116 research outputs found

    Kajian Prasarana Jalan Dalam Mendukung Perkembangan Wilayah Industri Tanjung Api Api

    Full text link
    Wilayah Tanjung Api Api yang berada di Provinsi Sumatera Selatan tepatnya di Kabupaten Banyuasin merupakan wilayah potensial yang dapat dikembangkan mengingat letaknya yang sangat strategis, hal ini tentunya dapat meningkatkan pertumbuhan perekonomian dan kesejahteraan masyarakat di Sumatera Selatan umumnya. Mengingat wilayah Tanjung Api Api terdapat pelabuhan laut dan pelabuhan penyeberangan menuju Bangka dan Belitung serta di wilayah ini akan dijadikan kawasan ekonomi khusus (KEK) sesuai dengan Undang-undang RI Nomor 39 tahun 2009 tentang Kawasan Ekonomi Khusus (Tim Bappeda Sumsel, 2012). Keberadaan infrastruktur jalan untuk mendukung keberlangsungan perkembangan kawasan ekonomi di Tanjung Api Api tentunya sangat dibutuhkan, karena tanpa jalan yang layak maka perkembangan tersebut akan terkendala karena putusnya jalur transportasi yang menghubungkan kawasan tersebut sehingga akan mempersulit pergerakan orang dan barang. Melihat kondisi infrastruktur jalan yang ada sekarang berupa jalan aspal yang sudah begelombang dan berlubang serta jalan beton dengan retakan dan patahan yang sangat membahayakan pemakai jalan baik kendaraan roda dua maupun roda empat akan mengakibatkan terganggunya Kenyamanan selama dalam perjalanan menuju kawasan Tanjung Api Api.Beberapa penanganan kerusakan jalan dapat dilakukan dengan menggunakan standar penanganan kerusakan jalan pada lapisan lentur menggunakan metode perbaikan standar Direktorat Jendral Bina Marga 1995. Jenis- jenis metode penanganan tiap- tiap kerusakan adalah : metode perbaikan standar, perbaikan jalan dengan overlay, perbaikan jalan dengan Rigid Pavement, dan perbaikan jalan dengan Cement Treated Recycling Base (CTRB).Pemeliharaan prasarana jalan menuju Tanjung Api-Api harus dilakukan dengan memperhatikan 3 aspek yang ada yaitu aspek ekonomi, sosial dan lingkungan. Dimana aspek ekonomi berkaitan dengan pendanaan yang tersedia agar dapat digunakan seefektif mungkin terhadap pemeliharaan jalan dengan memilih teknik pemeliharaan jalan yang tepat sehingga jalan dapat berfungsi dengan baik sesuai dengan usia jalan yang direncanakan. Tinjauan terhadap aspek sosial yaitu dengan memperhatikan kebutuhan masyarakat dan pengembangan wilayah sehingga prasarana jalan yang ada sesuai dengan Peruntukannya, sedangkan dari aspek lingkungan yaitu bahwa pemeliharaan jalan yang dilakukan tidak merusak lingkungan yang ada

    Gambaran Penggunaan Alat Pelindung Diri Tenaga Outsourcing Distribusi di PT PLN (Persero) Rayon Wonomulyo Kabupaten Polewali Mandar

