4 research outputs found

    Uji Efektivitas dan Toksisitas Antimalaria Fraksi 12, 13, dan 14 Metabolit sekunder Streptomyces hygroscopicus subsp. Hygroscopicus secara in vitro

    No full text
    Malaria merupakan penyakit yang tersebar di berbagai negara tropis maupun sub-tropis, dengan perkiraan 1000 juta orang di dunia tinggal di daerah endemik malaria. Pada tahun 2020 terjadi peningkatan kasus malaria dibanding tahun sebelumnya yakni menjadi 241 juta kasus, dengan estimasi kematian sebanyak 627.000. Malaria disebabkan oleh gigitan nyamuk betina dari genus Anopheles yang mengandung parasit Plasmodium. Diagnosis dini dan terapi yang tepat dengan obat antimalaria yang efektif merupakan dua komponen kunci dalam mengontrol dan mengeliminasi malaria. Saat ini, pengobatan lini pertama yang direkomendasikan oleh WHO dan Kementrian Kesehatan RI untuk infeksi malaria adalah Artemisinin-based combination therapy (ACT). Namun, kemunculan dan penyebaran parasit yang resisten terhadap obat Artemisinin, telah menjadi masalah utama yang menghambat pengendalian malaria. Tingginya morbiditas dan mortalitas yang disebabkan oleh malaria, belum adanya vaksin berlisensi, dan resistensi yang meluas terhadap Artemisinin, bersama dengan adanya kelompok yang rentan terhadap infeksi malaria berat terutama anak-anak dan wanita hamil, menunjukkan masalah yang nyata akan kebutuhan untuk menemukan obat antimalaria baru. Salah satu spesies dari kelas Actinomycetes, yakni Streptomyces hygroscopicus, dilaporkan sebagai mikroorganisme potensial dalam pengembangan agen terapi antimalaria baru pada semua stadium Plasmodium. Penelitian sebelumnya telah melaporkan potensi S. hygroscopicus sebagai antimalaria, baik secara in silico, in vitro, maupun in vivo. Profiling metabolit sekunder dari fermentasi S. hygroscopicus subsp. Hygroscopicus telah dilakukan pada penelitian sebelumnya dengan metode Kromatografi Lapis Tipis (KLT), yang menghasilkan berbagai spot. Spot tersebut menunjukkan bahwa pada fraksi tersebut terdapat senyawa aktif. Fraksi nomor 12, 13, dan 14 dilaporkan mengandung senyawa monoterpen, triterpen, dan steroid. Oleh karena itu, pada penelitian ini bertujuan untuk mengevaluasi efektivitas fraksi 12, 13, dan 14 metabolit sekunder S. hygroscopicus subsp. Hygroscopicus terhadap Plasmodium berghei dan tingkat tokisitasnya sebagai agen antimalaria potensial yang baru. Pada uji efektivitas, digunakan tiga jenis fraksi yaitu fraksi 12, 13, dan 14 metabolit sekunder S. hygroscopicus subsp. Hygroscopicus pada kultur P. berghei. Kultur dibagi menjadi 7 kelompok, yang terdiri dari 5 kelompok perlakuan dan 2 kelompok kontrol, dalam 24-well plate. Kelompok perlakuan menggunaan konsentrasi 0,25; 1.25; 6.25; 31.25; 156.25 μg/ml. Kelompok kontrol positif diberikan paparan