225 research outputs found
Atomic resolved material displacement on graphite surfaces by scanning tunnelling microscopy
Atomic scale modifications and subsequent atomic resolution imaging has been achieved on the highly oriented pyrolytic graphite surface in air. Application of short pulse voltages, above a minimum threshold voltage of 3.5 V, across the tunneling gap results in the displacement of a layer or more of atoms to form a hole and create a neighboring mound or ‘‘nanodot’’ from the displaced atoms. We have found a correlation between the hole and ‘‘nanodot’’ volume at the atomic level and observe an asymmetric displacement of material in all cases of feature creation. Nanofeatures as small as four carbon atoms at beta sites have been created. Our experimental observations are consistent with the modification process depending on the gradient in the electric field induced by the rise time of the bias pulse voltage and not the pulse duration. Interesting faceting behavior has also been observed around some hole edges. Tip bias pulsing sometimes induced a tip, and not a surface modification, resulting in a change in the observed tunneling image
Findings on Student Use of Social Media at the Collegiate, Undergraduate, and Graduate Levels: Implications for Post-Secondary Educators
In this paper, we present findings on social media use by students at two institutions in three levels of post-secondary programs. We find that students are almost universally using at least one social network, with Facebook as the most popular, and Instagram second. Many respondents are simultaneously active on several social networks. However, few post to any social medium more than once per day. Social media usage levels of students in our survey far exceeded that of the adult Canadian population at large. Changes in student posting habits during the course varied widely with the level of post-secondary program, as did views on the professional applications of social media
Efisiensi Regenerasi In Vitro melalui Organogenesis Empat Varietas Kedelai (Glycine Max [L].merr.) dari Eksplan Biji yang Dikecambahkan atau Diimbibisikan
Penelitian ini bertujuan mengetahui pengaruh perlakuan eksplan biji yang dikecambahkan atau diimbibisikan (prakultur) terhadap efisiensi regenerasi in vitro empat varietas kedelai (Glycine max (L).Merr.) melalui organogenesis. Penelitian dilakukan di Laboratorium Kultur Jaringan, Fakultas Pertanian, Universitas Lampung, dari bulan Maret 2013 sampai dengan Mei 2013. Percobaan disusun dalam rancangan acak kelompok yang terdiri atas 5 ulangan. Perlakuan disusun secara faktorial (4x2) dengan faktor pertama adalah varietas kedelai sebagai eksplan (Grobogan, Argomulyo, Tanggamus, dan Ijen) dan faktor kedua adalah perlakuan pra-kultur (imbibisi atau pengecambahan). Setiap satuan percobaan terdiri atas empat eksplan yang dikulturkan dalam satu botol. Hasil penelitian menunjukkan bahwa perlakuan pra-kultur berpengaruh terhadap persentase eksplan yang menghasilkan tunas adventif (PEMTA)dan rata-rata jumlah tunas adventif per eksplan (RJTA). Sedangkan perlakuan varietas dan interaksi hanya berpengaruh pada PEMTA tetapi tidak berpengaruh pada RJTA. Pada perlakuan imbibisi, PEMTA varietas Ijen lebih tinggi daripada Grobogan, Argomulyo, dan Tanggamus. Pada perlakuan pengecambahan, PEMTA varietas Ijen lebih tinggi daripada Argomulyo namun tidak berbeda dengan Tanggamus dan Grobogan. Jika menggunakan varietas Ijen dan Argomulyo, PEMTA perlakuan imbibisi lebih tinggi daripada pengecambahan. RJTA perlakuan pra-kultur imbibisi 20 jam (19,5 tunas per eksplan) lebih tinggi daripada perlakuan kecambah 6 hari (9,63 tunas per eksplan). Selain itu, media pengakaran ½ MS tanpa NAA lebih baik dalam membentuk akar fungsional daripada ½ MS yang mengandung NAA 0,5 mg/l
Regenerasi In Vitro Empat Varietas Kedelai (Glycine Max [L.] Merr.) melalui Organogenesis Menggunakan Eksplan Biji yang Diimbibisi dan Dikecambahkan
