STUDI LITERATUR: SAUROPUS ANDROGYNUS (PEMANFAATAN DAN TOKSISITASNYA)

Sauropus androgynus (SA) merupakan salah satu jenis tumbuhan yang digunakan sebagai sayuran dan juga sebagai obat khususnya bagi masyarakat yang bermukim di Asia Tenggara. Pada tahun 1994 – 1995 dilaporkan terjadinya gangguan paru-paru karena mengkomsumsi jus yang terbuat dari daun dan tunas muda yang sebagian besar mengakibatkan kematian. Oleh masayarakat lokal Indonesia, SA merupakan salah satu sayuran yang diperuntukkan untuk meningkatkan produksi air susu ibu (ASI), oleh karena itu diperlukan kajian tentang pemanfaatan dan toksisitas SA. Kajian ini didasarkan pada studi literatur dari artikel atau buku ilmiah yang terbit secara online maupun offline. Data yang diperoleh dari artikel tersebut kemudian disintesakan sehingga diperoleh informasi yang konfrehensif menganai SA. Secara etnobotani SA digunakan sebagai sumber vitamin, meningkatkan produksi ASI, antiobesitas, dan pengolahannya disesuaikan dengan tujuan pemanfaatan. Penggunaan AS dalam bentuk segar (tanpa dimasak) mengakibatkan bronchiolitis obliterans (BO) yang mengakibatkan kerusakan brokiolus yang disebakan oleh senyawa papaverine. Papaverine merupakan senyawa yang rusak oleh pemanasan, oleh karena penggunaan dalam bentuk sayur yang direbus relatif aman. SA memiliki bioaktivitas sebagai antimikroba, antidiabetes mellitus, anti kolesterol, anti oksidan, anti anemia, dan meningkatkan hormon. Penggunaan SA dengan cara dipanaskan terlebih dahulu relatif aman, namun untuk mencegah toksisitasnya perlu dibatasi jumlah komsumsi dan komsumsi dalam jangka waktu yang lama

Effectiveness test of African leaf ethanol extract against Salmonella typhi bacteria

Salmonella typhi is a gram-negative bacterium that is a pathogen that causes dangerous infectious diseases. The bacteria resist almost all antibiotics, such as penicillin, chloramphenicol, and methicillin. The problem of resistance has become a global problem, so new antibacterial materials are needed that can inhibit the growth of Salmonella typhi. One of the plants originating from the continent of Africa is used as a medicine to treat diarrhea, diabetes, and malaria. Where to previous studies, African leaves contain flavonoids and tannins, which can inhibit the growth of pathogenic bacteria. This study aims to determine the antibacterial activity of African leaf extract on the growth of Salmonella typhi. This research is an experimental study with various treatments using African leaf extract concentrations of 10%, 20%, 40%, 60%, 80%, and 100%. Antibacterial activity test based on the presence of inhibition zones formed. The results showed differences in the inhibition zone between extract concentration treatments on the growth of Salmonella typhi bacteria. At a concentration of 100, the formation of an inhibition zone with the largest diameter of 73.9% could be seen, and at a concentration of 20%, only an inhibition zone with a diameter of 23.7%. The antibacterial activity of African leaves can inhibit the growth of Salmonella typhi bacteria because an inhibition zone is formed. Keywords: Antibacterial; Inhibition; Flavonoids; extract

SKRINING FITOKIMIA DAN TOKSISITAS RUMPUT KEBAR (Biophytum petersianum, Klotzsch)

Rumput Kebar (Biophytum pertersianum, Klotzsch) merupakan salah satu tumbuhan lokal yang banyak tumbuh dan dimanfaatkan oleh masyarakat Papua Barat terutama oleh masyarakat Desa Kebar untuk mengobati berbagai penyakit dengan cara mengkonsumsinya dalam bentuk rebusan atau infusa. Penelitian yang dilakukan bertujuan untuk mengetahui golongan senyawa aktif rumput Kebar dengan metode Harborne dan menentukan tingkat toksisitas rumput Kebar menggunakan metode Brine Shrimp Lethality Test (BSLT). Metode ekstraksi yang digunakan adalah maserasi memakai pelarut etanol 96% dan air. Hasil analisis fitokimia menunjukan ekstrak etanol 96% rumput Kebar memiliki senyawa golongan flavonoid, steroid, tanin,dan saponin. Sedangkan hasil uji toksisitas menunjukan bahwa nilai LC50 sediaan ekstrak dan infusa rumput Kebar masing-masing sebesar 11.455 ppm dan 269 ppm