Artemisinin 0,01 mM, sedangkan kelompok kontrol negatif menggunakan DMSO 1%. Morfologi P. berghei pada siklus viii intraeritrositik diamati secara mikroskopik dengan membuat hapusan darah pada kaca objek kemudian diwarna dengan pewarnaan Giemsa. Pengamatan ini dilakukan setelah P. berghei terpapar fraksi S. hygroscopicus subsp. Hygroscopicus selama 48 jam, dengan perbesaran 1000x. Hasil penelitian menunjukkan bahwa ketiga fraksi dapat menyebabkan kerusakan morfologi pada P. berghei, berupa bentuk krisis (crisis form). Densitas eritrosit terinfeksi P. berghei setelah paparan fraksi 12, 13, dan 14 metabolit sekunder S. hygroscopicus subsp. Hygroscopicus menunjukkan hasil yang lebih rendah dibanding kontrol negatif. Persentase penghambatan rata-rata fraksi 12, 13, dan 14 metabolit sekunder S. hygroscopicus subsp. Hygroscopicus terhadap P. berghei semakin meningkat seiring dengan kenaikan konsentrasi fraksi. Dari ketiga fraksi, didapatkan hasil penghambatan pertumbuhan parasit terbaik pada fraksi 14, kemudian disusul oleh fraksi 13 dan fraksi 12. Fraksi 14 memiliki persentase penghambatan tertinggi pada konsentrasi 156,25 μg/ml sebesar 67,73%, fraksi 13 dapat menghambat P. berghei tertinggi pada konsentrasi 156.25mg/L sebesar 38,65%, sedangkan fraksi 12 dapat menghambat P. berghei tertinggi pada konsentrasi 31,25 μg/ml sebesar 31,09%. Kontrol positif berupa Artemisinin dapat menghambat pertumbuhan P. berghei sebesar 50,61%. Berdasarkan analisis probit, IC50 pada fraksi 14 didapatkan sebesar 10,26 μg/ml, sedangkan IC50 fraksi 12 dan 13 tidak ditentukan. Fraksi 14 sebagai fraksi terbaik pada uji efektivitas dilanjutkan untuk dilakukan pemeriksaan toksisitas, dengan tujuan untuk melihat derajat toksisitas fraksi tersebut terhadap sel. Uji toksisitas dilakukan dengan metode MTT assay menggunakan sel MCF-7 dengan konsentrasi 0,25; 2,5; 25; 250; 2500 μg/ml. Pada pengamatan morfologi menggunakan mikroskop inverted, semakin tinggi konsentrasi fraksi 14 yang diberikan, maka formazan yang terbentuk semakin berkurang. Nilai absorbansi toksisitas pada kelima konsentrasi fraksi 14 menunjukkan hasil yang lebih rendah dibandingkan kontrol negatif dan menyebabkan kematian sel MCF-7 kurang dari 50%. Kematian sel tertinggi terlihat pada konsentrasi 250 μg/ml sebesar 19,9%. Hal ini menunjukkan bahwa fraksi 14 metabolit sekunder S. hygroscopicus subsp. Hygroscopicus tidak bersifat toksik pada sel manusia. Karena persentase kematian sel MCF-7 pada konsentrasi tertinggi fraksi 14 tidak mencapai 50%, maka LC50 tidak ditentukan dalam penelitian ini. Dari penelitian ini dapat disimpulkan bahwa fraksi 14 memiliki efektivitas antimalaria terbaik dibanding fraksi 12 dan 13, dengan IC50 sebesar 10,26 μg/ml. Fraksi 14 terbukti tidak bersifat toksik terhadap sel MCF-7