Penelitian dilakukan untuk mengetahui pengaruh metode pra-kultur yang efektif dalam meningkatkan efisiensi regenerasi in vitro terhadap eksplan buku kotiledon pada empat varietas kedelai. Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Ilmu Tanaman Fakultas Pertanian Universitas Lampung, dimulai dari Maret sampai dengan Mei 2013. Rancangan yang digunakan dalam penelitian ini adalah rancangan acak kelompok. Perlakuan yang diterapkan merupakan kombinasi dari dua faktor yaitu varietas (Detam 1, Detam 2, Burangrang, Panderman) dan metode pra-kultur (kecambah 6 hari dan imbibisi 20 jam) yang merupakan perlakuan terhadap empat varietas benih kedelai tersebut sebelum ditanam pada media inisiasi tunas. Perlakuan disusun secara faktorial (4x2) dengan 5 ulangan. Setiap satuan percobaan terdiri dari empat eksplan buku kotiledon kedelai. Hasilpenelitian menunjukkan bahwa rata-rata jumlah tunas adventif per eksplan (RJTAPE) tidak dipengaruhi oleh metode prakultur, varietas dan interaksi antara keduanya. Sedangkan, persentase eksplan yang membentuk tunas adventif (PEMTA) tidak dipengaruhi oleh metode pra-kultur namun dipengaruhi oleh varietas dan interaksi antara kedua faktor tersebut. PEMTA tertinggi didapatkan jika menggunakan varietas Detam 1 melalui perlakuan perkecambahan (70%) dan varietas Pandermanmelalui perlakuan imbibisi (50%). Media pengakaran ½ MS dan ½ MS + NAA 0,5 mg l-1 memiliki efektifitas yang sama terhadap persentase tunas adventif yang membentuk akar fungsional (PTMAF) pada minggu kedua setelah pengakaran. Dengan demikian, teknik regenerasi secara in vitro melalui organogenesis pada varietas Detam 1 dengan perlakuan perkecambahan dan varietas Panderman dengan perlakuan imbibisi lebih efisien digunakan untuk transformasi genetik kedelai
AKARI Far-Infrared All Sky Survey
We demonstrate the capability of AKARI for mapping diffuse far-infrared
emission and achieved reliability of all-sky diffuse map. We have conducted an
all-sky survey for more than 94 % of the whole sky during cold phase of AKARI
observation in 2006 Feb. -- 2007 Aug. The survey in far-infrared waveband
covers 50 um -- 180 um with four bands centered at 65 um, 90 um, 140 um, and
160 um and spatial resolution of 3000 -- 4000 (FWHM).This survey has allowed us
to make a revolutionary improvement compared to the IRAS survey that was
conducted in 1983 in both spatial resolution and sensitivity after more than a
quarter of a century. Additionally, it will provide us the first all-sky survey
data with high-spatial resolution beyond 100 um. Considering its extreme
importance of the AKARI far-infrared diffuse emission map, we are now
investigating carefully the quality of the data for possible release of the
archival data. Critical subjects in making image of diffuse emission from
detected signal are the transient response and long-term stability of the
far-infrared detectors. Quantitative evaluation of these characteristics is the
key to achieve sensitivity comparable to or better than that for point sources
(< 20 -- 95 [MJy/sr]). We describe current activities and progress that are
focused on making high quality all-sky survey images of the diffuse
far-infrared emission.Comment: To appear in Proc. Workshop "The Space Infrared Telescope for
Cosmology & Astrophysics: Revealing the Origins of Planets and Galaxies".
Eds. A.M. Heras, B. Swinyard, K. Isaak, and J.R. Goicoeche
Untapped seasonal storage potential in Swiss hydropower schemes
We have analysed all Swiss hydropower reservoirs with a capacity above 1 million m3: ‐ 63 reservoirs > 1 hm3 ‐ 40 reservoirs > 10 hm3 ‐ 29 reservoirs > 30 hm3 ‐ 36 reservoirs > 60 hm3 These 168 dams represent 8778 GWhof storage capacity, which is over 99% of the total Swiss hydropower storage capacity. The results show that a significant number of dams could increase storage in a significant way: ‐ 48 dams could capture existing excess natural inflows if their current storage capacity were to be increased. ‐ 7 dams are sub-optimally used, and could catch additional inflows using existing infrastructure
A milestone to SPICA extragalactic surveys: The AKARI NEP survey
Large area surveys in the infrared wavelengths have revealed a significant evolution of the star formation activity of the universe in the past. The extragalactic sur- vey we have conduced with AKARI towards the north ecliptic pole (NEP) is unique, in terms of a comprehensive wavelength coverage from 2 to 24 micron using all 9 photometric bands of the Infrared Camera (IRC). We demonstrate that this IRC all-band photometry is capable of tracing a steep rise in the flux at the blue side of the polycyclic aromatic hydrocarbon (PAH) 6.2 micron emission feature of infrared luminous galaxies at z < 1. This allows us to estimate redshifts of mid-IR sources and identify `ultra-luminous starburst galaxies', based on mid-IR spectral energy distributions (SEDs). SPICA could inherit this unique capability of AKARI and extend the study to typical galaxy populations at z ~ 2, i.e. a critical period of galaxy formation
