5 research outputs found
Faktor Risiko Terjadinya Late Onset Sepsis karena Bakteri Penghasil Extended Spectrum Β- Lactamase (ESBL) pada Bayi Prematur
Latar Belakang dan Tujuan: Sepsis merupakan penyumbang morbiditas pada
neonatus dengan insiden Late Onset Sepsis (LOS) jauh lebih tinggi pada bayi
prematur. Angka keberhasilan terapi sepsis semakin menurun terutama di negara
berkembang sebagai dampak dari meningkatnya masalah resistensi antibiotik
terutama dari bakteri penghasil Extended Spectrum β-Lactamase (ESBL).
Pengendalian fakor risiko dapat menjadi tindakan penting sebagai usaha menekan
angka morbiditas dan mortalitas, serta dapat memberikan pedoman dalam
pemilihan antibiotik. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui faktor risiko
terjadinya Late Onset Sepsis karena bakteri penghasil ESBL (LOS-ESBL) pada
bayi prematur.
Desain, Sampel, dan Statistik: Penelitian ini adalah penelitian observasional
analitik dengan pendekatan retrospektif yang dilakukan di Unit Neonatologi dan
Bagian Rekam Medis RS Saiful Anwar Malang menggunakan data primer berupa
hasil kultur darah neonatus serta data sekunder dari Rekam Medis periode Januari
2019 hingga Maret 2021. Penelitian telah disetujui oleh Komite Etik Rumah sakit.
Dilakukan uji korelasi Chi-square dan penghitungan Odds Ratio untuk menilai
probabilitas setiap faktor risiko. Analisis multivariat dilakukan dengan Regression
Test untuk mengetahui variabel mana yang paling berpengaruh sebagai prediktor.
Uji statistik dianggap bermakna jika p≤0,05. Analsis dilakukan dengan software
SPSS statistic 26 for Windows.
Hasil Penelitian: Terdapat 248 kultur darah positif dengan 193 (77,8%) adalah
kultur darah bayi prematur dan LOS ditemukan pada 142 bayi (73,5%). Data yang
dapat dijadikan sampel penelitian pada kelompok kasus dan kelompok kontrol
yaitu masing-masing 62 sampel. Bakteri gram negatif adalah patogen terbanyak
(68%), didominasi Klebsiella pneumoniae dengan strain penghasil ESBL sebesar
96%. Faktor yang berhubungan secara signifikan dengan terjadinya LOS-ESBL
adalah prosedur invasif (p=0,00), pemakaian akses sentral (p=0,00), dan
pemberian nutrisi parenteral (p=0,00). Hasil penghitungan OR pada faktor tersebut
masing-masing sebesar 3,13 (1,45-6,73) pada prosedur invasif, OR 9,54 (CI 3,7-
24) pada pemakaian akses sentral, dan OR 6,7 (CI 3-14) pada pemberian nutrisi
parenteral. Pemakaian akses sentral terbukti sebagai faktor yang memiliki
pengaruh terbesar terhadap terjadinya LOS akibat infeksi bakteri penghasil ESBL
dengan Exp(B) = 6,98 (CI 3,12-15,59) dan p=0,000.
Kesimpulan:
Prosedur invasif, pemakaian akses sentral, dan pemberian nutrisi parenteral
terbukti berpengaruh secara signifikan terhadap terjadinya LOS-ESBL dengan
peningkatan risiko masing-masing sebesar OR=3,13 untuk posedur invasif,
OR=9,54 untuk akses sentral, dan OR= 6,03 untuk nutrisi parenteral. Pemakaian
akses sentral terbukti sebagai prediktor utama terjadinya LOS-ESBL pada bayi
prematur
Peran Interferon Gamma Induced Protein-10 (IP-10) Dalam Diagnosis Tuberkulosis Aktif Pada Anak,
Latar Belakang dan Tujuan: Tuberkulosis (TB) sampai saat ini masih merupakan
masalah kesehatan yang penting di dunia. Salah satu permasalahan TB anak di
Indonesia adalah penegakan diagnosis. Saat ini sebagian besar diagnosis
tuberkulosis anak berdasarkan sistem skoring. Setelah itu dilengkapi dengan
pemeriksaan penunjang lainnya, seperti sputum (Bakteri Tahan Asam (BTA).
Dalam patogenesis TB aktif banyak senyawa kimia dan molekul biologis yang
berperan dalam inflamasi sebagai respon terhadap M. tuberculosis yang
bereplikasi, salah satunya adalah Interferon Gamma Induced Protein-10 (IP-10).