    Full text link
    Penggunaan Alat Pelindung Diri (APD) merupakan salah satu cara untuk menghindari bahaya kecelakaan. APD adalah seperangkat alat kerja yang digunakan oleh tenaga kerja untuk melindungi seluruh atau sebagian tubuhnya dari adanya kemungkinan potensi bahaya untuk kecelakaan kerja. APD tidaklah secara sempurna dapat melindungi tubuh tetapi akan mengurangi tingkat keparahan kecelakaan yang terjadi. Meskipun telah menggunakan alat pelindung diri USAha pencegahan secara teknis adalah yang paling utama oleh karena itu manfaat yang pokok pada penggunaan APD yaitu untuk menghindari dan mengurangi terjadinya kecelakaan atau gangguan kesehatan tenaga kerja yang membawa implikasi yang positif bagi karyawan dan Perusahaan. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui gambaran pengetahuan, sikap dan tindakan penggunaan APD Tenaga Outsourcing Distribusi di PT.PLN (Persero) Rayon Wonomulyo Kecamatan Wonomulyo Kabupaten Polewali Mandar.Jenis penelitian yang digunakan adalah deskriptif dengan desain penelitian kuantitatif.Pengambilan sampel dilakukan dengan menggunakan teknik total sampling dengan jumlah sampel 32 orang. Pengumpulan data dilakukan dengan pengambilan data primer dan data sekunder. Analisis data dilakukan dalam bentuk distribusi frekuensi persentase. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa 93,8% memiliki pengetahuan cukup dan yang memiliki pengetahuan yang kurang sebesar 6,2% pada tenaga outsourcing distribusi di PT.PLN (Persero) Rayon Wonomulyo Kabupaten Polewali Mandar dan yang memiliki sikap negatif dalam penggunaan APD pada tenaga distribusi sebesar 15,6%, yang memiliki sikap positif sebesar 84,4% dan yang melakukan tindakan kurang baik sebesar 9,4%, yang melakukan tindakan yang baik sebesar 90,6%Sebaiknya tetap meningkatkan aplikasi pengetahuan yang telah ada melalui pelatihan APD pada tenaga kerja dan tetap menanamkan kesadaran untuk selalu menggunakan APD

    Status Teknologi Dan Prospek Beauveria Bassiana Untuk Pengendalian Serangga Hama Tanaman Perkebunan

    Full text link
    Status, technology and prospect of ecofriendly entomopathogenic fungus B. bassiana against insect pests of estate cropsChemical insecticides for pests control are causing environmental problems, such as reducing susceptibility of insect pests to a number of chemical insecticides, outbreaks of secondary pest, air and soil pollution, and human poisoned due to directly contact with the pesticides. Insect pathogen, a pest control bioagent, can be used as an alternative component control for reducing of chemical insecticide USAge. The entomopathogenic fungi, B. bassiana (Bals.) Vuill. is currently being developed as a potential of alternative bioinsecticide. Mode of action of the fungi is initially started by adhesion and penetrating of the spore through insect cuticule, and its mycelium then develop inside the insect body prior the insect death. Its conidia will grow soon after the insect die. High pathogenicity will show when B. bassiana expose to appropriate target pests. Several Indonesian strains and isolates of B. bassiana have been proven to be pathogenic against several major insect pests of cotton, oil palm, pepper, coconut and tea. Two B. bassiana isolates, viz. Bb4a and BbEd10 were found to be effective against cotton bollworm, H. armigera with the average percentage of mortality by 80-87.5% based on laboratory study. Both the LT50 and LT90 of the two isolates were 8.96-9.62 days and 19.69-22.27 days, respectively and these LT were shorter than that of other isolate, Fb4 (19-48 days). B. bassiana was also effective for control of the oil palm larvae (D. catenata), pepper stem borer (L. piperis), and tea leaf caterpillar (E. bhurmitra). B. Status, Teknologi, dan Prospek B. Bassiana Untuk Pengendalian Serangga Hama (D.Soetopo dan IGAA Indrayani) bassiana can be applied by spraying method over the plant canopy, applied as soil treatment, or by mixing the conidia with compost. Temperature and humidity are the abiotic factors that able to influence the growth of conidia. B. bassiana spore is less active or even inactive when directly exposed to ultraviolet, therefore spraying conidia in the early morning (< 08.00 a.m) or in the evening (> 15.00 p.m) may avoid the reduction of conidia activity. B. bassiana is also safe to non-target insect including beneficial insect and natural enemies. Temperature and humidity are more stabil within estate plantation ecosystem and both will support the fungus epizootic development. Therefore using B. bassiana seems to hold great promise in controlling the major insect pests of estate crops

