171 research outputs found

    From dust bowl to dust bowl:soils are still very much a frontier of science

    Get PDF
    When the Soil Science Society of America was created, 75 yr ago, the USA was suffering from major dust storms, causing the loss of enormous amounts of topsoil as well as human lives. These catastrophic events reminded public officials that soils are essential to society’s well-being. The Soil Conservation Service was founded and farmers were encouraged to implement erosion mitigation practices. Still, many questions about soil processes remained poorly understood and controversial. In this article, we argue that the current status of soils worldwide parallels that in the USA at the beginning of the 20th century. Dust bowls and large-scale soil degradation occur over vast regions in a number of countries. Perhaps more so even than in the past, soils currently have the potential to affect populations critically in several other ways as well, from their effect on global climate change, to the toxicity of brownfield soils in urban settings. Even though our collective understanding of soil processes has experienced significant advances since 1936, many basic questions still remain unanswered, for example whether or not a switch to no-till agriculture promotes C sequestration in soils, or how to account for microscale heterogeneity in the modeling of soil organic matter transformation. Given the enormity of the challenges raised by our (ab)uses of soils, one may consider that if we do not address them rapidly, and in the process heed the example of U.S. public officials in the 1930s who took swift action, humanity may not get a chance to explore other frontiers of science in the future. From this perspective, insistence on the fact that soils are critical to life on earth, and indeed to the survival of humans, may again stimulate interest in soils among the public, generate support for soil research, and attract new generations of students to study soils

    Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Keputusan Masyarakat Mengunjungi Fasilitas Kesehatan Gigi dan Mulut

    Get PDF
    Faktor yang mempengaruhi keputusan masyarakat mengunjungi fasilitas kesehatan gigi dan mulut adalah faktor sosio-ekonomi. Tujuan dalam penelitian ini adalah untuk mengetahui faktor dominan yang mempengaruhi keputusan masyarakat mengunjungi fasilitas kesehatan gigi dan mulut. Metode Penelitian ini dilakukan dengan metode deskriptif untuk menyajikan gambaran lengkap mengenai kehidupan sosial masyarakat yang berkenan dengan masalah yang akan diteliti dengan sampel 105 orang. Data dalam penelitian ini dikumpulkan dengan cara mengirimkan kuesioner melalui media sosial Whatsapp. Hasil Responden yang mengsisi kuesioner pada penelitian ini sebanyak 105. Hasil penelitian menunjukkan bahwa masyarakat yang mengunjungi fasilitas kesehatan gigi dan mulut didominasi oleh perempuan (71,4%), usia 20-60 tahun (52,3%), status pekerjaan PNS (36,1,%), dengan pendidikan terakhir S1 (34,2%), dan berpenghasilan dibawah tiga juta rupiah (50,4%). Faktor dominan yang mempengaruhi keputusan masyarakat tidak mengunjungi fasilitas kesehatan gigi dan mulut adalah faktor sosio-ekonomi (57,5%) dan faktor yang mempengaruhi keputusan masyarakat sering mengunjungi fasilitas kesehatan gigi dan mulut adalah sikap ramah dan sopan (90%). Kesimpulan dari hasil penelitian yaitu faktor dominan yang mempengaruhi keputusan masyarakat mengunjungi fasilitas kesehatan gigi dan mulut secara rutin adalah faktor sosio-ekonomi. Saran dari penelitian bagi petugas kesehatan yaitu mempromosikan kepada masyarakat mengenai penggunaan BPJS untuk pengobatan penyakit gigi dan mulut serta saran bagi masyarakat yaitu berkunjung ke fasilitas kesehatan gigi selama 6 bulan sekali.Faktor yang mempengaruhi keputusan masyarakat mengunjungi fasilitas kesehatan gigi dan mulut adalah faktor sosio-ekonomi. Tujuan dalam penelitian ini adalah untuk mengetahui faktor dominan yang mempengaruhi keputusan masyarakat mengunjungi fasilitas kesehatan gigi dan mulut. Metode Penelitian ini dilakukan dengan metode deskriptif untuk menyajikan gambaran lengkap mengenai kehidupan sosial masyarakat yang berkenan dengan masalah yang akan diteliti dengan sampel 105 orang. Data dalam penelitian ini dikumpulkan dengan cara mengirimkan kuesioner melalui media sosial Whatsapp. Hasil Responden yang mengsisi kuesioner pada penelitian ini sebanyak 105. Hasil penelitian menunjukkan bahwa masyarakat yang mengunjungi fasilitas kesehatan gigi dan mulut didominasi oleh perempuan (71,4%), usia 20-60 tahun (52,3%), status pekerjaan PNS (36,1,%), dengan pendidikan terakhir S1 (34,2%), dan berpenghasilan dibawah tiga juta rupiah (50,4%). Faktor dominan yang mempengaruhi keputusan masyarakat tidak mengunjungi fasilitas kesehatan gigi dan mulut adalah faktor sosio-ekonomi (57,5%) dan faktor yang mempengaruhi keputusan masyarakat sering mengunjungi fasilitas kesehatan gigi dan mulut adalah sikap ramah dan sopan (90%). Kesimpulan dari hasil penelitian yaitu faktor dominan yang mempengaruhi keputusan masyarakat mengunjungi fasilitas kesehatan gigi dan mulut secara rutin adalah faktor sosio-ekonomi. Saran dari penelitian bagi petugas kesehatan yaitu mempromosikan kepada masyarakat mengenai penggunaan BPJS untuk pengobatan penyakit gigi dan mulut serta saran bagi masyarakat yaitu berkunjung ke fasilitas kesehatan gigi selama 6 bulan sekali

