32 research outputs found
Perlindungan Hukum Dari Diskriminasi Rasial di Indonesia pada Era Refonnasi (Studi Tentang Diskriminasi terhadap Etnis Tionghoa)
[Negara Republik Indonesia sejak awal kemerdekaan sesungguhnya telah memiliki komitmen untuk
menghormati dan menjunjung tinggi hak asasi manusia. Hal ini dapat dipahami dari UUD Tahun 1945 yang
menegaskan bahwa Indonesia adalah negara yang berdasar pada paham kedaulatan rakyat, negara yang
berdasar pada hukum serta sistem Konstitusi. Artinya berdasarkan ketiga pilar tersebut maka adanya
jaminan pengakuan dan perlindungan hak asasi manusia adalah salah satu prinsip dari Demokrasi, Negara
Hukum dan Sistem Konstitusi yang harus diwujudkan dalam sistem ketatanegaraan Indonesia.
Konsekuensinya Negara mempunyai kewajiban untuk menjamin kebebasan, kesetaraan dan prinsip non
diskriminasi bagi semua orang yang harus tercermin dalam penyelenggaraan pemerintahan. Mengenai hal
ini telah ditentukan dalam Pasal 28 I Ayat (4) dan Ayat (5) UUD Negara RI Tahun 1945. Namun sepanjang
perjalanan kehidupan ketatanegaraan Indonesia ternyata masih ada praktik-praktik penyelenggaraan negara
yang tidak mencerminkan adanya jaminan terhadap kebebasan, kesetaraan dan prinsip non diskriminasi
yang merupakan esensi dari perlindungan hak asasi manusia. Salah satu contoh adalah praktik diskriminasi
rasial yang tetap menjadi current issue di semua rezim pemerintahan di Indonesia, bahkan di era Reformasi
yang menyatakan sebagai pemerintahan yang lebih demokratis dan menjunjung tinggi hak asasi manusia
justru praktik diskriminasi rasial yang berujung pada konflik horisontal terjadi di berbagai wilayah di
Indonesia. Persoalan diskriminasi rasial sangat potensial terjadi di Indonesia, mengingat jumlah
penduduknya yang sangat banyak dengan berbagai suku bangsa, ras dan etnis (multi etnis) serta tingkat
pendidikan yang relatif masih rendah. Sementara harus diakui bahwa sampai saat ini upaya yang dilakukan
belum dapat menghentikan praktik-praktik diskriminasi rasial. Semboyan Bhineka Tunggal Ika dan
berbagai peraturan perundang-undangan tidak cukup menjawab persoalan mengenai diskriminasi ras dan
etnis. Studi tentang etnis Tionghoa yang dilakukan secara komprehensif diharapkan mampu untuk
memetakan problematika diskriminasi ras dan etnis di Indonesia sekaligus membangun kesadaran
bagaimanakah wujud perlindungan hukum yang tepat untuk menghentikan praktik diskriminasi rasial di
Indonesia. Etnis Tionghoa adalah salah satu etnis yang secara terus menerus menyuarakan perlawanan
terhadap praktik diskriminasi rasial yang dialami oleh etnis Tionghoa, namun di sisi yang lain dominasi
ekonomi oleh etnis Tionghoa juga disebut sebagai sebab praktik diskriminasi rasial yang dilakukan oleh
etnis Tionghoa terhadap etnis yang lain. Model pendekatan hukum hak asasi manusia dapat digunakan
sebagai pisau analisis untuk menghentikan praktik diskriminasi rasial di Indonesia. Hukum hak asasi
manusia menjamin kebebasan setiap orang namun disisi yang lain juga diperlukan adanya pembatasan
kebebasan dengan tujuan untuk menghormati kebebasan tersebut. Hukum hak asasi manusia memuat
larangan diskriminasi atas dasar apapun termasuk larangan diskriminasi rasial, namun untuk mewujudkan
prinsip kesetaraan diperlukan juga langkah-langkah khusus (tindakan affirmatif) yang ditujukan untuk
kelompok masyarakat tertentu. Tindakan affirmatif adalah pembedaan yang tidak boleh dinilai sebagai
perbuatan diskriminatif. Selain itu untuk sampai pada penyelesaian akar masalah diskriminasi rasial maka
memaknai keadilan yang diwujudkan dalam sistem hukum yang intergratif dan tersedianya mekanisme
penegakan yang komprehensif adalah sebuah keharusan dalam paham konstitusionalism
Pelanggran Ham dan Mekanisme Penanganannya
Hak Asasi Man usia merupakan instrument penting dalam penyelenggaraan negara.