    A Comparative Analysis on the Strategy of Impression Management and Public Diplomacy of Two Indonesian Presidents at APEC CEO Summit

    Get PDF
    This research aims to analyze speeches of the former Indonesian President SusiloBambang Yudhoyono (SBY) and the current Indonesia President Joko Widodo(Jokowi) at the APEC CEO Summit. Jokowi gave his speech in Beijing, China in2014, while SBY delivered his speech in Bali in 2013. Both speeches have constructively examined as image management strategies to build an impressionmanagement at the APEC CEO Summit. APEC is one of crucial forum to buildinternational relationships, draw the investment opportunities from various countries and demonstrate their competencies as leaders. Therefore, it was important to analyze how both leaders presented themselves in front of the International public to build positive image and identity. This study used qualitative approach with content analysis as the method. This research incorporated taxonomy of Jones and Pittman which divided into five categories: Self-promotion, Ingratiation, Exemplification, Intimidation and Supplication. In regard to the data and related setting, this study had eliminated intimidation and supplication category. The findings showed that both SBY and Jokowi applied impression management in their public diplomacy in different ways. SBY applied self-promotion more frequently than Jokowi. SBY tended to display his image in formal and normative way as a systematic, charismatic and competent worldwide leader. Meanwhile, Jokowi displayed himself as a confident, straightforward and egalitarian as well as authoritative leader by using more aggressive, detailed and informal ways in order to gain foreign investment