    Parameter Kehidupan Dan Demografi Kepik, Diconocoris Hewetti (Dist.) (Hemiptera: Tingidae) Pada Dua Varietas Lada

    Full text link
    Life parameters and demographic of bug peper laceDiconocoris hewetti (Dist.) (Hemiptera: Tingidae) on twopepper varietiesPepper lace bug (PLB), Diconocoris hewetti (Dist.) (Hemiptera:Tingidae), is one of the insect pests attacking pepper in Indonesia.Research was conducted with the objective to compare various life historyand demographic parameters of PLB on two pepper varieties. The effectof two pepper varieties on various life parameters and demographic ofPLB was conducted in green house and farmer field on Bangka Island,since October 2003 to February 2004. The experiment covered the effectof LDL and Chunuk varieties on eggs and nymphal development, maleand female adults longivity and fecundity. Besides the effect ofdevelopment stage on inflorescence, shoots and young berries to adultslongivity were observed. The effect of varieties to demographic parametersof PLB was studied by rearing the bugs since egg to adult laid eggs. Theresult revealed that difference variety was influenced life history anddemographic parameters of PLB. Nymphal development time of PLB were17.3 and 13.0 days, male adult longivity 10.2 and 18.8 days, female adultlongivity 13.6 and 16.9 days, fecundity 13.9 and 24.5 eggs per female,respectively on Chunuk and LDL. The life history of PLB adult was longeron stage-3 inflorescences than stage-1 or stage-2. The intrinsic rates ofincrease (r) were 0.0741 and 0.0827, net reproductive rate (Ro) 6.98 and8.52, mean generation time (T) 26.21 and 25.91 days, finite rate ofincrease (λ) 1.0769 and 1.0862 on Chunuk and LDLrespectively.Generally, variety LDL was much better food source for thedevelopment of D. hewetti. If there were no inflorescences available, thePLB was able to survive by feeding on shoots or young berries. Adultlongivity was 12.1 days on shoots and 23.5 days on young berries. Theimplication of this research is as the basic information in the next researchfor PLB control

    Fenologi Pembungaan Dan Kelimpahan Populasi Kepik Diconocoris Hewetti (Dist.) (Hemiptera: Tingidae) Pada Pertanaman Lada

