histologi jaringan ginjal tikus diabetes melitus yang telah yang dipapar MLD-STZ yang mendapat terapi ekstrak rumput laut coklat (Sargassum prismaticum)
Kadar Malondialdehid (Mda) Dan Gambaran Histologi Pada Ginjal Tikus Putih (Rattus Norvegicus) Pasca Induksi Cylosporine-a
Cyclosporine-A (CsA) merupakan kelompok obat (immunosuppressant) yang berfungsi menekan respon imun.Namun demikian, penggunaan CsA jangka panjang dapat menimbulkan efek nefrotoksisitas.Penilitian ini bertujuan untuk mengetahui kadar MDA dan gambaran histologi pada ginjal tikus (Rattus norvegicus) pasca induksi Cyclosporine-A (CsA). Pada penelitian ini ginjal yang digunakan berasal dari dua kelompok, yaitu kelompok tikus kontrol dan tikus induksi CsA dengan dosis 3 mg/kg per berat badan tikus. Pengukuran kadar MDA menggunakan spektroftotometri UV-vis dan gambaran histologi menggunakan metode pewarnaan Hematoksilin-Eosin (HE). Hasil perbandingan kadar MDA pada ginjal tikus sehat (1,599±0,328) dan ginjal tikus sakit (5,693±0,243) mengalami peningkatan 56,14%.Pada tikus sakit terdapat banyak rongga sebagai visualisasi terputusnya sel junction (penghubung antar sel) karena adanya peradangan. Terbentuknya rongga atau celah antar sel merupakan akibat dari meningkatnya kadar MDA
Bovine and Human Zona Pellucida 3 Gene Glycans Site Prediction Using in Silico Analysis
Zona pellucida is one of the protective layer of the egg cell and has a function as an intermediary species-specific fertilization. Glycoproteins of human and bovine zona pellucida is composed of three types, namely ZP1, ZP2 and ZP3. ZP3 gene has amino acid sequence homology with other mammals. Oligosaccharides components of the zona pellucida glycans are composed from units of asparagine residues (N -linked) and serine/threonine (O -linked). The aims of this study was to analyze the DNA sequences of human and bovine and further predicts glycans site on amino acid sequence of human and bovine ZP3. In this study, ZP3 gene fragments have been isolated from bovine and humans were analyzed in Silico. This work were conducted by comparing the data of DNA sequence from human and bovine PCR product using NCBI BLAST. The results showed that there were similarities at amino acid positions number 23-38. bZP3 sequence had three glycans site (Asn-X-Thr/Ser) and one site on hZP3 glycans. One of the sites was conserved between the two species
INHIBIN B: KANDIDAT KONTRASEPSI PRIA BERBASIS HORMON PEPTIDA
Penelitian ini bertujuan mengetahui efek injeksi inhibin B sebagai kandidat kontrasepsi pria berbasis hormon peptida terhadap berat badan, berat dan panjang testis, dan duktus epididimis. Sebanyak 24 ekor tikus (Rattus novergicus) jantan strain Wistar berumur 4 bulan dengan berat badan 150-200 g dikelompokkan secara acak ke dalam 4 kelompok, yaitu kontrol (KO), KI, KII, dan KIII. Kelompok kontrol, tikus hanya diinjeksi dengan 0,1 ml PBS tanpa inhibin B; Kelompok KI, KII, dan KIII tikus diinjeksi dengan 25, 50, dan 100 pg inhibin B/ekor. Injeksi dilakukan secara intra peritoneal sebanyak 5 kali dengan selang waktu 12 hari selama 48 hari. Injeksi pertama, isolat inhibin B dilarutkan dalam PBS sebanyak 0,05 ml dan diemulsikan dengan 0,05 ml Freud's complete adjuvant (FCA). Pada injeksi kedua, ketiga, keempat, dan kelima menggunakan inhibin B dalam PBS 0,05 ml dan diemulsikan dengan 0,05 ml Freud's incomplete adjuvant (FICA). Pada hari