PERBANDINGAN PENILAIAN SIKLUS HIDUP (LIFE CYCLE ASSESSMENT) PRODUKSI BIODIESEL SECARA KATALIS DARI CRUDE PALM OIL DAN CRUDE JATROPHA CURCAS OIL
Sektor energi memainkan peran penting bagi Indonesia dan bahkan dunia dalam mencapai tujuan pembangunannya. Salah satu isu yang berkaitan dengan negara-negara yang berusaha untuk memanfaatkan bahan bakunya telah muncul secara global dalam pengembangan produksi biodiesel, misalnya USA yang menggunakan kacang kedelai, Eropa menggunakan rapeseed dan Asia khususnya Indonesia menggunakan minyak sawit. Isu global lainnya menempatkan lingkungan sebagai pertimbangan utama, karena produksi biodiesel menghasilkan emisi gas yang meningkatkan risiko pemanasan global dan menyebabkan kerusakan lingkungan. Negara-negara Eropa mengklaim bahwa pengolahan biodiesel yang berasal dari minyak sawit menyebabkan peningkatan emisi karbon yang ditransfer ke atmosfer. Metode yang tepat untuk menganalisis masalah tersebut melalui Penilaian Siklus Hidup (LCA). Produksi biodiesel di Indonesia menggunakan kelapa sawit sebagai bahan bakunya. Selain itu, penggunaan jatropha juga dianjurkan karena merupakan tanaman yang tidak dapat dimakan dan beradaptasi dengan berbagai kondisi tanah kritis yang ada di Indonesia. Studi ini merupakan penilaian komparatif siklus hidup dari produksi biodiesel dari minyak sawit dan jarak yang diproduksi di Indonesia. Analisis dikelompokkan ke dalam tahapan produksi tidak stabil dan tahap produksi stabil untuk mengakomodasi karakteristik pertumbuhan alami dari kedua tanaman ini. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa produksi biodiesel dari kelapa sawit memberikan nilai yang lebih tinggi pada potensi pemanasan global (GWP) daripada jarak pagar. Penggunaan agro-kimia, seperti pupuk, herbisida, insektisida dan pestisida, memberikan kontribusi yang signifikan terhadap total nilai GWP, yaitu masing-masing 68,14% untuk kelapa sawit dan 37,56% untuk jarak pagar. Karakteristik emisi dari kedua tanaman selama periode produktivitas tidak stabil ditemukan berbedaJurnal Teknologi Industri Pertaniandengan produktivitas stabil. Nilai GWP dan konsumsi energi untuk memproduksi biodiesel dari kelapa sawit ditemukan lebih tinggi dari jarak pagar.Kata kunci: penilaian siklus hidup, minyak mentah sawit, minyak mentah jarak pagar, biodiese
Complement-Mediated Virus Infectivity Neutralisation by HLA Antibodies Is Associated with Sterilising Immunity to SIV Challenge in the Macaque Model for HIV/AIDS.
Sterilising immunity is a desired outcome for vaccination against human immunodeficiency virus (HIV) and has been observed in the macaque model using inactivated simian immunodeficiency virus (SIV). This protection was attributed to antibodies specific for cell proteins including human leucocyte antigens (HLA) class I and II incorporated into virions during vaccine and challenge virus preparation. We show here, using HLA bead arrays, that vaccinated macaques protected from virus challenge had higher serum antibody reactivity compared with non-protected animals. Moreover, reactivity was shown to be directed against HLA framework determinants. Previous studies failed to correlate serum antibody mediated virus neutralisation with protection and were confounded by cytotoxic effects. Using a virus entry assay based on TZM-bl cells we now report that, in the presence of complement, serum antibody titres that neutralise virus infectivity were higher in protected animals. We propose that complement-augmented virus neutralisation is a key factor in inducing sterilising immunity and may be difficult to achieve with HIV/SIV Env-based vaccines. Understanding how to overcome the apparent block of inactivated SIV vaccines to elicit anti-envelope protein antibodies that effectively engage the complement system could enable novel anti-HIV antibody vaccines that induce potent, virolytic serological response to be developed
- …