18 research outputs found
PENANGANAN KONFLIK LAUT CINA SELATAN TERKAIT DENGAN STABILITAS KEAMANAN REGIONAL MENURUT ASEAN POLITICALSECURITY COMMUNITY
Konflik Laut China Selatan merupakan salah satu bentuk konflik yang dapat
berpengaruh terhadap kestabilan keamanan di wilayah Asia Tenggara. ASEAN
membentuk ASEAN Political-Security Community untuk mempercepat kerjasama
politik dan keamanan di ASEAN dalam mewujudkan perdamaian di kawasan regional
dan global. ASEAN sebagai organisasi kerjasama regional yang solid diharapkan dapat
mewadahi kepentingan dan menyelesaikan konflik Laut Cina Selatan.
Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui peran ASEAN Political β Security
Community di dalam mencegah dan menangani konflik Laut Cina Selatan dalam
menjaga stabilitas keamanan regional dan mekanisme upaya penanganan konflik Laut
Cina Selatan terkait dengan stabilitas keamanan regional menurut ASEAN Political β
Security Community (APSC).
Metode pendekatan dalam penelitian ini adalah yuridis normatif. Penelitian ini
menggunakan spesifikasi penelitian deskriptif analitis. Jenis data penulisan ini adalah
data sekunder yang diperoleh melalui studi bahan hukum primer, bahan hukum
sekunder dan bahan hukum tersier. Metode Analisis data kualitatif.
Berdasarkan hasil penelitian mengemukakan, ASEAN sebagai organisasi regional
berperan dalam menjaga kedamaian dan keamanan internasional khususnya di
wilayahnya sebagaimana terdapat dalam beberapa kerangka hukum ASEAN seperti
Deklarasi Bangkok, ZOPFAN, Piagam ASEAN dan Treaty of Amity and Cooperation.
ASEAN telah melakukan upaya untuk meredam konflik yang ada agar tidak menjadi
konflik terbuka yang dapat mengganggu perdamaian dan stabilitas regional. Upaya
tersebut antara lain dengan mengadakan pertemuan/forum seperti AMM, KTT
ASEAN, KTT ASEAN-China, ADMM serta penyelesaian sengketa secara damai
seperti yang diatur dalam dokumen-dokumen yang sebelumnya telah diterbitkan
ASEAN sebagai bentuk upaya lain.
Kata kunci : ASEAN, ASEAN Political-Security Community, Penanganan Konflik,
Laut Cina Selatan, Keamanan Regional
ANALISIS YURIDIS TENTANG KEBIJAKAN PENENGGELAMAN KAPAL ASING PENCURI IKAN DI PERAIRAN INDONESIA ( TINJAUAN DALAM PERSPEKTIF HUKUM INTERNASIONAL DAN HUKUM NASIONAL)
Kementrian Kelautan dan Perikanan memberlakukan kebijakan penenggelaman kapal asing pencuri ikan yang tertangkap melakukan pencurian ikan di wilayah perairan Indonesia. Fakta bahwa Indonesia hanya menempati urutan ketiga pengekspor ikan di ASEAN padahal memiliki luas laut paling besar di kawasan menjadi latar belakang pemerintah mengambil langkah terobosan ini, ditambah jumlah rumah tangga nelayan dan jumlah eksportir pengolahan ikan nasional yang terus berkurang dikarenakan banyak kapal yang melakukan illegal fishing di perairan Indonesia. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui mengenai kesesuaian antara hukum nasional Indonesia dengan Hukum internasional yang diatur dalam UNCLOS 1982 dan implikasi kebijakan penenggelaman kapal asing pencuri ikan terhadap ekosistem laut. Dalam menjawab permasalahan tersebut, penulis menggunakan metode pendekatan yuridis normatif. Data diperoleh dari data sekunder.Dianalisis secara kualitatif dan kemudian disajikan secara deskriptif.