    Full text link
    Kepik renda lada (KRL), Diconocoris hewetti (Dist.) (Hemiptera:Tingidae) adalah salah satu hama pada pertanaman lada di Indonesia.Hama ini selalu hadir pada perbungaan lada dan bulir bunga lada denganjalan mengisap cairan bunga sebelum menjadi buah. Serangan nimfa danimago pada bunga dan bulir bunga akan mengakibatkan Perubahan warnabunga dari hijau kekuningan menjadi cokelat atau hitam. Penelitian inibertujuan untuk mengetahui fenologi pembungaan, kelimpahan populasiKRL, dan tingkat kerusakan bunga pada pertanaman lada. Kelimpahan danfenologi pembungaan lada menentukan kelimpahan populasi KRL.Penelitian dilakukan di kebun petani, di Desa Air Anyir, KecamatanMerawang, Kabupaten Bangka Induk, dari Mei 2003 sampai dengan Mei2004, dan di Desa Puput, Kecamatan Simpang Katis Kabupaten BangkaTengah, dari Oktober 2003 sampai dengan Mei 2004. Luas lahanpercobaan masing-masing sekitar 5000 m 2 yang sudah ditanami ladavarietas Chunuk di Air Anyir dan varietas Lampung Daun Lebar (LDL) diPuput. Umur tanaman masing-masing sekitar 5 tahun. Jumlah pohoncontoh di setiap lokasi 24 pohon. Pengamatan dilakukan setiap minggudengan cara menghitung langsung KRL yang ada pada bulir bunga, sertabanyaknya bunga yang terserang. Pada percobaan lainnya dilakukanpengamatan terhadap perkembangan bulir bunga serta tingkat keguguranfisiologis. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pola pembungaan ladavarietas Chunuk dan LDL mengikuti pola curah hujan. Rataan banyaknyabulir bunga berkisar antara 2,63-120,59 tandan per pohon pada varietasChunuk, sedangkan pada varietas LDL antara 4,79-153,84 tandan perpohon. Masa perkembangan bulir bunga fase-1 berlangsung 16,6 hari,fase-2 berlangsung 7,6 hari, dan fase-3 berlangsung 6,4 hari. Tidaksemua bulir bunga dan buah muda berhasil menjadi buah siap dipanen(23,14% pada Chunuk mengalami keguguran fisiologis). Keguguranpaling banyak terjadi pada bulir bunga yang berumur 4-5 minggu(17,62%). Rataan kelimpahan kepik renda lebih tinggi (0,042-1,375ekor/pohon) pada varietas LDL dibandingkan pada varietas Chunuk(0,042-0,333 ekor/pohon), terutama selama periode November hinggaApril. Perkembangan populasi kepik renda pada varietas LDL meningkat(1,375 ekor/pohon) selama bulan November hingga Februari, berhubungandengan banyaknya bulir bunga yang tersedia pada periode tersebut.Berdasarkan nisbah ragam terhadap rataan (s 2 /m), populasi kepik D.hewetti umumnya memperlihatkan pola sebaran acak, sedangkan pada saatpopulasi tinggi (1,375 ekor/pohon) memperlihatkan pola sebaranbergerombol. Persentase bulir bunga terserang pada varietas Chunukberkisar antara 0,06-3,85%, sedangkan pada varietas LDL berkisar antara0,34-17,72%. Terdapat hubungan linear varietas Chunuk dan LDL (r =0,87 dan 0,78) yang nyata antara kelimpahan populasi D. hewetti dankerusakan bunga. Varietas LDL lebih rentan dibandingkan dengan varietasChunuk. Pengendalian KRL dapat dilakukan pada awal pembentukanbunga yaitu sejak November

    Rapid and substantial increases in anticoagulant use and expenditure in Australia following the introduction of new types of oral anticoagulants

    Get PDF
    © 2018 Morgan et al. This is an open access article distributed under the terms of the Creative Commons Attribution License, which permits unrestricted use, distribution, and reproduction in any medium, provided the original author and source are credited. Objectives To quantify changes in anticoagulant use in Australia since the introduction of Non-vitamin K antagonist anticoagulants (NOACs) and to estimate government expenditure. Design Interrupted-time-series analysis quantifying anticoagulant dispensing, before and after first Pharmaceutical Benefits Scheme (PBS) NOAC listing in August 2009 for venous thromboembolism prevention; and expanded listing for stroke prevention in non-valvular atrial fibrillation (AF) in August 2013, up to June 2016. Estimated government expenditure on PBS-listed anticoagulants. Setting and participants PBS dispensing in 10% random sample of Australians, restricted to continuous concessional beneficiaries dispensed oral anticoagulants from July 2005 to June 2016. Total PBS anticoagulant expenditure was calculated using Medicare Australia statistics. Main outcome measures Monthly dispensing and initiation of oral anticoagulants (warfarin, rivaroxaban, dabigatran or apixaban). Annual PBS anticoagulant expenditure. Results An estimated 149,180 concessional beneficiaries were dispensed anticoagulants (100% warfarin) during July 2005. This increased to 292,550 during June 2016, of whom 47.0%, 27.1%, 18.7% and 7.2% were dispensed warfarin, rivaroxaban, apixaban and dabigatran, respectively. Of 16,500 initiated on anticoagulants in June 2016, 24.3%, 38.2%, 30.0% and 7.5% were initiated on warfarin, rivaroxaban, apixaban, and dabigatran, respectively. Compared to July 2005-July 2013, from August 2013-June 2016, dispensings for all anticoagulants increased by 2,303 dispensings/month (p<0.001, 95%CI = [1,229 3,376]); warfarin dispensing decreased by 1,803 dispensings/month (p<0.001, 95%CI = [–2,606, –1,000]). Total PBS anticoagulant expenditure was 19.5million(97.019.5 million (97.0% concessional) in 2008/09, of which 100% was warfarin and 203.3 million (86.2% concessional) in 2015/16, of which 11.2% was warfarin. Conclusions The introduction of the NOACs led to substantial increases in anticoagulant use and expenditure in Australia
    • …
    corecore