14 research outputs found

    Formulasi sediaan tabir surya ekstrak air buab stroberi (Fragaria vesca L.) dalam bentuk sediaan krim

    Get PDF
    Sediaan tabir surya adalah sediaan kosmetika yang bertujuan untuk mencegah terjadinya gangguan kulit akibat sinar matahari. Stroberi (Fragaria vesca L.) merupakan buah yang memiliki daya antioksidan tinggi serta memiliki efek fotoprotektif sehingga dapat digunakan sebagai bahan dasar sediaan tabir surya. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui konsentrasi ekstrak buah stroberi yang mampu menghasilkan nilai SPF tertinggi diantara konsentrasi 10%, 20%, dan 30 serta mengetahui pengaruh penambahan dimetikon pada hasil evaluasi sediaan tabir surya pada konsentrasi ekstrak terpilih. Pada penelitian ini, ekstrak kering yang digunakan berasal dari PT. Natura Laboratoria Prima. Sediaan diformulasikan dengan tiga konsentrasi dimetikon yang berbeda yaitu Formula I (0,5%), formula II (1%), dan Formula III (1,5%). Sediaan tabir surya diuji mutu fisik, efektivitas, uji kesukaan dan uji keamanan. Data antar bets dianalisis dengan independent t-test, data antar formula dianalisis dengan one way anova dan friedman test. Hasil penelitian menunjukkan sediaan krim memiliki rentang pH antara 6,27 – 6,3, viskositas berkisar antara 764.000 – 1.860.000cps, nilai SPF yaitu 3,95-4, daya sebar krim antara 4,7 - 5,4 cm, daya lekat berkisar 2,57- 3,67 detik, uji tercucikan air antara 16 - 26,35 ml, formula II dan III bersifat water resistant serta formula yang paling disukai panelis adalah formula III. Kesimpulan penelitian ini adalah konsentrasi ekstrak kering buah stroberi menghasilkan efek fotoprotektif tertinggi yaitu 30% serta perbedaan konsentrasi dimetikon berpengaruh terhadap hasil uji tercucikan air, viskositas, daya lekat, daya sebar , pH, uji efektivitas(uji water resistant), uji kesukaan, dimana Formula III merupakan formula terbaik

    Peran Apoteker Puskesmas Kota Surabaya dalam upaya Mengoptimalkan Penggunaan Antibiotik yang Bertanggung Jawab

    Get PDF
    Latar Belakang: Penggunaan antibiotik yang tidak tepat merupakan suatu permasalahan global. Puskesmas merupakan unit pelayanan kesehatan tingkat pertama, sehingga Apoteker di Puskesmas potensial berperan dalam mengoptimalkan penggunaan antibiotik yang bertanggung jawab. Tujuan: Penelitian ini bertujuan untuk mengindentifikasi peran yang telah dan seharusnya dilakukan apoteker Puskesmas Kota Surabaya, serta mengetahui hambatan yang dialami dalam upaya mengoptimalkan penggunaan antibiotik. Metode: Penelitian kualitatif menggunakan wawancara semi terstruktur dilakukan pada seluruh apoteker yang bekerja di Puskesmas Kota Surabaya (n=63). Panduan wawancara terdiri dari dua (2) bagian yaitu identitas responden (sosiodemografi), dan peran terkait upaya mengoptimalkan penggunaan antibiotik. Informasi terkait peran untuk mengoptimalkan penggunaan antibiotik dianalisis secara Thematic Analysis dengan pendekatan induktif yang dibantu dengan pemetaan menggunakan Teori Behaviour Change Wheel (BCW), di mana mencakup sembilan (9) fungsi intervensi dan tujuh (7) strategi kebijakan. Hasil: Total terdapat 45 apoteker yang bersedia terlibat dalam penelitian ini (71,42). Aktivitas yang telah dilakukan apoteker dikelompokkan dalam empat (4) fungsi intervensi antara lain: Enablement, Education, Restriction, Training (beberapa fungsi intervensi dapat dilakukan secara kombinasi) dan satu (1) strategi kebijakan yaitu Regulation. Sedangkan aktivitas yang seharusnya dilakukan apoteker serupa dengan aktivitas yang telah dilakukan namun, ditemukan satu (1) fungsi intervensi baru yaitu: Persuasion. Ditinjau dari sisi pemangku kepentingan penggunaan antibiotik, hambatan untuk mengoptimalkan penggunaan antibiotik dapat dikelompokkan menjadi lima (5) tema, antara lain: apoteker, tenaga kesehatan lain (dokter), pihak manajemen Puskesmas dan pasien, dan kejadian pandemi COVID-19. Kesimpulan: Aktivitas yang sudah dilakukan maupun diusulkan dapat dijelaskan dengan Behaviour Change Wheel, namun terdapat beberapa fungsi intervensi (seperti Coercion, Incentivization, Environmental Restructuring, Modelling) atau kebijakan (Marketing, Guideline, Fiscal, Legislation, Social planning) yang belum ditemukan, sehingga perlu digali lebih lanjut dengan melibatkan berbagai pemangku kepentingan

    Counselling practices in an East Javan district, Indonesia: what information is commonly gathered by pharmacy staff?

    No full text
    Counselling by pharmacy staff plays a key role in ensuring the quality use of medications in community settings. Information gathering is the first step and an essential part of counselling. Yet, data on information gathering during counselling in Indonesia is lacking. Objective To identify pharmacy staff’s practice of counselling and information gathered during counselling in an East Javan district, Indonesia. Methods A survey questionnaire was conducted in community-based health facilities in the district (i.e. 3 hospital outpatient clinics, 69 community pharmacies and 24 Community Health Centres [CHCs]); one health facility was represented by one pharmacy staff. Quantitative content analysis was used to summarise data regarding information gathering. Key findings Sixty-six pharmacy staff responded, giving a 69% response rate. Almost all staff reported providing counselling; those at CHCs and outpatient clinics mostly provided prescription medicine counselling (95.5% and 100.0%, respectively), while those at community pharmacies mostly provided non-prescription medicine counselling (symptom-based versus product-based requests: 94.9% versus 71.8%, respectively). For non-prescription counselling, the most frequent information gathered was details of symptoms (symptoms-based versus product-based requests: 97.3% versus 75.0%, respectively). While for prescription medication counseling, pharmacy staff mostly asked the patient’s identity (76.2%). Less than 20% of the pharmacy staff for non-prescription/ prescription medication counselling gathered information on concurrent medications or history of allergies or adverse drug reactions. Conclusions Pharmacy staff in these Indonesian settings provided prescription/non-prescription counselling to some extent. Improved information gathering skills are required for effective counselling, especially for prescription medications, thus ensuring rational drug use among Indonesians
    corecore