    PENGARUH KERAPATAN BULU DAUN PADA TANAMAN KAPAS TERHADAP KOLONISASI Bemisia tabaci GENNADIUS

    Get PDF
    ABSTRACTKetahanan tanaman terhadap serangga hama berdasarkan karaktermorfologi bulu (trichom) pada daun merupakan salah satu cara potensialmengurangi penggunaan insektisida kimia dalam pengendalian hama.Serangga hama pengisap Bemisia tabaci pada tanaman kapas juga dapatdikendalikan dengan menggunakan varietas kapas resisten berdasarkankarakter morfologi bulu daun. Penelitian peranan kerapatan bulu daunpada tanaman kapas terhadap kolonisasi B. tabaci Gennadius dilakukan diKebun Percobaan Pasirian, Kabupaten Lumajang, dan di LaboratoriumEntomologi Balai Penelitian Tanaman Tembakau dan Serat Malang, mulaiApril hingga Juli 2005. Tujuan penelitian adalah untuk mengetahuiperanan kerapatan bulu daun pada beberapa aksesi plasma nutfah kapasterhadap kolonisasi B. tabaci. Perlakuan terdiri atas 11 aksesi plasmanutfah kapas yang dipilih berdasarkan penilaian visual pada karakterkerapatan bulu daun yang mewakili kerapatan bulu rendah hingga tinggi,yaitu: (1) KK-3 (KI 638), (2) Kanesia 1 (KI 436), (3) A/35 Reba P 279 (KI257), (4) Acala 1517 (KI 174), (5) Asembagus 5/A/1 (KI 162), (6) 619-998xLGS-10-77-3-1 (KI 76), (7) DP Acala 90 (KI 23), (8) TAMCOT SP21 (KI 6)), (9) Kanesia 8 (KI 677), (10) CTX-8 (KI 494), dan (11) CTX-1(KI 487). Penelitian disusun dalam rancangan acak lengkap (RAL) dengan10 ulangan. Paramater yang diamati adalah jumlah bulu daun, telur dannimfa pada 1 cm2 luas daun, serta jumlah imago B. tabaci pada daunketiga dari atas tanaman. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kerapatanbulu daun berkorelasi positif dengan kolonisasi B. tabaci (R=0,9701).Semakin tinggi kerapatan bulu daun, semakin meningkat kolonisasi B.tabaci. Kolonisasi B. tabaci lebih tinggi pada CTX-1, CTX-8, Kanesia 8,dan KK-3 (150-250 individu/cm 2 luas daun) karena tingkat kerapatan buludaun juga lebih tinggi (150-300 helai/cm 2 luas daun) dibanding TAMCOTSP 21, DP Acala 90, 619-998xLGS-10-77-3-1, Asembagus 5/A/1, Acala1517, A/35 Reba P 279, dan Kanesia 1 yang memiliki kerapatan bulu daun(0-100 helai/cm 2 luas daun) dan tingkat kolonisasi B. tabaci (<100individu/cm 2 luas daun) lebih rendah.Kata kunci : Kapas, Gossypium hirsutum, plasma nutfah, hama, Bemisiatabaci, trichom, kolonisasi, Jawa TimurABSTRACTRole of trichome density of cotton leaf to colonization ofBemisia tabaci GennadiusTrichome-based host plant resistance offers the potential to reducechemical insecticides used in insect pest control. Cotton whitefly, Bemisiatabaci can be controlled by using resistant variety based on trichomedensity as plant morphological characteristics. The study on the role oftrichome density of cotton accessions on the colonization of B. tabaci wascarried out at Pasirian Experimental Station at Lumajang, and atEntomology Laboratory of Indonesian Tobacco and Fiber Crops ResearchInstitute (IToFCRI ) in Malang from April to July 2005. Treatmentsincluded 11 cotton accessions, viz. (1) KK-3 (KI 638), (2) Kanesia 1 (KI436), (3) A/35 Reba P 279 (KI 257), (4) Acala 1517 (KI 174), (5)Asembagus 5/A/1 (KI 162), (6) 619-998xLGS-10-77-3-1 (KI 76), (7) DPAcala 90 (KI 23), (8) TAMCOT SP 21 (KI 6)), (9) Kanesia 8 (KI 677),(10) CTX-8 (KI 494), and (11) CTX-1 (KI 487). The experiment wasarranged in completely randomized design with ten replications.Parameters observed were trichome density, number of eggs and nymphson one cm2 of leaf and adult of B. tabaci on 3rd highest leaf of cottonplant. The result showed that trichome density was positively correlatedwith B. tabaci colonization (R=0,9701) in which higher trichome densityof cotton leaf has resulted in great colonization of B. tabaci. Bemisiatabaci colonisation was higher on CTX-1, CTX-8, Kanesia 8, and KK-3(150-250 individu/cm2 of leaf) due to dense trichome (150-300trichomes/cm2 leaf) as compared with other accessions, viz. TAMCOTSP 21, DP Acala 90, 619-998xLGS-10-77-3-1, Asembagus 5/A/1, Acala1517, A/35 Reba P 279, and Kanesia 1 which showed less density of leaftrichome (0-100 trichomes/cm2 of leaf) and B. tabaci colonization (< 100individu/cm2 of leaf).Key words : Cotton, Gossypium hirsutum, cotton accession, pest,Bemisia tabaci, trichome, colonizatio

    Ketahanan Plasma Nutfah Kapas terhadap Hama Pengisap Daun, Amrasca Biguttula (ISHIDA)