    Pengaruh Ekstrak Etanol Bawang Dayak (Eleutherine Palmifolia(L) Merr.) Terhadap CDK dan Ekspresi Ki67 Sel Epitel Kolon Mencit Balb/C Model Colitis (Insilico Dan Invivo)

    No full text
    Kanker merupakan kondisi sel yang abnormal dalam pertumbuhan maupun perkembangannya ditandai dengan terjadinya proliferasi sel tidak terkendali, bersifat invasif dan dapat menyebar ke bagian organ sekitar. Prevalensi kanker kolon masih menjadi salah satu kejadian tertinggi. Kejadian kanker kolon dapat meningkat oleh peradangan pada kolon. Patogenesisnya masuknya antigen atau benda asing ke daerah kolon mengakibatkan sekresi sitokin proinflamasi (IL1, IL6, TNF-α, IFN-γ). Terjadinya inflamasi meningkatkan radikal bebas (ROS) yang berkontribusi karsinogenesis kolon. Selain itu, terjadinya mutasi p53 pada mukosa kolon pada peradangan kronis mengakibatkan siklus sel yang tidak terkontrol, ditandai ekspresi Ki67 berlebih dan menurunnya jumlah apoptosis pada sel yang rusak. Terjadinya siklus sel tidak terkontrol menyebabkan peningkatan ekspresi dari CDK1, CDK2 dan CDK4. Hal ini dapat meningkatkan proliferasi sel yang dapat memicu terjadinya perkembangan sel kanker dengan ditandai dengan peningkatan proliferasi ki67 yang meningkat pada fase mitosis (M). Sehingga dalam penelitian ini, bertujuan untuk mengetahui binding afinity tanaman bawang dayak dengan senyawa mayor 1,4 naphthoquinon pada CDK1, CDK2 dan CDK4 serta membuktikan penurunan ekspresi dari Ki67 yang merupakan marker of proliferation. Dalam penelitian ini menggunakan 2 metode yaitu in islico dan in vivo. Secara in silico, data variabel independen dalam penelitian ini, yaitu senyawa 1,4 naphthoquinon yang didapatkan dari PubChem. Sedangkan struktur makromolekul dari variabel dependen yaitu CDK1, CDK2, dan CDK4 dengan data bank protein code (PDB) masing-masing yaitu 6GU6, 6GUC, dan 1GIH. Selanjutnya dilakukan proses docking menggunakan aplikasi Molegro untuk mengetahui binding affinity, guna mengetahui energi ikatan yang terjadi. Untuk menjamin senyawa 1,4 naphthoquinon aman dikonsumsi, dilakukan uji kelayakan yang meliputi uji fisikokimia untuk memprediksi kemampuan senyawa dalam menembus sawar darah otak, serta uji hukum 5 Lipinski untuk menilai kemampuan bioavaibilitas oral. Kemudian juga dilakukan pengujian toksisitas Prediksi fisikokimia didapatkan hasil dari senyawa 1,4 naphthoquinon menunjukkan bahwa telah dipenuhinya hukum 5 Lipinski sehingga dapat diprediksi bahwa senyawa uji memiliki permeabilitas yang baik, dapat diabsorbsi dengan baik dan mempunyai bioavaibilitas oral baik. Selanjutnya, berdasarkan analisis bioinformatika, hasil Rerank Score pada semua native ligand menunjukkan nilai yang lebih kecil dari senyawa 1,4 naphthoquinon. Hal ini berarti native ligand pada reseptor 6GU6, 6GUC, dan 1GIH mempunyai afinitas lebih tinggi dibandingkan dengan senyawa 1,4 naphthoquinon. Sehingga potensi senyawa 1,4 naphthoquinon untuk berikatan dengan dengan ketiga reseptor sangatlah kecil dikarenakan perbedaan energi yang terlalu jauh. Potensi adanya interaksi sterik hanya dimunculkan antara senyawa 1,4 naphthoquinon dengan native ligand A pada reseptor 6GUC, dengan asam amino lys 33(A). Hal ini dapat menunjukkan bahwa senyawa 1,4 naphthoquinon tidak dapat berinteraksi langsung dengan kompleks CDK/cyclin sehingga tidak memiliki potensi untuk menjadi inhibitor CDK1, CDK2 maupun CDK4. Selanjtunya pada prediksi toksisitas senyawa 1,4 naphthoquinon tergolong kelas toksisitas 3 yaitu 50-300 mg/kg kategori toksisitas sedang menurut GHS, serta didapatkan hasil tidak terdapat hepatotoksik, namun memiliki sensitivitas terhadap kulit sehingga perlu dicantumkan peringatan keamanan dalam pelabelannya. Secara in vivo, dikerjakan guna membuktikan pengaruh pemberian ekstrak etanol bawang dayak dapat menurunkan ekspresi Ki67 pada sel epitel kolon dalam bahan biologi tersimpan dari mencit BALB/c yang diinduksi AOM DSS. Sampel terdiri enam kelompok yang berasal dari bahan biologi tersimpan dari kolon mencit BALB/c yang diinduksi AOM DSS. Dua kelompok kontrol yaitu negatif dan positif, tiga kelompok pemberian ekstrak ix bawang dayak dengan dosis masing-masing 0,25 mg/20gBB, 0,50 mg/20gBB, 1,00 mg/20gBB serta satu kelompok pembanding dengan doxorubicin 0,052 mg. Selanjutnya dilakukan pewarnaan IHK menggunakan antibodi primer Ki67. Didapatkan hasil penelitian secara statistik terjadi penurunan proliferasi sel epitel kolon pada ketiga kelompok mencit dengan terapi ekstrak bawang dayak. Dengan penurunan terbaik yaitu pada dosis 1,00 mg/20gBB memberikan hasil penurunan jumlah proliferasi sel epitel 11 ± 1.04 sel/LPB, nilai tersebut paling mendekati dengan kelompok dosis pembanding doxorubicin 0,052 mg (8 ± 0.55 sel/LPB) dan kelompok kontrol negatif (6 ± 1.48 sel/LPB). Sehingga pemberian ekstrak bawang dayak (Eleutherine palmifolia (L.) Merr) dapat menurunkan ekspresi Ki67 pada sel epitel kolon dalam bahan biologi tersimpan dari mencit BALB/c yang diinduksi AOM DSS secara in vivo