Bahkan jaminan perlindungan terhadap hak asasi manusia mercupakan salah satu
prinsip dari Demokrasi dan juga Negara hukum. Hak Asasi Manusia adalah hak yang
melekat pada hakekat keberadaan manusia. Di satusisi setiap orang harus mendapat
perlindungan dan pemenuhan hak-hak dan kebebasan dasar tanpa ada diskriminasi atas
dasar apapun. Di sisi yang lain Negara berkewajiban untuk menghormati Hak Asasi
Man usia dan berjanji untuk memastikan pelaksanaannya bagi semua individu tanpa ada
pembedaan apapun. Negara adalah entitas yang memiliki kewajiban untuk menghormati
(to respect), memajukan (to promot), melindungi (to protect), memenuhi (to fillfillJ
danmenegakkan (law enforcement) hakasasi man usia.
Komitmen Negara RI terhadap hak asasi man usia secara eksplisit diatur dalam UndangUndang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Namun potret pemajuan,
perlindungan, penegakan dan pemenuhan hak asasi man usia harus diakui bahwa sampai
saat ini masih menjadi problematik yang cukup memprihatinkan dan menyita perhatian
tidak hanya di tingkat nasional melainkan juga di tingkat internasional. Berbagai kasu·s
yang dikualifikasikan sebagai pelanggaran hak asasi man usia di ranah hak sipil, hak politik
maupun hak ekonomi, hak sosial serta hak budaya masih terjadi di berbagai wilayah
Indonesia. Harus diakui bahwa implementasi hak asasi man usia di Indonesia masih belum .
maksimal karena kenyataannya sampai saat ini masih marak dijumpai berbagai kasus
kekerasan, diskriminasi maupun pelanggaran hak asasi man usia yang terjadi di Indonesia.
Problematika yang berkaitan dengan masalah hak asasi manusia masih terus terjadi di
hampir semua aspek kehidupan. Tuduhan, kecaman bahkan kemarahan ditunjukkan oleh
berbagai elemen masyarakat di hampir seluruh wilayah negara Republik Indonesia yang
intinya menyatakan telah terjadi pelanggaran HAM dimana-mani
Berdasarkan pengamatan penulis, menunjukkan bahwa sampai saat ini belum semua
orang memahami pengertian pelanggaran HAM secara tepat. Begitu pula apabila
mencermati fenomena yang selama ini terjadi bahwa berbagai kasus atau peristiwa selalu
dikaitkan dengan pelanggaran HAM bahkan sebagian menyebut dengan pelanggaran
HAM be rat. Ketidakjelasan tentang pengertian pelanggaran HAM antara lain disebabkan
karena sampai saat ini memang belum ada definisi yang telah disepakati secara umum
yang dapat digunakan sebagai pijakan untuk menjelaskan ten tang pelanggaran HAM. Oleh
karena itu, buku ini membahas tentang apa yang dimaksud dengan pelanggaran HAM,
kapan suatu perbuatan disebut sebagai pelanggaran HAM, apa beda pelanggaran HAM
dengan pelanggaran hukum a tau siapa yang disebutsebagai pelaku pelanggaran HAM
Politik Hukum Pemerintahan Daerah Berdasarkan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 Ditinjau Dari Kelembagaan dan Hubungan Kewenangan Pusat-Daerah
Pemerintahan daerah merupakan bagian dari sistem pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia Hal ini secara eksplisit diatur dalam Undang Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945. Namun apabila dicermati praktik penyelenggaraan pemerintahan di daerah sejak Negara Indonesia berdiri yaitu pada tanggal 17 Agustus1 945 sampai saat ini Tahun 2015 ternyata sangat dinamis, berubah-ubah atau berbeda dalam setiap rezim pemeritahan Bahkan politik hukum pemerintahan daerah yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 5 tahun 1974 menjadi salah satu problematika yang digulirkan sebagai tuntutan reformasi yang terjadi Tahun 1998. Setidaknya ada dua hal yang menjadi perhatian dalam memahami politik hukum pemerintahan daerah yai tu terkai t dengan hubungan kewenangan Pusat-Daerah dan juga terkait dengan kelembagaan pemerintahan daerah. Apabila ditinjau dari dua hal tersebut dihubungkan dengan asas-asas
penyelenggaraan pemerintahan di daerah, maka salah satu agenda reformasi yang harus diwujudkan dalam politik hukum pemerintahan daerah adalah kebijakan mengenai
desentralisasi kewenangan kepada daerah sekaligus kelembagaan daerah yang mampu
menjawab kebutuhan sebagai daerah yang otonom. Undang-Undang Nomor 23 tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah yang keberadaannya menggantikan Undang-Undang Nomor
32 Tahun 2004 seharusnya semakin menegaskan penerapan asas
desentralisasi agar daerah memiliki kemampuan dan kemandirian untuk melaksanakan pembangunan guna
mewujudkan Tujuan Nasional sebagaimana yang diamanatkan dalam Pembukaan UUD
Negara Republik Indonesia tahun 1945. Tulisan ini akan membahas secara komprehensif
mengenai hubungan kewenangan Pusat-Daerah, apakah lebih menguatkan atau sebaliknya
justru melemahkan aktualisasi asas desentralisasi, serta akan mengkaji mengenai
kelembagaan pemerintahan daerah sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 23
tahun 2014 yang apabila dicermati ada beberapa ketentuan yang justru berpotensi
menimbulkan masalah inkonsistensi dan multi intepretas
CATATAN KRITIS SISTEM HUKUM DAN PRAKTIK KETATANEGARAAN REPUBLIK INDONESIA DI ERA REFORMASI
Sistem ketatanegaraan Republik Indonesia mengalami perubahan signifi kan di Era Reformasi pasca perubahan UUD 1945 menjadi UUD Negara RI Tahun 1945.
