8 research outputs found

    PENYELESAIAN KONFLIK ANTAR SUKU DAN IMPLIKASINYA TERHADAP KETAHANAN WILAYAH (Analisis Teori Human Security Menurut Dan Henk)

    Get PDF
    Pemerintah Daerah belum sepenuhnya dapat berfungsi menjalankan peranan pemerintah daerah dalam proses penyelesaian konflik antar suku di Kabupaten Mimika baik  peranan di bidang keamanan dan keselamatan (security and safety) maupun peranan dalam bidang kesejahteraan dan kemakmuran (welfare and prosperity). Hal ini dapat dilihat dari masih banyaknya terjadi pelanggaran hak-hak dasar rakyat bahkan pelanggaran hak asasi manusia (HAM) khususnya di Kabupaten Mimika yang memicu terjadinya konflik-konflik politik dan sosial yang pada akhirnya menimbulkan konflik antar suku di Kabupaten Mimika baik antar suku asli Papua maupun dengan suku-suku etnis pendatang. (2) Cara solusi konflik antar suku di Kabupaten Mimika adalah dengan meningkatkan peranan Pemerintah Daerah sebagai fungsi keselamatan negara, pemegang kekuasaan fungsi informasi dan komunikasi antar warga masyarakat, berperan besar menjadi komunikator dalam penyelesaikan persoalan konflik etnik di Kabupaten Mimika. Perlu dibuka suatu lembaga rekonsiliasi dalam penyelesaian konflik etnik dan konflik sosial pembangunan secara terbuka, adil dan benar dalam kerangka Negera Kesatuan Republik Indonesia dan membuka dialog untuk penyelesaian konflik etnik Papua sehubungan dengan pelurusan sejarah Papua yang adil, transparan dan jujur. (3) Implikasi penyelesaian konflik antar suku di Kabupaten Mimika akan meningkatkan ketahanan wilayah baik di wilayah Kabupaten Mimika maupun ketahanan wilayah Papua.Kata Kunci:  Peran pemerintah daerah, konflik antar suku, ketahanan wilayah, Mimik

    SINERGITAS FUNGSI KEWENANGAN ANTAR LEMBAGA PEMERINTAHAN DAERAH PAPUA DALAM PENYELENGGARAAN OTONOMI KHUSUS

    Get PDF
    Ciri utama pemerintahan daerah khusus Papua adalah adanya Majelis Rakyat Papua (MRP). Lembaga ini merupakan representasi kultural orang asli Papua. Kewenangan mendasar dari MRP yaitu peran sertanya dalam proses legislasi daerah, yaitu memberi pertimbangan dan persetujuan terhadap Rancangan Peraturan Daerah Khusus (Perdasus) Papua. Kompleksitas permasalahan yang dihadapi oleh orang asli Papua baik pada aspek idiologi, sosial politik, sosial ekonomi dan lain lain di satu sisi dan kewenangan yang terbatas di sisi yang lain menghadapkan MRP pada posisi yang sulit. Sinergitas antar lembaga pemerintahan Papua (MRP, DPRP dan Gubernur) merupakan elemen penting dan mendasar  agar dapat memacu ekspektasi pembangunan sekaligus memberikan afermasi (perlindungan, keberpihakan, dan pemberdayaan) bagi orang asli Papua demi mewujudkan kesejahteraan sebagai tujuan otonomi khusus Papua.  Kata Kunci : Sinergisitas, Kewenangan, Pemerintah Daerah, Otonomi Khusu