    Efek Terapi Kombinasi Cetuximab Dengan Nanopartikel Ekstrak Pleurotus Ostreatus Terhadap Ekspresi EGFR Dan TIMP1 Pada Sel Kanker Kolorektal Secara In Vitro

    No full text
    Terapi tertarget pada kanker kolorektal (CRC) berfokus pada protein atau sel kanker tertentu. Pada kanker usus besar dengan mutasi BRAFV600E, National Comprehensive Cancer Net-work (NCCN) saat ini merekomendasikan penggunaan cetuximab bersama dengan inhibitor RAF. Namun, karena inhibitor RAF menghasilkan perubahan pada molekul yang terlibat dalam jalur MAPK, beberapa penelitian telah mengungkapkan resistensi terhadap penggunaan kombinasi obat ini. Pleurotus ostreatus memiliki sifat imunomodulator dan antikanker. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh cetuximab yang dikombinasikan dengan nanopartikel ekstrak Pleurotus ostreatus terhadap sel CRC mutan BRAFV600E HT-29. Pleurotus ostreatus diekstraksi dengan etanol 70% dan hidrasi film tipis digunakan untuk membuat nanopartikel. Ekstrak diberikan ke sel HT-29 in vitro dengan cetuximab, dan setelah 24 jam, sel diuji untuk imunofluo-rescence. Jika dibandingkan dengan sel yang tidak diberi perlakuan, jumlah rata-rata ekspresi EGFR dan TIMP-1 lebih rendah pada sel yang diberi perlakuan yang dibuktikan dengan angka P<0.05. Pleurotus ostreatus menunjukkan kemungkinan aktivitas antikanker pada sel HT-29. Kesimpulan dari penelitian ini kombinasi cetuximab dengan ekstrak Pleurtous ostreatus memiliki potensi untuk dijadikan sebagai terapi kanker kolorektal

    Uji In Silico Ekstrak Kulit Pisang (Musa spp.) terhadap Superoksida Dismutase (SOD-1) sebagai Kandidat Terapi Kanker Payudara

    No full text
    Kanker payudara merupakan kanker yang terjadi ketika sel maupun struktur tertentu di dalam payudara mengalami pertumbuhan yang abnormal. Kanker payudara menjadi penyakit kanker dengan angka kejadian tertinggi pada tahun 2018 di yaitu 160.653 kasus pada 5 tahun terakhir. Pada kanker payudara diketahui terjadi peningkatan aktivitas SOD-1, yang hanya ditemukan pada sel yang mengalami mutasi. Dikarenakan kemoterapi yang digunakan memiliki efek cardiotoxicity bila digunakan dalam jangka panjang, perlu dikembangkan juga pengobatan kanker payudara dari bahan herbal. Kulit pisang memiliki komponen bahan aktif yang memiliki aktivitas sebagai antimutagenik, antioksidan, antikarsinogenik, antineoplastik, membersihakan radikal bebas, menghambat kerja SOD dan sebagai terapi penyakit proliferatif. Oleh karena itu, kulit pisang perlu diteliti potensi daya hambat dan binding affinity ekstrak kulit pisang (Musa spp.) terhadap SOD-1 pada kanker payudara secara in silico. Penelitian ini merupakan penelitian eksperimental sekunder yang datanya diambil dari PubChem dan RCSB. Selanjutnya dilakukan molecular docking menggunakan software PyRx dan dilakukan visualisasi menggunakan software PyMOL. Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa senyawa yang dapat berikatan dengan baik pada SOD-1 adalah Coumarin-3-carboxylic acid dan Leucocyanidin. Dari nilai binding affinity dari kompleks ikatan Coumarin-3-carboxylic acid dengan SOD-1 serta Leucocyanidin dengan SOD-1, diketahui memiliki stabilitas lebih tinggi daripada ligan kontrol ZO0. Sehingga dapat disimpulkan bahwa Coumarin-3-carboxylic acid dan Leucocyanidin, bahan aktif kulit pisang (Musa spp.) khususnya Musa paradisiaca L. dan Musa sapientum, adalah agen terapi terbaik untuk kanker payudara
    corecore