Hasil penelitian menunjukkan, bahwa kebijakan penenggelaman kapal asing pencuri ikan yang dilakukan pemerintah Indonesia bukan merupakan tindakan yang menyalahi aturan UNCLOS 1982 karena penenggelaman kapal sendiri tidak diatur secara tegas dalam konvensi tersebut, selain itu merupakan hak dan kewajiban negara pantai (Indonesia) untuk menjaga kedaulatan di wilayahnya. Kelemahan dalam hukum nasional Indonesia sendiri berupa ketidakkonsistenan peraturan, baik secara horizontal maupun vertikal yang menyebabkan hukum tidak pasti. Kebijakan penenggelaman kapal asing pencuri ikan ini dianggap kurang memperhatikan aturan dalam UNCLOS 1982 mengenai Perlindungan dan Pemeliharaan Lingkungan Laut karena memberikan implikasi buruk bagi ekosistem laut berupa rusaknya keseimbangan ekosistem laut berupa tercemarnya laut dan rusaknya terumbu karang
Pengelolaan Pulau-Pulau Kecil Terluar Indonesia Sebagai Batas Wilayah Negara (Studi Perbatasan Wilayah Negara Indonesia dengan Australia dan Timor Leste)
Indonesia selain dikenal sebagai Negara maritim dikenal pula sebagai Negara Kepulauan (Archipelagic State), karena banyaknya pulau-pulau yang dimiliki dan dengan jumlah pulau terbanyak dan terluas di dunia. Hal ini menyebabkan banyak pula pulau-pulau kecil terluar membentang dari Sabang hingga Merauke yang juga berperan sebagai garda terdepan Negara Indonesia yaitu sebagai batas wilayah negara dengan negara lain. Provinsi Nusa Tenggara Timur sendiri memiliki 7 Pulau-pulau Kecil Terluar yang sudah ditetapkan dalam Keppres No.6 Tahun 2017 tentang Penetapan Pulau Terluar. Hal ini mengakibatkan timbulnya pertanyaan mengenai penetapan batas wilayah negara pada Pulau-Pulau Kecil Terluar Indonesia tersebut, dan bagaimana pengelolaan Pulau-pulau Kecil Terluar antara Indonesia dengan Australia dan Timor Leste dalam perspektif Hukum Laut.
Penelitian hukum ini menggunakan metode pendekatan yuridis normatif, dengan data sekunder sebagai data utamanya. Untuk menganalisis permasalahan di penelitian hukum ini digunakan UNCLOS 1982 sebagai pedoman yang merupakan sumber hukum laut internasional yang telah diratifikasi oleh Indonesia.
Pulau Ndana dan Pulau Batek adalah 2 pulau kecil dan terluar Indonesia yang berbatasan langsung dengan Negara Australia dan Timor Leste. Letak kedua pulau yang jauh dari jangkauan pemerintah pusat dan daerah mengakibatkan pengelolaan kedua pulau ini terhambat. Dari penelitian yang dilakukan, di Pulau Batek juga belum dibuat Titik Dasar yang menjadi titik patokan pemerintah untuk menarik batas wilayah dengan Negara lain, dalam hal ini Timor Leste.
Penulisan Hukum ini akan membahas tentang pentingnya penetapan pengaturan batas wilayah negara di Pulau-pulau Kecil Terluar dan pengelolaan Pulau-pulau Kecil Terluar sebagai batas negara Indonesia dengan Australia dan Timor Leste ditinjau dari perspektif hukum Internasional dan hukum Nasional Indonesia
Mewujudkan Pelayanan Umum Yang Responsif Berdasarkan Hukum Responsif
Kajian ini bertujuan untuk mengetahui upaya yang dapat dilakukan untuk mewujudkan pelayanan umum yang lebih responsif yang didasarkan pada hukum yang responsif. Pelayanan umum yang responsif dilaksanakan berdasarkan kebijakan pemerintah di berbagai tingkatan, yang akan diimplementasikan berdasarkan hukum yang responsif yaitu hukum yang digunakan sebagai sarana respons terhadap ketentuan-ketentuan sosial dan aspirasi masyarakat. Demikian pula diperlukan asas-asas pemerintahan yang baik yang dapat menjadi kode etik pemerintahan, karena didalamnya berisi pedoman tingkah laku bagi negara dan aparatnya dalam rangka melayani masyarakatnya. Terwujudkan pelayanan umum yang responsif memerlukan prasyarat adanya birokrasi yang reinvented, dengan kebijakannya yang dilakukan dan yang akan diimplementasikan berdasarkan hukum responsif
PENYELESAIAN SENGKETA ANTARA SINGAPURA DAN MALAYSIA DALAM KASUS KEPEMILIKAN SOUTH LEDGE DALAM PERSPEKTIF UNCLOS 1982
Sengketa South Ledge antara Singapura dan Malaysia merupakan sengketa wilayah yang telah muncul pada tahun 1979 dan masih belum terselesaikan permasalahannya hingga saat ini, dikarenakan putusan mengenai kepemilikan South Ledge oleh ICJ (International Court of Justice) masih belum kuat akan kepastiannya apakah South Ledge milik Singapura atau Malaysia. Pokok permasalahan yang akan diteliti dalam penulisan hukum ini akan membahas tentang penyebab terjadinya sengketa kepemilikan South Ledge dan bagaimana cara menyelesaikan kasus sengketa kepemilikan pulau tersebut. Penelitian ini dilakukan dengan metode pendekatan yuridis normatif dan spesifikasinya dilakukan secara deskriptif analitis. Sumber dan jenis data yang digunakan adalah data primer, data sekunder, data