    Full text link
    Karakteristik morfologi daun kapas mempunyai peran penting pada ketahanan terhadap hama pengisap. Di antara sifat morfologi tersebut, kerapatan bulu daun sangat berperan dalam menghambat serangan pengisap sehingga sifat ini dapat digunakan untuk mengidentifikasi aksesi kapas yang tahan A. biguttula. Penelitian ketahanan aksesi kapas terhadap hama pengisap, A. biguttula dilakukan di KP. Asembagus Balai Penelitian Tanaman Tembakau dan Serat mulai Januari hingga Desember 2009. Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan aksesi kapas tahan A. biguttula. Sebanyak 50 aksesi kapas digunakaan sebagai perlakuan yang masing-masing disusun dalam Rancangan Acak Kelompok (RAK) dengan tiga kali ulangan. Ukuran petak adalah 10 m x 3 m yang terdiri atas 2 baris aksesi yang diuji dan 1 baris Tamcot SP 37 sebagai tanaman penarik A. biguttula. Parameter yang diamati adalah kerapatan (jumlah) bulu daun, panjang bulu daun, populasi nimfa A. biguttula, dan skor kerusakan tanaman. Aksesi dengan kerapatan bulu daun yang tinggi dan berbulu panjang secara nyata menurunkan frekuensi pencapaian populasi ambang kendali dan kerusakan tanaman. Sebelas aksesi kapas dengan jumlah bulu berkisar 121-360 helai/cm2, populasi nimfa rendah (frekuensi ambang rendah, 0-2 kali) dan skor kerusakan rendah (1,0-1,8) adalah SATU 65; VAR 78443; Sukothai 14; GM5U/4/2; Samir 730; L1; L4 x Rex/1; Paymaster 404; ISA 205B; Albar 72B; dan Tashkent 2. Aksesi ini berpotensi sebagai materi genetik untuk ketahanan terhadap A. biguttula

    Ketahanan Aksesi Kapas terhadap Hama Pengisap Daun, Amrasca Biguttula (ISHIDA)

    Full text link
    Amrasca biguttula (Ishida) adalah salah satu hama utama kapas di Indonesia. Nimfa dan dewasanya meru-sak dengan cara mengisap cairan daun yang menyebabkan gejala seperti terbakar, kekeringan, dan gugur. Pengendalian hama ini semakin sulit karena terjadinya resistensi dan resurgensi hama akibat penggunaan insektisida kimia sintetis yang kurang bijaksana. Berkaitan dengan ketahanan terhadap A. biguttula, karakter morfologi tanaman kapas, khususnya trikom daun memegang peranan penting dalam mekanisme ketahan-an. Penelitian ini bertujuan untuk memperoleh aksesi-aksesi kapas yang tahan terhadap A. biguttula. Pene-litian evaluasi ketahanan plasma nutfah kapas terhadap A. biguttula (Ishida) dilakukan di KP Asembagus, Si-tubondo, mulai Januari hingga Desember 2008. Sebanyak 50 aksesi kapas digunakan sebagai perlakuan yang disusun dalam rancangan acak kelompok (RAK), dengan tiga kali ulangan. Ukuran plot perlakuan 10 m x 3 m, dengan jarak tanam 100 cm x 25 cm, satu tanaman per lubang. Parameter yang diamati adalah: po-pulasi nimfa A. biguttula, tingkat kerusakan tanaman, dan karakter trikom daun yang meliputi: kerapatan, panjang, dan posisi trikom. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kerapatan trikom daun berhubungan de-ngan ketahanan terhadap A. biguttula. Aksesi dengan kerapatan trikom daun yang tinggi lebih tahan ter-hadap serangan A. biguttula dibanding aksesi dengan sedikit trikom atau tidak bertrikom. SK 32, LAXMI, dan SK 14 adalah aksesi kapas yang tahan terhadap serangan A. biguttula, sedangkan SATU 65, LASANI 1, G-cot-10, SAMARU 70, NH4, L 18, dan NIAB adalah aksesi-aksesi dengan tingkat ketahanan sedang (moderat). Selain itu, aksesi yang termasuk sangat rentan adalah: Stoneville 825, 7042-5W-79N, 1073-16-6x491L-619-4-77, dan M35-5-8, sementara aksesi lainnya termasuk rentan terhadap serangan. Terdapat korelasi negatif antara kerapatan trikom daun dan populasi nimfa (Y=-170,8x + 296,6; R2 = 0,414) dan antara kerapatan trikom daun dan tingkat/skor kerusakan tanaman (Y=-0,005x + 2,916; R2 = 0,622). Se-dangkan korelasi positif terjadi antara populasi nimfa dan tingkat/skor kerusakan tanaman (Y=0,469x – 0,071; R2 = 0,672). The cotton jassid, Amrasca biguttula (Ishida) is a key pest of cotton in Indonesia. The nymphs and adults suck the leaves resulting in hopperburn, drying, and shedding of leaves. The management of this pest is more difficult due to the insect resistance to chemical insecticides and resurgence caused by unwise applications of synthetic insecticides. Related to jassid resistance, morphology of cotton mainly hairiness of leaf, plays an important role in mechanism on the plant resistance. The objective of the study was to screen a large number of cotton accessions for susceptible or resistant to A. biguttula. The study was conducted at Asembagus Experimental Station from January to December 2008. Fifty accessions of cotton were planted in 10 m x 3 m of plot size with 100 cm x 25 cm of plant distance. All accessions were designed in randomized block with three replications. Each plot consists of two rows cotton accession and one row susceptible varie-ty, TAMCOT SP 37 as a attractant plant. Parameters observed were nymph population, plant damage, tri-chome characters and its density, length, and position on the leaf lamina. Results showed that cotton acces-sions with higher trichome density were more resistant to jassid compared to the less trichome of accession. SK 32, LAXMI, and SK 14 were more resistant accession to A. biguttula, while SATU 65, LASANI 1, G-cot-10, SAMARU 70, NH4, L 18, and NIAB were categorized as intermediate resistant accessions to the pest. Sto-neville 825, 7042-5W-79N, 1073-16-6x491L-619-4-77, and M35-5-8 were found as the most susceptible to A. biguttula. Negative correlation was occured between trichome density and nymph population (Y=-170,8x + 296,6; R2 = 0,414) and between trichome density and damage score (Y=-0,005x + 2,916; R2 = 0,622), while positive correlation was found between nymph population and damage score (Y=0,469x – 0,071; R2 = 0,672)