keenam setelah injeksi terakhir, tikus dikorbankan secara dislocatio cervicalis setelah terlebih dahulu dilakukan penimbangan berat badan. Berat testis dan duktus epididimis ditimbang dengan menggunakan timbangan elektrik, sedangkan diameter dan panjang testis dan duktus epididimis diukur dengan menggunakan jangka sorong. Hasil penelitian menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan yang nyata (P0,05) antara kelompok kontrol dan perlakuan terhadap berat badan, berat, panjang, dan diameter testis dan duktus epididimis. Penelitian ini menyimpulkan bahwa inhibin B berpotensi dikembangkan sebagai kandidat kontrasepsi pria berbasis hormon peptida yang aman dan reversible
INHIBIN B MENGHAMBAT EKSPRESI MOLEKUL PROTAMINE P2 DI DALAM KEPALA SPERMATOZOA TIKUS (Rattus norvegicus)
Penelitian ini bertujuan mengetahui efek inhibin B terhadap ekspresi protamine P2 di dalam kepala spermatozoa pada kauda epididimis. Penelitian ini menggunakan 24 ekor tikus jantan berumur 4 bulan yang dikelompokkan secara acak ke dalam 4 kelompok (KO, KI, KII, dan KIII), setiap kelompok terdiri atas 6 ekor tikus. Kelompok KO merupakan kelompok kontrol hanya diinjeksi dengan PBS. Kelompok KI, KII, dan KIII diinjeksi dengan inhibin B dengan dosis masing-masing adalah 25, 50, dan 100 pg/ekor. Tikus diinjeksi sebanyak 5 kali secara intra peritoneal dengan interval waktu pemberian 12 hari selama 48 hari. Injeksi pertama, inhibin B dicampur dengan 0,05 ml PBS dan 0,05 ml CFA. Injeksi kedua hingga kelima, inhibin B dicampur dengan 0,05 ml PBS dan 0,05 ml IFA. Pada hari ke-6 setelah injeksi inhibin B terakhir, hewan coba dikorbankan secara dislocatio cervicalis lalu jaringan kauda epididimis dikoleksi dan difiksasi dengan paraformaldehid 4%. Setelah melalui proses dehidrasi, jaringan blok di dalam parafin dipotong dengan ketebalan 6 mikron dan diwarnai secara imunohistokimia dengan menggunakan antibodi anti protamine P2. Pengamatan secara imunohistokimia menunjukkan adanya ekspresi protamine P2 di dalam kepala spermatozoa pada semua kelompok perlakuan. Akan tetapi, seiring dengan penambahan dosis inhibin B menyebabkan terjadinya penurunan tingkat ekspresi protamine P2 di dalam kepala spermatozoa pada kauda epididimis. Hasil penelitian menunjukkan bahwa injeksi inhibin B dengan dosis 100 pg/ekor menurunkan secara nyata jumlah ekspresi protamine P2 di dalam kepala spermatozoa pada epididimis (P0,05) dibanding KO
Phylogenetic and nitrite oxidoreductase activities of nitrobacteria and nitrospira isolated from shrimp pond sediment in East Java, Indonesia
Organic accumulation, resulted in ammonia and nitrite poisoning, is the main cause of shrimp pond collapse in Indonesia and the surrounding region. Two nitrifying bacteria were isolated from shrimp-pond sediment at Pasuruan, East Java, Indonesia. The study aimed to characterize and evaluate nitrite oxidoreductase ability of the bacteria. Comparative (phylogenetic) analysis based on 16S rRNA gene sequences revealed that both isolated bacteria were moderately related (77-90%) to uncultured clones of Nitrobacteria and Nitrospira. The nitrite oxidoreductase activity of both bacteria was comparable. However, per mg of protein, the enzymatic activity of Nitrobacteria was twice than Nitrospira. Keeping pond sediment optimal for these bacteria may result in more nitrite being transferred into nitrate, that is favorable for shrimp growth