tersier, dan pemanfaatan data internet. Teknik pengumpulan data menggunakan studi kepustakaan berupa literatur, dokumen resmi, dan peraturan perundang-undangan/konvensi, selanjutnya data yang diperoleh akan dipelajari dan dianalisis secara kualitatif. Berdasarkan hasil penelitian, didapatkan bahwa sengketa ini disebabkan oleh adanya perebutan gugus karang Pedra Branca, Middle Rocks, dan South Ledge yang terjadi dimana ICJ memutus Singapura berdaulat atas Pedra Branca, Malaysia berdaulat atas Middle Rocks, dan South Ledge diputuskan secara tidak pasti yaitu; kedaulatan atas South Ledge adalah milik negara yang berada dalam wilayah perairan tersebut. Berbagai klaim telah dilakukan oleh Singapura dan Malaysia dalam memperebutkan South Ledge, serta berbagai upaya telah dilakukan untuk menyelesaikan sengketa tersebut, namun sampai saat ini sengketa tersebut belum dapat terselesaikan dan diputus secara pasti akan kepemilikannya. Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan, terdapat cara-cara penyelesaian sengketa kepemilikan South Ledge sesuai dengan Piagam PBB dan UNCLOS 1982, dan penulis merasa cara terbaik yang dapat diambil Singapura dan Malaysia adalah dengan melakukan negosiasi kembali untuk membicarakan penyelesaian sengketa tersebut agar terdapat suatu kesepakatan yang pasti tentang milik negara manakah South Ledge
BENTUK KERJASAMA ANTAR NEGARA DALAM UPAYA PENANGGULANGAN PEMBAJAKAN KAPAL DI LAUT LEPAS DEKAT PERAIRAN SOMALIA (TELUK ADEN)
pembajakan kapal oleh perompak Somalia khususnya dalam kawasan Teluk Aden semakin memprihatinkan karena meskipun telah berlaku aturan mengenai pembajakan, peningkatan jumlah kejadian tersebut tetap meningkat sehingga telah dianggap mengancam perdamaian dan keamanan dunia. Kaitannya dengan melawan pembajakan kapal di Teluk Aden, negara-negara mengupayakan kerjasama untuk menanggulangi pembajakan di laut sehingga jumlah peristiwa pembajakan dapat ditekan. Permasalahan dalam skripsi ini mengenai apa saja bentuk kerjasasma yang telah dibentuk dan dihasilkan oleh komunitas internasional dan bagaimana solusi konkrit dalam upaya menekan pembajakan kapal di Teluk Aden. Penelitian ini menggunakan metode pendekatan yuridis normatif dengan spesifikasi deskriptif analitis, serta menyajikan data sekunder dengan metode analisis kualitatif. Hasil penelitian ini akan menyebutkan bentuk-bentuk kerjasama negara baik dalam tingkat internasional, regional maupun bilateral serta menjelaskan solusi jangka panjang yang dapat diupayakan untuk mengefektifkan upaya penanggulangan pembajakan kapal di laut Teluk Aden terlepas dari bentuk kerjasama antar negara. Salah satunya melalui perubahan atau peninjauan ulang terhadap hukum internasional yang berlaku saat ini
ANALISIS YURIDIS TENTANG KEBIJAKAN PENENGGELAMAN KAPAL ASING PENCURI IKAN DI PERAIRAN INDONESIA
Kementrian Kelautan dan Perikanan memberlakukan kebijakan penenggelaman kapal asing pencuri ikan yang tertangkap melakukan pencurian ikan di wilayah perairan Indonesia. Fakta bahwa Indonesia hanya menempati urutan ketiga pengekspor ikan di ASEAN padahal memiliki luas laut paling besar di kawasan menjadi latar belakang pemerintah mengambil langkah terobosan ini, ditambah jumlah rumah tangga nelayan dan jumlah eksportir pengolahan ikan nasional yang terus berkurang dikarenakan banyak kapal yang melakukan illegal fishing di perairan Indonesia. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui mengenai kesesuaian antara hukum nasional Indonesia dengan Hukum internasional yang diatur dalam UNCLOS 1982 dan implikasi kebijakan penenggelaman kapal asing pencuri ikan terhadap ekosistem laut. Dalam menjawab permasalahan tersebut, penulis menggunakan metode pendekatan yuridis normatif. Data diperoleh dari data sekunder.Dianalisis secara kualitatif dan kemudian disajikan secara deskriptif.
Hasil penelitian menunjukkan, bahwa kebijakan penenggelaman kapal asing pencuri ikan yang dilakukan pemerintah Indonesia bukan merupakan tindakan yang menyalahi aturan UNCLOS 1982 karena penenggelaman kapal sendiri tidak diatur secara tegas dalam konvensi tersebut, selain itu merupakan hak dan kewajiban negara pantai (Indonesia) untuk menjaga kedaulatan di wilayahnya. Kelemahan dalam hukum nasional Indonesia sendiri berupa ketidakkonsistenan peraturan, baik secara horizontal maupun vertikal yang menyebabkan hukum tidak pasti. Kebijakan penenggelaman kapal asing pencuri ikan ini dianggap kurang memperhatikan aturan dalam UNCLOS 1982 mengenai Perlindungan dan Pemeliharaan Lingkungan Laut karena memberikan implikasi buruk bagi ekosistem laut berupa rusaknya keseimbangan ekosistem laut berupa tercemarnya laut dan rusaknya terumbu karang