Beberapa penelitian menunjukkan bahwa IP-10 memiliki potensi sebagai penanda
biologis infeksi tuberculosis pada dewasa. Tujuan penelitian ini adalah
menganalisis kemampuan IP-10 sebagai penanda biologis untuk diagnosis TB
pada anak. Metode Penelitian: Penelitian ini menggunakan rancangan studi diagnostik.
Subjek penelitian adalah pasien anak usia ≤ 18 tahun dengan dugaan TB dan
belum pernah menjalani pengobatan TB yang diperiksa di RSUD Saiful Anwar
Malang serta memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi. Besar sampel yang dihitung
berdasarkan simple random sampling adalah 30 subjek dan diambil darahnya
untuk diperiksa kadar IP-10 menggunakan metode ELISA. Penelitian telah
disetujui oleh komite etik rumah sakit. Data dikelompokkan menjadi 3 variabel yaitu
status TB, lokasi TB, dan gen ekspert yang masing-masing mempunyai sub-grup
(TB dan non-TB; TB paru dan Tb ekstra paru; gen ekspert positif dan negative).
Masing-masing kelompok dilakukan uji statistik yaitu uji normalitas, uji perbedaan
kadar IP-10, uji homogenitas, dan uji korelasi setelah itu dilakukan uji diagnostik.
Uji statistic dianggap bermakna jika p value < 0,05. Uji diagnostik menggunakan
dua metode yaitu metode tabel 2x2 dan ROC. Semua analisis data dilakukan
menggunakan software SPSS versi 22.
Hasil Penelitian: dari 30 subjek penelitian didapatkan 21 subjek didiagnosis TB
dan 9 subjek non-TB; 16 subjek TB paru aktif dan 5 TB ekstra paru; 1 gen ekspert
positif dan 29 gen ekspert negative. Rata-rata kadar IP-10 pada studi ini adalah
193,6 pg/ml. Uji T independent variabel status TB didapatkan perbedaan kadar IP-
10 signifikan antar sub-grup (TB vs non-TB). Uji beda pada variabel lokasi TB dan
gen ekspert tidak signifikan. Uji korelasi spearman variabel status TB menunjukkan
adanya korelasi positif IP-10 dengan TB dengan koefisien korelasi (R) 0,63 dan P
value 0,00. Uji diagnostic dengan metode tabel 2x2 menghasilkan sensitifitas dan
spesifisitas 86% dan 77% dengan cut-off 237 pg/ml. uji diagnostic dengan metode
ROC menghasilkan AUC sebesar 89,9% dengan sensitivitas dan spesifisitas 95%
dan 73% dengan cut-off 59,34 pg/ml.
Kesimpulan: Ada perbedaan kadar IP-10 yang signifikan antara kelompok TB dan
non-TB. Ada korelasi positif kuat antara IP-10 dan TB. Cut-off 59,34 pg/ml pada
studi ini menghasilkan sensistifitas dan spesifisitas 95% dan 73% dengan AUC
89,9% yang cukup baik untuk sebuah alat diagnostik
Perbedaan Ekspresi TNF-α, IL- 6 dan Kadar Hemoglobin Pada Mencit Yang Diinduksi DSS Saja dan Yang Diberikan Vitamin D3”.
Kolitis ulseratif merupakan bagian dari Inflammatory Bowel Disease yang ditandai
dengan adanya lesi difus di kolon. Inflamasi kronis yang terjadi pada kolitis ulseratif
disebabkan karena adanya ketidakseimbangan sistem imun pada usus sehingga adanya
produksi berlebih dari sitokin-sitokin pro-inflamasi seperti TNF-α dan IL-6. Hal tersebut
memperburuk kondisi peradangan pada usus serta turut berperan dalam manifestasi
maupun komplikasi ekstraintestinal dari kolitis ulseratif yaitu anemia yang ditandai dengan
penurunan kadar hemoglobin. Selain adanya ketidakseimbangan sistem imun, didapatkan
juga defisiensi vitamin D pada sekitar 44% pasien kolitis ulseratif. Vitamin D3 merupakan
bentuk aktif dari vitamin D yang tidak hanya berperan dalam remodeling tulang tapi juga
dalam sistem imun. Vitamin D3 dapat berperan pada sistem imun innate dengan
memproduksi berbagai antimikroba dan peningkatan pengenalan TLR-4, sedangkan pada
sistem imun adaptif vitamin D3 akan menghambat Th1 sehingga menekan sitokin-sitokin
pro-inflamasi serta menghambat jalur Nf-κB yang juga memperantarai aktivasi dari
berbagai sitokin pro-inflamasi.