Perubahan sistem ketatanegaraan tersebut tentunya membawa konsekuensi adanya dinamika dalam penyelenggaraan negara dan juga tatanan kehidupan berbangsa dan bernegara. Dinamika yang bermakna positif ketika diperoleh capaian-capaian
yang lebih baik dan progresif, namun di sisi yang lain dimungkinkan dinamika yang bermakna sebagai kemunduran dalam penyelenggaraan negara. Apabila ternyata terjadi kemunduran dan tidak sesuai dengan kehendak para pendiri negara, tidak sesuai dengan cita-cita kemerdekaan Indonesia, maka menjadi kewajiban Majelis Permusyawaratan Rakyat untuk melaksanakan amanat sebagaimana yang ditentukan dalam Undang-Undang Dasar Negara RI Tahun 1945
Buruh Migran
Pengantar :
Berbagai kasus yang dialami oleh pekerja migran
Indonesia sampai saat ini masih menjadi masalah yang
memprihatinkan. Dari tahun ke tahun kasus yang dialami
oleh pekerja migran makin meningkat. Hal ini dikarenakan
selama ini pekerja migran hanya dipandang sebagai obyek
penghasil devisa negara. Nasib mereka kurang diperhatikan
dan hak-haknya tak terlindungi. Hal ini tampak nyata mulai
dari proses rekruitmen, keberangkatan, transit, negara
tujuan, dan kepulangan. Minimnya perhatian Pemerintah
Indonesia terhadap nasib pekerja migran menyebabkan terus
meningkatnya tindakan eksploitasi dan kasus pelanggaran hak
asasi para pekerja migran.
Buruh migran merupakan fenomena sosial yang
berkorelasi dengan masalah ketenagakerjaan dan masalah
memperoleh penghidupan yang layak. Peluang kerja yang
sangat minim untuk usia produktif khususnya bagi mereka
yang tidak memiliki ketrampilan dan pendidikan formal yang
rendah, kemiskinan serta tuntutan hid up menyebabkan menjadi pekerja migran menjadi peluang kerja yang cukup menjanjikan.
Dalam konteks hak asasi manusia hak atas pekerjaan dan
penghidupan yang layak adalah hak asasi man usia yang dijamin
dalam Undang-Undang Dasar Negara RI tahun 1945 (UUD
Negara RI Tahun 1945) maupun dalam Undang-Undang
Nomor 39 Tahun 1999. Dalam Peraturan Perundang-undangan
yang sama ditentukan bahwa perlindungan dan pemenuhan
hak asasi manusia adalah tanggung jawab Negara terutama
Pemerintah. Mencermati persoalan-persoalan yang terus muncul,
sementara di sisi yang lain kurangnya respon dan perhatian
positif dari pemerintah terhadap upaya-upaya pe~lindungan
hak-hak pekerja migran, maka sangat dibutuhkan berbagai
sumber kajian yang didasarkan pada data empiris tentang
pekerja migran yang dikaitkan dengan hak asasi manusia.
Untuk tujuan tersebut tulisan singkat ini coba disusun.
Harapannya, tulisan ini akan makin memperkaya sumbersumber
kajian untuk mendesakkan pentingnya perlindungan
hak-hak buruh migran dan keluarganya
Reformasi Birokrasi Wujud Tanggung Jawab Negara Atas Hak Asasi Manusia
Sebagaimana ditentukan dalam Pasal 28 I Ayat (4) Undang-Undang DasarNegara Republik Indonesia Talmn 1945, bahwa "Perlindungan, pemajuan,penegakan dan pemenuhan hak asasi manusia adalah tanggung jawab negara,terutama pemerintah". Ketentuan ini harus dimaknai sebagai kewajiban Konstitusional yang harus teraktualisasi dalam penyelenggaraan pemerintahan guna terwujudnya pemerintahan yang demokratis dan menjunjung tinggi hak asasi manusia (HAM). Untuk memastikan seluruh aparatur pemerintah memahami hal tersebut maka harus dilakukan Reformasi birokrasi yang berperspektif HAM