    ANALISIS YURIDIS WEWENANG DAN HAK MAJELIS RAKYAT PAPUA

    Get PDF
    Majelis Rakyat Papua adalah suatu lembaga yang merupakan representasi kultural orang asli Papua dengan wewenang tertentu yang dijalankan dalam rangka perlindungan hak-hak orang asli Papua dengan berlandaskan pada penghormatan terhadap adat dan budaya, pemberdayaan perempuan, dan pemantapan kerukunan hidup beragama (Pasal 1 huruf g Undangh-Undang Otonomi Khusus Papua). Berdasarkan kewenangan yang dimiliki, maka keberadaan Majelis Rakyat Papua diharapkan mampu mengakomodir berbagai kepentingan masyarakat asli Papua yang selama ini termagrinalkan sebagaimana dikemukakan dalam pokok-pokok pikiran yang melatarbelakangi Rancangan Undang-undang Otonomi Khusus Papua. Untuk mewujudkan tujuan tersebut, maka Majelis Rakyat Papua oleh Undangh-Undang Otonomi Khusus diberi peran dan fungsi khusus. Dalam proses legislasi daerah, Majelis Rakyat Papua berwenang memberi pertimbangan dan persetujuan terhadap Rancangan Peraturan Daerah Khusus. Di samping itu dalam lingkup kebijakan publik Majelis Rakyat Papua memiliki hak dalam Pemberian Pertimbangan dan Perlindungan Hak-hak Orang Asli Papua bahkan dapat mengajukan Peninjauan Kembali Peraturan Daerah Provinsi dan Peraturan Gubernur yang dianggap melanggar hak-hak dasar orang asli Papua.Kata Kunci : Wewenang, Hak, Majelis Rakyat Papu

    The Legal Standing of the Papuan People's Assembly on Local Government System in the Province of Papua

    Get PDF
    Legal standing of Papuan People's Assembly (hereinafter referred to MRP) in the local government system in Indonesia is an auxilary state organ, which has the same position with the local government and the Papuan House of Representative (hereinafter referred to DPRP), but differentiate in terms of  duties, functions, and authorities. MRP basically is the spirit of the Papua Special Autonomy. In the context of power-sharing system, the Government has authorities to implement the provision of services, community development, and implementation of development. It has also the authority to carry out the functions of coordination, guidance, and supervision of the administration of the local government in the level of regency / minacipality in the area of the province of Papua. DPRP as a legislative body has been authorized to exercise the functions of: ( a) legislation; (b) budgeting; and (c) controlling. MRP furthermore has the authority to carry out the functions of protection of the rights of indigenous people (Papuans), which is based on respect for local customs and culture, empowerment of women, and strengthening religious life in harmony. To find a legal and institutional harmonization of the Local Government, DPRP and MRP, in achieving the law (rechts idea), the Law No. 21 of 2001 on Special Autonomy and the Law No. 64 of 2008 on the Papua People's Assembly have the cornerstone of the Special Autonomy. However,  in terms of  institutional formation of MRP, there are some articles to be revised due to they are not in accordance with the actualization of the implementation of the special autonomy in Papua. Keywords: Legal Standing, the Papuan People's Assembly, the Local Government, Papua.