Dextran Sulphate Sodium (DSS) merupakan zat yang bisa digunakan untuk
menginduksi kolitis pada hewan coba. Dextran Sulphate Sodium (DSS) yang bersifat toksik
terhadap kolon akan merusak barrier dari epitel kolon sehingga berbagai patogen dapat
translokasi ke mukosa kolon dan mengaktifkan sistem imun terutama sitokin-sitokin pro-
inflamasi yang semakin memperberat kerusakan kolon. Sistem scoring yang dapat
digunakan untuk mengetahui efek kerusakan yang ditimbulkan akibat induksi DSS pada
hewan coba yaitu Disease Activity Index (DAI) dan Mouse Colitis Histology Index (MCHI).
Penelitian ini bertujuan untuk membuktikan efek pemberian vitamin D3 dapat
menurunkan sitokin-sitokin pro-inflamasi seperti TNF-α dan IL-6 sehingga kerusakan kolon
akibat DSS dan manifestasi ekstraintestinalnya dapat ditekan. Penelitian ini menggunakan
hewan coba mencit jantan BALB/c sejumlah 24 ekor yang dibagi menjadi 4 kelompok
secara acak. Kelompok kontrol negatif hanya diberikan aquadest, kelompok kontrol positif
(model mencit kolitis) diberikan Dextran Sulphate Sodium 3% (DSS 3%) selama 7 hari,
kelompok perlakuan I diberikan DSS 3% selama 7 hari kemudian diberikan vitamin D3
dengan dosis 0.2 μg/25gram/hari selama 7 hari, kelompok perlakuan II diberikan vitamin
D3 dengan dosis 0.2 μg/25gram/hari selama 7 hari kemudian diberikan DSS 3 % selama
7 hari. Selama perlakuan dilakukan perhitungan skor Disease Activity Index (DAI)
kemudian dibedah dan dicek Mouse Colitis Histology Index (MCHI), ekspresi TNF-α dan
IL-6 serta kadar hemoglobin. Hasilnya dianalisis menggunakan Anova dan Post Hoc Tukey
jika data terdistribusi normal dan homogen serta Kruskal Wallis dan Post Hoc Mann
Whitney jika tidak data tidak terdistribusi normal dan homogen. Khusus untuk data skor
DAI akan dianalisis menggunakan Friedman dan Wilcoxon.
Hasil skor DAI, MCHI, TNF-α dan IL-6 dianalisis menggunakan uji Kruskal Wallis
didapatkan perbedaan yang signifikan (p<0.05). Pada uji Post Hoc Mann Whitney
didapatkan perbedaan yang bermakna antara kelompok kontrol positif dengan kontrol
negatif, perlakuan I dan perlakuan II yang berbeda signifikan (p<0.05), namun tidak
didapatkan perbedaan yang signifikan antara kelompok perlakuan I dan perlakuan II
(p>0.05). Hasil kadar hemoglobin dianalisis menggunakan Anova didapatkan perbedaan
signifikan (p<0.05). Pada uji Post Hoc Tukey didapatkan perbedaan signifikan antara
kontrol positif dengan kontrol negatif, perlakuan I dan perlakuan II (p<0.05
Korelasi Faktor Komorbid Terhadap Mortalitas dan Lama Rawat Pada Pasien Anak dengan Pneumonia Berat
Pneumonia merupakan penyakit infeksi paru-paru yang sering disebabkan
oleh mikroba seperti bakteri, jamur, atau virus. Kondisi ini menjadi penyebab
utama kematian pada anak-anak di seluruh dunia, khususnya di Asia Selatan dan
sub-Sahara Afrika. Di Indonesia, pneumonia masih menduduki peringkat tinggi
sebagai penyebab kematian pada anak-anak. Penelitian ini dilakukan dengan
tujuan untuk mengkaji korelasi antara faktor komorbid dengan mortalitas dan lama
rawat pada pasien anak yang mengalami pneumonia berat. Faktor komorbid pada
pasien pneumonia, seperti obesitas, perokok, dan penyakit-penyakit lain dari
berbagai sistem tubuh, telah dikaitkan dengan peningkatan lama rawat di unit
perawatan intensif (ICU) dan tingkat kematian yang lebih tinggi. Namun, penelitian
sebelumnya menunjukkan hasil yang bervariasi, dan terdapat perbedaan
pandangan mengenai faktor komorbid mana yang paling berpengaruh pada
prognosis pneumonia pada anak-anak. Oleh karena itu, penelitian ini bertujuan
untuk memberikan kontribusi pemahaman yang lebih mendalam terkait korelasi
faktor komorbid dengan tingkat morbiditas dan mortalitas pada pasien anak
dengan pneumonia berat. Metode penelitian ini menggunakan desain kohort
retrospektif dengan mengambil data dari pasien anak yang dirawat di Unit