Assessment of Prescribing Competence for Medical Students

Prescription writing is one of the competencies every doctors should master. Nevertheless, this is not only just writing the drugs, the dosage and dispensing. But, prescription writing is part of a decision-making process on what and how patients should be treated from many possibilities and options of non-pharmacological and pharmacological therapies available. Therefore, it is important for clinical-phase students to learn and more importantly to practice this skill. We integrated pharmacy and pharmacotherapy and clinical exposure in 5 departments i.e. pediatric, HNO, Skin and venereal disease, ophthalmology, and internal medicine which focus on pharmacotherapy. Method: We develop an integrative pharmacotherapy learning approach based on the Guide-to-Good Prescribing (GGP-WHO) which was firstly developed by de Vries, TGPP et al. In this method there are 6 steps for treatment: 1. Knowing the problems of the patient, 2. Setting the therapeutic objective, 3. Choose p-treatment, 4. Give information, 5. Start the therapy, and 6. Monitor-evaluate the therapy. We developed Objective Structured Pharmacotherapy Examination (OSPE) as an evaluation instrument. Students will be given cases and they should write a prescription and they should explain why they choose the drugs for that particular case. Result: Students are more confident on using their critical thinking and to practice their decision making process for prescription writing. Conclusion: Integrative pharmacotherapy and OSPE could be useful tool for learning and evaluation for teaching prescription writing in medical school. Keyword: prescription, pharmacotherapy, critical-thinking, assessmen

Knowledge of hypertension and its therapy in laypeople

Hypertension is one of the non-communicable diseases that is becoming a global health problem. Hypertension can be identified by systolic blood pressure of 140 mmHg and diastolic 90 mmHg. Uncontrolled hypertension can lead to complications such as stroke, ischemic heart disease, heart attack, heart failure, kidney failure, blindness, etc. According to Basic Health Research 2018 (Riset Kesehatan Dasar 2018/Riskesdas 2018) the prevalence of hypertension for >18 years old was 8.4%, and through measurements taken in health care facilities by 34.1%. Prevalence in the city was 34.4%, in the village was 33.7%, while according to gender 31.3% for male and 36.9% for female. The study aimed to find out the knowledge and awareness of laypeople on hypertension and its therapy. This was a cross-sectional online study with 11 questions. Respondents were recruited from social media groups. The results showed 500 respondents (62.8 % female and 37.2 % male) involved in this study. The most common age range was 21-40 years (36.2 %), followed by 41-55 years (38.2%), and the least was 56-65 years old (18.4%). Seventy-two percent of respondents did not have hypertension, and 9% said they did not know. Fifty-three percent of respondents knew about the value of high blood pressure, and 89% of the respondents said hypertension should be treated regularly. The most hypertension complications answered by respondents were stroke (40%), heart attack (26%), and heart failure (16%). Amlodipine was the most mentioned by the respondents, and the second was ACE-inhibitor. However, omeprazole and omega-3 were also mentioned as anti-hypertension. Genetics and a high salt diet were risk factors that many respondents chose. In conclusion, the respondents have a good understanding of hypertension. Information related to behaviour is needed to discontinue the increasing prevalence. Keywords: hypertension; antihypertensive; adherence; knowledge; awareness/ Hipertensi adalah salah satu penyakit tidak menular yang semakin menjadi masalah global. Hipertensi ditandai dengan tekanan darah systolik 140 mmHg dan diastolik 90 mmHg. Hipertensi yang tidak terkontrol memberi dampak komplikasi ke semua organ dengan berbagai penyakit dan kondisi yang menyebabkan seperti stroke, penyakit jantung iskemik, serangan jantung, gagal jantung, gagal ginjal, kebutaan, dan lain-lain. Menurut Riset Kesehatan Dasar 2018 prevalensi hipertensi untuk usia >18 tahun adalah 8,4%. Menurut pengukuran yang dilakukan di fasilitas pelayanan kesehatan sebesar 34,1%. Prevalensi di kota adalah 34,4%, di desa itu 33,7%, sedangkan menurut jenis kelamin laki-laki 31,3% dan perempuan 36,9%. Tujuan penelitian untuk mengetahui pengetahuan dan kesadaran orang awam tentang hipertensi. Penelitian potong lintang ini dilakukan secara daring dengan mengajukan 11 pertanyaan terhadap responden dari group media sosial. Sebanyak 500 responden (62.8% perempuan, 37.2% pria), dengan kisaran umur terbanyak 41-55 tahun (36.2%), 21-40 tahun (38.2%), dan 56-65 tahun (18,4%) terlibat dalam penelitian. Sebanyak 69% responden tidak menderita hipertensi, sedangkan 21% menderita hipertensi dan 10% menyatakan tidak tahu. Sebanyak 53% responden (213 orang) tahu kriteria tekanan darah tinggi dan 89% responden tahu hipertensi harus diobati teratur. Komplikasi terbanyak menurut responden adalah stroke (40%), serangan jantung (26%) dan gagal jantung (16%). Amlodipin terbanyak disebut oleh responden sebagai antihipertensi, kedua adalah ACE-inhibitor. Masih ada yang menyebutkan omeprazole dan omega-3 sebagai antihipertensi. Faktor genetik dan diet tinggi garam merupakan etiologi dan faktor risiko yang banyak dipilih responden. Dapat disimpulkan responden memiliki pemahaman tentang hipertensi yang cukup baik. Perlu informasi terkait perilaku agar prevalensi hipertensi tidak terus meningkat