    Perlindungan Hak Jurnalis Terkait Ujaran Kebencian dalam Hukum Positif Indonesia

    No full text
    This study aims to analyze the protection of journalists' rights regarding hate speech in Law Number 19 of 2016 concerning Information and Transactions and the protection mechanisms regulated in Law Number 40 of 1999 concerning the Press. The research method used is the normative method with the Statute Approach approach and is processed using the legal hermeneutic method. The results of the study show that article 28, paragraph (3) regarding hate speech in the ITE Law is an article that has multiple interpretations and is prone to misuse. The ITE Law can also set aside the Press Law as a lex specialist in protecting journalists. Meanwhile, the Press Law has a mechanism for preserving the journalist profession, such as the right of reply, the right of correction, a Memorandum of Understanding between the Press Council and the Indonesian National Police, and dispute resolution through the Press Council. This research reveals that the ITE Law and the Press Law differ in protecting journalists' rights regarding hate speech.Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis perlindungan hak jurnalis terkait ujaran kebencian dalam Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Informasi dan Transaksi, serta mekanisme perlindungan yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers. Metode penelitian yang digunakan adalah metode normatif dengan pendekatan statute approach dan diolah dengan metode hermeneutika hukum. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pasal 28 ayat (3) mengenai ujaran kebencian dalam UU ITE merupakan pasal yang multitafsir dan rentan disalahgunakan. UU ITE juga dapat mengesampingkan UU Pers sebagai lex spesialis dalam perlindungan jurnalis. Sedangkan UU Pers memiliki mekanisme perlindungan terhadap profesi jurnalis, seperti hak jawab, hak koreksi, Nota Kesepahaman antara Dewan Pers dengan Kepolisian Negara Republik Indonesia, dan penyelesaian sengketa melalui jalur Dewan Pers. Penelitian ini mengungkapkan bahwa UU ITE dan UU Pers memiliki perbedaan dalam perlindungan hak jurnalis terkait ujaran kebencian. Oleh karena itu, diperlukan harmonisasi antara kedua undang-undang tersebut agar tidak terjadi tumpang tindih dan kontraproduktif dalam pengaturan norma. Selain itu, diperlukan penguatan mekanisme perlindungan dalam UU ITE agar tidak menimbulkan kriminalisasi terhadap jurnalis yang melaksanakan tugasnya secara profesional dan bertanggung jawab. Dengan demikian, perlindungan hak jurnalis dapat dijamin dengan baik dan kebebasan pers dalam menjalankan tugasnya dapat terlindungi sesuai dengan amanat konstitusi negara

    Perlindungan Hak Jurnalis Terkait Ujaran Kebencian dalam Hukum Positif Indonesia

    No full text
    This study aims to analyze the protection of journalists' rights regarding hate speech in Law Number 19 of 2016 concerning Information and Transactions and the protection mechanisms regulated in Law Number 40 of 1999 concerning the Press. The research method used is the normative method with the Statute Approach approach and is processed using the legal hermeneutic method. The results of the study show that article 28, paragraph (3) regarding hate speech in the ITE Law is an article that has multiple interpretations and is prone to misuse. The ITE Law can also set aside the Press Law as a lex specialist in protecting journalists. Meanwhile, the Press Law has a mechanism for preserving the journalist profession, such as the right of reply, the right of correction, a Memorandum of Understanding between the Press Council and the Indonesian National Police, and dispute resolution through the Press Council. This research reveals that the ITE Law and the Press Law differ in protecting journalists' rights regarding hate speech.Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis perlindungan hak jurnalis terkait ujaran kebencian dalam Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Informasi dan Transaksi, serta mekanisme perlindungan yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers. Metode penelitian yang digunakan adalah metode normatif dengan pendekatan statute approach dan diolah dengan metode hermeneutika hukum. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pasal 28 ayat (3) mengenai ujaran kebencian dalam UU ITE merupakan pasal yang multitafsir dan rentan disalahgunakan. UU ITE juga dapat mengesampingkan UU Pers sebagai lex spesialis dalam perlindungan jurnalis. Sedangkan UU Pers memiliki mekanisme perlindungan terhadap profesi jurnalis, seperti hak jawab, hak koreksi, Nota Kesepahaman antara Dewan Pers dengan Kepolisian Negara Republik Indonesia, dan penyelesaian sengketa melalui jalur Dewan Pers. Penelitian ini mengungkapkan bahwa UU ITE dan UU Pers memiliki perbedaan dalam perlindungan hak jurnalis terkait ujaran kebencian. Oleh karena itu, diperlukan harmonisasi antara kedua undang-undang tersebut agar tidak terjadi tumpang tindih dan kontraproduktif dalam pengaturan norma. Selain itu, diperlukan penguatan mekanisme perlindungan dalam UU ITE agar tidak menimbulkan kriminalisasi terhadap jurnalis yang melaksanakan tugasnya secara profesional dan bertanggung jawab. Dengan demikian, perlindungan hak jurnalis dapat dijamin dengan baik dan kebebasan pers dalam menjalankan tugasnya dapat terlindungi sesuai dengan amanat konstitusi negara
    corecore