Perawatan Intensif Anak RS Dr. Saiful Anwar Malang. Variabel penelitian
mencakup berbagai faktor komorbid, seperti anemia, malnutrisi, dehidrasi,
malaria, diare, alergi, kelainan neurologis, kelainan kongenital, syok/gangguan
sirkulasi, serta terapi steroid dan kemoterapi jangka panjang. Hasil penelitian tidak
terdapat hubungan yang signifikan antara faktor komorbid seperti riwayat anemia,
diare, kanker, kelainan neurologis, kelainan kongenital, malnutrisi, perdarahan,
syok, terapi steroid, obesitas, dan riwayat hipertensi dengan tingkat mortalitas
pada pasien anak yang menderita pneumonia berat di PICU di RSUD Dr. Saiful
Anwar Malang. Tidak terdapat hubungan yang signifikan antara riwayat anemia,
diare, keganasan, kelainan neurologis, kelainan kongenital, malnutrisi,
perdarahan, syok, terapi steroid, obesitas, dan riwayat hipertensi dengan lama
rawat inap di PICU di RSUD Dr. Saiful Anwar Malang
Pengaruh Pemberian Vitamin D3 Terhadap Ekspresi TNF-α dan TGF-β serta Perbaikan Mukosa Kolon Pada Mencit Model Kolitis
Kolitis ulseratif merupakan salah satu subtipe dari penyakit Inflammatory Bowel Disease yang ditandai dengan peradangan kronik dan difus pada mukosa kolon hasil manifestasi kelainan yang diperantarai oleh gangguan regulasi sistem imun tubuh sehingga mengakibatkan produksi sitokin inflamasi berlebih serta penurunan sitokin anti-inflamasi. Salah satu etiologi kolitis ulseratif adalah defisiensi vitamin D. Beberapa penelitian menunjukkan insufisiensi atau defisiensi dari vitamin D pada pasien kolitis ulseratif, bahkan pada pasien yang sudah mengalami remisi. Bentuk aktif dari vitamin D adalah vitamin D3 yang diketahui berperan sebagai imunomodulator dalam sistem imun innate dan adaptif. Vitamin D3 memiliki peran dalam memelihara fungsi epitel sebagai barrier melalui produksi peptide antimikroba seperti β-defensin 2, Cathelicidin Antimicrobial Peptide (CAMP), dan sel Paneth. Selain itu vitamin D3 juga berperan terhadap maturasi sel dendritik dan makrofag serta produksi sel regulator seperti sel T regulator, sel iNKT dan sel T CD8αα. Berbagai mekanisme tersebut menyebabkan hambatan terbentuknya sel T efektor Th1 sehingga menekan produksi berbagai sitokin pro-inflamasi serta terbentuknya sitokin anti-inflamasi.
Penelitian ini bertujuan untuk membuktikan efek pemberian vitamin D3 untuk dapat menurunkan sitokin pro-inflamasi TNF-α sehingga dapat menurunkan kerusakan kolon dan meningkatkan sitokin anti-inflamasi TGF-β sehingga dapat memperbaiki kolon yang mengalami kerusakan. Penelitian ini menggunakan hewan coba mencit jantan BALB/c sebanyak 24 ekor yang dibagi menjadi 4 kelompok secara acak. Kelompok kontrol negatif diberikan aquadest selama perlakuan, kelompok kontrol positif diberikan DSS 3% (mencit model kolitis) selama 7 hari kemudian diberikan akuadest selama 7 hari, kelompok perlakuan I diberikan DSS 3% selama 7 hari dilanjutkan pemberian vitamin D3 dengan dosis 0.2μg/25gram/hari selama 7 hari dan kelompok perlakuan II diberikan vitamin D3 dengan dosis 0.2μg/25gram/hari selama 7 hari kemudian dilanjutkan pemberian DSS 3% selama 7 hari. Selama perlakuan dilakukan penghitungan skor DAI sampai mencit dibedah bersamaan. Setelah pembedahan, diambil sampel kolon untuk pengecekan MCHI, ekspresi TNF-α dan TGF-β kemudian hasilnya dianalisis menggunakan SPSS versi 25.
Hasil skor DAI dianalisis menggunakan uji Friedman dan didapatkan hasil signifikan pada masing-masing kelompok terhadap hari perlakuan (p0.05). Hasil TGF-β dianalisis menggunakan uji Anova didapatkan hasil signifikan (p0.05). Dari hasil tersebut dapat disimpulkan bahwa pemberian vitamin D3 dapat menekan TNF-α sehingga dapat menghambat kerusakan kolon dan meningkatkan TGF-β sehingga dapat memperbaiki kolon yang mengalami kerusakan. Vitamin D3 dapat dipertimbangkan sebagai agen terapi maupun agen preventif untuk kolitis ulseratif