    Implementasi Kriptografi dengan Modifikasi Algoritma Advanced Encryption Standard (AES) untuk Pengamanan File Document

    Get PDF
    Abstrak— Algoritma AES (Advanced Encryption Standard) disebut algoritma dengan cipher block symmetric karena untuk memperoleh data yang telah dienkripsi menggunakan kunci rahasia atau cipher key yang sama ketika melakukan proses penyandian data (enkripsi). AES memiliki 3 kategori blok cipher: AES-128, AES-192, dan AES-256 dengan panjang kunci masing-masing 128 bit, 192 bit, dan 256 bit. Perbedaan dari ketiga urutan tersebut adalah panjang kunci yang mempengaruhi jumlah round (putaran). Pada penelitian ini, algoritma AES akan dimodifikasi dengan meningkatkan jumlah putaran bersamaan dengan panjang kunci menjadi 320 bit dengan 16 putaran dengan tujuan meningkatkan keamanan dari algoritma AES. Pengujian dilakukan dengan membandingkan waktu proses enkripsi dan dekripsi antara algoritma AES standar 10 putaran dengan algoritma AES modifikasi 16 putaran. File dokumen yang dapat dienkripsi hanya berupa file dengan format pdf, docx, dan txt. Hasil pengujian menunjukkan bahwa semakin besar putaran dan panjang kunci, maka semakin lama waktu yang digunakan dalam proses enkripsi maupun dekripsi. Hal ini dapat dibuktikan dengan algoritma AES modifikasi yang memiliki nilai waktu proses lebih besar dibanding algoritma AES standar sehingga dapat disimpulkan algoritma AES modifikasi memiliki tingkat keamanan yang lebih tinggi karena berpengaruh pada waktu yang dibutuhkan seorang kriptoanalis untuk memecahkan kode enkripsi. Kata Kunci— Kriptografi; AES (Advanced Encryption Standard); enkripsi; dekripsi; pengamanan file dokumen; modifikasi putaran AES
    • …
    corecore